Oleh :
Oki Oktariadi ”Peradaban Atlantis yang hilang” hingga kini barangkali hanyalah sebuah mitos mengingat belum ditemukannya bukti-bukti yang kuat tentang keberadaannya. Mitos itu pertama kali dicetuskan oleh seorang akhli filsafat terkenal dari Yunani, Plato (427 - 347 SM), dalam bukunya ”Critias dan Timaeus”. Disebutkan oleh Plato bahwa terdapat awal peradaban yang disebut Benua Atlantis; para penduduknya dianggap sebagai dewa, makhluk luar angkasa, atau bangsa superior; benua itu kemudian hilang, tenggelam secara perlahan-lahan karena serangkaian bencana, termasuk gempa bumi.
Selama lebih dari 2000 tahun, Atlantis yang hilang telah menjadi cerita populer di dunia Barat. Banyak ilmuwan barat telah meyakini kemungkinan keberadaannya. Di antara para ilmuwan itu banyak yang menganggap bahwa Atlantis terletak di Samudra Atlantis, bahkan ada yang menganggap Atlantis terletak di Benua Amerika sampai Timur Tengah. Penelitian pun dilakukan di wilayah-wilayah tersebut. Akan tetapi, kebanyakan peneliti itu tidak memberikan bukti atau telaah yang cukup. Sebagian besar dari mereka hanya mengira-ngira tanpa alur berfikir ilmiah yang jelas dan benar.
Para peneliti masa kini malahan menunjuk Sundaland (Indonesia bagian barat hingga ke semenanjung Malaysia dan Thailand) sebagai Benua Atlantis yang hilang dan awal peradaban manusia karena wilayah Indonesia memiliki begitu banyak gunung api aktif dan berada di jalur khatulistiwa yang memungkinkan manusia hidup nyaman dibandingkan wilayah dunia lainnya yang sebagian besar tertutup es.
Peluang bagi Indonesia adalah mengembangkan wisata ilmiah berdasarkan kontroversi ada tidaknya Atlantis dan kemungkinannya berada di wilayah Indonesia seperti yang dinikmati oleh Ciprus, Spanyol, Amerika Tengah (segitiga bermuda), dll.
Fenomen Atlantis dan awal peradaban selalu merupakan impian para peneliti di dunia untuk membuktikan dan menjadikannya penemuan ilmiah sepanjang masa. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.
Mitos Atlantis Atlantis sebagai suatu gambaran Benua Yang Hilang sebenarnya muncul dalam buku Plato yang diungkapkan dengan format dialog yaitu trilogi “Timaeus” dan “Critias” yang ditulisnya pada tahun 370 SM. Kisah Atlantis diungkapkannya di dialog Timaeus dan Critia meskipun, nampaknya Atlantis merupakan suatu penjelasan tentang Republic sebagai dialog yang menguraikan gagasannya tentang sistem sosial kemasyarakatan yang disebut Republic yang kelak mempengaruhi bentuk-bentuk sistem sosial kenegaraan di masa depan.
Salah satunya yang kontroversial dan mengundang pertanyaan banyak orang dan para arkeolog adalah hipotesis metaforisnya tentang Atlantis sebagai Benua Yang Tenggelam, yang konon digambarkan Plato sebagai suatu pulau atau anak benua “Nesos” atau “Continent” dimana peradaban manusia masa kini berasal.
Gagasan, dialog, dan karakter adalah suatu ciri khas yang muncul dalam tulisan-tulisan Plato untuk menggambarkan suatu realitas yang terpikirkan oleh manusia. Semikian nyatanya dialog tersebut orang pun kemudian sangat dipengaruhi secara sugestif bahwa apa yang diungkapkan Plato mungkin ada benarnya bahwa ada suatu Benua yang saat ini tenggelam ke dasar laut entah dimana, yang disebutnya sebagai Atlantis dimana pengetahuan manusia saat itu sedemikian majunya sampai-sampai kesombongan menyergap penduduk Atlantis dan negara benua Atlantis pun tenggelam ke dalam lautan. Apakah kisah Plato ini suatu realitas sejarah atau sekedar suatu ungkapan metaforis sampai sejauh ini orang masih memperdebatkannya. Bagi yang demikian yakin, kemudian terjadi perburuan benua Atlantis dengan seabrek bukti dan juga seabrek kisah yang menceritakan romantika Benua Atlantis yang misterius itu.
Ilmuwan barat berspekulasi tentang keberadaan benua Atlantis yang hilang dengan mengasumsikan bahwa lokasinya terdapat di belahan bumi Barat, di sekitar laut Atlantik, atau paling jauh di sekitar Timur Tengah sekarang. Penelitian untuk menemukan sisa Atlantis pun banyak dilakukan di kawasan-kawasan tersebut.
Namun sampai saat ini tidak ada bukti-bukti kuat yang mendukung keberadaan atlantis di wilayah tersebut dan menganggap Atlantis hanya sekedar dongeng atau ilustrasi dari sebuah arti dan makna kehidupan manusia. Sementara itu sebagian peneliti mulai mengarahkan pencariannya ke wilayah lainya seperti wilayah Asia Barat dan Asia Timur termasuk wilayah Asia Tenggara.
Pada dasawarsa 1980 an, dua orang peneliti, yaitu: Oppenheimer (1998) dan Santos (2005) berspekulasi bahwa benua atlantis yang hilang berada di wilayah Sundaland atau dikenal sekarang sebagai wilayah Asia Tenggara bagian Barat.
Pendapat kedua peneliti tersebut menimbulkan kontroversi bagi peneliti yang keukeuh bahwa Atlantis harus berada di dunia barat. Hal tersebut dapat dilihat hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan ‘pinggiran’. Kawasan yang kebudayaannya dapat subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat di Mesir, Cina, maupun India. Pemahaman tersebut mengacu pada teori yang dianut saat ini yang mengemukakan bahwa pada Jaman Es paling akhir yang dialami bumi terjadi sekitar 10.000 sampai 8.000 tahun yang lalu mempengaruhi migrasi spesies manusia.
