Oleh : Darrell Tryon
Referensi
Penemuan dari keberadaan rumpun bahasa Austronesia pada abad ke tujuh belas, ketika anggota dari ekspedisi Schouten and Lemaire mengumpulkan kosa kata dari Futuna barat (Wallis dan Futuna) di Pasifik Selatan, yang kemudian diantaranya ditemukan kesamaan dengan bahasa Melayu. Tidak sampai abad ke sembilan belas, studi mengenai Austronesia menjadi citarasa sistematis, terutama karena hasil kerja para ahli bahasa Belanda pada Indonesia saat ini, dengan beberapa misionaris di Pasifik Selatan. Sebuah diskusi tentang sejarah penelitian linguistik Austronesia tidak terdapat disini. Cukup dikatakan bahwa kemajuan utama dalam studi Austronesia terjadi pada abad ini, dimulai dengan karya perbandingan sistematis oleh ahli bahasa seperti Stresemann (1927) dan Dempwolff (1934-38). Sejak saat itu ada sebagian besar penelitian sistematis yang dibawa ke sepanjang wilayah yang luas, dimana bahasa Austronesia dipakai.
Kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu, terdapat sejumlah sub pengelompokan hipotesa yang dilanjutkan oleh para ahli bahasa Austronesia. Hanya yang paling baru yang akan dipertimbangkan dalam rincian pembahasan ini, tujuan utama dari buku ini adalah untuk memberikan sub pengelompokan hipotesa rumpun bahasa Austronesia yang paling baru, melihat apa yang dianggap aman, dan subjek penginggalan dari penelitian yang berlanjut. Sebelum melakukan pembahasan, diperlukan untuk memasukkan beberapa pendahuluan keterangan, pertama pada susunan rumpun bahasa Austronesia, yang lain pada pertimbangan metodologi, khususnya pada metodologi sub pengelompokan linguistik.
Rumpun Austronesia
Rumpun bahasa Austronesia kemungkinan adalah rumpun bahasa terbesar di dunia, dengan 1.200 bahasa dan rata-rata 270 juta penutur. Berdasarkan pada studi terbaru (Tryon, ed. 1994) rumpun bahasa Austronesia terdiri dari bahasa yang memiliki puluhan juta penutur (Bahasa Melayu/ Indonesia, bahasa Jawa, dan Tagalog) secara mengejutkan, dengan sejumlah besar bahasa dengan hanya ratusan penutur. Hal ini belakangan menyebar di Oseania, yang mana penyebabnya diteliti lebih lanjut pada buku ini oleh Dutton. Jangkauan geografis dari rumpun Austronesia terlihat pada Peta 1. Dengan melihat sekilas pada peta akan terlihat bahwa bahasa Austronesia dipakai dari Madagaskar Barat sampai Pulau Paskah Timur. Bahasa tersebut dipakai hampir secara universal di Indonesia dan Filipina, di Singapura dan Malaysia, oleh penduduk pribumi di Taiwan, dan golongan kecil penduduk di Vietnam, Kamboja, dan busur Kepulauan Mergui di luar pesisir Birma (saat ini Myanmar). Lebih jauh ke timur, bahasa Austronesia dipakai hampir di seluruh Kepulauan Oseania dengan pengecualian pada daerah pedalaman dan kawasan pantai dari biduk Pulau Papua (Irian jaya dan Papua Nugini).
Metodologi
Metode pokok yang telah digunakan dalam subkelompok bahasa Austronesia adalah metode perbandingan-sejarah tradisional, yang dikembangkan secara besar pada abad yang lalu, dalam hubungannya dengan studi perbandingan pada bahasa Indo-Eropa. Singkatnya, metode ini secara sistematis membandingkan suara korespondensi tetap antarbahasa yang dibandingkan sebagai langkah pertama menuju rekonstruksi bahasa kuno yang diturunkan dari bahasa inang. Pada saat rekonstruksi dari bahasa kuno tercapai, bahasa individu dan satuan bahasa diuji untuk menentukan perubahan-perubahan (secara fonologi, morfosintatik, dan leksikal) yang menyatakan adanya hubungan keluarga dengan bahasa kuno. Di dalam perubahan-perubahan inilah subpengelompokan bergantung dan berjalan.
Ross (1994) telah membuat dua pengamatan yang sangat berkaitan, bagaimana perubahan-perubahan ini terbagi lintas bahasa. Ross mencatat pola perubahan lintas bahasa dalam dua cara yang berbeda, mencerminkan dua rangkaian pembangunan yang berbeda. Yang pertama, kelompok bahasa membagi ikatan diskret dari perubahan. Sebagai contoh, bahasa A ke bahasa Z, anggota dari rumpun bahasa kuno atau bahasa nenek moyang yang dikenal adalah *AZ, bahasa A-P akan membagi satu ikatan dari perubahan yang tidak terbagi oleh bahasa Q-Z dan sebaliknya. Bahasa ini kemudian akan terbagi dalam dua sub kelompok yang berbeda, AP dan QZ. Ini adalah penyebaran dari perubahan yang terjadi ketika bahasa telah terbagi oleh pemisahan, yaitu ketika dua atau lebih komunitas berbicara bahasa yang sama kemudian terpisah secara geografis. Bagaimanapun juga., ini bukanlah satu-satunya cara bahasa tervariasi. Bahasa dapat tervariasi tanpa pemisahan fisik melalui diferensiasi dialek dalam wilayah mereka sendiri. Dalam hal ini, sebagai ganti dari ikatan diskret perubahan, terdapat ikatan tumpang tindih yang membentuk sebuah rantai. Kedua fenomena distribusi ini dapat dilihat pada rumpun bahasa Austronesia, dan akan mempunyai akibat yang penting dari sub pengelompokan Austronesia saat ini. Walaupun metode perbandingan adalah alat yang sangat kuat, metode tersebut mempunyai beberapa keterbatasan, terutama dalam mengenali perubahan bahasa induksi - kontak (lihat bab oleh Tom Dutton dalam buku ini)
Metode yang lain yang digunakan pada sub kelompok bahasa adalah leksikostatistik, sebuah metode yang berdasar pada angka pengganti dari kosakata dasar sebuah bahasa dari waktu ke waktu. Metode ini dipakai oleh Dyen (1965) dalam klasifikasi leksikostatistiknya yang terkenal pada rumpun bahasa Austronesia. Walaupun metode ini berguna sebagai hampiran pertama, namun metode ini paling bermanfaat untuk bahasa yang berhubungan cukup dekat. Masalah utama metode ini, betapapun metode ini berdasar pada alasan bahwa semua bahasa berganti kosa kata secara terus menerus, yang dinyatakan sebagai kesalahan yang dapat dibuktikan. Dengan alasan ini, sub pengelompokan hipotesis yang dibicarakan dalam buku ini, semua berdasarkan pada teknik perbandingan sejarah komparatip.
Sub pengelompokan Hipotesis Terbaru
Rumpun bahasa Austronesia Inti, adalah bahasa nenek-moyang, asal dari bahasa Austronesia yang lain, diperkirakan oleh kebanyakan ahli, telah digunakan di pulau Taiwan pada lima ribu tahun yang lalu. Bahasa nenek moyang ini diperkirakan telah berubah dari waktu ke waktu menjadi empat sub kelompok utama.
Dengan kata lain, banyak ahli yang memperkirakan bahwa tiga dari keempat sub kelompok tingkatan tertinggi dari rumpun bahasa Austronesia telah dipakai di Taiwan sejak perkembangan rumpun bahasa Austronesia Inti. Seperti yang telah di bicarakan sebelumnya, bahasa terdiri dari dua proses yang berbeda - diferensiasi dialek secara bertahap, dan pemisahan. Kemungkinan besar bahwa bahasa dari sub kelompok Atayalic, Tsouic and Paiwanic timbul dari diferensiasi dialek secara bertahap dari rumpun bahasa Austronesia Inti, atau dari dialek keturunan sebelumnya yang dituturkan oleh penduduk yang tinggal dibalik bahasa tersebut, yang menjadi milik sub kelompok Melayu-Polinesia yang meninggalkan pulau. Perbedaan dalam proses pembangunan ini, akan lebih baik apabila ditandai dengan diagram dibawah ini.
Berdasarkan klasifikasi ini, semua rumpun bahasa Austronesia yang dituturkan di luar Taiwan berasal dari bahasa Melayu-Polinesia Inti.
Dengan ini, akan lebih berguna untuk mempertimbangkan gambaran Blust dari semua sub kelompok utama rumpun bahasa Austronesia dan lalu kembali dan mempertimbangkan bukti-bukti dari mana mereka berasal, bersama dengan beberapa sub kelompok alternatip, yang baru-baru ini ada dalam pembahasan oleh para Austronesianis.
Dalam posisi ini, akan lebih berguna bila mempertimbangkan gambaran Blust dari semua sub kelompok utama rumpun bahasa Austronesia lalu kembali mempertimbangkan bukti-bukti dari mana mereka berasal, bersama dengan beberapa sub kelompok alternatip, yang baru-baru ini dibahas oleh para Austronesianis. Asal usul dari Rumpun Austronesia yang lengkap ditunjukan oleh Blust.
Boleh jadi, awal yang tepat adalah memeriksa potongan utama dari bukti-bukti yang mengarahkan para ahli untuk membuat kesimpulan bahwa semua bahasa Austronesia diluar Taiwan, membuat sebuah sub kelompok tingkat pertama dari rumpun bahasa Austronesia. Blust (1977, 1982) mengemukakan sebagai berikut:
1. Kata ganti Austronesia Inti terbagi dalam dua kumpulan parsial yang berbeda, bentuk panjang (aktor/pasien) dan bentuk pendek (agen/pemilik). Bentuk pendek secara khas terdiri dari huruf vokal terakhir, ditambah huruf konsonan terdahulu yang berasal dari bentuk panjang bersesuaian (contohnya; *aku: ku, ‘bentuk tunggal pertama’). Perbandingan Formosa bagian dalam menunjukan sebuah sistem keturunan leluhur yang mana korespondensi resminya adalah teratur. Tetapi, disemua wilayah diluar Formosa kita menemukan bahwa bentuk pendek dari kata ganti bersesuaian pada *kamu ‘bentuk jamak kedua’ adalah khas, meskipun tidak secara eksklusif digunakan sebagai kata ganti tunggal, dijelaskan sebagai “ingsut kesopanan”. Blust beranggapan bahwa sokongan simetris dan kesederhanaan menyebabkan pemakaian kata ganti tersebut sebagai sebuah perubahan, dan juga sebuah potongan yang bernilai dari sub pengelompokan fakta. Memberikan ketidakwajaran pada perubahan dari bentuk jamak ke bentuk tunggal yang mempengaruhi bentuk pendek dari kata ganti dan bukan dalam bentuk panjang yang sama, yang mana secara sederhana menghubungkan pengunaan bentuk tunggal sari *-mu ke dalam sebuah perubahan dibandingkan kedalam rentetan perubahan yang memusat. Blust menyimpulkan bahwa perubahan *-mu ‘bentuk jamak ke-dua’ > -mu ‘bentuk tunggal ke-dua’kemudian diambil sebagai bukti untuk sub kelompok non-Formosa (bahasa Melayu-Polinesia) dari bahasa Austronesia (1982:235).
2. Pada buku sebelumnya, Blust (1977:11-12) menyebutkan bahwa potongan lebih lanjut dari bukti kata ganti mendukung pernyataannya. Mengenai bentuk panjang atau bentuk lengkap. Blust mengatakan bahwa Dahl telah merekonstruksi sebuah bentukan *a(N)ken ‘bentuk lengkap kata tunggal pertama’ sebagai tambahan untuk *aku. Blust menyatakan bahwa didalam bahasa yang berada diluar Taiwan, akhiran *-e menyatakan fokus tujuan, sedangkan pada tingkat Bahasa Austronesia Inti, satu-satunya makna yang dapat melekat dengan aman pada *a(N)ken adalah kepemilikan absolut, mengutip pada bahasa Austronesia Inti *iten v *kita ‘bentuk pertama kata tunggal’, and *amen v *kami ‘bentuk pertama kata jamak’
3. Bukti-bukti fonologi dari sub pengelompokan bahasa Austronesia diluar Taiwan kedalam sebuah sub kelompok urutan atas adalah sebagai berikut: Prekonsonan bahasa Austronesia Inti dan *S akhiran menghilang, hasil akhirnya adalah gabungan *a dari seluruh bahasa Melayu-Polinesia. Sebagai contoh:
PAn *kuSkuS > PMP *kuku ‘nail (of finger, toe)’,
PAn *tuqaS > PMP *tuqa ‘old’,
PAn *CumeS > PMP *tuma ‘clothes louse’.
4. Pada saat yang bersamaan, perubahan lainnya yang dicerminkan pada sepanjang wilayah Malayo-Polinesia adalah penggunaan dari kata awalan verbal Melayu-Polinesia Inti *paŋ-, and *maŋ- untuk membentuk kata kerja yang mana perantaranya adalah subjek dari kata kerja, yaitu pasien adalah sebagai subjek (Ross 1994; Reid, pers.comm.).
5. Sebagai tambahan fakta diatas, terdapat sejumlah perubahan fonologi yang lain dari sub kelompok Melayu-Polinesia Inti berasal. Termasuk penggabungan dari bahasa Austronesia Inti *t and *ts sebagai Melayu-Polinesia Inti t*. Bagaimanapun juga harus diingat bahwa bahasa Taiwan baik Amis dan Bunun sama-sama ikut andil dalam penggabungan fonologi ini. Betapapun mereka turut dibedakan dari cakupan area Melayu-Polinesia Inti 1-4 diatas.
