Oleh: Richadiana Kadarisman Kartakusuma M.Hum
(Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional)
1. Manggala
Membicarakan kepercayaan pribumi dan permasalahannya bertaut salah satu isi dari wujud kebudayaan. Karena kepercayaan adalah sistem religi yang bersifat inti dari semua kebudayaan di seluruh belahan bumi, baik yang kecil, terisolasi, sederhana, maupun besar, kompleks dan maju. Noerhadi Magetsari (l980/1981) menuturkan:
“... dilihat dari bekas-bekas penghidupan yang ditinggalkan manusia, kita lihat bahwa bagian terbesar dari peninggalan berupa kehidupan keagamaan. Untuk keperluan keagamaannya manusia tidak segan-segan untuk melukis dinding yang 5-7 meter tingginya, dalam keadaan kegelapgulitaan gua, mendirikan bangunan bangunan besar yang kalau dilihat dari teknologi modernpun sangat sukar untuk melaksanakannya. Sebaliknya peninggalan dan kehidupan sehari-hari sedikit sekali bekasnya...”.
Demikian Chr. Dowson (cf., Noerhadi Magetsari l982: 498) menyatakan:
“... we cannot understand the inner form of a society, unless we understand the religion; we cannot understand its cultural achievements unless we understand the religion beliefs that lie behind them. But, in all ages creative works of a culture are due to a religious inspiration and dedicated to religious end...”.
Ungkapan-ungkapan para sarjana tersebut mencerminkan betapa pentingnya unsur kepercayan yang tidak semata dirujuk keagamaan semata, tetapi lebih dari itu yakni simbol kepribadian yang menjadi jiwa dan menjiwai kebudayaan. Berbicara kebudayaan tanpa lebih dulu memahami sistem kepercayaan (religious belief) akan menjadi sia-sia belaka. Ke dalam pengertian tegas, kepercayaan adalah suksma yang menghidupi kebudayaan dan embrio yang melahirkan kepribadian suatu bangsa. Kepercayaan tidak sekedar agama (part) melainkan seluruh bagian partwhole yang merupakan sistem di dalam kepribadian yang bertahta dalam kebudayaan individu atau kelompok masyarakat.
Dari paradigma arkeologi, unsur kepercayaan dipelajari melalui warisan aktivitas budaya masa lalu berupa record mencakupi data tekstual (memuat tulisan) dan kontekstual (tanpa tulisan). Sesuai tujuan, tulisan memaparkan tangguhnya kepribadian nenek moyang Nusantara juga upaya merenungkan, memahami dan mengerti nilai dan makna kepribadian budaya bangsa baik yang tersurat maupun tersirat. Sebab untuk melangkah ke depan, manusia hendaknya mengevaluasi peristiwa yang pernah terjadi, sejalan takdir sebagai bangsa dimana kita berada, berasal dari mana. Layaknya ungkapan the past is the key to the present menyiratkan bahwa masa lalu adalah akar masa kini, dan masa kini adalah penentu masa depan.
Pertama dibicarakan pengertian kepercayaan, inti yang menjiwai kebudayaan; saling menunjang dengan data warisan aktivitas budaya nenek moyang Nusantara sesuai dengan kepentingan. Data tekstual maupun kontekstual yang ditampilkan bertaut dengan isi ajaran (tekstual) dijalin sedemikian rupa saling menunjang dan saling menerangkan. Secara lebih khusus Majhapahit pada periode menuju akhir (abad ke XIV Masehi) akan lebih nampak mewarnai di sini, masa yang menandai puncak kejayaan kebangkitan kepercayaan pribumi berkaitan dengan gejala millenarisme. Disamping itu, Sunda, pada periode kontemporer (dengan Majhapahit) sebagian besar warisan aktivitas budayanya (kontekstual) secara universal mencirikan corak-corak keagamaan asli pribumi. Di Tatar Sunda, corak budaya Megalitik sangat terasa kental kehadirannya sebagai kontinuitas yang berlanjut sejak awal kehadirannya hingga ke periode Klasik (Hindu-Buda) dan inovasi Islam. Kedua, menampilkan bukti-bukti hasil pengalaman yang menjadi kepribadian nenekmoyang Nusantara dan yang diambil menjadi percontoh utama Bali. Mengapa Bali? Karena masyarakat Bali (selain Kanekes) dengan keberadaannya kini tetap melangsungkan unsur kepercayaan asli pribumi, di dalam selubung Hindu-Dharmanya.
2. Sambandha
2.1. Kebangkitan Kepercayaan Asli: Suatu Reaktualisasi
Kepercayaan asli pernah diungkapkan Rachmat Soebagyo (l981:1) dengan istilah agama asli yaitu “... kerochanian yang khas dari satuan suku atau bangsa yang timbul dan tumbuh secara spontan bersama sukubangsa itu sendiri ...”.
Ungkapan itu memberikan pengertian bahwa kepercayaan asli tumbuh berkembang sejak awal bangsa Nusantara hadir di bumi, bahkan sebelum bertandang inovasi Hindu-Buda yang mengembangkan Siwa–Buda, jauh sebelum kehadiran inovasi Islam. Perkembangan selanjutnya kepercayaan asli pribumi bangkit kian pesat pada abad ke XV Masehi dan mempengaruhi Siwa-Buda yang diadaptasi menjadi agama negara absolut (kerajaan), khususnya di wilayah-wilayah yang dipengaruhi Hindu-Buda (Nusantara barat).
Kebangkitan kepercayaan asli menyebabkan Siwa-Buda mengalami perubahan dan kemunduran “total”. Pemerintah kerajaan berusaha memperkokoh kedudukan Siwa-Buda sebagai agama negara dengan menyebarluaskan ciri-ciri Siwa dengan harapan masyarakat mengingat kembali ke agama negara tersebut.
Beberapa prasasti masa Majapahit, diantaranya prasasti Samirono (1370 Saka 1438 Masehi); Prasasti Palemaran (1371 Saka/1439 Masehi); Prasasti Tamyajeng (1380 Saka/1448 Masehi), memuat keterangan tentang upaya untuk memperkokoh kedudukan agama Siwa-Buda dengan cara menghadirkan Puruhita (pendeta istana yang bertugas sebagai penasehat keagamaan); mengangkat salah satu ciri perwujudan Dewa Siwa yaitu arca linggaatau phallus(Soekarto 1983: 176-180; Hasan Djafar 1986: 254-256).
Rupanya, upaya memperkokoh kedudukan agama Siwa nampak tidak mampu membendung bangkitnya kepercayaan asli pribumi. Faktor kebangkitan kepercayaan asli adalah situasi dan kondisi sosial politik kerajaan yang mengalami kegoncangan. Di satu pihak kegoncangan dari dalam yang diwarnai perang saudara berlarut-larut; di lain pihak adalah hadirnya inovasi Islam di Jawa sebagai ideologi baru.
Ancaman kehadiran Islam (ideologi baru) abad ke XV Masehi diungkapkan di dalam beberapa sumber, diantaranya dicatat oleh Tome Pirez (Cortesao 1944:197) yang menyebutkan masa pemerintahan Sri Jayadewata (Pakwan Pajajaran) di pantai utara (antara lain Cimanuk-Cirebon) Tatar Sunda banyak berdiam orang-orang Islam, namun sejauh itu pengaruhnya belum sampai ke ibukota. Karyasastra Carita Parahiyangan yang disalin abad ke XVI Masehi (Atja l968) memberitakan bahwa saat itu situasi kerajaan aman tentram tidak terganggu musuh gangal (= kasar/ laskar/ tentara) dan musuh alit (= halus/ideologi).
Rupanya pengaruh Islam di Majapahit (kontemporer dengan Pakwan Pajajaran) lebih gencar. Majapahit sebagai negara teokratis agraris maritim, kekuasaannya mencakup hingga wilayah pantai utara sebagai kota-kota pelabuhan telah dipengaruhi dan memeluk agama baru tersebut, akibatnya banyak yang negara-negara daerah yang dipimpin oleh bhratara melepaskan diri membentuk kekuasaan sebagai negara Islam. Lambat laun mempengaruhi pedalaman tempat dimana terletak pusat kerajaan.
Islamisasi dan kondisi sosial-politik menyebabkan timbul gerakan millenarisme di dalam tubuh dan lapisan masyarakat ketika itu. Millenarisme adalah konsep keinginan untuk mendatangkan yuga (era) atau negara sempurna dengan pranata yang baik, karena pranata yang berlaku saat itu dianggap berada dalam kondisi buruk (Daud Aris Tanudirjo 1986). Gerakan millenarisme memperoleh tanggapan positif segenap masyarakat yang sebagian besar penganut kepercayaan asli, sehingga memperkokoh kedudukan dan memperluas sayap pengaruhnya di tengah maraknya Siwa Buda.
Demikianlah kepercayaan asli pribumi yang berkembang sebelum agama Siwa-Buda itu, memiliki konsep bahwa alam semesta didiami mahluk-mahluk halus dan roh-roh. Selain itu alam dianggap memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan manusia atau adikodrati. Karena itu manusia di bumi selalu berusaha menjalin hubungan dengan kekuatan yang berada di luar dirinya, agar diberi kesejahteraan dan kesuburan. Usaha dan tujuan tersebut dicapai melalui simbol dan lambang, karena simbol dan lambang akan mempermudah pemahaman dan penggambaran sesuatu yang adikodrati. Simbol dan lambang di sini berfungsi sebagai pengikat solidaritas individu/kelompok penganut kepercayaan suatu religi (Koentjaraningrat 1986; Noerid Haloei Radam 2001).
Anggapan adanya mahluk halus dan roh merupakan unsur keyakinan, mencakup konsepsi tentang dewa, roh, baik dan roh jahat serta konsepsi tentang kosmos (jagat alit dan jagat ageung). Konsep-konsep spiritual yang menyebabkan timbulnya keinginan dan usaha manusia mengadakan hubungan jagat semesta. Dengan landasan pemikiran selalu terjalin hubungan yang selaras antara unsur-unsur mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran. Seiring dengan itu hadir upacara-upacara khusus yang ditujukan kepada pemujaan arwah nenek moyang (nenekmoyang yang telah didewakan). Kepercayaan ini tidak sekedar menyebar dan meluas pada pribumi bangsa Nusantara juga di Asia Tenggara (a.l. Burma, Laos,Vietnam) (Groslier 1961).
Gejala millenarisne pada masa Majhapahit akhir (abad ke XIV Masehi) merupakan puncak yang menandai kebangkitan kepercayaan asli pribumi yang sebenarnya sejak awal secara tersirat senantiasa menjiwai konsep religi hingga masa berkembangnya Siwa-Buda pada masa Klasik. Diantaranya adanya perbedaan fungsi bangunan suci yang disebut candi, antara India dan Nusantara (Soekmono l977); berkembangnya kepercayaan bahwa raja keturunan langsung nenek moyang yang telah didewakan (diperdewa).
Menurut konsep kepercayaan pribumi, tempat manusia melangsungkan kehidupan berbudaya disebut buana panca tengah. Sejalan fungsi kedudukannya di jagat semesta akan senantiasa dipengaruhi tenaga atau kekuatan bersumber pada penjuru mata angin, bintang, bulan dan planet. Kesejahteraan dan kemakmuran terselenggara manakala terjadi kesejajaran antara mikrokosmos dan makrokosmos (Heine Geldern 1967).
Refleksi konsep kosmologi tampak pada susunan bangunan dan benda-benda yang dianggap suci. Tatanannya disesuaikan dengan susunan jagat semesta, antara lain orientasi bangunan yang diarahkan ke penjuru mata angin. Dalam konsep ini berlaku anggapan bahwa matahari sebagai tata surya memiliki kekuatan magis yang senantiasa dipancarkan ke seluruh penjuru mata angin jagat semesta. Karena itu arah matahari terbit dipercaya memiliki potensi besar sebagai sumber kehidupan; sedangkan arah matahari terbenam dianggap arah kematian dan berkurangnya kekuatan.
Konsep itu diungkapkan di dalam menentukan orientasi penguburan. Orientasi si mati yang diarahkan ke timur-barat atau barat-timur, sesuai anggapan bahwa arah tersebut merupakan arah magis. Di dalam peristiwa penguburan menempatkan kepala si mati di timur merupakan refleksi dari anggapan arah timur merupakan asal nenek moyang. Agar orang yang telah meninggal itu diharapkan dapat kembali ke tempat asal; sedangkan penguburan dengan menempatkan kepala si mati di barat sesuai anggapan bahwa barat adalah benar-benar arah kematian (Quaritch Wales l953).
Pemujaan kepada gunung sama halnya dengan kultus kepada matahari. Gunung direfleksikan terhadap susunan bangunan dan atau orientasi penguburan si mati. Tatanan atau susunan bangunan dengan konsep pemujaan dewa gunung itu sebenarnya telah diawali sejak budaya (tradisi) megalitik. Pada umumnya bangunan yang didirikan ditujukan sebagai sarana atau media pemujaan arwah nenek moyang. Selaras inti kepercayaan tentang adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati, terutama adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraaan dan kesuburan kehidupan manusia di bumi. Jasad seseorang yang telah mati dipusatkan pada bangunan batu kemudian dijadikan medium pemujaan tahta kedatangan serta lambang si mati (Quaritch Wales 1953).
Gunung merupakan unsur yang didewakan adalah “the Mountain of God” seperti halnya anggapan terhadap adanya keturunan Dewa Matahari “Children of the Sun” pada tradisi budaya Megalitik. Simbol-simbol yang merupakan unsur pemujaan ini berlaku universal pada masanya namun pilihan utama bergantung kepada kondisi dan situasi lingkungan kebudayaan. Orientasi bangunan dengan konsep puncak gunung (Chtonis) senarai tujuan dan harapan memperoleh kesejahteraan dan kesuburan. Gunung dipandang simbol tahta persemayaman nenek moyang (Sanghiyang Acalapati). Penempatannya diarah-kan ke puncak gunung, atau langsung diletakkan pada tubuh gunung (imposisi) sementara bangunan dimodifikasi seakan-akan menyandar ke tubuh gunung (replika).
Contoh paling menarik adalah mempopulerkan lingga juga surya majhapahit seperti terdapat pada kompleks Candi Panataran, Candi Rimbi, dan Candi Jabung. Namun konsep tertua penerapan Dewa Matahari sebenarnya telah ada sejak Kerajaan Kutei (abad ke- V Masehi) di Kalimantan Timur. Salah satu prasasti yang dipahatkan pada tonggak kurban (Yupa) oleh Mulawarman menyebut bahwa: “... sang maharaja Kundungga yang amat mulia mempunyai putra yang mashur, yang seperti Angsuman (Dewa Matahari).... “. Membuktikan tokoh Kundungga belum memeluk Hindu karena nama Kundungga tidak pernah ada di dalam peradaban Hindu (Poerbatjaraka l951: 10). Sedangkan putranya (Aswawarman) disimbolkan sebagai Angsuman (epithet Veda Kuno) yang disebut Suryya merupakan bentuk antropomorfis matahari yang senantiasa menyinari semesta kehidupan bumi.
Sejumlah besar sisa aktivitas budaya di gunung Pananggungan, gunung Arjuna dan Tambakwatu (Pasuruan) adalah saksi berkembangnya kebangkitan unsur kepercayaan asli tersebut dengan ciri gaya seni yang jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya (Majhapahit akhir – milenerisme). Antara lain pemahatan arca-arca yang tidak proporsional, hiasan-hiasan berbentuk kurawal, arca-arca tanpa mahkota dengan mata bulat tanpa kain, membawa senjata (tertentu), tubuh gemuk dengan perut dan pantat besar (Atmosudiro l984: 24). Ciri dan cara penggarapan arca dengan ragam hias yang tidak proporsional itu mengesankan bahwa sang seniman telah meletakkan elemen-elemen naturalis, “kesengajaan” yang dilatari kepercayaan asli dengan lebih mengutamakan unsur simbolis daripada ketepatan anatomis, dimaksudkan agar nilai magis lebih menonjol daripada nilai keindahannya. Gejala yang dapat disejajarkan kepada dengan landasan pemikiran seniman pra-Hindu tentang anggapan arca merupakan personifikasi nenek moyang yang telah meninggal dunia diupayakan berkesan statis sesuai kondisi yang telah meninggal (Atmosudiro 1984:24).
Sejumlah prasasti (batu) di kecamatan Senduro (Lumajang) patut dicurigai sebagai indikasi reaktualisasi kepercayaan pribumi yang ternyata tidak pernah punah ditengah-tengah era memuncaknya inovasi Hindu Buda. Hasil dari telaah M.M.Sukarto K.Atmodjo (l980) membuktikan hal itu. Ia menegaskan bahwa 20 keping prasasti batu yang tersebar di desa Pasru Jambe (Senduro, Lumajang) merujuk tahun Saka 1381 (1459 Masehi) adalah semasa dengan masa pemerintahan Bhre Wengker (Hyang Purwawisesa: mertua Hayam wuruk).
Prasasti-prasasti itu menerangkan tentang ajaran susila di dalam upaya membina kehidupan keluarga yang tentram bagaikan keselarasan antara bumi dan langit, diungkapkan ke dalam kalimat ”kadi boting ngakasa lawan pertiwi papak kabuktiha”. Unsur pokok yang dipuja bukanlah dewa Hindu melainkan “(h)yang mami” yang memberikan restu bagi kehidupan dunia dan akhirat. Dengan kata lain Sang Nawakrnda adalah pendeta yang tapabrata (meditasi/samadi) di dukuh Munggir, Pasrujambe guna mencapai kesatuan (pangesthu) “Yang Mami” hingga akhir kehidupan.