Pengetahuan AtlantisHipotesisi Aryso Santos Aryso Santos, Profesor asal Brazil ini menegaskan bahwa Atlantis yang hilang sebagaimana cerita Plato itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Pendapat itu muncul setelah ia melakukan penelitian selama 30 tahun yang menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos dalam bukunya tersebut menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, cara bertani, dan lain sebaginya yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Sundaland (Indonesia bagian Barat).
Menurut Santos, pulau-pulau di Indonesia yang mencapai ribuan itu merupakan puncak-puncak gunung dan dataran-dataran tinggi benua Atlantis yang dulu tenggelam. Satu hal yang ditekankan Santos adalah banyak peneliti selama ini terkecoh dengan nama Atlantis. Mereka melihat kedekatan nama Atlantis dengan Samudera Atlantik yang terletak di antara Eropa, Amerika dan Afrika. Padahal pada masa kuno hingga era Christoper Columbus atau sebelum ditemukannya Benua Amerika, Samudra Atlantik yang dimaksud adalah terusan Samudra Pasifik dan Hindia.
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Langka, dan Indonesia bagian Barat meliputi Sumatra, Kalimantan, Jawa dan terus ke arah timur. Wilayah Indonesia bagian barat sekarang sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Argumen Santos tersebut didukung banyak arkeolog Amerika Serikat bahkan mereka meyakini bahwa benua Atlantis adalah sebuah pulau besar bernama Sundaland, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman es.
Menurut Plato, Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus dan mencairnya Lapisan Es yang pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi oleh Lapisan-lapisan Es. Maka tenggelamlah sebagian benua tersebut. Santos beranggapan gunung api yang dimaksud adalah Gunung Krakatau Purba yang (induk Gunung Krakatau Purba yang meletus pada 416 M menurut Pustaka Raja Purwa) yang konon letusannya sanggup menggelapkan seluruh dunia. Letusan gunung berapi yang terjadi ini menimbulkan gempa, pencairan es, banjir, serta gelombang tsunami sangat besar. Saat gunung berapi itu meletus, ledakannya membuka Selat Sunda. Peristiwa itu juga mengakibatkan tenggelamnya sebagian daratan Sundaland dan yang tersisa adalah Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, dan pulau-pulai kecil lainnya. Santos, dengan mengutip teori para geolog, menamakannya sebagai Heinrich Events, bencana katastrop yang berdampak global.
Bencana maha dahsyat ini juga mengakibatkan punahnya hampir 70 persen spesies mamalia yang hidup pada masa itu, termasuk manusia. Mereka yang selamat kemudian berpencar ke berbagai penjuru dunia dengan membawa peradaban mereka di wilayah baru. “Kemungkinan besar dua atau tiga spesies manusia seperti ‘hobbit’ yang baru-baru ini ditemukan di Pulau Flores musnah dalam waktu yang hampir sama.
Plato beranggapan bahwa Atlantis merupakan negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu. Dasar inilah yang menjadi salah satu teori Santos mengenai keberadaan Atlantis di Indonesia. Perlu dicatat bahwa Atlantis berjaya saat sebagian besar dunia masih diselimuti es di mana temperatur bumi kala itu diperkirakan lebih dingin 15 derajat Celsius daripada sekarang.
Wilayah yang bermandi sinar matahari sepanjang waktu pastilah berada di garis khatulistiwa dan Indonesia memiliki prasyarat untuk itu. Dalam cerita yang dituturkan Plato, Atlantis juga digambarkan menjadi pusat peradaban dunia dari budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, bahasa, dan lain-lain.
Plato juga menceritakan negara Atlantis yang kaya dengan bahan mineral serta memiliki sistem bercocok tanam yang sangat maju. Merujuk cerita Plato, wilayah Atlantis haruslah berada di daerah yang diyakini beriklim tropis yang memungkinkan adanya banyak bahan mineral dan pertanian yang maju karena sistem bercocok tanam yang maju hanya akan tumbuh di daerah yang didukung iklim yang tepat seperti iklim tropis.
Kekayaan Indonesia termasuk rempah-rempah menjadi kemungkinan lain akan keberadaan Atlantis di wilayah Nusantara ini. Kemasyhuran Indonesia sebagai surga rempah dan mineral bahkan kemudian dicari-cari Dunia Barat.
Jika terdapat begitu banyak kemungkinan Indonesia menjadi lokasi sesungguhnya Atlantis lalu, mengapa selama ini nama Indonesia jarang disebut-sebut dalam referensi Atlantis? Santos menilai keengganan Dunia Barat melakukan ekspedisi ataupun mengakui Indonesia sebagai wilayah Atlantis adalah karena hal itu akan mengubah catatan sejarah tentang asal muasal peradaban, maka teori yang mengatakan Barat sebagai penemu dan pusat peradaban dunia akan hancur.
Rekontruksi Oppenheimer Hipotesis Aryo Santos seolah dikuatkan oleh pendapat Oppenheimer sejak diterbitkannya buku Eden The East (1999). Oppenheimer adalah seorang dokter ahli genetik yang banyak mempelajari sejarah peradaban. Ia berpendapat bahwa Paparan Sunda (Sundaland) adalah merupakan cikal bakal peradaban kuno atau dalam bahasa agama sebagai Taman Eden. Istilah ini diserap dari kata dalam bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus yang diserap dari kata Persia "Pairidaeza" yang arti sebenarnya adalah Taman.
Menurut Oppenheimer, munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara. Landasan argumennya adalah etnografi, arkeologi, osenografi, mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia mengemukakan bahwa di wilayah Sundaland sudah ada peradaban yang menjadi leluhur peradaban Timur Tengah 6.000 tahun silam. Suatu ketika datang banjir besar yang menyebabkan penduduk Sundaland berimigrasi ke barat yaitu ke daratan Asia, dan sebagian ke timur menuju China, dan melalui lautan menuju Taiwan, Jepang, serta Pasifik.
Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es (Last Glacial Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu, muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang. Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia menjadi dataran luas yang dikenal sebagai Sundaland. Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia.Teori Oppenheimer ini bertentangan dengan teori Bulst (1985) dan teori Bellwood (1995) yang dibangun berdasarkan gabungan antara data linguistic historis dan arkeologi. Teori yang diajukan mereka disebut juga model Out of Taiwan atau Express Train from Taiwan to Polynesia yang intinya bahwa masyarakat penutur bahasa Austronesia berekspansi dari Taiwan sejak 5.000 tahun yang lalu menuju Asia Tenggara Kepulauan, Melanesia Kepulauan, Micronesia hingga Polynesia, dengan cepat selama satu millennium berikutnya via Filipina.
Suatu sanggahan datang dari Wim van Binsbergen (2007) seorang ahli mitologi dari Belanda yang diutarakan dalam sebuah Konferensi Internasional Association for Comparative Mythology yang berlangsung di Edinburgh 28-30 Agustus 2007. Makalahnya menunjukkan keberatan-keberatan atas tesis Oppenheimer bahwa orang-orang Sundaland sebagai nenek moyang orang-orang Asia Barat. Menurutnya Oppenheimer terlalu mendasarkan skenario Sundaland-nya berdasarkan mitologi Asia Barat (Taman Firdaus, Adam dan Hawa, kejatuhan manusia dalam dosa, Kain dan Habil, Banjir Besar, Menara Babel) yang dihipotesiskan sebagai prototip mitologi Asia Tenggara/Oseania, khususnya Sundaland.
Tidak lama kemudian tahun 2008 dukungan atas hipotesis Oppenheimer (1998), datang dari sekelompok peneliti arkeogenetika yang sebagian merupakan rekan sejawat Oppenheimer. Kelompok peneliti dari University of Oxford dan University of Leeds ini mengumumkan hasil penelitiannya dalam jurnal “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008 dalam makalah berjudul “Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia” (Soares et al., 2008) dan “New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia” (Richards et al., 2008).
Richards et al. (2008) berdasarkan penelitian DNA juga menantang teori konvensional saat ini bahwa penduduk Asia Tenggara saat ini (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 (Neolithikum) tahun yang lalu. Tim peneliti menunjukkan justru yang terjadi adalah sebaliknya dan lebih awal, bahwa penduduk Taiwan berasal dari penduduk Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland. Pemecahan garis-garis mitochondrial DNA (yang diwarisi para perempuan) telah berevolusi cukup lama di Asia Tenggara sejak manusia modern pertama kali dating ke wilayah ini sekitar 50.000 tahun yang lalu. Ciri garis-garis DNA menunjukkan penyebaran populasi pada saat yang bersamaan dengan naiknya mukalaut di wilayah ini dan juga menunjukkan migrasi ke Taiwan, ke timur ke New Guinea dan Pasifik, dan ke barat ke daratan utama Asia Tenggara – dalam 10.000 tahun.
Sementara itu Soares et al. (2008) menunjukkan bahwa haplogroup E, suatu komponen penting dalam keanekaragaman mtDNA (DNA mitokondria), berevolusi in situ selama 35.000 tahun terakhir, dan secara dramatik tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara pada periode sekitar awal Holosen, pada saat yang bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland menjadi laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya. Lalu komponen ini mencapai Taiwan dan Oseania lebih baru, sekitar 8000 tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa global warming dan sea-level rises pada ujung Zaman Es 15.000–7.000 tahun yang lalu, sebagai penggerak utama human diversity di wilayah ini.
Data geologi dan oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir besar yang terjadi yaitu pada sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun yang lalu. Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan muka air laut hingga 5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Wilayah yang paling parah dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan. Sundaland malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara lain Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera. Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup padat dihuni manusia prasejarah yang berpenghidupan sebagai petani dan nelayan.
Bagi Oppenheimer, kisah ‘Banjir Nuh’ atau ‘Benua Atlantis yang hilang’ tidak lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam dahsyat ini. Di kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini juga masih tersebar luas di antara masyarakat tradisional, namun belum ada yang meneliti keterkaitan legenda dengan fenomena Taman Eden.
Fenomena Geologi Dan Mitos Atlantis Pendekatan ilmu geologi untuk mengungkap fenomena hilangnya Benua Atlantis dan awal peradaban kuno, dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu pendekatan tektonik lempeng, letusan gunung api, dan berakhirnya Zaman Es.
Tektonik Lempeng
Wilayah Indonesia dihasilkan oleh evolusi dan pemusatan lempeng kontinental Eurasia, lempeng lautan Pasifik, dan lempeng Australia Lautan Hindia (Hamilton, 1979). umumnya disepakati bahwa pengaturan fisiografi kepulauan Indonesia dikuasai oleh daerah paparan kontinen, letak daerah Sundaland di barat, daerah paparan Sahul atau Arafura di timur. Intervensi area meliputi suatu daerah kompleks secara geologi dari busur kepulauan, dan cekungan laut dalam (van Bemmelen, 1949).
Kedua area paparan memberikan beberapa persamaan dari inti-inti kontinen yang stabil ke separuh barat dan timur kepulauan. Sundaland menunjukkan perkembangan bagian tenggara di bawah permukaan air dari lempeng kontinen Eurasia dan terdiri dari Semenanjung Malaya, hampir seluruh Sumatra, Jawa dan Kalimantan, Laut Jawa dan bagian selatan Laut China Selatan.
Tatanan tektonik Indonesia bagian Barat merupakan bagian dari sistim kepulauan vulkanik akibat interaksi penyusupan Lempeng Hindia- Australia di Selatan Indonesia. Interaksi lempeng yang berupa jalur tumbukan (subduction zone) tersebut memanjang mulai dari kepulauan Tanimbar sebelah barat Sumatera, Jawa sampai ke kepulauan Nusa Tenggara di sebelah Timur. Hasilnya adalah terbentuknya busur gunung api (magmatic arc).
Sumber Daya Mineral Akhirnya rekontruksi tektonik lempeng dapat menerangkan pelbagai gejala geologi yang mengilhami pendapat Santos dan menyakininya bahwa Wilayah Indonesia memiliki korelasi dengan anggapan Plato yang menyatakan bahwa tembok Atlantis terbungkus emas, perak, perunggu, timah dan tembaga. Hingga saat ini, hanya beberapa tempat di dunia yang merupakan produsen timah utama, salah satunya disebut Kepulauan Timah dan Logam, bernama Tashish, Tartessos menurut Santos (2005) tidak lain adalah Indonesia. Jika Plato benar, maka Atlantis sesungguhnya adalah Indonesia.