Dyen (1990) tidak sepaham dengan pandangan bahwa semua bahasa Austronesia diluar Taiwan adalah anggota dari sub kelompok tunggal bahasa Melayu-Polinesia. Melibatkan metode leksikal yang disebut “klasifikasi leksikal homomerik” untuk “kumpulan rumpun berbeda yang tersebar persis pada kelompok bahasa yang sama yang dikatakan homomerus" (1990:212) Dyen mengklaim bahwa "Semua klasifikasi yang lain memisahkan bahasa Filipina dari Formosa pada tingkat yang tinggi, sedangkan fakta yang di tunjukan disini menurut bahasa Filipina sebagai keluarga terdekat dari rumpun bahasa Formosa, yang kemudian diperkirakan membentuk sebuah sub kelompok tunggal” (1990:224).
Dalam pembahasannya mengenai masalah sub pengelompokan rumpun bahasa Austronesia, Ross (1994)memperkirakan bahwa di Taiwan terdapat cakupan yang cukup baik tentang perjanjian sub kelompok urutan bawah. Li (1980, 1981, 1985) telah melakukan perbandingan kerja pada sub kelompok Atayalik, dan Tsuchida (1976) yang menghasilkan sebuah rekonstruksi yang kuat pada Tsouic kuno. Juga terdapat penjanjian publik pada anggota inti sub kelompok Paiwanik. Diluar ini, terdapat pertentangan dalam keanggotaan sub kelompok, terutama mengenai letak Rukai.
Sebagai contoh, kita bandingkan diagram asal-usul yang dihasilkan di Tsuchida (1976) dan Li (1985). Li (1985) mengemukakan tiga sub kelompok utama didalam Taiwan; kelompok utara, yang terdiri dari beberapa bahasa yang dihubungkan dengan bahasa lainnya dengan Paiwanic, Tsouic dan kelompok Paiwanic yang tereduksi. Disamping masalah dalam pengelompokan dengan bahasa Austronesia di Taiwan, terlihat jelas bahwa bahasa Austronesia Inti terbagi kedalam pertalian dialek dan bahasa sebelum penutur yang kemudian menjadi Melayu-Polinesia Inti meninggalkan Taiwan.
Ross (1994) mengusulkan bahwa kemungkinan pre- Melayu-Polinesia Inti telah berpindah dari pesisir tenggara Taiwan, wilayah bahasa Amis, sejak bahasa ini muncul dari bahasa Austronesia Inti *qamis ‘utara. Adalah hal yang mungkin apabila Amist memberikan nama ini pada penutur bahasa Melayu-Polinesia ke selatan yang mungkin mengingat mereka sebagai saudara mereka. Tentu saja pada kisaran linguistik, Reid (1982) mengingat bahwa cabang Amis - Ekstra Formosa diperlukan dalam diagram silsilah rumpun bahasa Austronesia.
Kita akan kembali pada perkiraan Reid akan sub kelompok Austronesia tingkat atas dibawah ini. Pertama, marilah kita kembali pada sub kelompok Melayu-Polinesia perkiraan Blust dan sub kelompok penyusun utamanya.
Disetiap cabang kanan dalam diagram pohon yang berada diatas, mewakili tuturan dari setiap daerah yang penduduknya telah berpindah tempat dari daera yang mapan, maka sebuah bahasa yang baru muncul dikarenakan perbedaan, hasil dari pemisahan. Tangkai sebelah kanan juga mewakili jalur perpindahan utama rumpun bahasa Austronesia, dari Taiwan ke Oseania. Telah tercatat, bahwa kebanyakan dari cabang sebelah kiri tidak mewakili bahasa Inti tersendiri, karena mereka mewakili “seseorang yang lebih suka tinggal di rumah” (Ross 1994). Pendapat Ross selanjutnya, terlihat seolah-olah bahasa Inti tetap telah terbagi dalam sebuah hubungan lokal sebelum permisahan terjadi. Dalam hal ini, dialek atau bahasa dari “mereka yang lebih suka tinggal dirumah” tidak mempunyai leluhur yang ekslusif. Malahan, mereka hanya membagi satu leluhur pada tangkai diatas, dengan bahasa dari mendiang para pendatang.
Bahasa Melayu-Polinesia Barat termasuk dari bahasa penduduk Filipina dan Indonesia barat, termasuk Chamorro, Palauan, Chamic dan Malagasi. Kita mengetahui sedikit tentang sub pengelompokan dari bahasa Melayu-Polinesia Barat, dan sebagai mana yang Blust (1985) nyatakan, tidak ada bukti yang jelas bahwa bahasa-bahasa ini membentuk sebuah sub kelompok rumpun bahasa Austronesia. Blust tidak sendiri dalam pemikiran ini.
Buktinya, tidak terdapat persetujuan yang nyata seperti bagaimana sub kelompok bahasa Melayu-Polinesia Barat among themselves. Ruhlen (1987), mendasarkan dirinya pada hasil kerja Blust, menetapkan anggota dari sub kelompok bahasa Melayu-Polinesia Barat kedalam sebelas bagian, seperti berikut:
1. Chamorro
2. Palauan
3. Yapese
4. Filipina Utara
5. Filipina Selatan
6. Meso-Philippine
7. Mindanao selatan
8. Sulawesi
9. Borneo
10. Sama-Bajau
11. Sundic
Ruhlen tidak memberikan pembenaran untuk sub-sub kelompok diatas, selain dari geografis saja. Harus dicatat bahwa Chamorro, Palauan dan Yapese dituturkan di Mikronesia sampai ke Filipina timur. Walaupun Chamorro dan Palauan jelas bukan Oseanik, kedudukan dari Yapese belum lah jelas.
Bahasa dari busur kepulauan Filipina (termasuk Kepulauan Batan antara Taiwan dan Filipina) dan beberapa kelompok bahasa yang dipakai di daerak utara kekuasaan Sulawesi telah dipercaya secara umum kedalam sub kelompok Filipina utama yang dianggap telah diturunkan dari Filipina kuno (Zorc 1977, 1986). Sub pengelompokan ini belum pasti bagaimanapun juga, Reid (1982:202) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang Charles (1974) tuliskan, dibagi oleh bahasa dari sub kelompok berdasarkan bilangan dari perbedaan fonemik untuk bahasa Austronesia Inti yang dikemukakan oleh Dyen and Dempwolff yang mana “tidak berdiri pada penelitian yang cermat dan kemungkinan hasil dari pinjaman yang tidak dikenal atau proses fonologi yang tidak jelas didalam sejarah bahasa yang terlibat”.
Reid (1982:212) juga tidak merasa senang tentang bahasa Mindanao Selatan, Blaan and Tboli (yang membuat Reid terus memikirkannya sampai saat ini, lihat dibawah), cukup terpisah dari sub kelompok urutan tertinggi yang menghubungkan bahasa Taiwan dan Filipina. Reid menemukan bahwa bahasa Mindanao Selatan tidak mencerminkan satu pun ciri-ciri dari perubahan bahasa Melayu-Polinesia, dan kemungkinan diturunkan dari “ Penutur Austronesia yang bermigrasi secara dini ke Formosa selatan”. Kita akan kembali pada pokok ini segera, dengan pembaharuan dari pemikiran Reid.
Zorc (1986)menantang sub pengelompokan Reid dan membela dugaan akan pengelompokan Filipina tunggal. Pernyataannya ini berdasarkan jumlah besar perubahan leksikal yang terbagi secara luas oleh bahasa dari busur kepulauan Filipina.
Para komentator telah berkata bahwa sulit untuk menilai kedudukan Zorc, karena tidak jelas apakah perubahan leksikal tidak berada dalam fakta materi kosa kata yang dipakai dari Melayu-Polinesia Inti tetapi hilang dalam bahasa tambahan Filipina. Reid sendiri berpendapat (1982:212):
“ketika seseorang berpindah ke Filipina Selatan…derajat pengaruh dari satu atau lebih bahasa Filipina tengah menjadi semakin meresap, sehingga menjadi semakin sulit untuk memisahkan lapisan didalam bahasa”.
Pemikiran Reid saat ini telah sedikit berubah, namun tetap berpusat pada sekitar masalah yang disebabkan oleh bahasa dari Filipina tengah, yang membagi beberapa perubahan dengan bahasa Melayu-Javanic, termasuk bentukan dari sebuah kelompok pengikat yang secara ekslusif dibagi oleh kedua kelompok ini. Posisi Reid saat ini (pers.comm) dapat dilihat dalam diagram.
Reid tidak begitu terkait dengan sub kelompok tingkatan lebih atas dalam diagram pohon sebagai usaha tingkat bawah untuk memecahkan masalah yang disebabkan oleh bahasa dari Filipina tengah dan hubungan mereka yang nyata dengan bahasa Melayu-Javanic, yang kebanyakan melalui migrasi ke arah selatan atau serangkaian migrasi.
Terdapat beberapa bentukan sub kelompok lainnya di daerah. Bahasa Melayu-Polinesia Barat. Blust (pers.comm. to Ross)memberikan contohnya sebagai berikut:
1. Moklen (di kepulauan mulai dari pesisir barat Thailand dan Birma)
2. Lampung (Sumatra bagian Tenggara)
3. Daratan Dayak (Pedalaman Borneo Barat-Daya)
4. Filipina Selatan/Sangir/Minahasan (Mindanao, N.Sulawesi)
5. Meso Philippine/Mongondow-Gorontalo (Filipina Tengah, Sulawesi Utara)
6. Sama-Bajau
7. Sumatra Barat Laut/Kepulauan Barrier (Gayo, Batak, Mentawi, Enggano)
8. Borneo Barat Laut
9. Sulawesi Tengah
10. Sulawesi Selatan
11. Tamanic (Borneo tengah)
12. Muna-Buton (Sulawesi Tenggara)
13. Malayu-Chamic (Acehnese, Chamic, Malayan, Sundanese)
14. Java-Bali-Sasak
15. Barito (Borneo selatan, Madagaskar).
Terdapat kemajuan yang dibuat oleh beberapa sub kelompok tingkat bawah pada masa sekarang, seperti:
1. Sub kelompok bahasa Melayu-Chamic, mencakup daerah substansial covering dari Indonesia bagian barat (Blust 1985) secara jelas berhubungan erat dengan sub kelompok Filipina tengah-Melayu-Jawa milik Reid, lihat juga Adelaar (1985), Cowan (1948, 1974) dan Durie (1989). Untuk Melayu-Javanic lihat Nothofer (1986, 1991, 1994). Dalam konteks ini hubungan yang lebih luas dari bahasa sub kelompok Jawa-Bali-Sasak dipakai oleh Esser (1938) tetap berkembang. Selagi hubungan Bali-Sasak terjalin dengan baik, hubungan dari kedua bahasa ini dengan bahasa Jawa belum dipertunjukan secara formal.
2. Sub kelompok Tamanic telah ditetapkan oleh Adelaar (1994)dalam edisi ini), menghubungkan bahasa Tamanic dari Borneo tengah dan bahasa dari Sulawesi selatan. sebelumnya telah diperlihatkan untuk membentuk sebuah sub kelompok oleh Mills (1975).
3. Sub kelompok Barito, di Borneo selatan, terkenal akan salah satu anggotanya, Malagasi. Sampai saat ini Malagasi dipercaya telah berada di Madagaskar sejak abad keempat-kelima. Adelaar menyatakan bahwa penanggalan tersebut setidaknya dua abad terlalu awal.
Nothofer (1990, 1994) telah membuat beberapa usulan baru mengenai Melayu-Polinesia Barat. Usulannya tersebut kebanyakan dari wilayah WMP pernah ditempati oleh penutur dari bahasa milik sebuah kelompok yang dia sebut “Paleo-Hesperonesia” dan kemudian kebanyakan dari wilayah tersebut ditempati oleh para penutur bahasa “Hesperonia”, yang kemudian menjadi budaya yang berpengaruh di Indonesia bagian barat, menggantikan bahasa Paleo-Hesperonesia. Beberapa dari bahasa ini bertahan sampai saat ini disekitar batas luar wilayah bahasa Melayu-Polinesia Barat. Dalam istilah Nothofer, bahasa dari Sulawesi utara dan Filipina tengah dan selatan, bersama dengan Sumatra barat laut dan Kepulauan Barrier, Borneo barat laut, Sulawesi tengah dan selatan adalah Paleo-Hesperonesia, sedangkan kelompok Melayu-Chamic, Jawa-Bali-Sasak dan Baritoadalah Hesperonesia. Ross (1994) menyatakan, betapapun banyaknya fakta yang Nothofer gunakan adalah leksikal dan juga mengalami kesulitan yang sama seperti fakta yang Zorc gunakan untuk Filipina. Lagi pula hipotesa milik Nothofer harus dianggap serius.