Peristiwa ini memperkuat bukti bahwa abad ke XIV Masehi merupakan puncak kebangkitan (reaktualisasi) kepercayaan asli pribumi, ditopang oleh gejala mesianik. Dimana pusat-pusat keagamaan dengan memuja tokoh tertentu yang dianggap mampu menyelamat-kan dunia dan berkembang terutama pada masa Majhapahit akhir. Gejala lain yang ditujukan untuk memperoleh kaleupasan, karenanya upacara ruwatan menjadi sangat penting.
Gejala Mesinaik atau milenarisme timbul sebagai akibat ajaran resi (Wanaprastha dan Sanyasin) seiring mulai gencarnya pengaruh Islam, yang pada gilirannya justru memperkuat bangkitnya kepercayaan asli. Kehidupan spiritual yang berlangsung di dalam lingkungan-lingkungan sunyi terpencil, semacam padepokan seperti di alam pewayangan (?) dengan menampilkan tokoh utama Bhima sebagai simbol utama ruwat dan kalepasan. Oleh Prijohutomo (l934;cf. Santiko l990:123) dijuluki Pahlawan Keagamaan. Kegiatan yang ber-kenaan dengan unsur kepercayaan pribumi (lokal) yakni landasan kayakinan atas bersatunya Kawula Gusti/Suksma diri dengan Sang Maha Suksma bagai peristiwa tokoh Bhima tatkala ke luar dari dirinya, setelah mendapat wejangan Dewaruci dan kembali kepada saudara-saudaranya.
Unsur kepepercayaan pribumi yang direprentasikan ke dalam konsep kaleupasan tersebut mengindikasikan unsur kesuburan yang telah ada dan dianut sejak masa prasejarah, diaktualisasi melalui simbol-simbol alam yang dipersonifikasi ke dalam wujud-wujud tertentu, khususnya yang akrab dikenal di dalam lingkungan kebudayaannya. Kondisi keagamaan seperti ini sangat menggejala menjelang abad ke XIV Masehi, sebenarnya bukan sesuatu yang “baru hadir” atau “yang dihadirkan kembali”. Melainkan telah berlangsung sejak awal kehidupan prasejarah hingga meruaknya inovasi Asing (terutama India dan Islam) (Ossenbruggen 1975). Dihiasi maraknya kegiatan keagamaan di tempat-tempat sunyi dan tersembunyi, jauh dari keramaian, memilih letak di puncak-puncak gunung dan dataran tinggi yang sulit dicapai. Tempat-tempat yang disebut padepokan keagamaan, yang dipimpin dan dikelola langsung para pemuka keagamaan disebut Mandala Kadewagurwan.
Padepokan-padepokan semacam itu juga ditemukan di berbagai tempat lainnya a.l. diberitakan di dalam prasasti batu bukit Gunung Namil (kecamatan Sutajayan, Blitar), tahun 1328 Masehi menceritakan tentang kaleupasan akhir. Diceritakan bahwa seorang Ra Kaki (pendeta) dan sekalian murid-muridnya melaksanakan tapa brata guna mencapai kaleupasan (hatapa racut); Sejumlah warisan aktivitas budaya di lereng barat gunung Lawu, antara lain di Matesih, Candi Sukuh, Candi Ceta dan Candi Planggatan (1437 Saka/1479 Masehi) dan Punden Cemoro Bulus; sejumlah prasasti di Pasru Jambe menyebutkan Sang Nawakrnda (9 wadah) (Soekarto K. Atmodjo l986: 250-250).
Semuanya merupakan bukti gejala reaktualisasi, gerakan kembali pada kesadaran murni penyatuan diri dengan sang pencipta yang disimbolkan dengan menghadirkan unsur-unsur kepribadian asli. Sang pemula yang telah menyebabkan diriya menjadi bangsa di bumi Nusantara. Bangunan-bangunan pada masa ini hadir dengan keunikannya sendiri, semuanya adalah cermin kaleupasan, persatuan langit dan bumi melalui simbol laki-laki dan wanita sebagai keselarasan dan kebahagiaan abadi. Bangunan teras berundak dilengkapi simbol corak binatang yang dianggap lambang udara/ langit (kelelawar), bumi (chtonis: gajah, bulus/kura-kura), air (mimi lan minthuna), adalah unsur pancamahabhuta (akasa/angkasa/ langit, bayu/angin, agni/api, apah/air, prtiwi /bumi) di dalam diri manusia (buana alit/ mikro-kosmos) sebagai replika jagat semesta (buana ageung/makrokosmos). Guna mencapai kaleupasan yang sempurna itu, maka buana alit/manusia harus selaras dengan dipersatukan kepada buana ageung / alam semesta.
Kehidupan keagamaan abad ke-XIV Masehi mempertegas hubungan konvensional keagamaan dan kepercayaan lingkungan alam dan roh nenekmoyang sebagai representasi mental yang telah sejak awal pernah berlaku. Sebagaimana refleksi filosofis yang tumbuh berkembang di alam pemikiran dan pandangan mistis orang Jawa terhadap dunia. Orang Jawa membedakan jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad cilik (mikrokosmos). Jagad gedhe merupakan paradigma jagad cilik, manusia sebagai jagad cilik mempunyai dua aspek yaitu jasmani/lahir dan rohani/batin. Segi lahir melambangkan daya-daya kekacauan (chaos) sedangkan segi batin melambangkan daya-daya keteraturan yang berhubungan dengan hakikat kosmis tertinggi dan moralitas. Aspek rohani dianggap unggul, lebih benar dan lebih esensial yang merupakan asal dan tujuan manusia. Segi rohani berhubungan dengan kebaikan dan lahir dihubungkan dengan kejahatan.
Tercermin dalam mitologi Jawa, Ramayana dan Mahabharata, memandang hidup ini layaknya perang (palagan, juritan) antara kebaikan dan kejahatan. Orang harus berusaha mengalahkan unsur-unsur lahir seperti emosi, dorongan nafsu, pemikiran duniawi. Makna dari pengertiannya adalah memurnikan aspek batiniah dan bersatu kembali ke hakikat yang tertinggi (manunggal ing kawula gusti). Mencapai kesatuan dengan hakikat tertinggi yakni mengusahakan keteraturan yaitu keselarasan dengan segala pengada (jagad gedhe), yakni kesatuan antara pencipta dan ciptaan, hamba dan tuan, sangkan dan paran.
Perlu digarisbawahi bahwa reaktualisasi kepercayaan pribumi menjelang abad ke XIV Masehi merupakan cara khas masyarakat Jawa, di dalam upaya menghadapi realitas perubahan jaman dengan mencari identitas dan ekspresi budaya yang khas Nusantara. Kepercayaan pribumi dipandang reaksi positif, bukan sekedar pelarian dari realitas semata yang menekan hadirnya unsur-unsur luar (inovasi asing), bukan juga protes terhadap agama-agama resmi yang dogmatis dan formal. Namun upaya filter dari kepribadian Jawa dan atau sebagai mechanical defense terhadap kian gencarnya inovasi asing (terutama ideologi baru).
2.2. Dinamika Kepribadian Nenek Moyang Nusantara
Sejak masa Prasejarah masyarakat Nusantara telah mampu membuat arca-arca dan bangunan-bangunan besar, maka tidak sukar jikalau mendirikan candi atau kuil. Lagipula telah dibuktikan bahwa bentuk dan wujud candi di India tidak ada yang merupakan prototype bangunan candi di Nusantara. Candi-candi India memiliki ruangan-ruangan luas, sedangkan bangunan-bangunan candi di Nusantara ruangan-ruangannya sempit dan secara konseptual fungsi candi pun sangat berbeda.
Di Nusantara, candi dibangun ditujukan untuk menghormati nenek moyang (leluhur) (pendharmmaan) dengan diberi bentuk dewa (si mati yang telah diperdewa). Representasi tersebut didasarkan kepercayaan asli pribumi, dimana arca perwujudan berbentuk monolith yang disebut menhir itu ditransformasi busana dan istilah baru – lingga- sertaditempatkan di ruang pusat candi tidak lain adalah kelanjutan (continuity) atau bentuk lain dari konsep menhir tersebut.
Konsep dewa di India adalah superhuman being dalam kaitan antara sang pencipta dan yang dicipta. Maka candi dalam konsep India bahwa candi-candi benar-benar untuk para dewa. Di Nusantara, dewa dilandasi kepercayaan yang berkembang masa prasejarah, dewa hanya istilah “wadah” sejalan konsep yang melatari menhir (batu tegak) dalam kebudayaan megalitik semata-mata simbol tempat persemayaman (sthana) sementara roh nenekmoyang.
Demikian pula Candi Borobudur merupakan bangunan perpaduan punden berundak tradisi budaya megalitik (zigurat) dan stupa dari Indianism, Bangunan Budha Mantrayana yang sangat megah ini merupakan representasi ajaran agama (keagamaan) yang tertera di dalam karyacipta agung cendekiawan Nusantara, Sanghyang Kamahayanikan, abad IX Masehi. Karyasastra bilingual (dua bahasa) Sanskerta dan Jawa Kuno, dirumuskan dan disusun cerdik-cendekiawan dari kaum agamawan Indonesia. Termasuk kesempurnaan menata dan menempatkan relief-relief pada dinding-dinding bangunan dengan paduan harmonis melalui jalinan Mahakarmmawibhangga, Jatakamala, Awadanajataka, Lalitawistara -Gandawyuha. Tiada lain merupakan petunjuk tahap-tahap Paramitayana-Mantrayana direpresentasikan melalui lima arca Tathagata, pencapaian tingkatan-tingkatan kebudhaan yang melambang-kan Dharmacakramudra.
Maka Borobudur yang berbentuk zigurat adalah mandala atau kosmos, bangunan berundak makin keatas makin kecil hakekatnya adalah replika gunung, perlambangan tahta persemayaman nenek-moyang (Kamulan Parahiyangan). Karena itu Prasasti Kayumwungan (746 Saka/ 824 Masehi); prasasti Plaosan Lor (764 Saka/ 842 Masehi) menyebut Borobudur sebagai kamulan i bhumi sambhara, tempat- ka-mula-an atau sang mula-mula (sang awal) yakni arwah leluhur nan abadi di alam kalanggengan. Menurut hukum tatabahasa, istilah kamulan berasal dari ka-mula-an dengan kata dasar mula artinya umbi (beuti), dalam arti seluas-luasnya sang pemula atau leluhur, rumuhun. Tiada bedanya sedikitpun dengan istilah buyut-Kabuyutan yang dikenal sejak awal oleh penganut Sunda Wiwitan.
Masyarakat Nusantara masa pra-Hindu kerap dipandang “animis”, ternyata sangat bertentangan dengan studi-studi kebudayaan (etnis) yang membuktikan secara jelas. Suku-suku yang hidup di pedalaman Nusantara ternyata telah lebih awal melandasi dirinya mengenal dewa-dewa di lingkungan organisasi yang teratur. Seperti kelompok masyarakat Toraja menyeru Boeriro, istilah asli Toraja menyebut dewa yang berbentuk raksasa dan dipercaya sebagai tokoh “sakral” yang memberikan api kehidupan dan makanan. Simbol kepercayaan serupa yang juga berkembang di kawasan kepulauan Pasifik (a.l. Hawaii). Termasuk arca-arca berbentuk dinamis di Nusantara yang kerap dipertautkan dengan pengaruh Hindu itu sebenarnya asli pribumi, yang kehadirannya merupakan proses kontinuitas unsur kepercayaan sejak masa Prasejarah.
Sejumlah prasasti Sri Vijaya yang bersifat imprecation formula (persumpahan) selalu diawali seruan kepada Tandrun Luah atau Tandang Luah, dewa yang diyakini melindungi dan menjadi saksi atas sumpah dan segala perbuatan manusia. Demikian pula sejumlah prasasti bertema sima pada masa Mataram Kuno (Jawa Tengah da Jawa Timur) tentang upacara peresmian sebidang tanah, sawah, kebun, rawa dan lain-lainnya yang menjadi bagian bumi menjadi perdikan (otonom). Disertai sumpah, laknat dan kutukan dalam upaya mentahbiskan peristiwa upacara dengan menyeru roh-roh leluhur, roh raja-raja sebelumnya. Roh-roh para pendahulu yang diyakini secara langsung melindungi dengan merasuk ke dalam jiwa. Salah satu ungkapan seruan itu dimuat dalam prasasti Mantyasih (829 Saka/ 907 Masehi): “...sakwaihta Rumuhun Rahyangta i Mdang i Bumi Mataram...umasuki ning ngwang kita kabaih” disusul dewa-dewa yang sebenarnya merupakan personifikasi gejala-gejala alam kemudian bahasanya telah dibusanai dengan di-Sanskerta-kan. Seruan atas dewa-dewa lokal sebagai saksi dalam upaya mensyahkan segala aspek dan gerak kehidupan hampir selalu dimuat dalam prasasti-prasasti yang bertema sima.
Segala sesuatu berkaitan dengan gejala perubahan atas lingkungan alam khususnya, objek utama upacara peresmian sima disimbolkan oleh bentuk lumpang batu (lisung) diberi honorefic prefic (ungkapan hormat) sanghyang watukulumpang simbolisasi persatuan bumi-pertiwi (mandala) atau mikrokosmos dan pasangannya berupa gandik disebut Sanghyang Teas (halu) tiada lain adalah lambang jagat semesta, makrokosmos.
Dikenalnya masyarakat berlapis Nusantara, caturwarna, (kasta) dianggap pengaruh Hindu-Buda (India). Tetapi Soejono (l974) membuktikan bahwa sebelum kedatangan orang-orang India, Indonesia merupakan stratified society, kenyataan ini antara lain dibuktikan hasil analisis sistem penguburan di Bali. Beragam sistem penguburan antara lain kubur tempayan, dalam sarkopagus tanpa wadah. Keragaman bekal kubur tersebut adalah fakta yang menegaskan telah dikenalnya keragaman dalam susunan masyarakat.
Kelompok lebih tinggi dikuburkan dalam tempayan (sarkopagus) disertai bekal kubur yang banyak dan beranekaragam, sedang-kan masyarakat umum dikuburkan tanpa wadah. Soejono membuktikan bahwa Gilimanuk (Bali) adalah situs nekropolis yang telah mengenal aktivitas dan kelompok pedagang. Kelompok inilah yang pada saat hadir inovasi Hindu-Budha (India) kemudian dinamai atau diberi istilah baru dari pengaruh India (Sanskerta) dengan istilah ksatrya, waisya, brahmana dan sudra.
Menurut R.von Heine Geldern (l982) kota dan kerajaan-kerajaan di Nusantara dan Asia Tenggara disusun berdasarkan konsep Hindu-Budha (India):“pusat dunia dikelilingi tujuh benua dan tujuh lautan yang membentuk cincin” dengan dasar kota dan kerajaan tiada lain adalah replika kosmos susunannya pun meniru kosmos. Anehnya, kota-kota awal di Asia Tenggara justru berpola segiempat, bukan seperti cincin. Namun menurut William Alkire (cf. John Miksic 1982) orang Austronesia (non-Hindu) telah memiliki konsep kosmos dengan bentuk segiempat yang didasarkan pengetahuan astronomi yang kini tersisa di Mikronesia, tampak konsep Austronesia asli inilah yang mendasari dan melandasi susunan kota dan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara.
Salah satu kelompok etnis Nusantara yang tetap setia memeluk kepercayan Asli yang tampil mencolok adalah Bali dan Kanekes. Meskipun Bali mengakui diri agama Hindu Dharmma namun konsep tatanan kosmisnya merupakan hasil pemikiran local development :
1. Atita – Nagata – Warttamana: setiap perubahan yang terjadi terjalin erat antara masa masa lampau, kini dan masa yang akan datang;
2. Desa- Kala – Patra desa-kala-patra: setiap perubahan disesuaikan dengan lingkungan/ tempat (desa), waktu (kala) dan suasana/keadaan (patra);
3. Tri – Hita – Karana: setiap perubahan perkembangan berpegang kepada pokok yang tiga (tri), hita (baik), karana (sebab), faktor pawongan (manusia), pallemahan (tanah dan lingkungan hunian), parhyangan (candi atau bangunan suci).
Pengaruh India dalam bidang kesenian dan bahasa juga nampak tidak lebih dari sebatas kulit, dijelaskan oleh Stutterheim, seorang sejarahwan (berkebangsaan Belanda), ketika meneliti epic Ramayana Indonesia membuktikan, meski ceritanya pengaruh India namun nyata betapa dominan unsur-unsur cerita rakyat Nusantara di dalamnya.
Ramayana epic antara lain ditemukan dalam pahatan relief-relief candi Prambanan, isinya adalah riwayat hidup raja yang di-dharmmakan di sana (Rakai Pikatan). Begitu pula relief Ramayana dan Mahabharata yang dipahatkan pada candi-candi di Jawa Timur menggambarkan Arjuna yang dianggap sebagai Mintaraga, bahkan Pandawa diidentifikasi sebagai nenek-moyang raja-raja Jawa (Koentjaraningrat l963).