Bahaya Geologi Selain menghasilkan sumberdaya mineral, pergerakan tektonik lempeng juga menimbulkan titik-titik gempabumi di sepanjang Busur Sunda, barisan gunung api aktif (bagian dari Ring of Fire dunia), dan banyaknya komplek patahan (sesar) besar di sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Indonesia bagian timur. Salah satu contohnya adalah sesar Semangko (Great Semangko Fault membujur dari Aceh sampai teluk Semangko di Lampung). Menurut Kertapati (2006) karakteristik gempabumi di daerah Busur Sunda pada umumnya memiliki potensi terjadinya tsunami seperti yang dialami Aceh pada tahun 2004.
Para peneliti masa kini terutama Santos (2005) dan sebagian peneliti Amerika Serikat memiliki kenyakinan bahwa gejala kerawanan bencana geologi wilayah Indonesia adalah sesuai dengan anggapan Plato yang menyatakan bahwa Benua Atlantis telah hilang akibat letusan gunung api yang bersamaan.
Mencermati hipotesis Santos yang menyatakan bahwa letusan Gunung Krakatau sebagai biang keladi mencairnya es, sampai saat ini ahli geologi belum dapat membuktikannya. Memang letusan gunung api menghasilkan karbon dioksida dan abu gunung api yang dapat menyerap panas matahari sehingga keduanya bisa menambah pemanasan global. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pada tahun 11.600 SM Gunung Krakatau telah terbentuk dan mengalami letusan yang dapat mengakhiri zaman es. Atau gunung api apa yang meletus antara tahun 12000 – 11.000 SM.
Fakta geologi yang berkaitan dengan letusan Gunung Krakatau terjadi sebanyak lima kali. Pada mulanya Pulau Krakatau besar yang biasa kita sebut dengan nama Gunung Krakatau adalah sebuah gunung (Gunung Krakatau purba) yang memiliki ketinggian sekitar 2000 mdpl dengan lingkaran pantainya sekitar 11 km dan radius sekitar 9 km2. Letusan dahsyat yang mempengaruhi suhu bumi terjadi tahun 1883 M dan diduga terjadi juga pada tahun 416 M yang tercata dalam Pustaka Raja Purwa. Ssementara letusan lainnya terjadi pada tahun 1927, dan letusan tahun 1680.
Perulangan letusan Gunung Krakatau tersebut membuat Santos berani berspekulasi (hipotesis) yaitu di masa 11.600 SM terjadi juga letusan Gunung Krakatau yang dahsyat dan mengakhiri zaman es. Namun hanya sekedar menghipotesiskan Gunung Krakatau sebagai penyebab berakhirnya zaman es, akan menjadi perdebatan panjang, walaupun banyak material gunung api ditemukan diberbagai belahan dunia. Apalagi Indonesia khususnya Sumatera dan Jawa banyak memiliki gunung api aktif dan banyak legenda tentang letusan dashyat gunung api lainnya yang belum terungkap dan harus terus di telusuri secara ilmiah seperti keberadaan Gunung Maninjau, Gunung Sunda, Gunung Merapi, Gunung Bromo, dan lain-lain.
Fakta atau catatan bencana letusan gunungapi dahsyat seperti yang tercatat di Siria, dan Cina terjadi di abad 5 atau 6 M serta hasil penelitian terbaru yaitu ditemukannya jejak-jejak ion belerang yang berasal dari asam belerang vulkanik di lapisan es Antarktika dan Greenland yang berumur 535-540 M perlu di lakukan penelitian lebih lanjut keterkaitannya dengan gunung api di Indonesia. Penelitian tersebut penting agar mendapatkan sebuah tren kejadian letusan untuk mengklarifikasi hipotesis-hipotesis yang terus bermunculan.
Zaman Es Pendekatan lain terhadap keberadaan Benua Atlantis dan awal peradaban manusia adalah kejadian Zaman Es terakhir pada 20.000 tahun yang lalu. Pada zaman Es tersebut suhu atau iklim bumi turun dahsyat dan menyebabkan peningkatan pembentukan es di kutub dan gletser gunung sehingga perkiraan temperatur di seluruh benua Amerika Utara dan Eropa mencapai -15 derajat).
Dugaan penyebab terjadinya Zaman Es, antara lain terjadinya proses pendinginan aerosol yang sering menimpa planet bumi dan letusan gunung api dahsyat yang dapat menghalangi sinar matahari berbulan-bulan. Contohnya adalah peristiwa letusan Gunung Toba Purba pada tahun 74.000 SM dan letusan Gunung Tambora Modern pada tahun 1815.
Pada Zaman Es, pemukaan air laut jauh lebih rendah daripada sekarang, karena banyak air yang tersedot karena membeku di daerah kutub. Kala itu Laut China Selatan kering, sehingga kepulauan Nusantara Barat tergabung dengan daratan Asia Tenggara yang dikenal sebagai Sundaland. Sementara itu pulau Papua juga tergabung dengan benua Australia yang dikenal sebagai Sahulland. Oleh karena itu klaim bahwa awal peradaban manusia berada di wilayah Mediterian patut dipertanyakan. Sebab pada masa itu kondisi iklim sangat dingin dan beku, lapisan salju di wilayah Eropa dapat menjangkau hingga 1 km tebalnya dari permukaan bumi. Keadaan di Eropa dan Mesir pada masa itu adalah sama seperti apa yang ada di kawasan Artik dan Antartika sekarang ini. Dengan kondisi tersebut tidak berlebihan Oppenheimer beranggapan Taman Eden berada di wilayah Sundaland yang tidak lain adalah Indonesia bagian barat.
Akhir Zaman Es dimulai kira-kira 10.000 tahun lalu atau pada awal kala Holocene (akhir Pleistocene). Proses pelelehan Es di zaman ini berlangsung relatif lama dan beberapa ahli membuktikan proses ini berakhir sekitar 6.000 tahun yang lalu.