Sub kelompok sentral Melayu-Polinesia Barat dari rumpun bahasa Austronesia jauh lebih besar. Pertamakali dikemukakan oleh Blust (1974), kemudian mengangkat kembali bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur.oleh ahli yang sama (Blust 1978). Bahasa yang mendasari sub kelompok bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur. meluas ke Bahasa Bima, pulau Sumbawa, kearah timur melalui rantai Sunda Lesser Indonesia sejauh Kepulauan Aru, dan kearah barat laut Maluku tengah, termasuk busur kepulauan Sula. Sebagai tambahan, beberapa bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur yang masil kurang dikenal terlihat tersebar sepanjang pesisir selatan Irian. bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur dan urutan sub kelompoknya yang lebih bawah
Blust (1990:2) menyatakan bahwa “fakta-fakta untuk bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur dan untuk beberapa sub kelompok yang tidak dikenali sebelumnya, didalam bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur. sangatlah kuat bila dibandingkan dengan fakta-fakta untuk bahasa Malayo-Polinesia Tengah sendiri”. Seperti yang dapat kita lihat, bahasa Malayo-Polinesia Tengah "dibentuk" oleh sejumlah perubahan yang tumpang tindih yang mencakup kebanyakan baha.sa yang di permasalahkan. Distribusi dari perubahan yang tidak bersamaan ini memberikan ide pada Blust bahwa pada langkah awal dalam pendudukan rumpun bahasa Austronesia di Indonesia bagian Timur, bahasa tersebut saat ini ditunjuk untuk bahasa Malayo-Polinesia Tengah membentuk rantai dialek yang terpisah, yang mana masih digunakan sekitar 90 persen dari kosa kata dasar dengan bahasa yang bukan merupakan bagian dari rantai.
Dalam kaitan implikasi sejarah-budaya, setelah pemisahannya dengan from Melayu-Polinesia Barat Dalam (PWMP), Bahasa Malayu-Polinesia Tengah-Timur-Inti (PECMP) berkembang selama beberapa waktu dalam daerah yang relatip padat secara geografis, sebelum terpisah kedalam Bahasa Malayu-Polinesia Tengah Inti dan Bahasa Malayu-Polinesia-Timur-Inti (PEMP). Bahasa Malayu-Polinesia-Timur-Inti (PEMP) dan keturunan langsungnya, Oseanik Inti masing-masing berkembang dalam daerah yang relatip padat secara geografis sebelum terpisah kedalam bahasa keturunan. Sebagai pembanding, bahasa Irian Barat-Halmahera Selatan-Inti(PSHWNG) dan Malayu-Polinesia Tengah Inti (PCMP) tersebar dengan luas dalam jarak yang cukup, sebelum diferensiasi dialek ada. Jumlah yang besar dari perubahan linguistic timbul dan tersebar melalui rantai dialek Malayu-Polinesia Tengah dalam arah yang berlawanan, seperti yang mereka juga lakukan pada bahasa Irian Barat-Halmahera Selatan (SHWNG). Perubahan ini gagal menjangkau perubahan besar secara geografis yang paling jauh dari masing-masing pusat asal mereka, menghasilkan perbedaan dalam pengaturan pembenahan dalam koridor penyebaran pusat (Blust 1978). Hasilnya adalah pembagian yang tidak sempurna dari perubahan yang tersebar secara luas. Disisi yang lain, Blust menegakan bahwa beberapa perubahan yang berulang didalam bahasa Malayo-Polinesia Tengah kemungkinan berhubungan secara independen, karena merupakan hasil dari penyimpangan. Akhirnya setelah pembedaan pada rantai Malayo-Polinesia Tengah kedalam bahasa yang berbeda, terdapat migrasi yang terbatas dari sedikit penduduk di Maluku Selatan, Indonesia kearah pesisir selatan Semenanjung Kepala Burung di Pulau Irian.
Fakta akan keberadaan sub kelompok Malayo-Polinesia Tengah-Timur yang dikemukakan oleh Blust cukup substansial. Yaitu terdiri dari:
1. Pengurangan dari kelompok konsonan dalam reflex penggandaan kata bersuku satu
2. Perubahan fonologi tak beraturan dalam lima leksikal, 33 perubahan leksikal yang yang Nampak, dua persetujuan yang berstruktur besar yang mendukung perubahan, perubahan morfologi tak beraturan dalam empat leksikal pokok dan tujuh perubahan semantik
Blust menjelaskan bahwa hanya ada sedikit perbedaan dari Bahasa Melayu-Polinesia Inti dan Bahasa Malayo-Polinesia Tengah-Timur-Inti secara fonologikal. Bahasa Melayu-Polinesia Inti *c and *s digabungkan menjadi *s. Tetapi kesamaan gabungan terjadi pada kebanyakan bahasa Malayo-Polinesia Barat (WMP) dan pada semua bahasa Formosa. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, terdapat penurunan dari kelompok konsonan hetero-organik di dalam refleks dari pengulangan kata bersuku satu (kecuali jika kelompok tersebut terdiri dari nasal yang diikuti oleh jeda atau frikatip, yang mana nasal terasimilasi ketempat artikulasi dari jeda tersebut, tetapi tidak hilang).
Contoh:
PMP *bukbuk > PCEMP *bubuk
‘ampas kayu’
PMP *ñamñam > PCEMP *ñañam
‘enak, lezat’
PMP *mekmek > PCEMP *memek
‘remah-remah’
Beberapa bahasa WMP, sebagai contoh Bahasa Melayu mempunyai penyederhanaan kata yang sama, akan tetapi dalam pemikiran Blust,keseluruhan dari perubahan Malayo-Polinesia Tengah-Timur lebih tepat disebut sebagai hasil dari perubahan tunggal dalam bahasa turunan kedalama seluruh kelompok
Bukti lebih lanjut untuk sub kelompok Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur yang disebutkan oleh Blust (1990) sebgai berikut:
1. Perubahan fonologi tak beraturan dalam lima leksikal pokok:
PMP *uliq
PCEMP *oliq
‘kembali’
PMP *i-sai
PCEMP *i-sei
‘siapa?’
PMP *ma-qitem
PCEMP *ma-qet əm
‘hitam’
PMP *maRi
PCEMP *mai
‘datang’
PMP *tudan
PCEMP *todan
‘duduk’
2. Perubahan leksikal yang tampak dalam PCEMP
PMP *ka-labaw
PCEMP *kanzupay
‘tikus’
PCEMP *liqə
‘suara’
PCEMP *malu
‘cawat’
PMP *dilaq
PCEMP *maya
‘lidah’
PMP *surat
PCEMP *tusi
‘menggambar sebuah garis’
PMP *tawa
PCEMP *malip
‘tertawa’
PCEMP *saRa
‘menyapu, sapu’
PCEMP *kandoRa
‘kuskus’
PCEMP *mansar/mansər
‘marsupial’
PCEMP *keRa(nŋ)
‘kura-kura hawksbill ’
PMP *amuR
PCEMP *au
‘embun’
PCEMP *bai
‘membuat’
PMP *paen
PCEMP *bayan/payan
‘umpan’
PMP *hazani
PCEMP *da ŋi
‘dekat’
PCEMP *kese
‘berbeda’
PMP *dalem
PCEMP *laman
‘dalam’
PMP *paen
PCEMP *pani(n ŋ)
‘umpan’
PMP *muRmuR
PCEMP *pupuR
‘berkumur-kumur’
PMP *kapal
PCEMP *t əlu
‘tebal’
PCEMP *qumun
‘tungku bumi’
PMP *lakaw/panaw
PCEMP *ba
‘pergi’
PCEMP *balaŋ
‘sisi, bagian’
PMP *qa-lima
PCEMP *baRa
‘tangan’
PCEMP *lama
‘menutupi’
PCEMP *ŋaRa
‘bebek liar’
PCEMP *papaR
‘pipi’
PCEMP *paRa-
‘awalan timbal balik’
PMP *palihi
PCEMP *tambu
‘melarang’
PMP *hiup
PCEMP *upi
‘meniup’
PCEMP *waŋka
‘kano’
PCEMP *wari
‘menyanyi,lagu’
PMP *ma-esak
PCEMP *madar
‘matang, terlalu matang’
PMP *bahu
PCEMP *mapu
‘bau tidak sedap’
3. Perjanjian secara struktur:
Blust (1990) menegaskan bahwa terdapat dua sarana yang secara luas tersebar dalam Indonesia bagian barat dan Oseania, yaitu;
1. Penggunanan dari subjek penanda subjek proklitik pada kata kerja.
2. sebuah perbedaa secara analisis antara kepemilikan yang dapat/tidak dapat dicabut
Akan tetapi terdapat hubungan darah yang kurang kuat didalam morfem yang digunakan untuk menyatakan secara formal sistem yang sama – Dengan demikian sebuah hipotesa dari perkembangan yang memusat antara Melayu-Polinesia Tengah dan proklitik Oceanik tidak dapat dengan mudah disisihkan. Tentu saja Ross (1988:96ff.) juga menanyakan apakah terdapat bukti yang meyakinkan untuk nenek moyang langsung dari sub kelompok Melayu-Polinesia-Tengah, Irian Barat-Halmahera Selatan (SHWNG) dan Oseanik
4. Perubahan morfologi tak beraturan:
PMP *apa
PCEMP *sapa
‘apa?’
PMP *hepat
PCEMP *pat, *pati
‘empat’
PMP *ma-huab
PCEMP *mawab
‘menguap’
PMP *ma-hiaq
PCEMP *mayaq
‘malu’
Blust (1990) berpendapat bahwa fakta-fakta akan keberadaan sub kelompok bahasa Malayo-Polinesi Tengah-Timur-Inti (PCEMP) cukup kuat, sebagai potongan individu dari bukti yang kebanyakan tidak tergantung satu sama lainnya.Grimes (1990) telah membuat sebuah penilaian independen dari fakta bahasa Melayu-Polinesia Tengah-Timur (CEMP) dan menemukan bahwa Blust mempunyai bukti yang bagus, meskipun hanya sedikit dari perubahan leksikal yang merupakan perubahan pengganti.
Berkenaan pada sub kelompok Malayo-Polinesia-Tengah (CMP), Blust dan peneliti lainnya kurang merasa yakin. Ini adalah bahasa dari Sunda Lesser timur dari kelompok Bima-Sumba, dan dari Maluku Selatan dan tengah. Masalah yang dialami oleh sub kelompok ini tidak mengejutkan, lagi-lagi “seseorang yang lebih suka tinggal di rumah” bukannya kelompok pendatang. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, bentuk yang paling nyata dari sejarah fonologi dari bahasa CMP adalah tingkat yang mana ditemukan perubahan-perubahan yang sama pada kebanyakan bahasa. Pola dari perubahan ini mengusulkan bahwa PCMP melalui periode dari perkembangan yang terpisah dari masa bahasa Austronesia yang lain, sebelum bahasa tersebut tersebar dari Maluku ke Lesser Sunda. Banyak dari perbedaan ini yang saat ini tersebar luas dalam bahasa Maluku dan Lesser Sunda setelah pemisahan geografis dan merupakan hasil dari penyebaran dan di beberapa kasus penyimpangan.
Perubahan yang membedakan bahasa CMP menurut Blust (1990) adalah sebagai berikut:
1. Hilangnya huruf vokal awal kedua dari akhir hV- or *qV-. PMP tiga suku kata yang dimulai dengan sebuah huruf vocal atau huruf vocal yang diproses si pangkal tenggorokan *h- or *q- (e.g. *qateluR ‘egg’) tidak digunakan dalam bahasa Oseanik Inti (POc), tetapi bentuk yang sama dalam bahasa Melayu-Polinesia Timur (CMP) menyatakan bahwa suku kata pertama hilang dalam Malayo-Polinesia Tengah Inti (PCMP). Bagaimanapun, Blust mengakui bahwa bentuk-bentuk seperti Watubela /katlu/ membuat pernyataan ini semakin tidak meyakinkan.
2. Glide Truncation: monophthongisasi dari diphthong melalui truncantion of glides, seperti *-ay > -a; *-aw > -a; *-uy > -u adalah karakteristik yang paling khusus didalam sejarah fonologi dalam bahasa CMP. Perubahan ini tidak terlihat diluar Indonesia bagian barat. Akan tetapi, Blust mengakui bahwa kita memaksakan untuk membuat kesimpulan bahwa ini adalah hasil dari perubahan independen dalam beberapa bahasa. Truncation hanya muncul secara sporadic di Leti, Kisar dan Erai dan tidak dikenal di Pulau Timor, Roti, Savu or Sumba.
3. Penuturan postnasal: dalam kebanyakan bahasa CMP, jeda telah menjadi bersuara sesudah nasal. Adalah benar bahwa kedua gugus konsonan ini berada didalam sebuah morfem dan diluar gugus intermorphemik yang dibuat oleh penyingkatan ucapan.Seperti contoh:
PMP *ma-putiq > Kemak (Pulau Timor tengah), Bonfia (Seram timur) buti, Buru boti, ‘putih’.
Demikian halnya dengan dua perubahan yang telah dibahas sebelumnya, yang bagaimanapun terlihat bahwa penuturan postnasal juga merupakan perubahan rangkap.
4. Perubahan suara tak beraturan menggolongkan beberapa bahasa CMP:
1. PMP *pandan PCMP *pendan ‘pandanus’
Bagaimanapun, ketika contoh dari perkembangan tak beraturan ini dikenal dari Flores ke busur kepulauan Leti-Moa, nampaknya mereka tidak ditemukan di Maluku selatan atau utara
PMP *baqeRu PCMP *beqeRu ‘baru’
Perubahan Leksikal:
Blust menuliskan perubahan-perubahan berikut ini, yang menurutnya secara ekslusif terjadi pada bahasa Lesser Sunda dan Maluku
PCMP *balabu
‘samar-samar’
PCMP *balik
‘mencampur’
PCMP *beta
‘kayu potong’
PCMP *dada
‘rintangan’
PCMP *dodok
‘menusuk’
PCMP *letay
‘dibawah’
PMP *kawit
PCMP *gae
‘kait’
PCMP *kati
‘memanggil anjing’
PCMP *ketu
‘menarik,
PCMP *lemba
‘menggalah’
PCMP *lesi
‘melimpah-limpah’
PCMP *lesu
‘keluar’
PCMP *letay
‘jembatan’
PCMP *leu
‘belokan’
PCMP *liRi
‘suara’
PCMP *lolan
‘sepotong’
PCMP *lunu
‘bertumpuk’
PMP *i-nu
PCMP *mpae
‘dimana?’