Sejarah mencatat bahwa senisastra yang menjadi sumber inspirasi atas pemahatan relief-relief pada bangunan–bangunan suci di Jawa Tengah dan Jawa Timur digubah para pujangga pribumi. Sebagaimana kegeniusan seorang Mpu Kanwa meramu dan menggubah bagian-bagian dari kakawin Mahabharata dan Arjunabhigama, di Nusantara dikenal dengan Parthayajnya Wirataparwan dan Niwatakawacaparwa selanjutnya menjadi karyasastra baru yang hadir dan tampil sebagai Arjunawiwaha.
Sejak awal masyarakat kepulauan Indonesia telah memiliki dan mengenal alat komunikasi, lingua-franca, yakni bahasa k’wun-lun (Kunlun). Jenis bahasa pergaulan antar bangsa atau bahasa Malayu yang diwarnai interferensi bahasa Sanskerta dan berkembang di dalam perbendaharaan bahasa Malayu pergaulan. Membuktikan bahwa tatkala munculnya prasasti pertama, masyarakat Nusantara sebenarnya telah melek baca tulis bahkan memahami bahasa-bahasa “international” (a.l. Sanskerta). Tentu saja tulisan-tulisan yang dikenal waktu itu dan digoreskan pada bahan-bahan yang sangat mudah lapuk (ron [/daun]Tal, bambu, kulit kayu) kenyataan bahwa etnis Batak, Aceh juga etnis-etnis lain di Nusantara memiliki sistem aksara sendiri yang berbeda dengan gaya aksara India.
Sebelum dapat menulis dan membaca mereka sudah mengenal sistem organisasi, dimana seorang pemimpin didampingi pendeta, upacara-upacara dalam sistem kepercayaan, dukun dalam soal magi dan obat-obatan, pasukan tentara, arsitek rumah, kapal dengan para pandai atau ahli cor logam, pemahat, petani dan nelayan yang telah menghasil-kan komoditi pangan. Ketika terjadi kontak dengan kebudayaan India, raja, pemimpin dan sebagian kecil masyarakat memakai busana atau dandanan baru dengan istilah-istilah Sanskrta (India), seakan-akan didominasi kebudayaan India, kenyataannya sama sekali tidaklah demikian.
Raja-raja bergelar abhisekanama (nama tahbis)bahasa Sanskrta melalui serangkaian upacara dengan bantuan para brahmana tiada lain demi wibawa dan gengsi internasional bagi kawan maupun lawan, tetap saja sifat kesakralannya dianggap memiliki kekuatan sakti “mana” yang dikenal di dalam kebudayaan Austronesia, sebagai induk pasukan kebudayaan Nusantara yang juga berlandaskan pada keyakinan bahwa pemimpin masyarakat adalah keturunan langsung nenekmoyang pertama yang menghadirkan individu/kelompok yang bersangkutan serta dianggap hidup sebagai dewa di dunia roh.
Pangkal kepercayaan berkembangnya konsepsi rajadewa dalam kerajaan-kerajaan Indonesia tipe kedua adalah bentuk pemerintahan yang berlandaskan kebudayaan agraris. Pada masa Hindu religi asli berpusat pada pemujaan roh nenek moyang dan kepercayaan pimpinan kelompok masyarakat merupakan keturunan langsung nenekmoyang yang telah menjadi roh disebut penjelmaan dewa. Konsepsi yang dilandasi fungsi sosial-politik untuk mengkukuhkan dan memantapkan karismatik dari kekuasaan raja berdasarkan agama. karena dalam wadah itulah ekonomi lebih mendapatkan peluang berkembang.
Di kawasan Lebak (Banten, Jawa Barat), terdapat sejumlah situs yang bercorak (tradisi) megalitik juga terdapat prasasti (insitu) di tepi Ci Danghiyang, digoreskan pada bongkah batu alam beraksara Pallava dan bahasa Sanskrta menyatakan bahwa kawasan ini berada dalam kekuasaan Purnawarman penguasa kerajaan Taruma sebagai panji segala raja-raja. Simbol-simbol yang dipuja oleh masyarakat pribumi tersebut didudukkan sebagai dewa keluarga dan dewa resmi kerajaan. Sikap kerajaan sebagai pelindung kepercayaan pribumi tiada lain ditujukan memperkokoh kekuasaan dan kedudukan sebagai penguasa dengan pemerintahan yang sah. Dalam kebudayaan Jawa dan Bali mengenal Tirtha (Toya) Amerta (air kehidupan) yang di India disebut Bhimasena as giver of fertility and rain. Di Indonesia Bima adalah justru tokoh utama di dalam cerita Dewaruci yang justru mencari air kehidupan dengan berbagai istilah seperti tirta nirmala, tirta kamandalu, toya pawitra, toya marta, banyu panguripan, atau amrtanjiwani.
Kronogram pada masa Gupta (IV-VII Masehi) tidak lebih dari deretan kata-kata tanpa memiliki arti tertentu. Di Indonesia kronogram menjadi sengkalan yang terdiri dari kata-kata tetapi disusun sedemikian rupa berupa untaian kalimat yang indah dan luwes serta langsung memaknai peristiwa yang terjadi. Salah satu contoh, pada tahun 1250 Saka (1328 M) ketika raja Jayanagara wafat dibunuh oleh dokter bedahnya yang bernama Tanca, dan Tanca lantas dibunuh oleh Gajah Mada pada tahun “bhasmi [angka 0] bhuta [angka 5] nangani [angka 2] ratu [angka 1]” (hancur lebur siapa berani membunuh penguasa/raja); keruntuhan dan kehancuran kerajaan Majapahit pada tahun 1400 Saka (1487 Masehi) diungkapkan dalam kronogram “sirna [0] ilang [0] kerta [4] ning bhumi [1]” (hilang lenyap makmur negara); juga kubur panjang di Gresik berbunyi “kaya[3] wulan [1] putri [3] iku [1]” (= kecantikan putri itu bagaikan bulan) lambang wafatnya putri Cerme pada tahun 1313 Saka (1391 Masehi).
Tradisi sengkalan berlanjut hingga pengaruh Islam dalam tulisan bahasa Arab dan Sunda (dialek Banten) untuk memperingati pemindahan meriam Demak (Ki Jimat)ke Banten (Ki Amuk) “akibat ul khair salawat al iman” (pangkal kebaikan adalah keselamatan iman) lambang angka tahun 1450 Saka (1528/1529 Masehi).
Islam yang hadir setelah India juga ternyata hanya berfungsi sebagai pembungkus (busana) luar dari kebudayaan asli. Dikenalnya sistem pemakaman pada bukit atau bangunan berundak pada beberapa makam Islam mencerminkan konsep keagamaan Nusantara asli yang merupakan sinkretisme ajaran asli dengan ajaran Islam. Dalam ajaran Islam tidak diperkenankan membuat hiasan pola mahluk hidup, tetapi ternyata di Indonesia pola hiasan banyak ditemukan hiasan-hiasan pada makam meski telah dalam bentuk stilir.
Proses akulturasi menunjukkan bahwa kepribadian masyarakat bangsa Indonesia tetap berperan, kebudayaan dari luar tidaklah ditelan menta-mentah tetapi diserap guna memperkaya kebudayaan asli. Proses penyerapan yang berlangsung di dalam peristiwa akulturasi tersebut justru memancarkan daya gerak (stimulus-response) atas kebudayaan pra-Hindu di dalam local development (modernisasi lokal), guna menguatkan dan mendandani (busana) konsep-konsep yang telah ada sebelumnya. Kekuatan atas kemandirian kreativitas sejak paling awal telah tampil mencolok, diantara pengaruh India yang seakan-akan nampak “kental” memperlihatkan adanya ciri pemikiran pribumi yang tidak berubah, pemakaian tarikh Saka dari India pada prasasti-prasasti di Nusantara ternyata dilengkapi sejumlah unsur-unsur pertanggalann pribumi (unsur stempat) kemudian dipertahankan hingga masa-masa sesudahnya. Sistem pertanggalan yang tidak sama dan tidak dikenal di India.
Dalam hal ini sarjana Belanda F.D.K.Bosch (1952), menyatakan kekagumannya bahwa kesiapan mental (self determination) masyarakat Nusantara dilandasi kemampuan untuk menerima dan sekaligus mencernanya secara selektif terhadap unsur asing itu. Budaya yang dihasilkan semata merupakan dayacipta dari kemampuan luar biasa para cendekiawan Indonesia dalam usaha merumuskan serta merealisasikannya sesuai bentuk dan sifat citarasa kepribadian Nusantara. Sejarah membuktikan, penyerapan substansi-substansi baru atau asing terhadap kebudayaan di kawasan Asia Tenggara telah menghasilkan ekspresi budaya dengan karakter kepribadian bangsanya yang mandiri.
Keanekaragaman ekpresi budaya yang berpegang pada prinsip-prinsip dasar sebagai filter pertahanan kuat bagi warisan budaya yang telah dimiliki. Pengaruh asing tidak pernah menggusur tatanan kebudayaan asli pribumi melainkan kian mengakar kuat dan tidak kehilangan identitasnya. Dengan kata lain, unsur-unsur (inovasi) asing tersebut tidak membawa perubahan kebudayaan kwalitatif (morphogenesis), melainkan kwantitatif (morphostatis). Sekedar memperkaya kebudayaan asli pribumi yang memiliki landasan dan kemampuian nilai terbuka selektif, sehingga hasil yang nampak merupakan adalah bukti yang menandai bahwa bangsa pribumi Nusantara pernah saling berinteraksi dengan bangsa lain.
2.3.Kepercayaan Asli Pribumi: Semesta Pemahaman Kesadaran Manusia Terhadap Diri
Keseluruhan fase kebudayaan yang dipaparkan itu erat hubungannya dengan sikap dan kemandirian yang membentuk kepribadian bangsa. Semua materi kepercayaan asli pribumi terkandung dalam kebudayaan, diperoleh manusia Nusantara secara sadar lewat proses pengalaman belajar. Dalam kegiatan belajar inilah pengalaman yang diperoleh diteruskan dari dan oleh generasi satu ke generasi dan dari waktu ke waktu. Ajaran leluhur Nusantara yang melandasi secara universal serta diungkapkan kepada pemahaman manusia serta hubungannya dengan sang pencipta. Jika ditinjau berdasarkan warisan aktivitas budaya ‘record’ ajaran nenek moyang tersebut meliputi pemahaman konsep keselarasan mandala ataukosmis. Baik dalam kehidupan manusia maupun dalam hubungannya dengan jagat semesta yang direduksi ke dalam tiga jagat yang menentukan dan menaungi kehidupan manusia.
Dari berbagai data yang ada yang masih terealisasi utuh (jika tidak boleh disebut sempurna) hingga kini tertanam dalam jiwa masyarakat Kanekes yaitu konsep Tri Tangtu di bumi. Tangtu berasal dari kata tangtu merujuk kata “benang, cakal-bakal “the propagator of race”, menurut pemahaman Urang Kanekes sendiri, Tangtu adalah tentu, pasti, selaras “tempat, pasti” juga “pustaka” karena ada istilah “guru tangtu”, maka istilah Tangtu merujuk tempat, cikal bakal, pokok atau pangkal keturunan dan pendiri kehidupan. Dalam keropak 630 (XXVI) disebutkan: “… “Ini tri tangu di bumi, bayu kita pinaka prebu, sabda pinaka rama, hedap kita pinaka resi; ya tri tangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngaranna”(=Inilah tiga Tangtu di bumi, wibawa kita seperti raja, ucap kita seperti rama, tekad kita seperti resi, tri tangtu di bumi sebagai peneguh dunia” (Atja & Saleh Danasasmita 1981:22,28); Demikian pula Kropak 632 (Lembar III): “…jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu” (semesta bimbingan tanggung jawab sang rama, semesta kesejahteraan tanggungjawab sang resi, semesta tahta tanggung jawab sang raja).
Konsep Tri Tangtu adalah konsep tiga jagat (bumi) juga diterapkan pada bangunan suci yang senantiasa terdiri dari bagian luar, dalam dan pusat (ditengah atau tertinggi sesuai replika gunung). Tri yang melambangkan tiga semesta jagat yakni jagat bawah, jagat tengah dan jagat atas senarai dengan buwah loka , bhurloka dan swahloka; juga jaba luar, jaba tengah dan jaba jero (jeroan). Tiap semesta jagat dianggap personifikasi nenekmoyang yang dilambangkan sebagai IBU sesuai sifatnya senantiasa melindungi, memelihara dan menaungi kehidupan manusia, maka dikenal ambu rarang (bawah), ambu tengah (bumi atau buana panca tengah) dan ambu ruhur (atas).
Konsep pengertian yang melahirkan kultus pemujaan kepada dewi Ibu, pemujaan yang dikenal di hampir belahan dunia yang berpangkal kepada kesuburan Suatu pemujaan yang hadir diawali oleh perasaan takjub, heran dan ketidakpahaman proses terjadinya peristiwa alam terutama asal mula kehidupan jagatraya,kekuatan melahirkan dan yang mencipta segala sesuatu yang ada bumi.
Pemujaan kepada dewi Ibu khususnya dianut oleh masyarakat bercocok-tanam dan mencapai puncaknya pada sekitar 5000-4000 sM. Di wilayah-wilayah yang masyarakat nya bercocok tanam, ditemukan berbagai perwujudan kepada dewi Ibu berupa arca-arca wanita dipuja bersama-sama pasangannya (laki-laki) yang prinsipnya meski Dewi Ibu menduduki pemujaan lebih penting namun di dalam proses kelahiran peran laki-laki tidak dapat diabaikan, sejak itulah dewi Ibu tampil bersama dengan pasangannya.
Pemujaan dewi Ibu sebagai pokok pemujaan juga dikenal di Nusantara adalah juga hubungannya dengan dewi kesuburan, mother of fertility dituangkan secara teratur ke dalam kaidah-kaidah, norma-norma, dan ketentuan-kentetuan pokok sebagai pedoman kehidupan masyarakat agraris dengan mengutamakan mata pencaharian bercocok tanam.
Dewi Ibu sebagai unsur yang dipuja dipercaya melahirkan segala sesuatu di bumi menyebabkan pemujaan kepadanya lebih ditekankan pada anatomi berkaitan erat dengan peran melahirkan yakni payudara, perut dan genital, selanjutnya berkembang menjadi bagian aspek-aspek yang paling dipuja. Payudara sebagai lambang pelindung, pemelihara sumber kehidupan dan penguasa tanam tanaman yang dibutuhkan manusia khususnya biji-bijian dan umbi-umbian. Sebaliknya pula ia juga berhak penuh atas kehidupan manusia dan kelak akan mengambilnya kembali ke dalam pelukannya.
Sejalan pengertian bahwa segala sesuatu yang ada di jagat semesta ini akan kembali ke tanah, perut (kandungan) Ibu. Demikian maka genital adalah simbol Dewi Ibu sebagai yang mencipta, memelihara, payudara adalah simbol yang melindungi; perut adalah simbol dari kematian (perut) ke dalam pengertian bahwa Ibu adalah penguasa dunia bawah dan dunia atas (bawah dan permukaan tanah). Pemahaman ini menimbulkan konsep bahwa dewi Ibu memiliki dua sifat saling bertentangan (unsur positif dan unsur negatif).
Ibu adalah lambang dari aspek melahirkan dan aspek mencipta. Aspek melahirkan dihadirkan dengan menonjolkan kesatuan anatomi terutama berperan tatkala seorang ibu melahirkan yakni payudara, perut dan pinggul. Bahkan digambarkan dengan ukuran sangat berlebihan sehingga wujud dewi ibu digambarkan mirip wanita hamil. Bagian-bagian yang dianggap kurang berperan dalam kelahiran tidak begitu ditampakkan maka simbol dewi Ibu sengaja dibuat tanpa kepala.
Aspek mencipta disimbolkan dengan bentuk perempuan dengan sikap jongkok, bagian genital dilambangkan dengan bentuk segitiga. Bahkan di dalam wujud natural, kadangkala disertai bayi yang sedang keluar dari rahim [ada kalanya juga tidak], dewi dengan pasangannya; aspek pemelihara dan pelindung diwujudkan dalam bentuk ragam hias pilin berganda [payudara]. Betapapun pentingnya aspek-aspek lain dan tanpa berarti meng-abaikan anatomi lainnya namun, payudara, perut, genital merupakan unsur paling pokok karena organ ini yang paling berfungsi tatkala melahirkan dan mencipta.
Oleh karena itu Ibu juga dipersonifikasi sebagai unsur alam yang terutama tanah dan air, karena kedua unsur ini tidak pernah lepas saat melahirkan dengan kata lain juga mencipta mahluk di jagat semesta. Dewi Ibu yang tidak hanya diyakini sebagai pelindung, pemelihara dan unsur kesuburan yang menyediakan segala keperluan manusia di bumi, juga berhak atas kehidupan yang telah diberikan kepada manusia juga meraihnya kembali ke pangkuannya (kematian).
Ibu sebagai simbol yang memberi dan mensejahterakan kehidupan bumi dan segala kandungan isinya inilah yang menyebabkannya dihadirkan serta dan dipercaya berbagai religi asli pribumi. Konsep kepercayaan yang secara nyata mampu men-terjemahkan pesan dan isyarat kebesaran semesta sebagai “mayang sagara pamulangan”.