Jadi pendapat Oppenheimer memiliki kemiripan dengan akhir Zaman Es yang menenggelamkan sebagian daratan Sundaland, yang menyatakan bahwa Taman Eden hancur akibat air bah yang memporak-porandakan dan mengubur sebagian besar hutan-hutan maupun taman-taman sebelumnya. Bahkan sebagian besar dari permukaan bumi ini telah tenggelam dan berada dibawah permukaan laut.
Pengetahuan Peradaban Maju Sundaland.Kemungkinan Pusat Peradaban Pada masa itu Sundaland adalah satu daratan benua yang menyatu dengan Asia yang membentuk kawasan amat luas dan datar. Kemungkinan pusat peradaban awal di duga berada di wilayah Sundaland diantaranya berada antara Semenanjung Malaysia dan Kalimantan, tepatnya sekitar Kepulauan Natuna (sekitar laut China Selatan) yaitu sekitar muara Sungai yang sangat besar yang mengalir di Selat Malaka menuju laut China Selatan sekarang. Anak-anak sungai dari sungai besar tersebut adalah sungai-sungai yang berada di Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan bagian Barat dan Utara.
Kemungkinan kedua adalah Muara Sungai Sunda yang mengalir di Laut Jawa menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Hulu dan anak-anak sungai terutama berasal dari Sumatera bagian Selatan, seluruh Pulau Jawa, dan Pulau kalimantan bagian Selatan.
Ketrampilan dasar pengolahan logam Fakta yang tercatat diantaranya adalah sekitar abad ke-5 SM, penduduk dari daerah Dongson, yang sekarang termasuk dalam wilayah Vietnam, telah mampu menguasai keterampilan dasar pengolahan logam. Hasil kebudayaan logam mereka adalah yang paling tua yang telah ditemukan oleh para arkeolog di Asia Tenggara. Sedangkan masyarakat terawal yang diketahui di Thailand - yaitu sekitar tahun 3,000 SM - berlokasi di daerah Ban Chiang. Pada sekitar tahun 2,500 SM, bangsa Melayu mulai menyebar di wilayah semenanjung dan memperkenalkan teknologi primitif pengerjaan logam yang telah mereka kuasai di wilayah ini. Sekitar tahun 1,500 SM, bangsa Mon mulai memasuki wilayah Burma, sedangkan bangsa Tai datang lebih belakangan dari daerah selatan Tiongkok ke daratan Asia Tenggara untuk kemudian menempatinya pada sekitar milenium pertama Masehi.
Berkembangnya teknologi bercocok tanam. Pada zaman es, Sundaland berada di sekitar garis khatulistiwa sehingga temperaturnya lebih hangat dan mengalami musim kering yang lebih panjang. Kondisi ini menguntungkan bagi perkembangan tanaman semusim, yang dalam waktu relatif singkat memberikan hasil dan biji atau umbinya dapat disimpan. Ketersediaan biji-bijian dan polong-polongan dalam jumlah memadai memunculkan perkampungan untuk pertama kalinya, karena kegiatan perburuan dan peramuan tidak perlu dilakukan setiap saat. Contoh budaya semacam ini masih terlihat pada masyarakat yang menerapkan sistem perladangan berpindah (slash and burn) di Kalimantan dan Papua.
Berdasarkan analisis DNA oleh Oppenheimer, drr (1999) telah memutarbalikan asal usul budaya bercocok tanam padi yang semula dibawa oleh para migran dari Asia Tenggara bagian utara yang dulunya mendiami daerah sekitar pulau Formosa dan kepulauan Filipina bagian barat. (Bellwood, 1985) menjadi lebih relevan dimulai di wilayah Sundaland, apalagi iklim di Sundaland paling ideal untuk bercocok tanam padi. Kemudian pada saat zaman es berakhir teknologi bercocok tanam padi dibawa bermigrasi ke wilayah daratan asia dan menyebarkannya serta mempengaruhi teknologi bercocok tanam wilayah setempat seperti di wilayah Mesopotamia (8000 tahun yang lalu) yaitu berkembangnya teknologi bercocok tanam gandum.
Pemukiman pasca zaman es Di sisi lain kenyamanan iklim dan potensi sumberdaya alam yang dimiliki wilayah Sundaland, juga dibayangi oleh kerawanan bencana geologi yang begitu besar akibat pergerakan lempeng benua seperti yang dirasakan saat ini. Kejadian gempabumi, letusan gunung api, tanah longsor dan tsunami yang terjadi di masa kini juga terjadi di masa lampau dengan intensitas yang lebih tinggi seperti letusan Gunung Toba, Gunung Sunda dan gunung api lainnya yang belum terungkap dalam penelitian geologi.
Ketika terjadi peristiwa pelelehan Es, maka terjadi penenggelaman daratan yang luas, namun sebagian daratan Sundaland tidak tenggelam menyisakan pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan pulau lebih kecil lainnya. Walaupun suhu bumi lebih panas, namun wilayah-wilayah yang tidak tenggelam justru memiliki suhu ideal yang nyaman untuk didiami dan tetap subur untuk bercocok tanam padi.
Tempat-tempat itu dapat dianggap sebagai awal pemukiman pantai di Indonesia. Seiring naiknya paras muka laut, yang mencapai puncaknya pada zaman Holosen ± 6.000 tahun dengan kondisi muka laut ± 3 m lebih tinggi dari muka laut sekarang, lokasi-lokasi tersebut juga bergeser ke tempat yang lebih tinggi masuk ke hulu sungai.
Penjelajah Bahari Nusantara Berlimpahnya sumber daya alam yang dihasilkan bumi Indonesia menyebabkan dibutuhkan pasar untuk menyerapnya, sehingga dibutuhkan kemampuan berlayar dan penguasaan navigasi samudera yang baik. Serangkaian penelitian mutakhir yang dilakukan Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008), memperlihatkan fenomena mengagumkan. Afrikanis dari London University ini, antara lain, menyoroti bagaimana peran pelaut-pelaut nomaden dari wilayah berbahasa Austronesia, yang kini bernama Indonesia, meninggalkan jejak peradaban yang cukup signifikan di sejumlah tempat di Afrika. Buku ini bercerita tentang pelaut-pelaut Nusantara yang berlayar sampai ke Afrika pada masa lampau, jauh sebelum bangsa Eropa mengenal Afrika selain gurun Saharanya, dan jauh sebelum bangsa Arab dan Shirazi menemukan kota kota-kota eksotis di pantai timur Afrika seperti Kilwa,Lamu dan Zanzibar.