PCMP *peu
‘terikat’
PMP *qasu
PCMP *masu
‘asap’
PCMP *silu
‘naik’
PMP *tahiq, *zaqit
PCMP *sora
‘menjahit’
PCMP *sula
‘tanduk’
PCMP *ta
‘tidak, bukan’
PMP *taliŋ a
PCMP *tilu
‘telinga’
Masalah utama dengan perubahan leksikal, sebagai mana yang dikemukakan disini adalah lagi-lagi mereka bukan merupakan perubahan penggantian.
Blust (1990) juga mengusulkan beberapa perubahan morphosintatik dan semantic untuk sub kelompok CMP, tetapi lagi-lagi masalahnya adalah perubahan tersebut tidak diberikan melalui sub kelompok yang diusulkan. Kenyataannya Blust membuat pokok yang sama. Blust bertanya-tanya apakah kita harus berasumsi bahwa perubahan yang ia dokumentasikan adalah hasil dari perubahan independen sepenuhnya, yang berasal dari penyimpangan. Bila demikian, ujar Blust, adalah sesuatu yang membingungkan mengapa perubahan dalam masalah harus berpusat pada bahasa Lesser Sunda dan Maluku Selatan dan Utara.
Menurut Blust, difusi adalah penjelasan yang paling masuk akal untuk distribusi yang dia kemukakan. Telah diketahui bahwa perubahan dapat terjadi melewati batasan-batasan sub kelompok utama. Dengan demikian perubahan fonologi yang secara luas dibagi antara bahasa Lesser sunda, Maluku selatan dan utara dan bagian selatan dari Semenanjung Vogelkop bisa dipastikan menjadi hasil dari hubungan antara bahasa Austronesia yang tidak memberikan afinitas genetik yang dekat.
Sub kelompok bahasa Melayu-Polinesia Tengah dari rumpun bahasa Austronesia, menghadapi permasalahan yang sama seperti kelompok Austronesia, dan yaitu sub kelompok rumpun bahasa Austronesia “ seseorang yang lebih suka tinggal dirumah” dan keberadaan pada tahap ini tidak dapat dianggap sebagai bukti dari sub kelompok Melayu-Polinesia-Tengah. Tidak seorangpun melihat pada keseluruhan hubungan dari bahasa Nusatenggara dan Timur timur dengan bahasa Maluku. Dengan demikian kita tidak mempunya gagasan yang nyata pada cabang urutan pertama didalam bahasa Melayu-Polinesia Tengah (CMP).
Kedua keturunan dari sub kelompok Melayu-Polinesia Timur adalah sub kelompok Halmahera selatan – Pulau Irian barat dan Oseanik. Kelompok ini terdiri dari semua bahasa Austronesia Halmahera dan berada dekat satelit dan beragam bahasa disepanjang pesisir utara semenanjung Volgekop dan Teluk Cendrawasih, Waropen dan semua bahasa Austronesia dari pulau Yapen dan satelit. Data yang tersedia untuk kebanyakan dari bahasa tidak cukup memadai, membuat sub pengelompokan menjadi sulit dan menimbulkan keraguan. Satu masalah penting yang harus dipecahkan mengenai batas antara bahasa CMP dan Halmahera selatan – Pulau Irian barat (SHWNG).
Blust (1978) membuat kriteria untuk sub kelompok Halmahera selatan – Pulau Irian barat (SHWNG) dan (Oseanik) Oc dari rumpun bahasa Austronesia dan tidak perlu diulang disini. Ringkasnya, Blust beranggapan bahwa beberapa hal dibawah ini adalah yang perubahan yang paling berguna untuk sub kelompok Halmahera Selatan – Pulau Papua Barat:
1. Penyingkaan kata postnasal (kehilangan sebuah vocal antara nasal dan jeda berikut, contoh: PMP *mata > PSHWNG *mta ‘mata’).
2. Perubahan dari *e > PSHWNG *o dalam suku kata kedua dari belakang.
3. Penggantian dari PMP *anak > PEMP *natu ‘anak’
Dalam cakupan sub kelompok Oseanik, Ross (1988:30) membuat daftar dari sepuluh perubahan fonologi yang membedakan bahasa Oseanik Inti POc dari bahasa Austronesia Inti (PAn). Akan tetapi, separuh dari perubahan fonologi ini juga berada di sub kelompok Halmahera selatan – Pulau Irian barat (SHWNG) yang juga terhubung dengan Melayu-Polinesia Timur Inti (PEMP). Bagaimanapun juga, lima perubahan ini terbagi secara ekslusif antara Melayu-Polinesia Timur Inti (PEMP) dan Oseanik Inti (POc) sebagai berikut:
PEMP
POc
(m)p
(m)b
(m)p, ŋp
(n)s
(n)z
(n)s
e
aw
O
ay
ey
E
m
m, ŋm
Dalam kaitan dengan perubahan fonologi antara PEMP dan Oseania kuno, kemudian kita berhubungan dengan empat penggabungan dan dua perpecahan, bukti yang memenuhi standar. Juga terdapat bukti leksikal dan morpho-sintaksis akan keberadaan sub kelompok Oseanik yang berada di Pawley (1972:2-3). Perkembangan dan pemisahan dari sub kelompok Oseanik dari Austronesia dibahas dalam bab berikutnya oleh Pawley dan Ross.
Implikasi Budaya-Sejarah
Penduduk Austronesia yang pertama dipercaya berasal dari daerah Cina selatan sebelum mereka berpindah dari daratan Asia untuk menetap disekitar Taiwan sekitar 5000-6000 tahun yang lalu. Mereka hidup relatip tanpa gangguan sebelum salah satu komunitas Taiwan-Austronesia, kemungkinan berasal dari tenggara, bergerak kearah Filipina selatan. Dengan cepat mereka bergerak secara bertahap ke semua daerah busur kepulauan Filipina. Dari sana, satu kelompok bergerak kearah barat daya , melalui Borneo dan menyusul Sumatra dan Jawa, dan menembus Semenanjung Malaya, Vietnam bagian timur dan Kamboja. Dari sana, mereka dipercaya mengikuti dua jalur utama, salah satu melalui Sulawesi dan kedalam daerah Seram-Ambon dan Timur-timur, dan yang lain kearah Halmahera dan Irian Jaya. Dari sanalah penduduk Austronesia dipercaya telah bergerak kearah timur sepanjang pesisir utara Papua Nugini, berakhir di busur kepulauan Bismarck (Britania baru dan Irlandia baru), dimana komunitas Pra sejarah Oseanik diperkirakan hidup tanpa ada gangguan sampai mereka siap untuk berpindah ke Pasifik
Kepustakaan
Adelaar, K.A. 1981. "Reconstruction of Proto-Batak Phonology". NUSA: Linguistic Studies in Indonesian and Languages in Indonesia, 10:1-20.
_____. 1985. "Proto-Malayic: The Reconstruction of Its Phonology and Parts of Its :exicon and Morphology". Disertasi PhD, University of Leiden.
_____. 1994. "The Classification of the Tamanic Languages". Dalam Tom Dutton and Darrell Tryon (ed.). Contact-induced change in Austronesian languages, pp.1-41. Berlin: Mouton de Gruyter.
Blust, Robert A. 1974. "Eastern Austronesian: a note". Working Papers in Linguistics, University of Hawaii, 6(4):101-107.
_____. 1977. "The Proto-Austronesian pronouns and Austronesian subgrouping". Working Papers in Linguistics, University of Hawaii, 9(2):1-15.
_____. 1978. "Eastern Malayo-Polynesian: a subgrouping argument". Dalam S.A. Wurm and Lois Carrington (ed.). Second international conference on Austronesian linguistics proceedings, Fascicle 1, Pacific Linguistics Series C No. 61, pp.181-234. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
_____. 1982. "The linguistic value of the Wallace line". Bijdragen tot de Taal-, Lande- en Volkenkunde, 138(2-3): 231-250.
_____. 1983-84. "More on the position of the languages of eastern Indonesia". Oceanic Linguistics, 22-23:1-28.
_____. 1985. "The Austronesian homeland: a linguistic perspective". Asian Perspectives, 26(1):45-67.
_____. 1990. "Central and Central-Eastern Malayo-Polynesian". Makalah di Conference on Maluku linguistics, University of Hawaii, March 1990.
Charles, M. 1974. "Problems in the reconstruction of Proto-Philippine phonology and the subgrouping of the Philippine languages". Oceanic Linguistics, 13:457-509.
Cowan, H.J.K. 1948. "Aanteekeningen betreffende de verhouding van het Atjehsch tot de Mon-Khmer-talen". Bijdragen tot de Taal, Lande- en Volkenkunde, 104:429-514.
_____. 1974. "Evidence of long vowels in early Acehnese". Oceanic Linguistics, 13:187-212.
Dempwolff, Otto. 1934-38. Vergleichende Lautlehre des austronesischen Wortschatzes. 3 vols. Berlin: Reimer.
Durie, Mark.
_____. 1989. "Proto-Chamic and Acehnese mid vowels: towards Proto-Aceh-Chamic". Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 53:100-114.
Dyen, Isidore. 1965. "A lexicostatistical classification of the Austronesian languages". Bloomington: Indiana University Publications in Anthropology and Linguistics, Memoir 19; supplement to International Journal of American Linguistics 25.
_____. 1990. "Homomeric lexical classification". Dalam Philip Baldi (ed.) Linguistic change and reconstruction methodology (Trends in Linguistics. Studies and Monographs 45), pp. 211-229. Berlin/New York: Mouton de Gruyter.
Esser, S.J. 1938. "Talen". Dalam Atlas van tropisch Nederland, 9-9b. Amsterdam: Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap.
Grimes, C.E. 1990. "Notes on Blust 1990". (Mimeo.)
Li, Paul Jen-kuei. 1980. "The phonological rules of Atayal dialects". Bulletin of the Institute of History and Philology, 51:349-405. Taipei: Academia Sinica.
_____. 1981. "Reconstruction of Proto-Atayalic phonology". Bulletin of the Institute of History and Philology, 52:235-301. Taipei: Academia Sinica.
_____. 1985. "The position of Atayal in the Austronesian family". Dalam Andrew Pawley and Lois Carrington (ed.). Austronesian linguistics at the 15th Pacific science congress, pp.257-280. Pacific Linguistics Series C No. 88. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
Mills, Roger F. 1975. "Proto-South Sulawesi and Proto-Austronesian phonology". PhD dissertation, University of Michigan. Ann Arbor: University Microfilms International.
Nothofer, B. 1986. "The Barrier Island languages in the Austronesian language family". Dalam Paul Geraghty, Lois Carrington dan S.A. Wurm (ed.). FOCAL II: Papers from the fourth international conference on Austronesian linguistics. Pacific Linguistics Series C No. 94, pp.87-109. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
_____. 1991. "Current interpretations of Western Malayo-Polynesian linguistic prehistory". Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association, 12:388-397.
_____. 1994. "The relationship between the languages of the Barrier Islands and the Sulawesi-Philippine languages". Dalam Tom Dutton and Darrell Tryon (ed.). Contact-induced change in Austronesian languages, pp.389-409. Berlin: Mouton de Gruyter.
Pawley, A.K. 1972. "On the internal relationships of Eastern Oceanic languages". Dalam R.C. Green and M. Kelly (ed.). Studies in Oceanic culture history, Vol. 3. Honolulu: Pacific Anthropological Records No. 13, Bernice P. Bishop Museum.
Reid, Lawrence A. 1982. "The demise of Proto-Philippines". Makalah dari the third international conference on Austronesian linguistics, Vol. 2, pp.201-216. Pacific Linguistics Series C No. 75. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
Ross, Malcolm D. 1988. "Proto Oceanic and the Austronesian languages of western Melanesia". Pacific Linguistics Series C No. 98. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
_____. 1994. "Some current issues in Austronesian linguistics". Dalam Darrell T. Tryon (ed.). Comparative Austronesian dictionary, pp.45-120. Berlin: Mouton de Gruyter.
Ruhlen, Merritt. 1987. A guide to the world’s languages. Stanford, California: Stanford University Press.
Stresemann, E. 1927. "Die Lautentsprechungen in den ambonischen Sprachen". Zeitschrift fur Eingeborenen-Sprachen, Supplement 10, Berlin.
Tryon, Darrell T. (ed.). 1994. Comparative Austronesian dictionary. Berlin: Mouton de Gruyter.
Tsuchida, S. 1976. Reconstruction of Proto-Tsouic phonology: Study of languages and cultures of Asia and Africa. Monograph Series 5, Tokyo: Institute for the Study of Languages and Cultures of Asia and Africa.