Perlu digarisbawahi gambaran bentuk-bentuk yang dipuja ke dalam berbagai aspek-aspeknya dan diberikan sesuai konsep pemahaman budaya dan keyakinan atau sistem religi lingkungan biofisik komunitas bersangkutan.Bagaimana mempraktekkan dan menyelami ajaran nenek moyang, mungkin Situs Kawali di Ciamis, Jawa Barat, perlu ditampilkan sebagai yang paling mewakili dan paling tegas mengumandangkan ajaran leluhur dengan pokok pemujaan kepada Hiyang.
Telah diketahui bahwa di Nusantara barat umumnya, dan Pulau Jawa khususnya, sebagian besar warisan aktivitas budaya yang ditemukan berupa punden berundak, terbanyak ditemukan di Jawa Barat. Senarai perjalanan religious belief-nya Sunda Wiwitan, bangunan suci pusat upacara pemujaannya merupakan kontinuitas tradisi budaya megalitik seperti diberitakan di dalam berbagai sumber tertulis dengan istilah khas yakni Kabuyutan. Karena pokok pemujaan Sunda Wiwitan adalah buyut yang diperdewa bertahta di Kabuyutan dengan sebutan hormat Sang Hiyang. Dapat dikatakan bahwa hampir seluruh Kabuyutan Tatar Sunda menampilkantatanan corak tradisi Megalitik yang sangat pekat.
Situs Kawali merupakan simbol yang melambangkan kemenangan dan keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan di bumi menuju ke alam arwah yang dilakukan oleh Prebu Raja Wastu (/Kancana) atau Prabu Sili[hwa]wangi II. Raja yang terkenal sangat agung perilakunya selama hidup ini menitipkan jejak tapanya (Situs Kawali) kepada generasi yang akan datang (nu pandeuri) agar tetap dipelihara dengan baik agar ajarannya yang berupa pengalaman keagamaanya menyatu dengan leluhur dapat diselami bagi yang berkehendak mengikutinya.
Pengalaman keagamaan yang ditempuh adalah bagaimana cara menang dari cobaan-cobaan hidup dengan senantiasa menerapkan kebaikan dan kebenaran (pakena keureuta bener, pakena gawe rahayu pakeun nanjeur na juritan pakeun heubeul jaya dina buana) demi kebahagiaan dan kemakmuran bersama. Menjauhkan diri dari perilaku semena-mena (haywa diponah-ponah), menghindari bicara yang tidak pantas (haywa dicawuh-cawuh), memelihara dan menjaga lingkungan kehidupan dengan tekun dan giat bekerja (bhaga neker bhaga angger), tetapi juga tanpa mengeksploitasi dan merusak sumber daya kehidupan itu sendiri (bhaga nincak bhaga rempag).
Seluruh ajaran berupa pengalaman kehidupan dan keagamaannnya itu, digoreskan ke dalam bentuk prasasti, juga dipahatkan gambar melambangkan tubuh manusia dengan segala kelengkapannya (anggana). Pahatan gambar itu merupakan simbol yang direpresentasi kotak berjumlah 5 yang disusun vertikal sebagai reduksi simbol dasaindrya (pancabudhi dan pancakarma); dan kotak berjumlah 9 disusun horizontal sebagai kelengkapan indrya berupa pelepasannya (Sunda: cungap) tiap-tiap organ indriya. Kotak 9 inilah yang terpenting yang di dalam berbagai ajaran asli pribumi dikenal bayu sasanga, sang nawakrnda, nawagraha yang menyebabkan manusia kerap dilambangkan sebagai “kota dengan sembilan gerbang”.
Disamping gambar kotak dipahatkan juga sepasang telapak kaki dan sebuah tangan kiri. Jika kita berada pada batu anggana itu mau tidak mau seseorang harus bersikap dan berposisi jongkok dan langsung mengamati gambar pahatan tersebut. Sikap posisi yang mengingatkan pada posisi sang IBU tatkala melahirkan anak manusia, dan ternyata pula salah satu diantara warisan aktivitas budaya di Kawali terdapat batu berbentuk segitiga (juga merupakan lambang genital), disebut Batu Pangeunteungan (karena selalu betisi air sehingga seseorang yang menengok ke dalamnya memantulkan dirinya layaknya sebuah cermin). Simbol yang tiada lain merujuk kepada istilah bhaga (organ rahim) atau “hiranya-garbha” sedangkan posisi jongkok merupakan simbol perilaku (tindakan berpola) seseorang yang tengah melihat rahim Sang Ibu yang juga sinonim dengan arwah leluhur, karuhun, rumuhun yang menyatu di dalam istilah Hiyang.
Situs Kawali adalah aktivitas tersurat yang menyiratkan tugas kehidupan manusia mempertapakan diri dan lingkungan (bumi) hingga kelak pulang. Manusia adalah diri yang senantiasa bercermin ke dalam dirinya (ngeunteung). Senarai konsep ajaran asli pribumi yang telah dikenal sejak paling awal dari sang mula (sang wiwitan). Memper-tapakan diri dan dirinya diungkapkan kalimat “bati peureu tinggal nu atis tina rasa”. Artinya menghilangkan setiap kotoran tubuh yang melekat pada fisik (waruga) dan jiwa (raraga). Bagaikan melepas karat pada besi, mengendapkan lumpur (lanau, leutak) ke dasar sungai atau danau kandungan keruh perlahan-lahan naik ke permukaan, kian lama kian jernih, bening tanpa rasa (tawar).
Keterbatasan manusia sebagai mahluk hidup dijembatani dengan memulai sesuatu yang terbatas, lambat laun pengabdiannya menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Di dalam mengkonsentrasikan pikiran terhadap sesuatu yang terbatas diperlukan suatu obyek yang dapat ditangkap. karena arwah leluhur (Hiyang) berada di dalam semesta yang tidak terbatas (roh yang abstrak). Diciptalah sarana konkrit untuk bertolak menuju ke yang tanpa batas dan tanpa bentuk, terpahatkan pada menhir Batu Panyandungan “sanghiyang Lingga Hiyang”. Agar yang tiada wujud (Hiyang) mampu dibayangkan maka dibuatlah lambang berupa batu tegak (tonggak) yang kini disebut menhir sebagai “wimba, bingba” di Kawali berupa menhir Batu Panyandaan berpahat tulisan Sanghiyang Lingga Bingba.
Hubungan sanghiyang lingga hiyang dengan sanghiyang lingga bingba dijelaskan sebagaimana seseorang melakukan konsentrasi kepada Sang Pencipta, dalam kepercayaan asli pribumi secara universal dingerti penyatuan diri kepada arwah leluhur “sangkan paran ing dumadi”.
Dua menhir batu yang telah ditetapkan Batu Panyandaan, Batu Panyandungan, dihadirkan bukan untuk disembah bendanya, melainkan membantu pikiran terkonsentrasi kepada makna yang tertinggi yakni Hiyang,yang abstrak – universal – yang mengatasi segalanya (totalitas). Demikian juga Batu Anggana berpahatkan kotak 5 dan 9 lambang tubuh “kota dengan sembilan gerbang” merupakan inti perilaku manusia.
Situs Kawali merupakan salah satu dari sejumlah besar situs-situs bercorak tradisi Megalitik di Nusantara dengan pokok pemujaan kepada leluhur (Hiyang) yang diimposisi sesuai tatanan semesta (alam) yang ditempatinya, karenanya sebagian besar bentuk warisan aktivitas budayanya hadir sangat alami, selaras jagat semesta. Tidak meng-eksploitasi sumber daya alam atau merubah dan memodifikasi yang disediakan alam sejak semula diberikan oleh Sang Pencipta. Di Tatar Sunda (juga Nusantara Timur dan beberapa tempat lain) situs-situs bercorak tradisi Megalitik, simbol-simbolnya ada yang tetap dilanjutkan, ada pula yang ditambahkan dengan unsur yang baru dikenal masa kemudian. Namun dasarnya sebagian besar situs-situs itu merupakan continuity sejak awal hingga ke masa selanjutnya (nu pandeuri).
Selaras laku tapa Sasongkojati senantiasa mengatur badan (waruga) selaras dengan kesucian suksma (raraga), alat manusia sebagai mahluk ganda. Laku tapa bukan pelarian dari dunia ramai, melainkan sarana untuk mengatasi hawa nafsu. Tetapi bukan mematikan badan jasmani, melainkan merawatnya dengan jalan mengendalikan diri, konsep dikuasainya jasmani, sikap dan perasaan terhadap sesama diharapkan berubah juga. Laku tapa hakekatnya adalah jalan mempersiapakan diri dengan cara menghayati (verstehen),empati kesempurnaan hidup.
Dari kaca mata normatif pokok ajaran Sasongko jati adalah anjuran bagaimana hidup manusia bahagia. Tujuan kebahagian akan tercapai apabila manusia telah kepada sangkan parannya, karena kebahagiaan terletak pada kesatuan manusia dengan Tuhannya. Karena itu kebahagiaan dicapai manakala manusia menyadari hakekat dirinya sebagai suksma atau roh suci. Sadar akan ke’ilahiannya” yang asal yang mengatur suksma dan badannya. Menyadari bahwa manusia berada dalam keterikatan dan kekacauan hawa nafsu dilakukan dengan hasta sila dan laku tapa yakni jalan moral pengatur tindakan manusia menuju kesatuan manusia dengan Tuhan (Muji Soetrisno 1993: 117).
Kebudayaan Megalitik di Bali hingga sekarang tetap memiliki peranan penting dalam kehidupan keagamaan masyarakat Bali yang peninggalan-peninggalannya mengandung nilai kesucian yang masih dipuja. Diantaranya stone altar (menhir berbentuk tiang batu pemujaan) yang terletak di desa Tenganan Pegringsingan dan desa Penebel di Gelgel; Teras piramik (teras berundak) merupakan bangunan suci masysarakat di Bali pada bagian pundennya ditahtakan (arca) menhir, ditemukan antara lain di desa Sembiran, Penebel juga Gelgel; Sarkofagus (peti batu si mati) hingga kini terbanyak ditemukan di Bali dan kelanjutan sarkofags kini masih tetap di dalam hubungan dengan tempat penyimpanan si mati pada saat upacara Ngaben, sarkofagus dibuat dari bahan kayu berfungsi sebagai tempat penyimpanan si mati; termasuk upacara menghormati gunung sebagai tahta persemayaman roh (leluhur). Oleh karena itu Gunung Agung dipandang gunung paling suci (mahameru) dan menjadi simbol meru pada bangunan-bangunan suci di Bali.
Inti ajaran Hindu Dharma berdasarkan lima keyakinan yakni Panca Sraddha sebagai kontinuitas kepercayaan masa pra-Hindu. Kepercayaan terhadap yang tertinggi disebut Sang Hyang Widhi Wasa diberi istilah Dewa; aspek-apek kemahakuasaannya atau unsur-unsur alam yang dipersonifikasi juga diberi istilah baru, yaitu Dewa Indra (unsur kekuatan air), Dewa Agni (unsur kekuatan api), Dewa Marutha (unsur kekuatan angin). Unsur-unsur kekuatan alam yang selanjutnya dikenal di dalam Trimurti, menjadi Dewa Brahma (api), Dewa Wisnu (air) dan Dewa Iswara (angin); sedangkan unsur Matahari dipuja dengan istilah Siwa-Raditya.
Kepercayaan terhadap roh (arwah leluhur) menjadi atman, disamping ada stulasarira (badan kasar), seseorang meninggal, atman meninggalkan stulasarira. Agar atman bersatu dengan sumber yang asal (brahman), dilakukan upacara Ngaben dan disempurnakan dengan upacara memukur, selanjutnya disemayamkan di sanggah pemrajan (tempat suci keluarga) di-sebut sanggah kemulan.
Tradisi ngaluang yaitu jika seorang bayi lahir dan mencapai usia 12 (kepus pungsed), pihak keluarga akan bertandang ke balian (dukun) untuk menanyakan siapakah leuhurnya yag menumadi (menjelma, menitis) kepada sang bayi. Suatu petunjuk lekatnya unsur kepercayaan asli tentang rebirth (kelahiran kembali) yang diungkapkan pada berbagai temuan dalam peti sarkofagus. Si mati di dalamnya diposisikan dengan sikap berlipat kedua tangan dan kakinya ke depan perut dengan kepala merunduk ke samping. Posisi ini melmbangkan bahwa si mati kembali ke dalam kandungan (perut) sang ibu dan kelak akan dilahirkan kembali.
Berakarnya kepercayaan asli di Bali tercermin dalam kegiatan upacara kesuburan dengan upacara kurban kerbau sebagai simbol bumi (tanah leluhur) yang pada tradisi Megalitik diiringi dengan didirikannya bangunan-bangunan suci. Kerbau dipandang simbol magis dapat mengusir kekuatan jahat dan kendaraan bagi arwah nenekmoyang itu di Bali diperingati dalam upacara titi mamah juga dalam upacara Ngaben sebagaimana tampil di dalam sesajennya selalu disediakan kulit kerbau, kepala dan kaki yang masih utuh. Hal itu dimaksudkan sebagai simbol jembatan atma si mati sebelum dinaikkan ke balai-balai untuk dihanyutkan ke laut.
Kiranya semua perilaku yan tercermin dalam adat istiadat, tradisi baik yang bertali langsung denga keagamaan maupun sehari-hari, hakekatnya cerminan KEPRIBADIAN menghormati nenek moyang, melanjutkan warisan tradisi SANG IBU (leluhur, karuhun, rumuhun)nya – Hiyang- sesuai menurut pengalaman pengetahuannya masing-masing. Implikasi perilaku itu semata-mata adalah cermin dari pemahaman diri dengan tetap menjalin keselarasan, keseimbangan jiwa (unsensorable mesage) dan badan (sensorable message) kepada leluhurnya langsung.
3. Pamungkas
Secara universal ajaran leluhur yang terpatri sangat dalam sebagai kepercayaan asli pribumi menerapkan kebijaksanaan tingkah dan perilaku bagaimana manusia dapat mencapai kebahagiaan secara universal:
1. bagaimana menafsirkan peristiwa dan kondisi hidup bermasyarakat. Hidup di dunia hanyalah cerminan kekuatan dominan di dalam kosmos. Apabila daya keteraturan dominan, maka masyarakat manusia tentram dan aman, teratur juga makmur, namun sebaliknya bilama yang dominan adalah daya kekacauan maka masyarakat manusia pun menjadi kacau;
2. keteraturan bergantung kepada keadaaan suksma (jiwa) atau rohani, batin manusia. Apabila manusia tenang dan teratur, hidup masyarakat manusia akan teratur. Sebalik-nya jikalau jiwa, suksma atau batin manusia dikuasai nafsu dan pamrih maka kehidupan masyarakat manusia juga menjadi kacau;
3. pada dasarnya manusia sendiri yang merupakan kunci keteraturan atau kekacauan, sebab daya-daya itu sendiri bersifat netral, maka tugas moral setiap manusia untuk selalu mengusahakan ketertiban dan keharmonisan.
Inilah jasa tertinggi ajaran luhur nenek moyang Nusantara, kepribadian luhur dengan kemandirian sesungguhnya tertanam dalam kepercayaan pribumi Nusantara. Layaknya batu karang tertanam di dasar lautan, abadi, tangguh tak bergeming dengan kasih sayang dan menyangga samudra kehidupan para keturunannya. Yang diungkapkan secara tersurat dan tersirat. Ajaran tersurat berupa warisan aktivitas berupa data tekstual dan kontekstual yang nampak sebagai warisan aktivitas budaya arkeologi, yang dapat diraba, dan dilihat secata fisik. Sedangkan ajaran tersirat adalah makna (meaning) yang terkandung sebagai nilai kepribadian yang menjadi landasan kekuatan kepribadian, dan tampak nyata bagi siapa yang hendak mengenal dan menyelaminya.
Di dalam proses membersihkan diri manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu, intelektualitas dan kadar kemampuan yang bereda-beda. Di dalam rangka menuju pencapaian kesatuan dirinya kepada Sang Pencipta manusia diberi jalan sesuai kemampuan-nya dengan cara mengerti bahwa manusia memiliki kodrat hidup sebagai mahluk ganda terdiri dari badan kasar (waruga/wadah) dan badan halus (raraga/isi). Karena itu dalam menjalani kehidupannya juga memperoleh pengetahuan sejak lahir, dewasa, tua dan mati termasuk pengetahuan dijalani sesuai kepercayaannya.
Kepercayaan asli pribumi adalah warisan nenekmoyang yang menyiratkan ajaran tentang filsafat moral yang direaktualisasi secara nyata pada abad ke XIV Masehi. Sistem kepercayaaan yang bertumpu pada kesadaran murni tentang hakekat diri manusia sesuai kebudayaannya. Demikianlah bahwa kebudayaan masa lalu bereksistensi di masa kini; kebudayaan kini disampaikan ke masa datang; kesadaran bahwa mengikat waktu. Suatu pemahaman tentang eksistensi manusia sebagai mahluk sosial selalu mengaktivitaskan diri. Layaknya tanaman mengikatkan diri dengan akar-akarnya, hewan mengikat diri ke dalam ruang, hanya manusia yang mampu mengikat menghubungkan bentuk, waktu dan ruang melalui kebudayaan.
Cag- Peun
Tlas Sinurat Ing Bintaro
Ing Masehiwarsa 2008, Tithi Dasami, Somawara, Bhadrawadamasa
[1] Noerhadi Magetsari “Kemungkinan Agama sebagai Alat Pendekatan dalam Penelitian Arkeologi”, Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA I), Cibulan, 21-25 Februari 1977. Pusat Penenelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Jakarta 1980..