Diantara bukti tersebut adalah banyaknya kesamaan alat-alat musik, teknologi perahu, bahan makanan, budaya dan bahasa bangsa Zanj (ras Afro-Indonesia) dengan yang ada di Nusantara. Di sana, ditemukan sebuah alat musik sejenis Xilophon atau yang kita kenal sebagai Gambang dan beberapa jenis alat musik dari bambu yang merupakan alat musik khas Nusantara. Ada juga kesamaan pada seni pahat patung milik suku Ife, Nigeria dengan patung dan relief perahu yang ada di Borobudur.
Catatan hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut-pelaut Indonesia pada masa lampau. Bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan pelaut Indonesia pada abad ke-5 yang dibentangkan Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun lampau nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati. Keterkaitan dengan Atlantis perlu penelitian lebih lanjut.
Peluang Pengembangan Ilmu
Pendapat Oppenheimer (1999) dan Santos (2005) bagi sebagian peneliti adalah kontroversial dan mengada-ada. Tentu kritik ini adalah hal yang wajar dalam pengembangan ilmu untuk mendapatkan kebenaran karena beberapa tahun ke belakang pendapat yang paling banyak diterima adalah seperti yang dikemukakan oleh Kircher (1669) bahwa Atlantis itu berada di tengah-tengah Samudera Atlantik sendiri, dan tempat yang paling meyakinkan adalah Pulau Thera di Laut Aegea, sebelah timur Laut Tengah.
Pulau Thera yang dikenal pula sebagai Santorini adalah pulau gunung api yang terletak di sebelah utara Pulau Kreta. Sekira 1.500 SM, sebuah letusan gunung api yang dahsyat mengubur dan menenggelamkan kebudayaan Minoan. Hasil galian arkeologis menunjukkan bahwa kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yang sangat maju di Eropa pada zaman itu, namun demikian sampai saat ini belum ada kesepakatan di mana lokasi Atlantis yang sebenarnya. Setiap teori memiliki pendukung masing-masing yang biasanya sangat fanatik dan bahkan bisa saja Atlantis hanya ada dalam pemikiran Plato.
Perlu diketahui pula bahwa kandidat lokasi Atlantis bukan hanya Indonesia, banyak kandidat lainnya antara lain : Andalusia, Pulau Kreta, Santorini, Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia, Troy, Tantali, Antartika, Kepulauan Azores, Karibia, Bolivia, Meksiko, Laut Hitam, Kepulauan Britania, India, Srilanka, Irlandia, Kuba, Finlandia, Laut Utara, Laut Azov, Estremadura dan hasil penelitian terbaru oleh Kimura's (2007) yaitu menemukan beberapa monument batu dibawah perairan Yonaguni, Jepang yang diduga sisa-sisa dari peradaban Atlantis atau Lemuria.
Kepanasaran para pemburu misteri Atlantis di dunia barat terus berlanjut dan saat ini teknologi pengideraan jarak jauh (remote sansing) ikut berperan. Salah satunya adalah memanfaatkan Google Ocean yang merupakan temuan para ilmuan Mountain View (kota markas Google) yang kini mencoba mengeplorasi ke dalam laut. Bukan hanya laut, tetapi juga dasar lautnya. Format Peta dari Google Ocean ini, memungkinkan penggunanya untuk melihat-lihat isi lautan dengan tombol navigasi.
Hasil penelitian Google Ocean berkaitan atlantis yang hilang yaitu berhasil menangkap gambaran guratan-guratan tekstur di dasar laut. Guratan-guratan yang menjadi dasar perkiraan kota Atlantis tersebut merupakan guratan-guratan yang berada pada jarak 620 mil dari bagian pantai Barat Laut Afrika dekat dengan kepulauan Canary pada bagian dasar Samudera Atlantik.
Tidak hanya itu, Google Ocean juga memiliki data-data penting seputar dasar laut, seperti; kondisi cuaca di sekitar laut tersebut, jenis koral yang hidup di dasar lautan itu, bangkai kapal terkenal yang ada di dasar lautan itu, dan tak ketinggalan arus lautan itu.
Berdasarkan gambar yang berhasil ditangkap satelit Google Ocean, tampak bentuk persegi panjang yang kira-kira berukuran sama dengan kota Wales, Inggris dan gambar tersebut diperkirakan sebuah fosil kota bawah laut. Hal ini juga tergambar pada alat eksplorasi seorang ahli aeronautical yang juga mengklaim bahwa gambar tersebut juga gambar sebuah kota.
Hingga saat ini, letak dari Atlantis dan Taman Eden masih menjadi sebuah kontroversi, namun berdasarkan bukti arkeologis dan beberapa teori yang dikemukakan oleh para peneliti, menunjukkan kemungkinan peradaban tersebut berlokasi di Samudera Pasifik (disekitar Indonesia sekarang). Ini menjadi tantangan para peneliti Indonesia untuk menggali lebih jauh, walaupun banyak juga yang skeptis, beranggapan bahwa Atlantis dan Taman Eden tidak pernah ada di muka bumi ini. Namun yang penting pro dan kontra tentang keberadaan Atlantis di Sundaland perlu dilakukan melalui pendekatan keilmuan yang benar, artinya thesis maupun anti thesis selalu diterbitkan melalui jurnal ilmiah atau proseding ilmiah yang diakui masing-masing bidang keilmuaanya.
Hipotesis rumpun Austronesia sebagai penduduk asli Atlantis. Pengembangan keilmuan yang terkait dengan Benua Atlantis dan asal usul peradaban yang di lakukan para peneliti di Indonesia, pernah dilakukan oleh LIPI melalui gelaran 'International Symposium on The Dispersal of Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago, 28-30 Juni 2005. Salah satu tema dalam gelaran tersebut menyangkut banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul manusia dalam dua dekade terakhir. Salah satu makalah penting hasil penelitian yang dipresentasikan dalam simposium tersebut adalah hipotesis adanya sebuah pulau yang sangat besar terletak di Laut Cina Selatan yang kemudian tenggelam setelah Zaman Es.