Zorc, R. David. 1977. "The Bisayan dialects of the Philippines: subgrouping and reconstruction". Pacific Linguistics Series C No. 44. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
_____. 1986. "The genetic relationships of Philippine languages". Dalam Paul Geraghty, Lois Carrington and S.A. Wurm (ed.). FOCAL II: Papers from the fourth international conference on Austronesian linguistics, pp.147-173. Pacific Linguistics Series C No. 94. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
Sumber : http://www.wacananusantara.org/content/view/category/0/id/557
Referensi
Penemuan dari keberadaan rumpun bahasa Austronesia pada abad ke tujuh belas, ketika anggota dari ekspedisi Schouten and Lemaire mengumpulkan kosa kata dari Futuna barat (Wallis dan Futuna) di Pasifik Selatan, yang kemudian diantaranya ditemukan kesamaan dengan bahasa Melayu. Tidak sampai abad ke sembilan belas, studi mengenai Austronesia menjadi citarasa sistematis, terutama karena hasil kerja para ahli bahasa Belanda pada Indonesia saat ini, dengan beberapa misionaris di Pasifik Selatan. Sebuah diskusi tentang sejarah penelitian linguistik Austronesia tidak terdapat disini. Cukup dikatakan bahwa kemajuan utama dalam studi Austronesia terjadi pada abad ini, dimulai dengan karya perbandingan sistematis oleh ahli bahasa seperti Stresemann (1927) dan Dempwolff (1934-38). Sejak saat itu ada sebagian besar penelitian sistematis yang dibawa ke sepanjang wilayah yang luas, dimana bahasa Austronesia dipakai.
Kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu, terdapat sejumlah sub pengelompokan hipotesa yang dilanjutkan oleh para ahli bahasa Austronesia. Hanya yang paling baru yang akan dipertimbangkan dalam rincian pembahasan ini, tujuan utama dari buku ini adalah untuk memberikan sub pengelompokan hipotesa rumpun bahasa Austronesia yang paling baru, melihat apa yang dianggap aman, dan subjek penginggalan dari penelitian yang berlanjut. Sebelum melakukan pembahasan, diperlukan untuk memasukkan beberapa pendahuluan keterangan, pertama pada susunan rumpun bahasa Austronesia, yang lain pada pertimbangan metodologi, khususnya pada metodologi sub pengelompokan linguistik.
Rumpun Austronesia
Rumpun bahasa Austronesia kemungkinan adalah rumpun bahasa terbesar di dunia, dengan 1.200 bahasa dan rata-rata 270 juta penutur. Berdasarkan pada studi terbaru (Tryon, ed. 1994) rumpun bahasa Austronesia terdiri dari bahasa yang memiliki puluhan juta penutur (Bahasa Melayu/ Indonesia, bahasa Jawa, dan Tagalog) secara mengejutkan, dengan sejumlah besar bahasa dengan hanya ratusan penutur. Hal ini belakangan menyebar di Oseania, yang mana penyebabnya diteliti lebih lanjut pada buku ini oleh Dutton. Jangkauan geografis dari rumpun Austronesia terlihat pada Peta 1. Dengan melihat sekilas pada peta akan terlihat bahwa bahasa Austronesia dipakai dari Madagaskar Barat sampai Pulau Paskah Timur. Bahasa tersebut dipakai hampir secara universal di Indonesia dan Filipina, di Singapura dan Malaysia, oleh penduduk pribumi di Taiwan, dan golongan kecil penduduk di Vietnam, Kamboja, dan busur Kepulauan Mergui di luar pesisir Birma (saat ini Myanmar). Lebih jauh ke timur, bahasa Austronesia dipakai hampir di seluruh Kepulauan Oseania dengan pengecualian pada daerah pedalaman dan kawasan pantai dari biduk Pulau Papua (Irian jaya dan Papua Nugini).
Metodologi
Metode pokok yang telah digunakan dalam subkelompok bahasa Austronesia adalah metode perbandingan-sejarah tradisional, yang dikembangkan secara besar pada abad yang lalu, dalam hubungannya dengan studi perbandingan pada bahasa Indo-Eropa. Singkatnya, metode ini secara sistematis membandingkan suara korespondensi tetap antarbahasa yang dibandingkan sebagai langkah pertama menuju rekonstruksi bahasa kuno yang diturunkan dari bahasa inang. Pada saat rekonstruksi dari bahasa kuno tercapai, bahasa individu dan satuan bahasa diuji untuk menentukan perubahan-perubahan (secara fonologi, morfosintatik, dan leksikal) yang menyatakan adanya hubungan keluarga dengan bahasa kuno. Di dalam perubahan-perubahan inilah subpengelompokan bergantung dan berjalan.
Ross (1994) telah membuat dua pengamatan yang sangat berkaitan, bagaimana perubahan-perubahan ini terbagi lintas bahasa. Ross mencatat pola perubahan lintas bahasa dalam dua cara yang berbeda, mencerminkan dua rangkaian pembangunan yang berbeda. Yang pertama, kelompok bahasa membagi ikatan diskret dari perubahan. Sebagai contoh, bahasa A ke bahasa Z, anggota dari rumpun bahasa kuno atau bahasa nenek moyang yang dikenal adalah *AZ, bahasa A-P akan membagi satu ikatan dari perubahan yang tidak terbagi oleh bahasa Q-Z dan sebaliknya. Bahasa ini kemudian akan terbagi dalam dua sub kelompok yang berbeda, AP dan QZ. Ini adalah penyebaran dari perubahan yang terjadi ketika bahasa telah terbagi oleh pemisahan, yaitu ketika dua atau lebih komunitas berbicara bahasa yang sama kemudian terpisah secara geografis. Bagaimanapun juga., ini bukanlah satu-satunya cara bahasa tervariasi. Bahasa dapat tervariasi tanpa pemisahan fisik melalui diferensiasi dialek dalam wilayah mereka sendiri. Dalam hal ini, sebagai ganti dari ikatan diskret perubahan, terdapat ikatan tumpang tindih yang membentuk sebuah rantai. Kedua fenomena distribusi ini dapat dilihat pada rumpun bahasa Austronesia, dan akan mempunyai akibat yang penting dari sub pengelompokan Austronesia saat ini. Walaupun metode perbandingan adalah alat yang sangat kuat, metode tersebut mempunyai beberapa keterbatasan, terutama dalam mengenali perubahan bahasa induksi - kontak (lihat bab oleh Tom Dutton dalam buku ini)
Metode yang lain yang digunakan pada sub kelompok bahasa adalah leksikostatistik, sebuah metode yang berdasar pada angka pengganti dari kosakata dasar sebuah bahasa dari waktu ke waktu. Metode ini dipakai oleh Dyen (1965) dalam klasifikasi leksikostatistiknya yang terkenal pada rumpun bahasa Austronesia. Walaupun metode ini berguna sebagai hampiran pertama, namun metode ini paling bermanfaat untuk bahasa yang berhubungan cukup dekat. Masalah utama metode ini, betapapun metode ini berdasar pada alasan bahwa semua bahasa berganti kosa kata secara terus menerus, yang dinyatakan sebagai kesalahan yang dapat dibuktikan. Dengan alasan ini, sub pengelompokan hipotesis yang dibicarakan dalam buku ini, semua berdasarkan pada teknik perbandingan sejarah komparatip.
Sub pengelompokan Hipotesis Terbaru
Rumpun bahasa Austronesia Inti, adalah bahasa nenek-moyang, asal dari bahasa Austronesia yang lain, diperkirakan oleh kebanyakan ahli, telah digunakan di pulau Taiwan pada lima ribu tahun yang lalu. Bahasa nenek moyang ini diperkirakan telah berubah dari waktu ke waktu menjadi empat sub kelompok utama.
Dengan kata lain, banyak ahli yang memperkirakan bahwa tiga dari keempat sub kelompok tingkatan tertinggi dari rumpun bahasa Austronesia telah dipakai di Taiwan sejak perkembangan rumpun bahasa Austronesia Inti. Seperti yang telah di bicarakan sebelumnya, bahasa terdiri dari dua proses yang berbeda - diferensiasi dialek secara bertahap, dan pemisahan. Kemungkinan besar bahwa bahasa dari sub kelompok Atayalic, Tsouic and Paiwanic timbul dari diferensiasi dialek secara bertahap dari rumpun bahasa Austronesia Inti, atau dari dialek keturunan sebelumnya yang dituturkan oleh penduduk yang tinggal dibalik bahasa tersebut, yang menjadi milik sub kelompok Melayu-Polinesia yang meninggalkan pulau. Perbedaan dalam proses pembangunan ini, akan lebih baik apabila ditandai dengan diagram dibawah ini.
Berdasarkan klasifikasi ini, semua rumpun bahasa Austronesia yang dituturkan di luar Taiwan berasal dari bahasa Melayu-Polinesia Inti.
Dengan ini, akan lebih berguna untuk mempertimbangkan gambaran Blust dari semua sub kelompok utama rumpun bahasa Austronesia dan lalu kembali dan mempertimbangkan bukti-bukti dari mana mereka berasal, bersama dengan beberapa sub kelompok alternatip, yang baru-baru ini ada dalam pembahasan oleh para Austronesianis.
Dalam posisi ini, akan lebih berguna bila mempertimbangkan gambaran Blust dari semua sub kelompok utama rumpun bahasa Austronesia lalu kembali mempertimbangkan bukti-bukti dari mana mereka berasal, bersama dengan beberapa sub kelompok alternatip, yang baru-baru ini dibahas oleh para Austronesianis. Asal usul dari Rumpun Austronesia yang lengkap ditunjukan oleh Blust.
Boleh jadi, awal yang tepat adalah memeriksa potongan utama dari bukti-bukti yang mengarahkan para ahli untuk membuat kesimpulan bahwa semua bahasa Austronesia diluar Taiwan, membuat sebuah sub kelompok tingkat pertama dari rumpun bahasa Austronesia. Blust (1977, 1982) mengemukakan sebagai berikut:
1. Kata ganti Austronesia Inti terbagi dalam dua kumpulan parsial yang berbeda, bentuk panjang (aktor/pasien) dan bentuk pendek (agen/pemilik). Bentuk pendek secara khas terdiri dari huruf vokal terakhir, ditambah huruf konsonan terdahulu yang berasal dari bentuk panjang bersesuaian (contohnya; *aku: ku, ‘bentuk tunggal pertama’). Perbandingan Formosa bagian dalam menunjukan sebuah sistem keturunan leluhur yang mana korespondensi resminya adalah teratur. Tetapi, disemua wilayah diluar Formosa kita menemukan bahwa bentuk pendek dari kata ganti bersesuaian pada *kamu ‘bentuk jamak kedua’ adalah khas, meskipun tidak secara eksklusif digunakan sebagai kata ganti tunggal, dijelaskan sebagai “ingsut kesopanan”. Blust beranggapan bahwa sokongan simetris dan kesederhanaan menyebabkan pemakaian kata ganti tersebut sebagai sebuah perubahan, dan juga sebuah potongan yang bernilai dari sub pengelompokan fakta. Memberikan ketidakwajaran pada perubahan dari bentuk jamak ke bentuk tunggal yang mempengaruhi bentuk pendek dari kata ganti dan bukan dalam bentuk panjang yang sama, yang mana secara sederhana menghubungkan pengunaan bentuk tunggal sari *-mu ke dalam sebuah perubahan dibandingkan kedalam rentetan perubahan yang memusat. Blust menyimpulkan bahwa perubahan *-mu ‘bentuk jamak ke-dua’ > -mu ‘bentuk tunggal ke-dua’kemudian diambil sebagai bukti untuk sub kelompok non-Formosa (bahasa Melayu-Polinesia) dari bahasa Austronesia (1982:235).
2. Pada buku sebelumnya, Blust (1977:11-12) menyebutkan bahwa potongan lebih lanjut dari bukti kata ganti mendukung pernyataannya. Mengenai bentuk panjang atau bentuk lengkap. Blust mengatakan bahwa Dahl telah merekonstruksi sebuah bentukan *a(N)ken ‘bentuk lengkap kata tunggal pertama’ sebagai tambahan untuk *aku. Blust menyatakan bahwa didalam bahasa yang berada diluar Taiwan, akhiran *-e menyatakan fokus tujuan, sedangkan pada tingkat Bahasa Austronesia Inti, satu-satunya makna yang dapat melekat dengan aman pada *a(N)ken adalah kepemilikan absolut, mengutip pada bahasa Austronesia Inti *iten v *kita ‘bentuk pertama kata tunggal’, and *amen v *kami ‘bentuk pertama kata jamak’
3. Bukti-bukti fonologi dari sub pengelompokan bahasa Austronesia diluar Taiwan kedalam sebuah sub kelompok urutan atas adalah sebagai berikut: Prekonsonan bahasa Austronesia Inti dan *S akhiran menghilang, hasil akhirnya adalah gabungan *a dari seluruh bahasa Melayu-Polinesia. Sebagai contoh:
PAn *kuSkuS > PMP *kuku ‘nail (of finger, toe)’,
PAn *tuqaS > PMP *tuqa ‘old’,
PAn *CumeS > PMP *tuma ‘clothes louse’.
4. Pada saat yang bersamaan, perubahan lainnya yang dicerminkan pada sepanjang wilayah Malayo-Polinesia adalah penggunaan dari kata awalan verbal Melayu-Polinesia Inti *paŋ-, and *maŋ- untuk membentuk kata kerja yang mana perantaranya adalah subjek dari kata kerja, yaitu pasien adalah sebagai subjek (Ross 1994; Reid, pers.comm.).
5. Sebagai tambahan fakta diatas, terdapat sejumlah perubahan fonologi yang lain dari sub kelompok Melayu-Polinesia Inti berasal. Termasuk penggabungan dari bahasa Austronesia Inti *t and *ts sebagai Melayu-Polinesia Inti t*. Bagaimanapun juga harus diingat bahwa bahasa Taiwan baik Amis dan Bunun sama-sama ikut andil dalam penggabungan fonologi ini. Betapapun mereka turut dibedakan dari cakupan area Melayu-Polinesia Inti 1-4 diatas.