[2] Noerhadi Magetsari, Tathagata di Jawa pada Abad Sembilan. Disertasi FSUI. 1982.
[3] Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan & Cipta Loka Caraka.
[4] Hasan Djafar, “ Beberapa Catatan Mengenai Keagamaan Pada Masa Majhapahit” Pertemuan Ilmiah Arkeolgi (PIA) IV: buku IV. Jakarta:Pusat penielitian Arkeologi Nasional. 1986: M.M.Soekarto K.Atmodjo, “Sekeping Data Prasasti Gunung Waringin (Bali) dan Samirono (Jawa)”, Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (REHPA) I. Jakarta Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
[5] Yang disebut Jawa di sini dimaksudkan Pulau Jawa tanpa batasan geografis Jawa Barat, Jaw Tengah dan Jawa Timur.
[6] Ayatrohaedi, “Masyarakat Sunda Sebelum Islam: Data Naskah. Laporan penelitian untuk Lembaga Penelitian Universitas Indonesia”, Depok 1987; Ayatrohaedi “Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian”, di dalam Subagio Sastrowardoyo dkk. penyunting, Anthology of Asean Literatures: Pre-Islamic Literature of Indonesia: 435-85. Ttp: The Asean Committee on Culture and lnformation
[7] Koentjaraningrat “Peranan Local Genius dalam Akulturasi”,di dalam Ayatrohaedi, penyunting., Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta Pustaka Jaya. Sejarah Teori Antropologi I. 1986 Jakarta: UI Press; Noerid Haloei Radam Religi Orang Bukit. Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi. 2001 Yogyakarta: Yayasan Semesta.
[8] Bernard Philippe Grosslier, INDOCINA: Persilangan Kebudayaan. Seri Terjemahan Arkeologi no. 6. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) – Ecole Francaise d’Extreme Orient – Pusat Penelitian Arkeologi – Forum Jakarta – Paris. 2002.
[9] Soekmono, Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
[10] R. von Heine Geldern, “The Cosmological Foundation of South-East Asian Architectur” Journal of The Historic Society, Singapore.
[11] H.G.Quaritch Wales, The Mountain of God, Study in Early Religion and Kingship. London: Bernard Quaritch, ltd
[12] Idem catatan no 10
[13] B.Ch.Chhabra, “Three More Yupa Inscriptions of King Mulawarmman from Kutei, East Borneo”, TBG LXXXIII. 1949: 37-74; J.Gonda, The Ritual Function and Significance of Grasses in The Religion of The Veda. North Holland Publishing Company – Amsterdam – New York. 1985; R.M.Ng. Poerbatjaraka, Agastya in Den Archipel, l951.
[14]MM.Sukarto K.Atmodjo, “Mengungkap Masalah Pembacaan Prasasti Pasru Jambe”Di Dalam Berkala Arkeologi. B. Ark VII (1). Maret l986: 39-57. Balai Arkeologi Yogyakarta
[15] Hariani Santiko, HARIHARA: Kumpulan Tulisan Tentang Agama Veda dan Hindu di Indonesia Abad IV – XVI Masehi. April 2005. Universitas Indonesia.
[16]Hariani Santiko, “Mandala (Kadewaguruan) Pada Masyarakat Majapahit” Masalah-Masalah Arkeologi Serta Hubungan Dengan Situs Trowulan, Buku Acuan Perkuliahan IFSA 1991-1993 (Indonesian Field School of Archaeology, Trowulan l991-l993),Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan The Ford Foundation, l996. Halaman 143-152.
[17] Digoreskan pada 3 prasasti Pasru Jambe sbb: “ (1) i saka 1381 (2) sang nawakrnda (3) (gambar yantra)
[18] Periksa MM.Sukarto K.Atmodjo, “Punden Cemoro Bulus di Lereng Gunung Lawu”, di dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, Ciloto, 23-28 Mei 1983: 325-337.
[19] F.X.Mudji Sutrisno, Paham Moral Sasongko Jati”, Selecta Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Seri Filsafat Driyarkara:4. Jakarta” PT.Gramedia Pustaka Utama. 1993: 135-152.
[20] J.Kuntara Wiryamartana, “Usaha Refleksi Alam Pemikiran Jawa”,Capita Selecta Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Seri Filsafat Driyarkara:4. Jakarta” PT.Gramedia Pustaka Utama. 1993: 117-124.
[21] J.G.de Casparis (l950), “Inscripties uit de Cailendra-tijd”, Prasasti Indonesia I. Bandung: A.C.Nix.
[22] Sumpah dan kutukan yang dimuat dalam prasasti-prasasti bertema sima pertama kali ditemukan di dalam prasasti Tru Tpusan II yang dikeluarkan atas perintah Sri Kahulunan (764 Saka). Walaupun lutukannya sangat singkat berbeda dengan prasasti-prasasti masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Ba;litung. Periksa J.G. de Casparis, Prasasti Indonesia I, 1950:75. Bandung: Masa Baru.
[23] R.P.Soejono (l977), Sistem-sistem Penguburan Pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Disertasi Universitas Indonesia.
[24] R.von Heine Geldern (1982), Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Rajawali Press
[25] John N. Miksic (l982), “Perubahan Kebudayaan dan Kronologi Arkeologi di Indonesia”, Makalah dalam Ceramah Himpunan Mahasiswa Arkeologi UGM.
[26] Periksa M.M.Soekarto Kartoatmodjo (l986), “Pengertia Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi”dalam Ayatrohaedi (Peny.), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
[27] Koentjaraningrat (l963) “Guna Antropologi untuk Historiografi Indonesia’s”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia (MISI), Indonesian Journal of Cultural Studies, Djilid I, No.1. Diterbitkan oleh Penerbit Bhratara dalam Kerdjasama Ikatan Sardjana Sastra Indonesia.
[28] K.C.Kruq (1889), “De Geschiedenis van Heilige Kanon te Banten”, TBG 78; M.M.Soekarto K Atmodjo(1983), “Arti Air Penghidupan dalam Masyarakat Jawa”, Proyek Javanologi 2 dan (l983), “Short Notes on Agricultural Data from Ancient Balinese Inscriptions”, The Fourth Indonesia-Dutch History Conference, Yogyakarta, Juli 24-29.
[29] Edi Sedyawati (1977), “Tarumanagara: Penafsiran Budaya”, dalam HM.Joesoef dan TA.Soebrata Wiriamihardja (Penyunting), Laporan Diskusi Panel: Menggali Kembali Sejarah Kebudayaan Tarumanagara Sebagai Sumbangsih Universitas Tarumanagara Kepada Nusa dan Bangsa. UPT. Universitas Tarumanagara.
[30] P. Bellwood, Man Conquest of the Pacific. Auckland: Collins. 1978; K.Butzer, Environment and Archaeology. Chicago: Aldin. 1971.
[31] Istilah Mandala digunakan menyebut bentuk pola bangunan candi Borobudur (A.J.Bernet Kempers 1975), padepokan ke-agamaan “Mandala Kadewagurwan” (Soekmono 1974; Hariani Santiko 1996: 143-152;2005:126 139). Pengucapan atau spelling artikulasi Sunda (juga Jawa) atas kata mandara merujuk arti “a sacred mountain”, istilah kerap ditemukan di dalam sumber-sumber kuno (terutama masa Klasik). Termasuk konsep Tantu Pangglaran yang merupakan kisah terjadinya penciptaan kosmis Pulau Jawa oleh para dewa dengan pusat gunung tertinggi yang disebut Mahameru.
[32] Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda (l986), Kehidupan Masyarakat Kanekes, Bagian Proyek Penelitian Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Direktorat Jendral Kebudayaan. Bandung Dep.Dik.Bud.
[33] Ibid catatan 29
[34] Hariani Santiko (1992), Bhatari Durga. Disertasi: FSUI .
[35] Richadiana Kartakusuma “Situs Kabuyutan Kawali di Ciamis, Jawa Barat: Ajaran Sunda Di Dalam Tatanan Tradisi Megalitik” dalam Ajip Rosidi et.al Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) Jilid I (Prosiding). Yayasan Kebudayaan Rancage. 2001 (cetakan 2006); “Rasionalisasi Ideologi Sunda Wiwitan (Kabuyutan): Penyatuan Diri Urang Sunda Kepada Gunung Sebagai Lambang Semesta (Kosmis)”, Berkala Arkeologi, Sub Tema : Arkeologi Mengungkap Masa Lalu. Tahun XXVI Edisi No1, Mei 2006.
[36] Ibid no 32
[37] Ibid no 32
[38] Ibid 32
[39] R.Goris, Bali, Atlas Kebudayaan, Cult and Customs. 1953; Ancient History of Bali, 1965.
[40] Parisadha Hindu Dharma, Upadesa, Tentang Adjaran-adjaran Agama Hindu. 1968; I Made Sutaba “Hiasan Tanduk Kerbau Pada Bale Agung Di Desa Manikliyu, Kintamani” Disajikan pada Seminar Sejarah Nasional II di Jogyakarta.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/content/view/category/1/id/481
(Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional)
1. Manggala
Membicarakan kepercayaan pribumi dan permasalahannya bertaut salah satu isi dari wujud kebudayaan. Karena kepercayaan adalah sistem religi yang bersifat inti dari semua kebudayaan di seluruh belahan bumi, baik yang kecil, terisolasi, sederhana, maupun besar, kompleks dan maju. Noerhadi Magetsari (l980/1981) menuturkan:
“... dilihat dari bekas-bekas penghidupan yang ditinggalkan manusia, kita lihat bahwa bagian terbesar dari peninggalan berupa kehidupan keagamaan. Untuk keperluan keagamaannya manusia tidak segan-segan untuk melukis dinding yang 5-7 meter tingginya, dalam keadaan kegelapgulitaan gua, mendirikan bangunan bangunan besar yang kalau dilihat dari teknologi modernpun sangat sukar untuk melaksanakannya. Sebaliknya peninggalan dan kehidupan sehari-hari sedikit sekali bekasnya...”.
Demikian Chr. Dowson (cf., Noerhadi Magetsari l982: 498) menyatakan:
“... we cannot understand the inner form of a society, unless we understand the religion; we cannot understand its cultural achievements unless we understand the religion beliefs that lie behind them. But, in all ages creative works of a culture are due to a religious inspiration and dedicated to religious end...”.
Ungkapan-ungkapan para sarjana tersebut mencerminkan betapa pentingnya unsur kepercayan yang tidak semata dirujuk keagamaan semata, tetapi lebih dari itu yakni simbol kepribadian yang menjadi jiwa dan menjiwai kebudayaan. Berbicara kebudayaan tanpa lebih dulu memahami sistem kepercayaan (religious belief) akan menjadi sia-sia belaka. Ke dalam pengertian tegas, kepercayaan adalah suksma yang menghidupi kebudayaan dan embrio yang melahirkan kepribadian suatu bangsa. Kepercayaan tidak sekedar agama (part) melainkan seluruh bagian partwhole yang merupakan sistem di dalam kepribadian yang bertahta dalam kebudayaan individu atau kelompok masyarakat.
Dari paradigma arkeologi, unsur kepercayaan dipelajari melalui warisan aktivitas budaya masa lalu berupa record mencakupi data tekstual (memuat tulisan) dan kontekstual (tanpa tulisan). Sesuai tujuan, tulisan memaparkan tangguhnya kepribadian nenek moyang Nusantara juga upaya merenungkan, memahami dan mengerti nilai dan makna kepribadian budaya bangsa baik yang tersurat maupun tersirat. Sebab untuk melangkah ke depan, manusia hendaknya mengevaluasi peristiwa yang pernah terjadi, sejalan takdir sebagai bangsa dimana kita berada, berasal dari mana. Layaknya ungkapan the past is the key to the present menyiratkan bahwa masa lalu adalah akar masa kini, dan masa kini adalah penentu masa depan.
Pertama dibicarakan pengertian kepercayaan, inti yang menjiwai kebudayaan; saling menunjang dengan data warisan aktivitas budaya nenek moyang Nusantara sesuai dengan kepentingan. Data tekstual maupun kontekstual yang ditampilkan bertaut dengan isi ajaran (tekstual) dijalin sedemikian rupa saling menunjang dan saling menerangkan. Secara lebih khusus Majhapahit pada periode menuju akhir (abad ke XIV Masehi) akan lebih nampak mewarnai di sini, masa yang menandai puncak kejayaan kebangkitan kepercayaan pribumi berkaitan dengan gejala millenarisme. Disamping itu, Sunda, pada periode kontemporer (dengan Majhapahit) sebagian besar warisan aktivitas budayanya (kontekstual) secara universal mencirikan corak-corak keagamaan asli pribumi. Di Tatar Sunda, corak budaya Megalitik sangat terasa kental kehadirannya sebagai kontinuitas yang berlanjut sejak awal kehadirannya hingga ke periode Klasik (Hindu-Buda) dan inovasi Islam. Kedua, menampilkan bukti-bukti hasil pengalaman yang menjadi kepribadian nenekmoyang Nusantara dan yang diambil menjadi percontoh utama Bali. Mengapa Bali? Karena masyarakat Bali (selain Kanekes) dengan keberadaannya kini tetap melangsungkan unsur kepercayaan asli pribumi, di dalam selubung Hindu-Dharmanya.
2. Sambandha
2.1. Kebangkitan Kepercayaan Asli: Suatu Reaktualisasi
Kepercayaan asli pernah diungkapkan Rachmat Soebagyo (l981:1) dengan istilah agama asli yaitu “... kerochanian yang khas dari satuan suku atau bangsa yang timbul dan tumbuh secara spontan bersama sukubangsa itu sendiri ...”.
Ungkapan itu memberikan pengertian bahwa kepercayaan asli tumbuh berkembang sejak awal bangsa Nusantara hadir di bumi, bahkan sebelum bertandang inovasi Hindu-Buda yang mengembangkan Siwa–Buda, jauh sebelum kehadiran inovasi Islam. Perkembangan selanjutnya kepercayaan asli pribumi bangkit kian pesat pada abad ke XV Masehi dan mempengaruhi Siwa-Buda yang diadaptasi menjadi agama negara absolut (kerajaan), khususnya di wilayah-wilayah yang dipengaruhi Hindu-Buda (Nusantara barat).
Kebangkitan kepercayaan asli menyebabkan Siwa-Buda mengalami perubahan dan kemunduran “total”. Pemerintah kerajaan berusaha memperkokoh kedudukan Siwa-Buda sebagai agama negara dengan menyebarluaskan ciri-ciri Siwa dengan harapan masyarakat mengingat kembali ke agama negara tersebut.
Beberapa prasasti masa Majapahit, diantaranya prasasti Samirono (1370 Saka 1438 Masehi); Prasasti Palemaran (1371 Saka/1439 Masehi); Prasasti Tamyajeng (1380 Saka/1448 Masehi), memuat keterangan tentang upaya untuk memperkokoh kedudukan agama Siwa-Buda dengan cara menghadirkan Puruhita (pendeta istana yang bertugas sebagai penasehat keagamaan); mengangkat salah satu ciri perwujudan Dewa Siwa yaitu arca linggaatau phallus(Soekarto 1983: 176-180; Hasan Djafar 1986: 254-256).
Rupanya, upaya memperkokoh kedudukan agama Siwa nampak tidak mampu membendung bangkitnya kepercayaan asli pribumi. Faktor kebangkitan kepercayaan asli adalah situasi dan kondisi sosial politik kerajaan yang mengalami kegoncangan. Di satu pihak kegoncangan dari dalam yang diwarnai perang saudara berlarut-larut; di lain pihak adalah hadirnya inovasi Islam di Jawa sebagai ideologi baru.
Ancaman kehadiran Islam (ideologi baru) abad ke XV Masehi diungkapkan di dalam beberapa sumber, diantaranya dicatat oleh Tome Pirez (Cortesao 1944:197) yang menyebutkan masa pemerintahan Sri Jayadewata (Pakwan Pajajaran) di pantai utara (antara lain Cimanuk-Cirebon) Tatar Sunda banyak berdiam orang-orang Islam, namun sejauh itu pengaruhnya belum sampai ke ibukota. Karyasastra Carita Parahiyangan yang disalin abad ke XVI Masehi (Atja l968) memberitakan bahwa saat itu situasi kerajaan aman tentram tidak terganggu musuh gangal (= kasar/ laskar/ tentara) dan musuh alit (= halus/ideologi).
Rupanya pengaruh Islam di Majapahit (kontemporer dengan Pakwan Pajajaran) lebih gencar. Majapahit sebagai negara teokratis agraris maritim, kekuasaannya mencakup hingga wilayah pantai utara sebagai kota-kota pelabuhan telah dipengaruhi dan memeluk agama baru tersebut, akibatnya banyak yang negara-negara daerah yang dipimpin oleh bhratara melepaskan diri membentuk kekuasaan sebagai negara Islam. Lambat laun mempengaruhi pedalaman tempat dimana terletak pusat kerajaan.
Islamisasi dan kondisi sosial-politik menyebabkan timbul gerakan millenarisme di dalam tubuh dan lapisan masyarakat ketika itu. Millenarisme adalah konsep keinginan untuk mendatangkan yuga (era) atau negara sempurna dengan pranata yang baik, karena pranata yang berlaku saat itu dianggap berada dalam kondisi buruk (Daud Aris Tanudirjo 1986). Gerakan millenarisme memperoleh tanggapan positif segenap masyarakat yang sebagian besar penganut kepercayaan asli, sehingga memperkokoh kedudukan dan memperluas sayap pengaruhnya di tengah maraknya Siwa Buda.