Menurut Jenny (2005), hipotesis itu berdasarkan pada kajian ilmiah seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologi molekuler. Salah satu pulau penting yang tersisa dari benua Atlantis jika memang benar, adalah Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler, penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa Austronesia tertua. Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut-sebut dalam mitos Plato.
Salah satu teori, menurut Harry Truman, mengatakan penutur bahasa Austronesia berasal dari Sundaland yang tenggelam di akhir zaman es. Populasi yang sudah maju, proto-Austronesia, menyebar hingga ke Asia daratan hingga ke Mesopotamia, mempengaruhi penduduk lokal dan menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya. Dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau kebudayaan ini telah menyebar. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.
Kerajaan Kandis “Atlantis Nusantara” Antara Cerita dan Fakta Hamidi P.M.A., drr(2009) seorang peneliti dari Jambi mengatakan bahwa kerajaan tertua di Pulau Jawa berdasarkan bukti arkeologis adalah kerajaan Salakanegara dibangun abad ke-2 Masehi yang terletak di Pantai Teluk Lada, Pandeglang Banten. Diduga kuat mereka berimigrasi dari Sumatra. Sedangkan Kerajaan tertua di Sumatra adalah kerajaan Melayu Jambi (Chu-po), yaitu Koying (abad 2 M), Tupo (abad ke 3 M), dan Kuntala/Kantoli (abad ke 5 M). Menurut cerita/tombo adat Lubuk Jambi yang diwarisi dari leluhur mengatakan bahwa disinilah lubuk (asal) orang Jambi, oleh karena itu daerah ini bernama Lubuk Jambi. Dalam tombo juga disebutkan di daerah ini terdapat sebuah istana kerajaan Kandis yang sudah lama hilang. Istana itu dinamakan istana Dhamna, berada di puncak bukit yang dikelilingi oleh sungai yang jernih. Penelusuran peninggalan kerajaan ini telah dilakukan selama 7 bulan (September 2008-April 2009), dan telah menemukan lokasi, artefak, dan puing-puing yang diduga kuat sebagai peninggalan Kandis dengan ciri-ciri lokasi mirip dengan sketsa Plato (347 SM) tentangAtlantis. Namun penemuan ini perlu dilakukan penelitian arkeologis lebih lanjut.
Mitologi MinangkabauOrang Minangkabau mengakui bahwa mereka merupakan keturunan Raja Iskandar Zulqarnaen (Alexandre the Great) Raja Macedonia yang hidup 354-323 SM. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan barat dengan kebudayaan timur. Pertanyaannya apakah mitologi Minangkabau ini ada hubungannnya dengan Atlantis ? Perlu penelitian lebih lanjut.
Menangkap Peluang Wisata Ilmiah Adalah fakta bahwa saat ini berkembang pendapat yang menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang dianggap ahli waris Atlantis yang hilang. Untuk itu kita harus bersyukur dan membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya adalah merupakan pusat peradaban dunia yang misterius. Bagi para arkeolog atau oceanografer moderen, Atlantis merupakan obyek menarik terutama soal teka-teki di mana sebetulnya lokasi benua tersebut dan karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.
Perkembangan fenomena ini menyebabkan Indonesia menjadi lebih dikenal di dunia internasional khususnya di antara para peneliti di berbagai bidang yang terkait. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia perlu menangkap peluang ini dalam rangka meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peluang ini penting dan jangan sampai diambil oleh pihak lain.
Kondisi ini mengingatkan pada Sarmast (2003), seorang arsitek Amerika keturunan Persia yang mengklaim telah menemukan Atlantis dan menyebutkan bahwa Atlantis dan Taman Firdaus adalah sama. Sarmast menunjukkan bahwa Laut Mediteranian adalah lokasi Atlantis, tepatnya sebelah tenggara Cyprus dan terkubur sedalam 1500 meter di dalam air. ‘Penemuan’ Sarmast, menjadikan kunjungan wisatawan ke Cyprus melonjak tajam. Para penyandang hibah dana penelitian Sarmast, seperti editor, produser film, agen media dll mendapat keuntungan besar. Mereka seolah berkeyakinan bahwa jika Sarmast benar, maka mereka akan terkenal; dan jika tidak, mereka telah mengantungi uang yang sangat besar dari para sponsor.
Santos (2005) dan seorang arkeolog Cyprus sendiri yaitu Flurentzos dalam artikel berjudul : ”Statement on the alleged discovery of atlantis off Cyprus” (Santos, 2003) memang menolak penemuan Sarmast. Mereka sependapat dengan Plato dan menyatakan secara tegas bahwa Atlantis berada di luar Laut Mediterania. Pernyataan ini didukung oleh Morisseau (2003) seorang ahli geologis Perancis yang tinggal di pulau Cyprus. Ia menyatakan tidak berhubungan sama sekali dengan fakta geologis. Bahkan Morisseau menantang Sarmast untuk melakukan debat terbuka. Namun demikian, usaha Sarmast untuk membuktikan bahwa Atlantis yang hilang itu terletak di Cyprus telah menjadikan kawasan Cyprus dan sekitarnya pada suatu waktu tertentu dibanjiri oleh wisatawan ilmiah dan mampu mendatangkan kapital cukup berasal dari para sponsor dan wisatawan ilmiah tersebut.
Demikian juga dengan letak Taman Eden, sudah banyak yang melakukan penelitian mulai dari agamawan sampai para ahli sejarah maupun ahli geologi jaman sekarang. Ada yang menduga letak Taman Eden berada di Mesir, di Mongolia, di Turki, di India, di Irak dsb-nya, tetapi tidak ada yang bisa memastikannya.
Penelitian yang cukup konprehensif berkenaan dengan Taman Eden diantaranya dilakukan oleh Zarins (1983) dari Southwest Missouri State University di Springfield. Ia telah mengadakan penelitian lebih dari 10 tahun untuk mengungkapkan rahasia di mana letaknya Taman Eden. Ia menyelidiki foto-foto dari satelit dan berdasarkan hasil penelitiannya ternyata Taman Eden itu telah tenggelam dan sekarang berada di bawah permukaan laut di teluk Persia.