Dyen (1990) tidak sepaham dengan pandangan bahwa semua bahasa Austronesia diluar Taiwan adalah anggota dari sub kelompok tunggal bahasa Melayu-Polinesia. Melibatkan metode leksikal yang disebut “klasifikasi leksikal homomerik” untuk “kumpulan rumpun berbeda yang tersebar persis pada kelompok bahasa yang sama yang dikatakan homomerus" (1990:212) Dyen mengklaim bahwa "Semua klasifikasi yang lain memisahkan bahasa Filipina dari Formosa pada tingkat yang tinggi, sedangkan fakta yang di tunjukan disini menurut bahasa Filipina sebagai keluarga terdekat dari rumpun bahasa Formosa, yang kemudian diperkirakan membentuk sebuah sub kelompok tunggal” (1990:224).
Dalam pembahasannya mengenai masalah sub pengelompokan rumpun bahasa Austronesia, Ross (1994)memperkirakan bahwa di Taiwan terdapat cakupan yang cukup baik tentang perjanjian sub kelompok urutan bawah. Li (1980, 1981, 1985) telah melakukan perbandingan kerja pada sub kelompok Atayalik, dan Tsuchida (1976) yang menghasilkan sebuah rekonstruksi yang kuat pada Tsouic kuno. Juga terdapat penjanjian publik pada anggota inti sub kelompok Paiwanik. Diluar ini, terdapat pertentangan dalam keanggotaan sub kelompok, terutama mengenai letak Rukai.
Sebagai contoh, kita bandingkan diagram asal-usul yang dihasilkan di Tsuchida (1976) dan Li (1985). Li (1985) mengemukakan tiga sub kelompok utama didalam Taiwan; kelompok utara, yang terdiri dari beberapa bahasa yang dihubungkan dengan bahasa lainnya dengan Paiwanic, Tsouic dan kelompok Paiwanic yang tereduksi. Disamping masalah dalam pengelompokan dengan bahasa Austronesia di Taiwan, terlihat jelas bahwa bahasa Austronesia Inti terbagi kedalam pertalian dialek dan bahasa sebelum penutur yang kemudian menjadi Melayu-Polinesia Inti meninggalkan Taiwan.
Ross (1994) mengusulkan bahwa kemungkinan pre- Melayu-Polinesia Inti telah berpindah dari pesisir tenggara Taiwan, wilayah bahasa Amis, sejak bahasa ini muncul dari bahasa Austronesia Inti *qamis ‘utara. Adalah hal yang mungkin apabila Amist memberikan nama ini pada penutur bahasa Melayu-Polinesia ke selatan yang mungkin mengingat mereka sebagai saudara mereka. Tentu saja pada kisaran linguistik, Reid (1982) mengingat bahwa cabang Amis - Ekstra Formosa diperlukan dalam diagram silsilah rumpun bahasa Austronesia.
Kita akan kembali pada perkiraan Reid akan sub kelompok Austronesia tingkat atas dibawah ini. Pertama, marilah kita kembali pada sub kelompok Melayu-Polinesia perkiraan Blust dan sub kelompok penyusun utamanya.
Disetiap cabang kanan dalam diagram pohon yang berada diatas, mewakili tuturan dari setiap daerah yang penduduknya telah berpindah tempat dari daera yang mapan, maka sebuah bahasa yang baru muncul dikarenakan perbedaan, hasil dari pemisahan. Tangkai sebelah kanan juga mewakili jalur perpindahan utama rumpun bahasa Austronesia, dari Taiwan ke Oseania. Telah tercatat, bahwa kebanyakan dari cabang sebelah kiri tidak mewakili bahasa Inti tersendiri, karena mereka mewakili “seseorang yang lebih suka tinggal di rumah” (Ross 1994). Pendapat Ross selanjutnya, terlihat seolah-olah bahasa Inti tetap telah terbagi dalam sebuah hubungan lokal sebelum permisahan terjadi. Dalam hal ini, dialek atau bahasa dari “mereka yang lebih suka tinggal dirumah” tidak mempunyai leluhur yang ekslusif. Malahan, mereka hanya membagi satu leluhur pada tangkai diatas, dengan bahasa dari mendiang para pendatang.
Bahasa Melayu-Polinesia Barat termasuk dari bahasa penduduk Filipina dan Indonesia barat, termasuk Chamorro, Palauan, Chamic dan Malagasi. Kita mengetahui sedikit tentang sub pengelompokan dari bahasa Melayu-Polinesia Barat, dan sebagai mana yang Blust (1985) nyatakan, tidak ada bukti yang jelas bahwa bahasa-bahasa ini membentuk sebuah sub kelompok rumpun bahasa Austronesia. Blust tidak sendiri dalam pemikiran ini.
Buktinya, tidak terdapat persetujuan yang nyata seperti bagaimana sub kelompok bahasa Melayu-Polinesia Barat among themselves. Ruhlen (1987), mendasarkan dirinya pada hasil kerja Blust, menetapkan anggota dari sub kelompok bahasa Melayu-Polinesia Barat kedalam sebelas bagian, seperti berikut:
1. Chamorro
2. Palauan
3. Yapese
4. Filipina Utara
5. Filipina Selatan
6. Meso-Philippine
7. Mindanao selatan
8. Sulawesi
9. Borneo
10. Sama-Bajau
11. Sundic
Ruhlen tidak memberikan pembenaran untuk sub-sub kelompok diatas, selain dari geografis saja. Harus dicatat bahwa Chamorro, Palauan dan Yapese dituturkan di Mikronesia sampai ke Filipina timur. Walaupun Chamorro dan Palauan jelas bukan Oseanik, kedudukan dari Yapese belum lah jelas.
Bahasa dari busur kepulauan Filipina (termasuk Kepulauan Batan antara Taiwan dan Filipina) dan beberapa kelompok bahasa yang dipakai di daerak utara kekuasaan Sulawesi telah dipercaya secara umum kedalam sub kelompok Filipina utama yang dianggap telah diturunkan dari Filipina kuno (Zorc 1977, 1986). Sub pengelompokan ini belum pasti bagaimanapun juga, Reid (1982:202) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang Charles (1974) tuliskan, dibagi oleh bahasa dari sub kelompok berdasarkan bilangan dari perbedaan fonemik untuk bahasa Austronesia Inti yang dikemukakan oleh Dyen and Dempwolff yang mana “tidak berdiri pada penelitian yang cermat dan kemungkinan hasil dari pinjaman yang tidak dikenal atau proses fonologi yang tidak jelas didalam sejarah bahasa yang terlibat”.
Reid (1982:212) juga tidak merasa senang tentang bahasa Mindanao Selatan, Blaan and Tboli (yang membuat Reid terus memikirkannya sampai saat ini, lihat dibawah), cukup terpisah dari sub kelompok urutan tertinggi yang menghubungkan bahasa Taiwan dan Filipina. Reid menemukan bahwa bahasa Mindanao Selatan tidak mencerminkan satu pun ciri-ciri dari perubahan bahasa Melayu-Polinesia, dan kemungkinan diturunkan dari “ Penutur Austronesia yang bermigrasi secara dini ke Formosa selatan”. Kita akan kembali pada pokok ini segera, dengan pembaharuan dari pemikiran Reid.
Zorc (1986)menantang sub pengelompokan Reid dan membela dugaan akan pengelompokan Filipina tunggal. Pernyataannya ini berdasarkan jumlah besar perubahan leksikal yang terbagi secara luas oleh bahasa dari busur kepulauan Filipina.
Para komentator telah berkata bahwa sulit untuk menilai kedudukan Zorc, karena tidak jelas apakah perubahan leksikal tidak berada dalam fakta materi kosa kata yang dipakai dari Melayu-Polinesia Inti tetapi hilang dalam bahasa tambahan Filipina. Reid sendiri berpendapat (1982:212):
“ketika seseorang berpindah ke Filipina Selatan…derajat pengaruh dari satu atau lebih bahasa Filipina tengah menjadi semakin meresap, sehingga menjadi semakin sulit untuk memisahkan lapisan didalam bahasa”.
Pemikiran Reid saat ini telah sedikit berubah, namun tetap berpusat pada sekitar masalah yang disebabkan oleh bahasa dari Filipina tengah, yang membagi beberapa perubahan dengan bahasa Melayu-Javanic, termasuk bentukan dari sebuah kelompok pengikat yang secara ekslusif dibagi oleh kedua kelompok ini. Posisi Reid saat ini (pers.comm) dapat dilihat dalam diagram.
Reid tidak begitu terkait dengan sub kelompok tingkatan lebih atas dalam diagram pohon sebagai usaha tingkat bawah untuk memecahkan masalah yang disebabkan oleh bahasa dari Filipina tengah dan hubungan mereka yang nyata dengan bahasa Melayu-Javanic, yang kebanyakan melalui migrasi ke arah selatan atau serangkaian migrasi.
Terdapat beberapa bentukan sub kelompok lainnya di daerah. Bahasa Melayu-Polinesia Barat. Blust (pers.comm. to Ross)memberikan contohnya sebagai berikut:
1. Moklen (di kepulauan mulai dari pesisir barat Thailand dan Birma)
2. Lampung (Sumatra bagian Tenggara)
3. Daratan Dayak (Pedalaman Borneo Barat-Daya)
4. Filipina Selatan/Sangir/Minahasan (Mindanao, N.Sulawesi)
5. Meso Philippine/Mongondow-Gorontalo (Filipina Tengah, Sulawesi Utara)
6. Sama-Bajau
7. Sumatra Barat Laut/Kepulauan Barrier (Gayo, Batak, Mentawi, Enggano)
8. Borneo Barat Laut
9. Sulawesi Tengah
10. Sulawesi Selatan
11. Tamanic (Borneo tengah)
12. Muna-Buton (Sulawesi Tenggara)
13. Malayu-Chamic (Acehnese, Chamic, Malayan, Sundanese)
14. Java-Bali-Sasak
15. Barito (Borneo selatan, Madagaskar).
Terdapat kemajuan yang dibuat oleh beberapa sub kelompok tingkat bawah pada masa sekarang, seperti:
1. Sub kelompok bahasa Melayu-Chamic, mencakup daerah substansial covering dari Indonesia bagian barat (Blust 1985) secara jelas berhubungan erat dengan sub kelompok Filipina tengah-Melayu-Jawa milik Reid, lihat juga Adelaar (1985), Cowan (1948, 1974) dan Durie (1989). Untuk Melayu-Javanic lihat Nothofer (1986, 1991, 1994). Dalam konteks ini hubungan yang lebih luas dari bahasa sub kelompok Jawa-Bali-Sasak dipakai oleh Esser (1938) tetap berkembang. Selagi hubungan Bali-Sasak terjalin dengan baik, hubungan dari kedua bahasa ini dengan bahasa Jawa belum dipertunjukan secara formal.
2. Sub kelompok Tamanic telah ditetapkan oleh Adelaar (1994)dalam edisi ini), menghubungkan bahasa Tamanic dari Borneo tengah dan bahasa dari Sulawesi selatan. sebelumnya telah diperlihatkan untuk membentuk sebuah sub kelompok oleh Mills (1975).
3. Sub kelompok Barito, di Borneo selatan, terkenal akan salah satu anggotanya, Malagasi. Sampai saat ini Malagasi dipercaya telah berada di Madagaskar sejak abad keempat-kelima. Adelaar menyatakan bahwa penanggalan tersebut setidaknya dua abad terlalu awal.
Nothofer (1990, 1994) telah membuat beberapa usulan baru mengenai Melayu-Polinesia Barat. Usulannya tersebut kebanyakan dari wilayah WMP pernah ditempati oleh penutur dari bahasa milik sebuah kelompok yang dia sebut “Paleo-Hesperonesia” dan kemudian kebanyakan dari wilayah tersebut ditempati oleh para penutur bahasa “Hesperonia”, yang kemudian menjadi budaya yang berpengaruh di Indonesia bagian barat, menggantikan bahasa Paleo-Hesperonesia. Beberapa dari bahasa ini bertahan sampai saat ini disekitar batas luar wilayah bahasa Melayu-Polinesia Barat. Dalam istilah Nothofer, bahasa dari Sulawesi utara dan Filipina tengah dan selatan, bersama dengan Sumatra barat laut dan Kepulauan Barrier, Borneo barat laut, Sulawesi tengah dan selatan adalah Paleo-Hesperonesia, sedangkan kelompok Melayu-Chamic, Jawa-Bali-Sasak dan Baritoadalah Hesperonesia. Ross (1994) menyatakan, betapapun banyaknya fakta yang Nothofer gunakan adalah leksikal dan juga mengalami kesulitan yang sama seperti fakta yang Zorc gunakan untuk Filipina. Lagi pula hipotesa milik Nothofer harus dianggap serius.