Demikianlah kepercayaan asli pribumi yang berkembang sebelum agama Siwa-Buda itu, memiliki konsep bahwa alam semesta didiami mahluk-mahluk halus dan roh-roh. Selain itu alam dianggap memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan manusia atau adikodrati. Karena itu manusia di bumi selalu berusaha menjalin hubungan dengan kekuatan yang berada di luar dirinya, agar diberi kesejahteraan dan kesuburan. Usaha dan tujuan tersebut dicapai melalui simbol dan lambang, karena simbol dan lambang akan mempermudah pemahaman dan penggambaran sesuatu yang adikodrati. Simbol dan lambang di sini berfungsi sebagai pengikat solidaritas individu/kelompok penganut kepercayaan suatu religi (Koentjaraningrat 1986; Noerid Haloei Radam 2001).
Anggapan adanya mahluk halus dan roh merupakan unsur keyakinan, mencakup konsepsi tentang dewa, roh, baik dan roh jahat serta konsepsi tentang kosmos (jagat alit dan jagat ageung). Konsep-konsep spiritual yang menyebabkan timbulnya keinginan dan usaha manusia mengadakan hubungan jagat semesta. Dengan landasan pemikiran selalu terjalin hubungan yang selaras antara unsur-unsur mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran. Seiring dengan itu hadir upacara-upacara khusus yang ditujukan kepada pemujaan arwah nenek moyang (nenekmoyang yang telah didewakan). Kepercayaan ini tidak sekedar menyebar dan meluas pada pribumi bangsa Nusantara juga di Asia Tenggara (a.l. Burma, Laos,Vietnam) (Groslier 1961).
Gejala millenarisne pada masa Majhapahit akhir (abad ke XIV Masehi) merupakan puncak yang menandai kebangkitan kepercayaan asli pribumi yang sebenarnya sejak awal secara tersirat senantiasa menjiwai konsep religi hingga masa berkembangnya Siwa-Buda pada masa Klasik. Diantaranya adanya perbedaan fungsi bangunan suci yang disebut candi, antara India dan Nusantara (Soekmono l977); berkembangnya kepercayaan bahwa raja keturunan langsung nenek moyang yang telah didewakan (diperdewa).
Menurut konsep kepercayaan pribumi, tempat manusia melangsungkan kehidupan berbudaya disebut buana panca tengah. Sejalan fungsi kedudukannya di jagat semesta akan senantiasa dipengaruhi tenaga atau kekuatan bersumber pada penjuru mata angin, bintang, bulan dan planet. Kesejahteraan dan kemakmuran terselenggara manakala terjadi kesejajaran antara mikrokosmos dan makrokosmos (Heine Geldern 1967).
Refleksi konsep kosmologi tampak pada susunan bangunan dan benda-benda yang dianggap suci. Tatanannya disesuaikan dengan susunan jagat semesta, antara lain orientasi bangunan yang diarahkan ke penjuru mata angin. Dalam konsep ini berlaku anggapan bahwa matahari sebagai tata surya memiliki kekuatan magis yang senantiasa dipancarkan ke seluruh penjuru mata angin jagat semesta. Karena itu arah matahari terbit dipercaya memiliki potensi besar sebagai sumber kehidupan; sedangkan arah matahari terbenam dianggap arah kematian dan berkurangnya kekuatan.
Konsep itu diungkapkan di dalam menentukan orientasi penguburan. Orientasi si mati yang diarahkan ke timur-barat atau barat-timur, sesuai anggapan bahwa arah tersebut merupakan arah magis. Di dalam peristiwa penguburan menempatkan kepala si mati di timur merupakan refleksi dari anggapan arah timur merupakan asal nenek moyang. Agar orang yang telah meninggal itu diharapkan dapat kembali ke tempat asal; sedangkan penguburan dengan menempatkan kepala si mati di barat sesuai anggapan bahwa barat adalah benar-benar arah kematian (Quaritch Wales l953).
Pemujaan kepada gunung sama halnya dengan kultus kepada matahari. Gunung direfleksikan terhadap susunan bangunan dan atau orientasi penguburan si mati. Tatanan atau susunan bangunan dengan konsep pemujaan dewa gunung itu sebenarnya telah diawali sejak budaya (tradisi) megalitik. Pada umumnya bangunan yang didirikan ditujukan sebagai sarana atau media pemujaan arwah nenek moyang. Selaras inti kepercayaan tentang adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati, terutama adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraaan dan kesuburan kehidupan manusia di bumi. Jasad seseorang yang telah mati dipusatkan pada bangunan batu kemudian dijadikan medium pemujaan tahta kedatangan serta lambang si mati (Quaritch Wales 1953).
Gunung merupakan unsur yang didewakan adalah “the Mountain of God” seperti halnya anggapan terhadap adanya keturunan Dewa Matahari “Children of the Sun” pada tradisi budaya Megalitik. Simbol-simbol yang merupakan unsur pemujaan ini berlaku universal pada masanya namun pilihan utama bergantung kepada kondisi dan situasi lingkungan kebudayaan. Orientasi bangunan dengan konsep puncak gunung (Chtonis) senarai tujuan dan harapan memperoleh kesejahteraan dan kesuburan. Gunung dipandang simbol tahta persemayaman nenek moyang (Sanghiyang Acalapati). Penempatannya diarah-kan ke puncak gunung, atau langsung diletakkan pada tubuh gunung (imposisi) sementara bangunan dimodifikasi seakan-akan menyandar ke tubuh gunung (replika).
Contoh paling menarik adalah mempopulerkan lingga juga surya majhapahit seperti terdapat pada kompleks Candi Panataran, Candi Rimbi, dan Candi Jabung. Namun konsep tertua penerapan Dewa Matahari sebenarnya telah ada sejak Kerajaan Kutei (abad ke- V Masehi) di Kalimantan Timur. Salah satu prasasti yang dipahatkan pada tonggak kurban (Yupa) oleh Mulawarman menyebut bahwa: “... sang maharaja Kundungga yang amat mulia mempunyai putra yang mashur, yang seperti Angsuman (Dewa Matahari).... “. Membuktikan tokoh Kundungga belum memeluk Hindu karena nama Kundungga tidak pernah ada di dalam peradaban Hindu (Poerbatjaraka l951: 10). Sedangkan putranya (Aswawarman) disimbolkan sebagai Angsuman (epithet Veda Kuno) yang disebut Suryya merupakan bentuk antropomorfis matahari yang senantiasa menyinari semesta kehidupan bumi.
Sejumlah besar sisa aktivitas budaya di gunung Pananggungan, gunung Arjuna dan Tambakwatu (Pasuruan) adalah saksi berkembangnya kebangkitan unsur kepercayaan asli tersebut dengan ciri gaya seni yang jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya (Majhapahit akhir – milenerisme). Antara lain pemahatan arca-arca yang tidak proporsional, hiasan-hiasan berbentuk kurawal, arca-arca tanpa mahkota dengan mata bulat tanpa kain, membawa senjata (tertentu), tubuh gemuk dengan perut dan pantat besar (Atmosudiro l984: 24). Ciri dan cara penggarapan arca dengan ragam hias yang tidak proporsional itu mengesankan bahwa sang seniman telah meletakkan elemen-elemen naturalis, “kesengajaan” yang dilatari kepercayaan asli dengan lebih mengutamakan unsur simbolis daripada ketepatan anatomis, dimaksudkan agar nilai magis lebih menonjol daripada nilai keindahannya. Gejala yang dapat disejajarkan kepada dengan landasan pemikiran seniman pra-Hindu tentang anggapan arca merupakan personifikasi nenek moyang yang telah meninggal dunia diupayakan berkesan statis sesuai kondisi yang telah meninggal (Atmosudiro 1984:24).
Sejumlah prasasti (batu) di kecamatan Senduro (Lumajang) patut dicurigai sebagai indikasi reaktualisasi kepercayaan pribumi yang ternyata tidak pernah punah ditengah-tengah era memuncaknya inovasi Hindu Buda. Hasil dari telaah M.M.Sukarto K.Atmodjo (l980) membuktikan hal itu. Ia menegaskan bahwa 20 keping prasasti batu yang tersebar di desa Pasru Jambe (Senduro, Lumajang) merujuk tahun Saka 1381 (1459 Masehi) adalah semasa dengan masa pemerintahan Bhre Wengker (Hyang Purwawisesa: mertua Hayam wuruk).
Prasasti-prasasti itu menerangkan tentang ajaran susila di dalam upaya membina kehidupan keluarga yang tentram bagaikan keselarasan antara bumi dan langit, diungkapkan ke dalam kalimat ”kadi boting ngakasa lawan pertiwi papak kabuktiha”. Unsur pokok yang dipuja bukanlah dewa Hindu melainkan “(h)yang mami” yang memberikan restu bagi kehidupan dunia dan akhirat. Dengan kata lain Sang Nawakrnda adalah pendeta yang tapabrata (meditasi/samadi) di dukuh Munggir, Pasrujambe guna mencapai kesatuan (pangesthu) “Yang Mami” hingga akhir kehidupan.
Peristiwa ini memperkuat bukti bahwa abad ke XIV Masehi merupakan puncak kebangkitan (reaktualisasi) kepercayaan asli pribumi, ditopang oleh gejala mesianik. Dimana pusat-pusat keagamaan dengan memuja tokoh tertentu yang dianggap mampu menyelamat-kan dunia dan berkembang terutama pada masa Majhapahit akhir. Gejala lain yang ditujukan untuk memperoleh kaleupasan, karenanya upacara ruwatan menjadi sangat penting.
Gejala Mesinaik atau milenarisme timbul sebagai akibat ajaran resi (Wanaprastha dan Sanyasin) seiring mulai gencarnya pengaruh Islam, yang pada gilirannya justru memperkuat bangkitnya kepercayaan asli. Kehidupan spiritual yang berlangsung di dalam lingkungan-lingkungan sunyi terpencil, semacam padepokan seperti di alam pewayangan (?) dengan menampilkan tokoh utama Bhima sebagai simbol utama ruwat dan kalepasan. Oleh Prijohutomo (l934;cf. Santiko l990:123) dijuluki Pahlawan Keagamaan. Kegiatan yang ber-kenaan dengan unsur kepercayaan pribumi (lokal) yakni landasan kayakinan atas bersatunya Kawula Gusti/Suksma diri dengan Sang Maha Suksma bagai peristiwa tokoh Bhima tatkala ke luar dari dirinya, setelah mendapat wejangan Dewaruci dan kembali kepada saudara-saudaranya.
Unsur kepepercayaan pribumi yang direprentasikan ke dalam konsep kaleupasan tersebut mengindikasikan unsur kesuburan yang telah ada dan dianut sejak masa prasejarah, diaktualisasi melalui simbol-simbol alam yang dipersonifikasi ke dalam wujud-wujud tertentu, khususnya yang akrab dikenal di dalam lingkungan kebudayaannya. Kondisi keagamaan seperti ini sangat menggejala menjelang abad ke XIV Masehi, sebenarnya bukan sesuatu yang “baru hadir” atau “yang dihadirkan kembali”. Melainkan telah berlangsung sejak awal kehidupan prasejarah hingga meruaknya inovasi Asing (terutama India dan Islam) (Ossenbruggen 1975). Dihiasi maraknya kegiatan keagamaan di tempat-tempat sunyi dan tersembunyi, jauh dari keramaian, memilih letak di puncak-puncak gunung dan dataran tinggi yang sulit dicapai. Tempat-tempat yang disebut padepokan keagamaan, yang dipimpin dan dikelola langsung para pemuka keagamaan disebut Mandala Kadewagurwan.
Padepokan-padepokan semacam itu juga ditemukan di berbagai tempat lainnya a.l. diberitakan di dalam prasasti batu bukit Gunung Namil (kecamatan Sutajayan, Blitar), tahun 1328 Masehi menceritakan tentang kaleupasan akhir. Diceritakan bahwa seorang Ra Kaki (pendeta) dan sekalian murid-muridnya melaksanakan tapa brata guna mencapai kaleupasan (hatapa racut); Sejumlah warisan aktivitas budaya di lereng barat gunung Lawu, antara lain di Matesih, Candi Sukuh, Candi Ceta dan Candi Planggatan (1437 Saka/1479 Masehi) dan Punden Cemoro Bulus; sejumlah prasasti di Pasru Jambe menyebutkan Sang Nawakrnda (9 wadah) (Soekarto K. Atmodjo l986: 250-250).
Semuanya merupakan bukti gejala reaktualisasi, gerakan kembali pada kesadaran murni penyatuan diri dengan sang pencipta yang disimbolkan dengan menghadirkan unsur-unsur kepribadian asli. Sang pemula yang telah menyebabkan diriya menjadi bangsa di bumi Nusantara. Bangunan-bangunan pada masa ini hadir dengan keunikannya sendiri, semuanya adalah cermin kaleupasan, persatuan langit dan bumi melalui simbol laki-laki dan wanita sebagai keselarasan dan kebahagiaan abadi. Bangunan teras berundak dilengkapi simbol corak binatang yang dianggap lambang udara/ langit (kelelawar), bumi (chtonis: gajah, bulus/kura-kura), air (mimi lan minthuna), adalah unsur pancamahabhuta (akasa/angkasa/ langit, bayu/angin, agni/api, apah/air, prtiwi /bumi) di dalam diri manusia (buana alit/ mikro-kosmos) sebagai replika jagat semesta (buana ageung/makrokosmos). Guna mencapai kaleupasan yang sempurna itu, maka buana alit/manusia harus selaras dengan dipersatukan kepada buana ageung / alam semesta.
Kehidupan keagamaan abad ke-XIV Masehi mempertegas hubungan konvensional keagamaan dan kepercayaan lingkungan alam dan roh nenekmoyang sebagai representasi mental yang telah sejak awal pernah berlaku. Sebagaimana refleksi filosofis yang tumbuh berkembang di alam pemikiran dan pandangan mistis orang Jawa terhadap dunia. Orang Jawa membedakan jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad cilik (mikrokosmos). Jagad gedhe merupakan paradigma jagad cilik, manusia sebagai jagad cilik mempunyai dua aspek yaitu jasmani/lahir dan rohani/batin. Segi lahir melambangkan daya-daya kekacauan (chaos) sedangkan segi batin melambangkan daya-daya keteraturan yang berhubungan dengan hakikat kosmis tertinggi dan moralitas. Aspek rohani dianggap unggul, lebih benar dan lebih esensial yang merupakan asal dan tujuan manusia. Segi rohani berhubungan dengan kebaikan dan lahir dihubungkan dengan kejahatan.
Tercermin dalam mitologi Jawa, Ramayana dan Mahabharata, memandang hidup ini layaknya perang (palagan, juritan) antara kebaikan dan kejahatan. Orang harus berusaha mengalahkan unsur-unsur lahir seperti emosi, dorongan nafsu, pemikiran duniawi. Makna dari pengertiannya adalah memurnikan aspek batiniah dan bersatu kembali ke hakikat yang tertinggi (manunggal ing kawula gusti). Mencapai kesatuan dengan hakikat tertinggi yakni mengusahakan keteraturan yaitu keselarasan dengan segala pengada (jagad gedhe), yakni kesatuan antara pencipta dan ciptaan, hamba dan tuan, sangkan dan paran.
Perlu digarisbawahi bahwa reaktualisasi kepercayaan pribumi menjelang abad ke XIV Masehi merupakan cara khas masyarakat Jawa, di dalam upaya menghadapi realitas perubahan jaman dengan mencari identitas dan ekspresi budaya yang khas Nusantara. Kepercayaan pribumi dipandang reaksi positif, bukan sekedar pelarian dari realitas semata yang menekan hadirnya unsur-unsur luar (inovasi asing), bukan juga protes terhadap agama-agama resmi yang dogmatis dan formal. Namun upaya filter dari kepribadian Jawa dan atau sebagai mechanical defense terhadap kian gencarnya inovasi asing (terutama ideologi baru).
2.2. Dinamika Kepribadian Nenek Moyang Nusantara
Sejak masa Prasejarah masyarakat Nusantara telah mampu membuat arca-arca dan bangunan-bangunan besar, maka tidak sukar jikalau mendirikan candi atau kuil. Lagipula telah dibuktikan bahwa bentuk dan wujud candi di India tidak ada yang merupakan prototype bangunan candi di Nusantara. Candi-candi India memiliki ruangan-ruangan luas, sedangkan bangunan-bangunan candi di Nusantara ruangan-ruangannya sempit dan secara konseptual fungsi candi pun sangat berbeda.
Di Nusantara, candi dibangun ditujukan untuk menghormati nenek moyang (leluhur) (pendharmmaan) dengan diberi bentuk dewa (si mati yang telah diperdewa). Representasi tersebut didasarkan kepercayaan asli pribumi, dimana arca perwujudan berbentuk monolith yang disebut menhir itu ditransformasi busana dan istilah baru – lingga- sertaditempatkan di ruang pusat candi tidak lain adalah kelanjutan (continuity) atau bentuk lain dari konsep menhir tersebut.