Peluang penulusuran Atlantis di Indonesia menjadi sangat terbuka dan ini dapat dimanfaatkan oleh para peneliti Indonesia baik secara mandiri maupun bersama-sama yang dilakukan secara holistik, terintegrasi dan sistematik. Peranan pemerintah dalam hal ini sangat diharapkan untuk mendorong dan memfalitasi dalam menangkap peluang mengungkap fenomena Sundaland sebagai Benua Atlantis yang hilang maupun sebagai Taman Eden. Paling tidak peranan instansi tersebut dapat memperoleh temuan-temuan awal (hipothesis) yang mampu mengundang minat penelitian dunia untuk melakukan riset yang komprehensif dan berkesinambungan.
Keberhasilan langkah upaya mengungkap suatu fenomena alam akan membuka peluang pengembangan wisata ilmiah bagi sektor pariwisata. Kemampuan manajemen kepariwisataan yang baik diharapkan dapat menangkap peluang kontroversi keberadaan Benua Atlatis yang Hilang di Indonesia.
Desain terhadap hipotesis penelitian Atlantis yang telah dikembangkan pihak luar dan berbagai mitos atau temuan-temuan prasejarah di Indonesia menjadi peluang penelitian baru bagi para peneliti Indonesia maupun luar negeri melalui wadah wisata ilmiah. Hasilnya diharapakan selain Indonesia lebih dikenal di dunia luar juga dapat menghasilkan devisa negara dan basis ekonomi baru bagi masyarakat Indonesia seperti yang telah dinikmati oleh berbagai negara sepertri Mesir, Yunani, Cyprus, Amerika Tengah, dll.
PenutupKisah Atlantis, bagi saya memang suatu kisah yang menarik. Mitos dan legenda yang menghibur yang telah saya kenal ketika saya masih suka sekali membaca komik. Dalam gambaran yang lebih komikal, dulu manusia Atlantis sedemikian pandainya sampai-sampai ia dapat mengubah manusia menjadi berbentuk seperti binatang dengan suatu mesin rekayasa genetis dengan seketika. Ketika saya mengenal filsafat ilmu saya berpendapat bahwa kisah Plato tentang Atlantis menunjukkan dualisme pemikiran; “apakah kisah atlantis ini suatu realitas sejarah atau sekedar suatu ungkapan metaforis ?”.
Metafora Plato yang diungkit dari gagasan idealnya bukanlah suatu metafora tanpa konsep maupun tanpa fakta. Metafora Plato tentang Benua Atlantis menggambarkan kesempurnaan sebuah benua, kesuburan, keadilan, kesempurnaan tata kota, dst. Dengan hal tersebut Plato mengungkapkan Dunia Idea-nya yang menjadi tema dualitasnya. Ia menggambarkan seperti apa dunia ideal yang menjadi dunia real sesungguhnya.
Sebenarnya setiap manusia mempunyai harapan sebagai cita-cita ideal dalam kehidupan, bermasyarakat dan bernegara. Plato ingin mewujudkan itu dengan menggambarkannya dalam dunia idealnya. Mengapa harus Atlantis? Pemikiran Plato, seperti yang dijelaskan di dalam Filsafat Yunani, mempunyai kekurangan yaitu pemikirannya masih menggunakan Mitologi sebagai penggambaran. Jadi, penamaan Atlantis itu berasal dari Dewa Atlas.
Anggapan “Benua Atlantis yang Hilang” sebagai realitas sejarah telah mendorong para peneliti masa lalu yang menyakininya terus melakukan pencarian, eksplorasi, ekploitasi yang berujung kolonialisme dan terjadinya ketidak seimbangan peradaban di dunia. Di masa kini hal ini tidak boleh terjadi sesuai harapan metofora Plato.
Atlantis memang misterius, dan karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi di dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.
Bahan TulisanHamidi, P.M.A., drr., 2009. Kerajaan Kandis “Atlantis Nusantara” Antara Cerita dan Fakta. Jambi.
Muzir, Ridwan I., 2008. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer. Yogjakarta: Ar-Ruzz
Oppenheimer, S., 2004. Out of Eden : the Peopling of the World, Hardback : Weidenfeld & Nicholson Ltd, London.
Olthof, W.L. 2008. Babad Tanah Jawi. Penerbit Narasi. Yogyakarta.
Kristy, R (Ed). 2007. Alexander the Great. Gramedia. Jakarta.
Robert Dick-Read, 2008. Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008.
Richards et al., 2008. New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia”
Santos, A., 2005, Atlantis the Lost Continents Finally Found.
Soares et al., 2008. Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/102006/02/0902.htm
http://ahmadsamantho.files.wordpress.com/2009/05/benua-sunda-land.jpg
http://www.nias.knaw.nl/en/oudfellows/research_group_1994_1995/summaries_94_95/wim_van_binsbergen/naam/W.M.J.+van+Binsbergen.jpg.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWQ_5lJOKQYWFqrbTc9XqpgHLMV437qlt4Vlr4sdafbATHNWye_gEHsxb1j7isyjJ2JnG7b42hVptTvdLorvfpBOaXAxwst6ZW0g9NzrQgqFj6c2NCybYsDTOQJ2L3L-GFtVTgllHSias/s400/Sundaland.jpg.
http://apakabardunia.com/post/arkeologi/mungkinkah-atlantis-yang-hilang-itu-adalah-indonesia.
http://edukasi.kompasiana.com/2010/02/22/temuan-riset-dna-bangsa-atlantis/
Catatan :
Mohon izin dan keridhoannya apabila terdapat cuplikan pendapat yang tidak disertai nama dan tahun penulisnya.
Penulis merupakan Pemerhati Geologi Lingkungan
(okigtl@yahoo.com)
Makalah ini disampaikan pada diskusi panel “Indonesia Asal Peradaban Dunia”.
Yayasan Suluh Nusantara Bakti. Hotel Sultan Jakarta, Tanggal 27 Maret 2010
Sumber : http://www.wacananusantara.org/content/view/category/99/id/646