Sub kelompok sentral Melayu-Polinesia Barat dari rumpun bahasa Austronesia jauh lebih besar. Pertamakali dikemukakan oleh Blust (1974), kemudian mengangkat kembali bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur.oleh ahli yang sama (Blust 1978). Bahasa yang mendasari sub kelompok bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur. meluas ke Bahasa Bima, pulau Sumbawa, kearah timur melalui rantai Sunda Lesser Indonesia sejauh Kepulauan Aru, dan kearah barat laut Maluku tengah, termasuk busur kepulauan Sula. Sebagai tambahan, beberapa bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur yang masil kurang dikenal terlihat tersebar sepanjang pesisir selatan Irian. bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur dan urutan sub kelompoknya yang lebih bawah
Blust (1990:2) menyatakan bahwa “fakta-fakta untuk bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur dan untuk beberapa sub kelompok yang tidak dikenali sebelumnya, didalam bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur. sangatlah kuat bila dibandingkan dengan fakta-fakta untuk bahasa Malayo-Polinesia Tengah sendiri”. Seperti yang dapat kita lihat, bahasa Malayo-Polinesia Tengah "dibentuk" oleh sejumlah perubahan yang tumpang tindih yang mencakup kebanyakan baha.sa yang di permasalahkan. Distribusi dari perubahan yang tidak bersamaan ini memberikan ide pada Blust bahwa pada langkah awal dalam pendudukan rumpun bahasa Austronesia di Indonesia bagian Timur, bahasa tersebut saat ini ditunjuk untuk bahasa Malayo-Polinesia Tengah membentuk rantai dialek yang terpisah, yang mana masih digunakan sekitar 90 persen dari kosa kata dasar dengan bahasa yang bukan merupakan bagian dari rantai.
Dalam kaitan implikasi sejarah-budaya, setelah pemisahannya dengan from Melayu-Polinesia Barat Dalam (PWMP), Bahasa Malayu-Polinesia Tengah-Timur-Inti (PECMP) berkembang selama beberapa waktu dalam daerah yang relatip padat secara geografis, sebelum terpisah kedalam Bahasa Malayu-Polinesia Tengah Inti dan Bahasa Malayu-Polinesia-Timur-Inti (PEMP). Bahasa Malayu-Polinesia-Timur-Inti (PEMP) dan keturunan langsungnya, Oseanik Inti masing-masing berkembang dalam daerah yang relatip padat secara geografis sebelum terpisah kedalam bahasa keturunan. Sebagai pembanding, bahasa Irian Barat-Halmahera Selatan-Inti(PSHWNG) dan Malayu-Polinesia Tengah Inti (PCMP) tersebar dengan luas dalam jarak yang cukup, sebelum diferensiasi dialek ada. Jumlah yang besar dari perubahan linguistic timbul dan tersebar melalui rantai dialek Malayu-Polinesia Tengah dalam arah yang berlawanan, seperti yang mereka juga lakukan pada bahasa Irian Barat-Halmahera Selatan (SHWNG). Perubahan ini gagal menjangkau perubahan besar secara geografis yang paling jauh dari masing-masing pusat asal mereka, menghasilkan perbedaan dalam pengaturan pembenahan dalam koridor penyebaran pusat (Blust 1978). Hasilnya adalah pembagian yang tidak sempurna dari perubahan yang tersebar secara luas. Disisi yang lain, Blust menegakan bahwa beberapa perubahan yang berulang didalam bahasa Malayo-Polinesia Tengah kemungkinan berhubungan secara independen, karena merupakan hasil dari penyimpangan. Akhirnya setelah pembedaan pada rantai Malayo-Polinesia Tengah kedalam bahasa yang berbeda, terdapat migrasi yang terbatas dari sedikit penduduk di Maluku Selatan, Indonesia kearah pesisir selatan Semenanjung Kepala Burung di Pulau Irian.
Fakta akan keberadaan sub kelompok Malayo-Polinesia Tengah-Timur yang dikemukakan oleh Blust cukup substansial. Yaitu terdiri dari:
1. Pengurangan dari kelompok konsonan dalam reflex penggandaan kata bersuku satu
2. Perubahan fonologi tak beraturan dalam lima leksikal, 33 perubahan leksikal yang yang Nampak, dua persetujuan yang berstruktur besar yang mendukung perubahan, perubahan morfologi tak beraturan dalam empat leksikal pokok dan tujuh perubahan semantik
Blust menjelaskan bahwa hanya ada sedikit perbedaan dari Bahasa Melayu-Polinesia Inti dan Bahasa Malayo-Polinesia Tengah-Timur-Inti secara fonologikal. Bahasa Melayu-Polinesia Inti *c and *s digabungkan menjadi *s. Tetapi kesamaan gabungan terjadi pada kebanyakan bahasa Malayo-Polinesia Barat (WMP) dan pada semua bahasa Formosa. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, terdapat penurunan dari kelompok konsonan hetero-organik di dalam refleks dari pengulangan kata bersuku satu (kecuali jika kelompok tersebut terdiri dari nasal yang diikuti oleh jeda atau frikatip, yang mana nasal terasimilasi ketempat artikulasi dari jeda tersebut, tetapi tidak hilang).
Contoh:
PMP *bukbuk > PCEMP *bubuk
‘ampas kayu’
PMP *ñamñam > PCEMP *ñañam
‘enak, lezat’
PMP *mekmek > PCEMP *memek
‘remah-remah’
Beberapa bahasa WMP, sebagai contoh Bahasa Melayu mempunyai penyederhanaan kata yang sama, akan tetapi dalam pemikiran Blust,keseluruhan dari perubahan Malayo-Polinesia Tengah-Timur lebih tepat disebut sebagai hasil dari perubahan tunggal dalam bahasa turunan kedalama seluruh kelompok
Bukti lebih lanjut untuk sub kelompok Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur yang disebutkan oleh Blust (1990) sebgai berikut:
1. Perubahan fonologi tak beraturan dalam lima leksikal pokok:
PMP *uliq
PCEMP *oliq
‘kembali’
PMP *i-sai
PCEMP *i-sei
‘siapa?’
PMP *ma-qitem
PCEMP *ma-qet əm
‘hitam’
PMP *maRi
PCEMP *mai
‘datang’
PMP *tudan
PCEMP *todan
‘duduk’
2. Perubahan leksikal yang tampak dalam PCEMP
PMP *ka-labaw
PCEMP *kanzupay
‘tikus’
PCEMP *liqə
‘suara’
PCEMP *malu
‘cawat’
PMP *dilaq
PCEMP *maya
‘lidah’
PMP *surat
PCEMP *tusi
‘menggambar sebuah garis’
PMP *tawa
PCEMP *malip
‘tertawa’
PCEMP *saRa
‘menyapu, sapu’
PCEMP *kandoRa
‘kuskus’
PCEMP *mansar/mansər
‘marsupial’
PCEMP *keRa(nŋ)
‘kura-kura hawksbill ’
PMP *amuR
PCEMP *au
‘embun’
PCEMP *bai
‘membuat’
PMP *paen
PCEMP *bayan/payan
‘umpan’
PMP *hazani
PCEMP *da ŋi
‘dekat’
PCEMP *kese
‘berbeda’
PMP *dalem
PCEMP *laman
‘dalam’
PMP *paen
PCEMP *pani(n ŋ)
‘umpan’
PMP *muRmuR
PCEMP *pupuR
‘berkumur-kumur’
PMP *kapal
PCEMP *t əlu
‘tebal’
PCEMP *qumun
‘tungku bumi’
PMP *lakaw/panaw
PCEMP *ba
‘pergi’
PCEMP *balaŋ
‘sisi, bagian’
PMP *qa-lima
PCEMP *baRa
‘tangan’
PCEMP *lama
‘menutupi’
PCEMP *ŋaRa
‘bebek liar’
PCEMP *papaR
‘pipi’
PCEMP *paRa-
‘awalan timbal balik’
PMP *palihi
PCEMP *tambu
‘melarang’
PMP *hiup
PCEMP *upi
‘meniup’
PCEMP *waŋka
‘kano’
PCEMP *wari
‘menyanyi,lagu’
PMP *ma-esak
PCEMP *madar
‘matang, terlalu matang’
PMP *bahu
PCEMP *mapu
‘bau tidak sedap’
3. Perjanjian secara struktur:
Blust (1990) menegaskan bahwa terdapat dua sarana yang secara luas tersebar dalam Indonesia bagian barat dan Oseania, yaitu;
1. Penggunanan dari subjek penanda subjek proklitik pada kata kerja.
2. sebuah perbedaa secara analisis antara kepemilikan yang dapat/tidak dapat dicabut
Akan tetapi terdapat hubungan darah yang kurang kuat didalam morfem yang digunakan untuk menyatakan secara formal sistem yang sama – Dengan demikian sebuah hipotesa dari perkembangan yang memusat antara Melayu-Polinesia Tengah dan proklitik Oceanik tidak dapat dengan mudah disisihkan. Tentu saja Ross (1988:96ff.) juga menanyakan apakah terdapat bukti yang meyakinkan untuk nenek moyang langsung dari sub kelompok Melayu-Polinesia-Tengah, Irian Barat-Halmahera Selatan (SHWNG) dan Oseanik
4. Perubahan morfologi tak beraturan:
PMP *apa
PCEMP *sapa
‘apa?’
PMP *hepat
PCEMP *pat, *pati
‘empat’
PMP *ma-huab
PCEMP *mawab
‘menguap’
PMP *ma-hiaq
PCEMP *mayaq
‘malu’
Blust (1990) berpendapat bahwa fakta-fakta akan keberadaan sub kelompok bahasa Malayo-Polinesi Tengah-Timur-Inti (PCEMP) cukup kuat, sebagai potongan individu dari bukti yang kebanyakan tidak tergantung satu sama lainnya.Grimes (1990) telah membuat sebuah penilaian independen dari fakta bahasa Melayu-Polinesia Tengah-Timur (CEMP) dan menemukan bahwa Blust mempunyai bukti yang bagus, meskipun hanya sedikit dari perubahan leksikal yang merupakan perubahan pengganti.
Berkenaan pada sub kelompok Malayo-Polinesia-Tengah (CMP), Blust dan peneliti lainnya kurang merasa yakin. Ini adalah bahasa dari Sunda Lesser timur dari kelompok Bima-Sumba, dan dari Maluku Selatan dan tengah. Masalah yang dialami oleh sub kelompok ini tidak mengejutkan, lagi-lagi “seseorang yang lebih suka tinggal di rumah” bukannya kelompok pendatang. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, bentuk yang paling nyata dari sejarah fonologi dari bahasa CMP adalah tingkat yang mana ditemukan perubahan-perubahan yang sama pada kebanyakan bahasa. Pola dari perubahan ini mengusulkan bahwa PCMP melalui periode dari perkembangan yang terpisah dari masa bahasa Austronesia yang lain, sebelum bahasa tersebut tersebar dari Maluku ke Lesser Sunda. Banyak dari perbedaan ini yang saat ini tersebar luas dalam bahasa Maluku dan Lesser Sunda setelah pemisahan geografis dan merupakan hasil dari penyebaran dan di beberapa kasus penyimpangan.
Perubahan yang membedakan bahasa CMP menurut Blust (1990) adalah sebagai berikut:
1. Hilangnya huruf vokal awal kedua dari akhir hV- or *qV-. PMP tiga suku kata yang dimulai dengan sebuah huruf vocal atau huruf vocal yang diproses si pangkal tenggorokan *h- or *q- (e.g. *qateluR ‘egg’) tidak digunakan dalam bahasa Oseanik Inti (POc), tetapi bentuk yang sama dalam bahasa Melayu-Polinesia Timur (CMP) menyatakan bahwa suku kata pertama hilang dalam Malayo-Polinesia Tengah Inti (PCMP). Bagaimanapun, Blust mengakui bahwa bentuk-bentuk seperti Watubela /katlu/ membuat pernyataan ini semakin tidak meyakinkan.
2. Glide Truncation: monophthongisasi dari diphthong melalui truncantion of glides, seperti *-ay > -a; *-aw > -a; *-uy > -u adalah karakteristik yang paling khusus didalam sejarah fonologi dalam bahasa CMP. Perubahan ini tidak terlihat diluar Indonesia bagian barat. Akan tetapi, Blust mengakui bahwa kita memaksakan untuk membuat kesimpulan bahwa ini adalah hasil dari perubahan independen dalam beberapa bahasa. Truncation hanya muncul secara sporadic di Leti, Kisar dan Erai dan tidak dikenal di Pulau Timor, Roti, Savu or Sumba.
3. Penuturan postnasal: dalam kebanyakan bahasa CMP, jeda telah menjadi bersuara sesudah nasal. Adalah benar bahwa kedua gugus konsonan ini berada didalam sebuah morfem dan diluar gugus intermorphemik yang dibuat oleh penyingkatan ucapan.Seperti contoh:
PMP *ma-putiq > Kemak (Pulau Timor tengah), Bonfia (Seram timur) buti, Buru boti, ‘putih’.
Demikian halnya dengan dua perubahan yang telah dibahas sebelumnya, yang bagaimanapun terlihat bahwa penuturan postnasal juga merupakan perubahan rangkap.
4. Perubahan suara tak beraturan menggolongkan beberapa bahasa CMP:
1. PMP *pandan PCMP *pendan ‘pandanus’
Bagaimanapun, ketika contoh dari perkembangan tak beraturan ini dikenal dari Flores ke busur kepulauan Leti-Moa, nampaknya mereka tidak ditemukan di Maluku selatan atau utara
PMP *baqeRu PCMP *beqeRu ‘baru’
Perubahan Leksikal:
Blust menuliskan perubahan-perubahan berikut ini, yang menurutnya secara ekslusif terjadi pada bahasa Lesser Sunda dan Maluku
PCMP *balabu
‘samar-samar’
PCMP *balik
‘mencampur’
PCMP *beta
‘kayu potong’
PCMP *dada
‘rintangan’
PCMP *dodok
‘menusuk’
PCMP *letay
‘dibawah’
PMP *kawit
PCMP *gae
‘kait’
PCMP *kati
‘memanggil anjing’
PCMP *ketu
‘menarik,
PCMP *lemba
‘menggalah’
PCMP *lesi
‘melimpah-limpah’
PCMP *lesu
‘keluar’
PCMP *letay
‘jembatan’
PCMP *leu
‘belokan’
PCMP *liRi
‘suara’
PCMP *lolan
‘sepotong’
PCMP *lunu
‘bertumpuk’
PMP *i-nu
PCMP *mpae
‘dimana?’