Konsep dewa di India adalah superhuman being dalam kaitan antara sang pencipta dan yang dicipta. Maka candi dalam konsep India bahwa candi-candi benar-benar untuk para dewa. Di Nusantara, dewa dilandasi kepercayaan yang berkembang masa prasejarah, dewa hanya istilah “wadah” sejalan konsep yang melatari menhir (batu tegak) dalam kebudayaan megalitik semata-mata simbol tempat persemayaman (sthana) sementara roh nenekmoyang.
Demikian pula Candi Borobudur merupakan bangunan perpaduan punden berundak tradisi budaya megalitik (zigurat) dan stupa dari Indianism, Bangunan Budha Mantrayana yang sangat megah ini merupakan representasi ajaran agama (keagamaan) yang tertera di dalam karyacipta agung cendekiawan Nusantara, Sanghyang Kamahayanikan, abad IX Masehi. Karyasastra bilingual (dua bahasa) Sanskerta dan Jawa Kuno, dirumuskan dan disusun cerdik-cendekiawan dari kaum agamawan Indonesia. Termasuk kesempurnaan menata dan menempatkan relief-relief pada dinding-dinding bangunan dengan paduan harmonis melalui jalinan Mahakarmmawibhangga, Jatakamala, Awadanajataka, Lalitawistara -Gandawyuha. Tiada lain merupakan petunjuk tahap-tahap Paramitayana-Mantrayana direpresentasikan melalui lima arca Tathagata, pencapaian tingkatan-tingkatan kebudhaan yang melambang-kan Dharmacakramudra.
Maka Borobudur yang berbentuk zigurat adalah mandala atau kosmos, bangunan berundak makin keatas makin kecil hakekatnya adalah replika gunung, perlambangan tahta persemayaman nenek-moyang (Kamulan Parahiyangan). Karena itu Prasasti Kayumwungan (746 Saka/ 824 Masehi); prasasti Plaosan Lor (764 Saka/ 842 Masehi) menyebut Borobudur sebagai kamulan i bhumi sambhara, tempat- ka-mula-an atau sang mula-mula (sang awal) yakni arwah leluhur nan abadi di alam kalanggengan. Menurut hukum tatabahasa, istilah kamulan berasal dari ka-mula-an dengan kata dasar mula artinya umbi (beuti), dalam arti seluas-luasnya sang pemula atau leluhur, rumuhun. Tiada bedanya sedikitpun dengan istilah buyut-Kabuyutan yang dikenal sejak awal oleh penganut Sunda Wiwitan.
Masyarakat Nusantara masa pra-Hindu kerap dipandang “animis”, ternyata sangat bertentangan dengan studi-studi kebudayaan (etnis) yang membuktikan secara jelas. Suku-suku yang hidup di pedalaman Nusantara ternyata telah lebih awal melandasi dirinya mengenal dewa-dewa di lingkungan organisasi yang teratur. Seperti kelompok masyarakat Toraja menyeru Boeriro, istilah asli Toraja menyebut dewa yang berbentuk raksasa dan dipercaya sebagai tokoh “sakral” yang memberikan api kehidupan dan makanan. Simbol kepercayaan serupa yang juga berkembang di kawasan kepulauan Pasifik (a.l. Hawaii). Termasuk arca-arca berbentuk dinamis di Nusantara yang kerap dipertautkan dengan pengaruh Hindu itu sebenarnya asli pribumi, yang kehadirannya merupakan proses kontinuitas unsur kepercayaan sejak masa Prasejarah.
Sejumlah prasasti Sri Vijaya yang bersifat imprecation formula (persumpahan) selalu diawali seruan kepada Tandrun Luah atau Tandang Luah, dewa yang diyakini melindungi dan menjadi saksi atas sumpah dan segala perbuatan manusia. Demikian pula sejumlah prasasti bertema sima pada masa Mataram Kuno (Jawa Tengah da Jawa Timur) tentang upacara peresmian sebidang tanah, sawah, kebun, rawa dan lain-lainnya yang menjadi bagian bumi menjadi perdikan (otonom). Disertai sumpah, laknat dan kutukan dalam upaya mentahbiskan peristiwa upacara dengan menyeru roh-roh leluhur, roh raja-raja sebelumnya. Roh-roh para pendahulu yang diyakini secara langsung melindungi dengan merasuk ke dalam jiwa. Salah satu ungkapan seruan itu dimuat dalam prasasti Mantyasih (829 Saka/ 907 Masehi): “...sakwaihta Rumuhun Rahyangta i Mdang i Bumi Mataram...umasuki ning ngwang kita kabaih” disusul dewa-dewa yang sebenarnya merupakan personifikasi gejala-gejala alam kemudian bahasanya telah dibusanai dengan di-Sanskerta-kan. Seruan atas dewa-dewa lokal sebagai saksi dalam upaya mensyahkan segala aspek dan gerak kehidupan hampir selalu dimuat dalam prasasti-prasasti yang bertema sima.
Segala sesuatu berkaitan dengan gejala perubahan atas lingkungan alam khususnya, objek utama upacara peresmian sima disimbolkan oleh bentuk lumpang batu (lisung) diberi honorefic prefic (ungkapan hormat) sanghyang watukulumpang simbolisasi persatuan bumi-pertiwi (mandala) atau mikrokosmos dan pasangannya berupa gandik disebut Sanghyang Teas (halu) tiada lain adalah lambang jagat semesta, makrokosmos.
Dikenalnya masyarakat berlapis Nusantara, caturwarna, (kasta) dianggap pengaruh Hindu-Buda (India). Tetapi Soejono (l974) membuktikan bahwa sebelum kedatangan orang-orang India, Indonesia merupakan stratified society, kenyataan ini antara lain dibuktikan hasil analisis sistem penguburan di Bali. Beragam sistem penguburan antara lain kubur tempayan, dalam sarkopagus tanpa wadah. Keragaman bekal kubur tersebut adalah fakta yang menegaskan telah dikenalnya keragaman dalam susunan masyarakat.
Kelompok lebih tinggi dikuburkan dalam tempayan (sarkopagus) disertai bekal kubur yang banyak dan beranekaragam, sedang-kan masyarakat umum dikuburkan tanpa wadah. Soejono membuktikan bahwa Gilimanuk (Bali) adalah situs nekropolis yang telah mengenal aktivitas dan kelompok pedagang. Kelompok inilah yang pada saat hadir inovasi Hindu-Budha (India) kemudian dinamai atau diberi istilah baru dari pengaruh India (Sanskerta) dengan istilah ksatrya, waisya, brahmana dan sudra.
Menurut R.von Heine Geldern (l982) kota dan kerajaan-kerajaan di Nusantara dan Asia Tenggara disusun berdasarkan konsep Hindu-Budha (India):“pusat dunia dikelilingi tujuh benua dan tujuh lautan yang membentuk cincin” dengan dasar kota dan kerajaan tiada lain adalah replika kosmos susunannya pun meniru kosmos. Anehnya, kota-kota awal di Asia Tenggara justru berpola segiempat, bukan seperti cincin. Namun menurut William Alkire (cf. John Miksic 1982) orang Austronesia (non-Hindu) telah memiliki konsep kosmos dengan bentuk segiempat yang didasarkan pengetahuan astronomi yang kini tersisa di Mikronesia, tampak konsep Austronesia asli inilah yang mendasari dan melandasi susunan kota dan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara.
Salah satu kelompok etnis Nusantara yang tetap setia memeluk kepercayan Asli yang tampil mencolok adalah Bali dan Kanekes. Meskipun Bali mengakui diri agama Hindu Dharmma namun konsep tatanan kosmisnya merupakan hasil pemikiran local development :
1. Atita – Nagata – Warttamana: setiap perubahan yang terjadi terjalin erat antara masa masa lampau, kini dan masa yang akan datang;
2. Desa- Kala – Patra desa-kala-patra: setiap perubahan disesuaikan dengan lingkungan/ tempat (desa), waktu (kala) dan suasana/keadaan (patra);
3. Tri – Hita – Karana: setiap perubahan perkembangan berpegang kepada pokok yang tiga (tri), hita (baik), karana (sebab), faktor pawongan (manusia), pallemahan (tanah dan lingkungan hunian), parhyangan (candi atau bangunan suci).
Pengaruh India dalam bidang kesenian dan bahasa juga nampak tidak lebih dari sebatas kulit, dijelaskan oleh Stutterheim, seorang sejarahwan (berkebangsaan Belanda), ketika meneliti epic Ramayana Indonesia membuktikan, meski ceritanya pengaruh India namun nyata betapa dominan unsur-unsur cerita rakyat Nusantara di dalamnya.
Ramayana epic antara lain ditemukan dalam pahatan relief-relief candi Prambanan, isinya adalah riwayat hidup raja yang di-dharmmakan di sana (Rakai Pikatan). Begitu pula relief Ramayana dan Mahabharata yang dipahatkan pada candi-candi di Jawa Timur menggambarkan Arjuna yang dianggap sebagai Mintaraga, bahkan Pandawa diidentifikasi sebagai nenek-moyang raja-raja Jawa (Koentjaraningrat l963).
Sejarah mencatat bahwa senisastra yang menjadi sumber inspirasi atas pemahatan relief-relief pada bangunan–bangunan suci di Jawa Tengah dan Jawa Timur digubah para pujangga pribumi. Sebagaimana kegeniusan seorang Mpu Kanwa meramu dan menggubah bagian-bagian dari kakawin Mahabharata dan Arjunabhigama, di Nusantara dikenal dengan Parthayajnya Wirataparwan dan Niwatakawacaparwa selanjutnya menjadi karyasastra baru yang hadir dan tampil sebagai Arjunawiwaha.
Sejak awal masyarakat kepulauan Indonesia telah memiliki dan mengenal alat komunikasi, lingua-franca, yakni bahasa k’wun-lun (Kunlun). Jenis bahasa pergaulan antar bangsa atau bahasa Malayu yang diwarnai interferensi bahasa Sanskerta dan berkembang di dalam perbendaharaan bahasa Malayu pergaulan. Membuktikan bahwa tatkala munculnya prasasti pertama, masyarakat Nusantara sebenarnya telah melek baca tulis bahkan memahami bahasa-bahasa “international” (a.l. Sanskerta). Tentu saja tulisan-tulisan yang dikenal waktu itu dan digoreskan pada bahan-bahan yang sangat mudah lapuk (ron [/daun]Tal, bambu, kulit kayu) kenyataan bahwa etnis Batak, Aceh juga etnis-etnis lain di Nusantara memiliki sistem aksara sendiri yang berbeda dengan gaya aksara India.
Sebelum dapat menulis dan membaca mereka sudah mengenal sistem organisasi, dimana seorang pemimpin didampingi pendeta, upacara-upacara dalam sistem kepercayaan, dukun dalam soal magi dan obat-obatan, pasukan tentara, arsitek rumah, kapal dengan para pandai atau ahli cor logam, pemahat, petani dan nelayan yang telah menghasil-kan komoditi pangan. Ketika terjadi kontak dengan kebudayaan India, raja, pemimpin dan sebagian kecil masyarakat memakai busana atau dandanan baru dengan istilah-istilah Sanskrta (India), seakan-akan didominasi kebudayaan India, kenyataannya sama sekali tidaklah demikian.
Raja-raja bergelar abhisekanama (nama tahbis)bahasa Sanskrta melalui serangkaian upacara dengan bantuan para brahmana tiada lain demi wibawa dan gengsi internasional bagi kawan maupun lawan, tetap saja sifat kesakralannya dianggap memiliki kekuatan sakti “mana” yang dikenal di dalam kebudayaan Austronesia, sebagai induk pasukan kebudayaan Nusantara yang juga berlandaskan pada keyakinan bahwa pemimpin masyarakat adalah keturunan langsung nenekmoyang pertama yang menghadirkan individu/kelompok yang bersangkutan serta dianggap hidup sebagai dewa di dunia roh.
Pangkal kepercayaan berkembangnya konsepsi rajadewa dalam kerajaan-kerajaan Indonesia tipe kedua adalah bentuk pemerintahan yang berlandaskan kebudayaan agraris. Pada masa Hindu religi asli berpusat pada pemujaan roh nenek moyang dan kepercayaan pimpinan kelompok masyarakat merupakan keturunan langsung nenekmoyang yang telah menjadi roh disebut penjelmaan dewa. Konsepsi yang dilandasi fungsi sosial-politik untuk mengkukuhkan dan memantapkan karismatik dari kekuasaan raja berdasarkan agama. karena dalam wadah itulah ekonomi lebih mendapatkan peluang berkembang.
Di kawasan Lebak (Banten, Jawa Barat), terdapat sejumlah situs yang bercorak (tradisi) megalitik juga terdapat prasasti (insitu) di tepi Ci Danghiyang, digoreskan pada bongkah batu alam beraksara Pallava dan bahasa Sanskrta menyatakan bahwa kawasan ini berada dalam kekuasaan Purnawarman penguasa kerajaan Taruma sebagai panji segala raja-raja. Simbol-simbol yang dipuja oleh masyarakat pribumi tersebut didudukkan sebagai dewa keluarga dan dewa resmi kerajaan. Sikap kerajaan sebagai pelindung kepercayaan pribumi tiada lain ditujukan memperkokoh kekuasaan dan kedudukan sebagai penguasa dengan pemerintahan yang sah. Dalam kebudayaan Jawa dan Bali mengenal Tirtha (Toya) Amerta (air kehidupan) yang di India disebut Bhimasena as giver of fertility and rain. Di Indonesia Bima adalah justru tokoh utama di dalam cerita Dewaruci yang justru mencari air kehidupan dengan berbagai istilah seperti tirta nirmala, tirta kamandalu, toya pawitra, toya marta, banyu panguripan, atau amrtanjiwani.
Kronogram pada masa Gupta (IV-VII Masehi) tidak lebih dari deretan kata-kata tanpa memiliki arti tertentu. Di Indonesia kronogram menjadi sengkalan yang terdiri dari kata-kata tetapi disusun sedemikian rupa berupa untaian kalimat yang indah dan luwes serta langsung memaknai peristiwa yang terjadi. Salah satu contoh, pada tahun 1250 Saka (1328 M) ketika raja Jayanagara wafat dibunuh oleh dokter bedahnya yang bernama Tanca, dan Tanca lantas dibunuh oleh Gajah Mada pada tahun “bhasmi [angka 0] bhuta [angka 5] nangani [angka 2] ratu [angka 1]” (hancur lebur siapa berani membunuh penguasa/raja); keruntuhan dan kehancuran kerajaan Majapahit pada tahun 1400 Saka (1487 Masehi) diungkapkan dalam kronogram “sirna [0] ilang [0] kerta [4] ning bhumi [1]” (hilang lenyap makmur negara); juga kubur panjang di Gresik berbunyi “kaya[3] wulan [1] putri [3] iku [1]” (= kecantikan putri itu bagaikan bulan) lambang wafatnya putri Cerme pada tahun 1313 Saka (1391 Masehi).
Tradisi sengkalan berlanjut hingga pengaruh Islam dalam tulisan bahasa Arab dan Sunda (dialek Banten) untuk memperingati pemindahan meriam Demak (Ki Jimat)ke Banten (Ki Amuk) “akibat ul khair salawat al iman” (pangkal kebaikan adalah keselamatan iman) lambang angka tahun 1450 Saka (1528/1529 Masehi).
Islam yang hadir setelah India juga ternyata hanya berfungsi sebagai pembungkus (busana) luar dari kebudayaan asli. Dikenalnya sistem pemakaman pada bukit atau bangunan berundak pada beberapa makam Islam mencerminkan konsep keagamaan Nusantara asli yang merupakan sinkretisme ajaran asli dengan ajaran Islam. Dalam ajaran Islam tidak diperkenankan membuat hiasan pola mahluk hidup, tetapi ternyata di Indonesia pola hiasan banyak ditemukan hiasan-hiasan pada makam meski telah dalam bentuk stilir.
Proses akulturasi menunjukkan bahwa kepribadian masyarakat bangsa Indonesia tetap berperan, kebudayaan dari luar tidaklah ditelan menta-mentah tetapi diserap guna memperkaya kebudayaan asli. Proses penyerapan yang berlangsung di dalam peristiwa akulturasi tersebut justru memancarkan daya gerak (stimulus-response) atas kebudayaan pra-Hindu di dalam local development (modernisasi lokal), guna menguatkan dan mendandani (busana) konsep-konsep yang telah ada sebelumnya. Kekuatan atas kemandirian kreativitas sejak paling awal telah tampil mencolok, diantara pengaruh India yang seakan-akan nampak “kental” memperlihatkan adanya ciri pemikiran pribumi yang tidak berubah, pemakaian tarikh Saka dari India pada prasasti-prasasti di Nusantara ternyata dilengkapi sejumlah unsur-unsur pertanggalann pribumi (unsur stempat) kemudian dipertahankan hingga masa-masa sesudahnya. Sistem pertanggalan yang tidak sama dan tidak dikenal di India.
Dalam hal ini sarjana Belanda F.D.K.Bosch (1952), menyatakan kekagumannya bahwa kesiapan mental (self determination) masyarakat Nusantara dilandasi kemampuan untuk menerima dan sekaligus mencernanya secara selektif terhadap unsur asing itu. Budaya yang dihasilkan semata merupakan dayacipta dari kemampuan luar biasa para cendekiawan Indonesia dalam usaha merumuskan serta merealisasikannya sesuai bentuk dan sifat citarasa kepribadian Nusantara. Sejarah membuktikan, penyerapan substansi-substansi baru atau asing terhadap kebudayaan di kawasan Asia Tenggara telah menghasilkan ekspresi budaya dengan karakter kepribadian bangsanya yang mandiri.