PCMP *peu
‘terikat’
PMP *qasu
PCMP *masu
‘asap’
PCMP *silu
‘naik’
PMP *tahiq, *zaqit
PCMP *sora
‘menjahit’
PCMP *sula
‘tanduk’
PCMP *ta
‘tidak, bukan’
PMP *taliŋ a
PCMP *tilu
‘telinga’
Masalah utama dengan perubahan leksikal, sebagai mana yang dikemukakan disini adalah lagi-lagi mereka bukan merupakan perubahan penggantian.
Blust (1990) juga mengusulkan beberapa perubahan morphosintatik dan semantic untuk sub kelompok CMP, tetapi lagi-lagi masalahnya adalah perubahan tersebut tidak diberikan melalui sub kelompok yang diusulkan. Kenyataannya Blust membuat pokok yang sama. Blust bertanya-tanya apakah kita harus berasumsi bahwa perubahan yang ia dokumentasikan adalah hasil dari perubahan independen sepenuhnya, yang berasal dari penyimpangan. Bila demikian, ujar Blust, adalah sesuatu yang membingungkan mengapa perubahan dalam masalah harus berpusat pada bahasa Lesser Sunda dan Maluku Selatan dan Utara.
Menurut Blust, difusi adalah penjelasan yang paling masuk akal untuk distribusi yang dia kemukakan. Telah diketahui bahwa perubahan dapat terjadi melewati batasan-batasan sub kelompok utama. Dengan demikian perubahan fonologi yang secara luas dibagi antara bahasa Lesser sunda, Maluku selatan dan utara dan bagian selatan dari Semenanjung Vogelkop bisa dipastikan menjadi hasil dari hubungan antara bahasa Austronesia yang tidak memberikan afinitas genetik yang dekat.
Sub kelompok bahasa Melayu-Polinesia Tengah dari rumpun bahasa Austronesia, menghadapi permasalahan yang sama seperti kelompok Austronesia, dan yaitu sub kelompok rumpun bahasa Austronesia “ seseorang yang lebih suka tinggal dirumah” dan keberadaan pada tahap ini tidak dapat dianggap sebagai bukti dari sub kelompok Melayu-Polinesia-Tengah. Tidak seorangpun melihat pada keseluruhan hubungan dari bahasa Nusatenggara dan Timur timur dengan bahasa Maluku. Dengan demikian kita tidak mempunya gagasan yang nyata pada cabang urutan pertama didalam bahasa Melayu-Polinesia Tengah (CMP).
Kedua keturunan dari sub kelompok Melayu-Polinesia Timur adalah sub kelompok Halmahera selatan – Pulau Irian barat dan Oseanik. Kelompok ini terdiri dari semua bahasa Austronesia Halmahera dan berada dekat satelit dan beragam bahasa disepanjang pesisir utara semenanjung Volgekop dan Teluk Cendrawasih, Waropen dan semua bahasa Austronesia dari pulau Yapen dan satelit. Data yang tersedia untuk kebanyakan dari bahasa tidak cukup memadai, membuat sub pengelompokan menjadi sulit dan menimbulkan keraguan. Satu masalah penting yang harus dipecahkan mengenai batas antara bahasa CMP dan Halmahera selatan – Pulau Irian barat (SHWNG).
Blust (1978) membuat kriteria untuk sub kelompok Halmahera selatan – Pulau Irian barat (SHWNG) dan (Oseanik) Oc dari rumpun bahasa Austronesia dan tidak perlu diulang disini. Ringkasnya, Blust beranggapan bahwa beberapa hal dibawah ini adalah yang perubahan yang paling berguna untuk sub kelompok Halmahera Selatan – Pulau Papua Barat:
1. Penyingkaan kata postnasal (kehilangan sebuah vocal antara nasal dan jeda berikut, contoh: PMP *mata > PSHWNG *mta ‘mata’).
2. Perubahan dari *e > PSHWNG *o dalam suku kata kedua dari belakang.
3. Penggantian dari PMP *anak > PEMP *natu ‘anak’
Dalam cakupan sub kelompok Oseanik, Ross (1988:30) membuat daftar dari sepuluh perubahan fonologi yang membedakan bahasa Oseanik Inti POc dari bahasa Austronesia Inti (PAn). Akan tetapi, separuh dari perubahan fonologi ini juga berada di sub kelompok Halmahera selatan – Pulau Irian barat (SHWNG) yang juga terhubung dengan Melayu-Polinesia Timur Inti (PEMP). Bagaimanapun juga, lima perubahan ini terbagi secara ekslusif antara Melayu-Polinesia Timur Inti (PEMP) dan Oseanik Inti (POc) sebagai berikut:
PEMP
POc
(m)p
(m)b
(m)p, ŋp
(n)s
(n)z
(n)s
e
aw
O
ay
ey
E
m
m, ŋm
Dalam kaitan dengan perubahan fonologi antara PEMP dan Oseania kuno, kemudian kita berhubungan dengan empat penggabungan dan dua perpecahan, bukti yang memenuhi standar. Juga terdapat bukti leksikal dan morpho-sintaksis akan keberadaan sub kelompok Oseanik yang berada di Pawley (1972:2-3). Perkembangan dan pemisahan dari sub kelompok Oseanik dari Austronesia dibahas dalam bab berikutnya oleh Pawley dan Ross.
Implikasi Budaya-Sejarah
Penduduk Austronesia yang pertama dipercaya berasal dari daerah Cina selatan sebelum mereka berpindah dari daratan Asia untuk menetap disekitar Taiwan sekitar 5000-6000 tahun yang lalu. Mereka hidup relatip tanpa gangguan sebelum salah satu komunitas Taiwan-Austronesia, kemungkinan berasal dari tenggara, bergerak kearah Filipina selatan. Dengan cepat mereka bergerak secara bertahap ke semua daerah busur kepulauan Filipina. Dari sana, satu kelompok bergerak kearah barat daya , melalui Borneo dan menyusul Sumatra dan Jawa, dan menembus Semenanjung Malaya, Vietnam bagian timur dan Kamboja. Dari sana, mereka dipercaya mengikuti dua jalur utama, salah satu melalui Sulawesi dan kedalam daerah Seram-Ambon dan Timur-timur, dan yang lain kearah Halmahera dan Irian Jaya. Dari sanalah penduduk Austronesia dipercaya telah bergerak kearah timur sepanjang pesisir utara Papua Nugini, berakhir di busur kepulauan Bismarck (Britania baru dan Irlandia baru), dimana komunitas Pra sejarah Oseanik diperkirakan hidup tanpa ada gangguan sampai mereka siap untuk berpindah ke Pasifik
Kepustakaan
Adelaar, K.A. 1981. "Reconstruction of Proto-Batak Phonology". NUSA: Linguistic Studies in Indonesian and Languages in Indonesia, 10:1-20.
_____. 1985. "Proto-Malayic: The Reconstruction of Its Phonology and Parts of Its :exicon and Morphology". Disertasi PhD, University of Leiden.
_____. 1994. "The Classification of the Tamanic Languages". Dalam Tom Dutton and Darrell Tryon (ed.). Contact-induced change in Austronesian languages, pp.1-41. Berlin: Mouton de Gruyter.
Blust, Robert A. 1974. "Eastern Austronesian: a note". Working Papers in Linguistics, University of Hawaii, 6(4):101-107.
_____. 1977. "The Proto-Austronesian pronouns and Austronesian subgrouping". Working Papers in Linguistics, University of Hawaii, 9(2):1-15.
_____. 1978. "Eastern Malayo-Polynesian: a subgrouping argument". Dalam S.A. Wurm and Lois Carrington (ed.). Second international conference on Austronesian linguistics proceedings, Fascicle 1, Pacific Linguistics Series C No. 61, pp.181-234. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
_____. 1982. "The linguistic value of the Wallace line". Bijdragen tot de Taal-, Lande- en Volkenkunde, 138(2-3): 231-250.
_____. 1983-84. "More on the position of the languages of eastern Indonesia". Oceanic Linguistics, 22-23:1-28.
_____. 1985. "The Austronesian homeland: a linguistic perspective". Asian Perspectives, 26(1):45-67.
_____. 1990. "Central and Central-Eastern Malayo-Polynesian". Makalah di Conference on Maluku linguistics, University of Hawaii, March 1990.
Charles, M. 1974. "Problems in the reconstruction of Proto-Philippine phonology and the subgrouping of the Philippine languages". Oceanic Linguistics, 13:457-509.
Cowan, H.J.K. 1948. "Aanteekeningen betreffende de verhouding van het Atjehsch tot de Mon-Khmer-talen". Bijdragen tot de Taal, Lande- en Volkenkunde, 104:429-514.
_____. 1974. "Evidence of long vowels in early Acehnese". Oceanic Linguistics, 13:187-212.
Dempwolff, Otto. 1934-38. Vergleichende Lautlehre des austronesischen Wortschatzes. 3 vols. Berlin: Reimer.
Durie, Mark.
_____. 1989. "Proto-Chamic and Acehnese mid vowels: towards Proto-Aceh-Chamic". Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 53:100-114.
Dyen, Isidore. 1965. "A lexicostatistical classification of the Austronesian languages". Bloomington: Indiana University Publications in Anthropology and Linguistics, Memoir 19; supplement to International Journal of American Linguistics 25.
_____. 1990. "Homomeric lexical classification". Dalam Philip Baldi (ed.) Linguistic change and reconstruction methodology (Trends in Linguistics. Studies and Monographs 45), pp. 211-229. Berlin/New York: Mouton de Gruyter.
Esser, S.J. 1938. "Talen". Dalam Atlas van tropisch Nederland, 9-9b. Amsterdam: Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap.
Grimes, C.E. 1990. "Notes on Blust 1990". (Mimeo.)
Li, Paul Jen-kuei. 1980. "The phonological rules of Atayal dialects". Bulletin of the Institute of History and Philology, 51:349-405. Taipei: Academia Sinica.
_____. 1981. "Reconstruction of Proto-Atayalic phonology". Bulletin of the Institute of History and Philology, 52:235-301. Taipei: Academia Sinica.
_____. 1985. "The position of Atayal in the Austronesian family". Dalam Andrew Pawley and Lois Carrington (ed.). Austronesian linguistics at the 15th Pacific science congress, pp.257-280. Pacific Linguistics Series C No. 88. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
Mills, Roger F. 1975. "Proto-South Sulawesi and Proto-Austronesian phonology". PhD dissertation, University of Michigan. Ann Arbor: University Microfilms International.
Nothofer, B. 1986. "The Barrier Island languages in the Austronesian language family". Dalam Paul Geraghty, Lois Carrington dan S.A. Wurm (ed.). FOCAL II: Papers from the fourth international conference on Austronesian linguistics. Pacific Linguistics Series C No. 94, pp.87-109. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
_____. 1991. "Current interpretations of Western Malayo-Polynesian linguistic prehistory". Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association, 12:388-397.
_____. 1994. "The relationship between the languages of the Barrier Islands and the Sulawesi-Philippine languages". Dalam Tom Dutton and Darrell Tryon (ed.). Contact-induced change in Austronesian languages, pp.389-409. Berlin: Mouton de Gruyter.
Pawley, A.K. 1972. "On the internal relationships of Eastern Oceanic languages". Dalam R.C. Green and M. Kelly (ed.). Studies in Oceanic culture history, Vol. 3. Honolulu: Pacific Anthropological Records No. 13, Bernice P. Bishop Museum.
Reid, Lawrence A. 1982. "The demise of Proto-Philippines". Makalah dari the third international conference on Austronesian linguistics, Vol. 2, pp.201-216. Pacific Linguistics Series C No. 75. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
Ross, Malcolm D. 1988. "Proto Oceanic and the Austronesian languages of western Melanesia". Pacific Linguistics Series C No. 98. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
_____. 1994. "Some current issues in Austronesian linguistics". Dalam Darrell T. Tryon (ed.). Comparative Austronesian dictionary, pp.45-120. Berlin: Mouton de Gruyter.
Ruhlen, Merritt. 1987. A guide to the world’s languages. Stanford, California: Stanford University Press.
Stresemann, E. 1927. "Die Lautentsprechungen in den ambonischen Sprachen". Zeitschrift fur Eingeborenen-Sprachen, Supplement 10, Berlin.
Tryon, Darrell T. (ed.). 1994. Comparative Austronesian dictionary. Berlin: Mouton de Gruyter.
Tsuchida, S. 1976. Reconstruction of Proto-Tsouic phonology: Study of languages and cultures of Asia and Africa. Monograph Series 5, Tokyo: Institute for the Study of Languages and Cultures of Asia and Africa.
Zorc, R. David. 1977. "The Bisayan dialects of the Philippines: subgrouping and reconstruction". Pacific Linguistics Series C No. 44. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
_____. 1986. "The genetic relationships of Philippine languages". Dalam Paul Geraghty, Lois Carrington and S.A. Wurm (ed.). FOCAL II: Papers from the fourth international conference on Austronesian linguistics, pp.147-173. Pacific Linguistics Series C No. 94. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
Sumber : http://www.wacananusantara.org/content/view/category/0/id/557
Tidak ada komentar:
Posting Komentar