Keanekaragaman ekpresi budaya yang berpegang pada prinsip-prinsip dasar sebagai filter pertahanan kuat bagi warisan budaya yang telah dimiliki. Pengaruh asing tidak pernah menggusur tatanan kebudayaan asli pribumi melainkan kian mengakar kuat dan tidak kehilangan identitasnya. Dengan kata lain, unsur-unsur (inovasi) asing tersebut tidak membawa perubahan kebudayaan kwalitatif (morphogenesis), melainkan kwantitatif (morphostatis). Sekedar memperkaya kebudayaan asli pribumi yang memiliki landasan dan kemampuian nilai terbuka selektif, sehingga hasil yang nampak merupakan adalah bukti yang menandai bahwa bangsa pribumi Nusantara pernah saling berinteraksi dengan bangsa lain.
2.3.Kepercayaan Asli Pribumi: Semesta Pemahaman Kesadaran Manusia Terhadap Diri
Keseluruhan fase kebudayaan yang dipaparkan itu erat hubungannya dengan sikap dan kemandirian yang membentuk kepribadian bangsa. Semua materi kepercayaan asli pribumi terkandung dalam kebudayaan, diperoleh manusia Nusantara secara sadar lewat proses pengalaman belajar. Dalam kegiatan belajar inilah pengalaman yang diperoleh diteruskan dari dan oleh generasi satu ke generasi dan dari waktu ke waktu. Ajaran leluhur Nusantara yang melandasi secara universal serta diungkapkan kepada pemahaman manusia serta hubungannya dengan sang pencipta. Jika ditinjau berdasarkan warisan aktivitas budaya ‘record’ ajaran nenek moyang tersebut meliputi pemahaman konsep keselarasan mandala ataukosmis. Baik dalam kehidupan manusia maupun dalam hubungannya dengan jagat semesta yang direduksi ke dalam tiga jagat yang menentukan dan menaungi kehidupan manusia.
Dari berbagai data yang ada yang masih terealisasi utuh (jika tidak boleh disebut sempurna) hingga kini tertanam dalam jiwa masyarakat Kanekes yaitu konsep Tri Tangtu di bumi. Tangtu berasal dari kata tangtu merujuk kata “benang, cakal-bakal “the propagator of race”, menurut pemahaman Urang Kanekes sendiri, Tangtu adalah tentu, pasti, selaras “tempat, pasti” juga “pustaka” karena ada istilah “guru tangtu”, maka istilah Tangtu merujuk tempat, cikal bakal, pokok atau pangkal keturunan dan pendiri kehidupan. Dalam keropak 630 (XXVI) disebutkan: “… “Ini tri tangu di bumi, bayu kita pinaka prebu, sabda pinaka rama, hedap kita pinaka resi; ya tri tangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngaranna”(=Inilah tiga Tangtu di bumi, wibawa kita seperti raja, ucap kita seperti rama, tekad kita seperti resi, tri tangtu di bumi sebagai peneguh dunia” (Atja & Saleh Danasasmita 1981:22,28); Demikian pula Kropak 632 (Lembar III): “…jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu” (semesta bimbingan tanggung jawab sang rama, semesta kesejahteraan tanggungjawab sang resi, semesta tahta tanggung jawab sang raja).
Konsep Tri Tangtu adalah konsep tiga jagat (bumi) juga diterapkan pada bangunan suci yang senantiasa terdiri dari bagian luar, dalam dan pusat (ditengah atau tertinggi sesuai replika gunung). Tri yang melambangkan tiga semesta jagat yakni jagat bawah, jagat tengah dan jagat atas senarai dengan buwah loka , bhurloka dan swahloka; juga jaba luar, jaba tengah dan jaba jero (jeroan). Tiap semesta jagat dianggap personifikasi nenekmoyang yang dilambangkan sebagai IBU sesuai sifatnya senantiasa melindungi, memelihara dan menaungi kehidupan manusia, maka dikenal ambu rarang (bawah), ambu tengah (bumi atau buana panca tengah) dan ambu ruhur (atas).
Konsep pengertian yang melahirkan kultus pemujaan kepada dewi Ibu, pemujaan yang dikenal di hampir belahan dunia yang berpangkal kepada kesuburan Suatu pemujaan yang hadir diawali oleh perasaan takjub, heran dan ketidakpahaman proses terjadinya peristiwa alam terutama asal mula kehidupan jagatraya,kekuatan melahirkan dan yang mencipta segala sesuatu yang ada bumi.
Pemujaan kepada dewi Ibu khususnya dianut oleh masyarakat bercocok-tanam dan mencapai puncaknya pada sekitar 5000-4000 sM. Di wilayah-wilayah yang masyarakat nya bercocok tanam, ditemukan berbagai perwujudan kepada dewi Ibu berupa arca-arca wanita dipuja bersama-sama pasangannya (laki-laki) yang prinsipnya meski Dewi Ibu menduduki pemujaan lebih penting namun di dalam proses kelahiran peran laki-laki tidak dapat diabaikan, sejak itulah dewi Ibu tampil bersama dengan pasangannya.
Pemujaan dewi Ibu sebagai pokok pemujaan juga dikenal di Nusantara adalah juga hubungannya dengan dewi kesuburan, mother of fertility dituangkan secara teratur ke dalam kaidah-kaidah, norma-norma, dan ketentuan-kentetuan pokok sebagai pedoman kehidupan masyarakat agraris dengan mengutamakan mata pencaharian bercocok tanam.
Dewi Ibu sebagai unsur yang dipuja dipercaya melahirkan segala sesuatu di bumi menyebabkan pemujaan kepadanya lebih ditekankan pada anatomi berkaitan erat dengan peran melahirkan yakni payudara, perut dan genital, selanjutnya berkembang menjadi bagian aspek-aspek yang paling dipuja. Payudara sebagai lambang pelindung, pemelihara sumber kehidupan dan penguasa tanam tanaman yang dibutuhkan manusia khususnya biji-bijian dan umbi-umbian. Sebaliknya pula ia juga berhak penuh atas kehidupan manusia dan kelak akan mengambilnya kembali ke dalam pelukannya.
Sejalan pengertian bahwa segala sesuatu yang ada di jagat semesta ini akan kembali ke tanah, perut (kandungan) Ibu. Demikian maka genital adalah simbol Dewi Ibu sebagai yang mencipta, memelihara, payudara adalah simbol yang melindungi; perut adalah simbol dari kematian (perut) ke dalam pengertian bahwa Ibu adalah penguasa dunia bawah dan dunia atas (bawah dan permukaan tanah). Pemahaman ini menimbulkan konsep bahwa dewi Ibu memiliki dua sifat saling bertentangan (unsur positif dan unsur negatif).
Ibu adalah lambang dari aspek melahirkan dan aspek mencipta. Aspek melahirkan dihadirkan dengan menonjolkan kesatuan anatomi terutama berperan tatkala seorang ibu melahirkan yakni payudara, perut dan pinggul. Bahkan digambarkan dengan ukuran sangat berlebihan sehingga wujud dewi ibu digambarkan mirip wanita hamil. Bagian-bagian yang dianggap kurang berperan dalam kelahiran tidak begitu ditampakkan maka simbol dewi Ibu sengaja dibuat tanpa kepala.
Aspek mencipta disimbolkan dengan bentuk perempuan dengan sikap jongkok, bagian genital dilambangkan dengan bentuk segitiga. Bahkan di dalam wujud natural, kadangkala disertai bayi yang sedang keluar dari rahim [ada kalanya juga tidak], dewi dengan pasangannya; aspek pemelihara dan pelindung diwujudkan dalam bentuk ragam hias pilin berganda [payudara]. Betapapun pentingnya aspek-aspek lain dan tanpa berarti meng-abaikan anatomi lainnya namun, payudara, perut, genital merupakan unsur paling pokok karena organ ini yang paling berfungsi tatkala melahirkan dan mencipta.
Oleh karena itu Ibu juga dipersonifikasi sebagai unsur alam yang terutama tanah dan air, karena kedua unsur ini tidak pernah lepas saat melahirkan dengan kata lain juga mencipta mahluk di jagat semesta. Dewi Ibu yang tidak hanya diyakini sebagai pelindung, pemelihara dan unsur kesuburan yang menyediakan segala keperluan manusia di bumi, juga berhak atas kehidupan yang telah diberikan kepada manusia juga meraihnya kembali ke pangkuannya (kematian).
Ibu sebagai simbol yang memberi dan mensejahterakan kehidupan bumi dan segala kandungan isinya inilah yang menyebabkannya dihadirkan serta dan dipercaya berbagai religi asli pribumi. Konsep kepercayaan yang secara nyata mampu men-terjemahkan pesan dan isyarat kebesaran semesta sebagai “mayang sagara pamulangan”.
Perlu digarisbawahi gambaran bentuk-bentuk yang dipuja ke dalam berbagai aspek-aspeknya dan diberikan sesuai konsep pemahaman budaya dan keyakinan atau sistem religi lingkungan biofisik komunitas bersangkutan.Bagaimana mempraktekkan dan menyelami ajaran nenek moyang, mungkin Situs Kawali di Ciamis, Jawa Barat, perlu ditampilkan sebagai yang paling mewakili dan paling tegas mengumandangkan ajaran leluhur dengan pokok pemujaan kepada Hiyang.
Telah diketahui bahwa di Nusantara barat umumnya, dan Pulau Jawa khususnya, sebagian besar warisan aktivitas budaya yang ditemukan berupa punden berundak, terbanyak ditemukan di Jawa Barat. Senarai perjalanan religious belief-nya Sunda Wiwitan, bangunan suci pusat upacara pemujaannya merupakan kontinuitas tradisi budaya megalitik seperti diberitakan di dalam berbagai sumber tertulis dengan istilah khas yakni Kabuyutan. Karena pokok pemujaan Sunda Wiwitan adalah buyut yang diperdewa bertahta di Kabuyutan dengan sebutan hormat Sang Hiyang. Dapat dikatakan bahwa hampir seluruh Kabuyutan Tatar Sunda menampilkantatanan corak tradisi Megalitik yang sangat pekat.
Situs Kawali merupakan simbol yang melambangkan kemenangan dan keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan di bumi menuju ke alam arwah yang dilakukan oleh Prebu Raja Wastu (/Kancana) atau Prabu Sili[hwa]wangi II. Raja yang terkenal sangat agung perilakunya selama hidup ini menitipkan jejak tapanya (Situs Kawali) kepada generasi yang akan datang (nu pandeuri) agar tetap dipelihara dengan baik agar ajarannya yang berupa pengalaman keagamaanya menyatu dengan leluhur dapat diselami bagi yang berkehendak mengikutinya.
Pengalaman keagamaan yang ditempuh adalah bagaimana cara menang dari cobaan-cobaan hidup dengan senantiasa menerapkan kebaikan dan kebenaran (pakena keureuta bener, pakena gawe rahayu pakeun nanjeur na juritan pakeun heubeul jaya dina buana) demi kebahagiaan dan kemakmuran bersama. Menjauhkan diri dari perilaku semena-mena (haywa diponah-ponah), menghindari bicara yang tidak pantas (haywa dicawuh-cawuh), memelihara dan menjaga lingkungan kehidupan dengan tekun dan giat bekerja (bhaga neker bhaga angger), tetapi juga tanpa mengeksploitasi dan merusak sumber daya kehidupan itu sendiri (bhaga nincak bhaga rempag).
Seluruh ajaran berupa pengalaman kehidupan dan keagamaannnya itu, digoreskan ke dalam bentuk prasasti, juga dipahatkan gambar melambangkan tubuh manusia dengan segala kelengkapannya (anggana). Pahatan gambar itu merupakan simbol yang direpresentasi kotak berjumlah 5 yang disusun vertikal sebagai reduksi simbol dasaindrya (pancabudhi dan pancakarma); dan kotak berjumlah 9 disusun horizontal sebagai kelengkapan indrya berupa pelepasannya (Sunda: cungap) tiap-tiap organ indriya. Kotak 9 inilah yang terpenting yang di dalam berbagai ajaran asli pribumi dikenal bayu sasanga, sang nawakrnda, nawagraha yang menyebabkan manusia kerap dilambangkan sebagai “kota dengan sembilan gerbang”.
Disamping gambar kotak dipahatkan juga sepasang telapak kaki dan sebuah tangan kiri. Jika kita berada pada batu anggana itu mau tidak mau seseorang harus bersikap dan berposisi jongkok dan langsung mengamati gambar pahatan tersebut. Sikap posisi yang mengingatkan pada posisi sang IBU tatkala melahirkan anak manusia, dan ternyata pula salah satu diantara warisan aktivitas budaya di Kawali terdapat batu berbentuk segitiga (juga merupakan lambang genital), disebut Batu Pangeunteungan (karena selalu betisi air sehingga seseorang yang menengok ke dalamnya memantulkan dirinya layaknya sebuah cermin). Simbol yang tiada lain merujuk kepada istilah bhaga (organ rahim) atau “hiranya-garbha” sedangkan posisi jongkok merupakan simbol perilaku (tindakan berpola) seseorang yang tengah melihat rahim Sang Ibu yang juga sinonim dengan arwah leluhur, karuhun, rumuhun yang menyatu di dalam istilah Hiyang.
Situs Kawali adalah aktivitas tersurat yang menyiratkan tugas kehidupan manusia mempertapakan diri dan lingkungan (bumi) hingga kelak pulang. Manusia adalah diri yang senantiasa bercermin ke dalam dirinya (ngeunteung). Senarai konsep ajaran asli pribumi yang telah dikenal sejak paling awal dari sang mula (sang wiwitan). Memper-tapakan diri dan dirinya diungkapkan kalimat “bati peureu tinggal nu atis tina rasa”. Artinya menghilangkan setiap kotoran tubuh yang melekat pada fisik (waruga) dan jiwa (raraga). Bagaikan melepas karat pada besi, mengendapkan lumpur (lanau, leutak) ke dasar sungai atau danau kandungan keruh perlahan-lahan naik ke permukaan, kian lama kian jernih, bening tanpa rasa (tawar).
Keterbatasan manusia sebagai mahluk hidup dijembatani dengan memulai sesuatu yang terbatas, lambat laun pengabdiannya menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Di dalam mengkonsentrasikan pikiran terhadap sesuatu yang terbatas diperlukan suatu obyek yang dapat ditangkap. karena arwah leluhur (Hiyang) berada di dalam semesta yang tidak terbatas (roh yang abstrak). Diciptalah sarana konkrit untuk bertolak menuju ke yang tanpa batas dan tanpa bentuk, terpahatkan pada menhir Batu Panyandungan “sanghiyang Lingga Hiyang”. Agar yang tiada wujud (Hiyang) mampu dibayangkan maka dibuatlah lambang berupa batu tegak (tonggak) yang kini disebut menhir sebagai “wimba, bingba” di Kawali berupa menhir Batu Panyandaan berpahat tulisan Sanghiyang Lingga Bingba.
Hubungan sanghiyang lingga hiyang dengan sanghiyang lingga bingba dijelaskan sebagaimana seseorang melakukan konsentrasi kepada Sang Pencipta, dalam kepercayaan asli pribumi secara universal dingerti penyatuan diri kepada arwah leluhur “sangkan paran ing dumadi”.
Dua menhir batu yang telah ditetapkan Batu Panyandaan, Batu Panyandungan, dihadirkan bukan untuk disembah bendanya, melainkan membantu pikiran terkonsentrasi kepada makna yang tertinggi yakni Hiyang,yang abstrak – universal – yang mengatasi segalanya (totalitas). Demikian juga Batu Anggana berpahatkan kotak 5 dan 9 lambang tubuh “kota dengan sembilan gerbang” merupakan inti perilaku manusia.
Situs Kawali merupakan salah satu dari sejumlah besar situs-situs bercorak tradisi Megalitik di Nusantara dengan pokok pemujaan kepada leluhur (Hiyang) yang diimposisi sesuai tatanan semesta (alam) yang ditempatinya, karenanya sebagian besar bentuk warisan aktivitas budayanya hadir sangat alami, selaras jagat semesta. Tidak meng-eksploitasi sumber daya alam atau merubah dan memodifikasi yang disediakan alam sejak semula diberikan oleh Sang Pencipta. Di Tatar Sunda (juga Nusantara Timur dan beberapa tempat lain) situs-situs bercorak tradisi Megalitik, simbol-simbolnya ada yang tetap dilanjutkan, ada pula yang ditambahkan dengan unsur yang baru dikenal masa kemudian. Namun dasarnya sebagian besar situs-situs itu merupakan continuity sejak awal hingga ke masa selanjutnya (nu pandeuri).
Selaras laku tapa Sasongkojati senantiasa mengatur badan (waruga) selaras dengan kesucian suksma (raraga), alat manusia sebagai mahluk ganda. Laku tapa bukan pelarian dari dunia ramai, melainkan sarana untuk mengatasi hawa nafsu. Tetapi bukan mematikan badan jasmani, melainkan merawatnya dengan jalan mengendalikan diri, konsep dikuasainya jasmani, sikap dan perasaan terhadap sesama diharapkan berubah juga. Laku tapa hakekatnya adalah jalan mempersiapakan diri dengan cara menghayati (verstehen),empati kesempurnaan hidup.
Dari kaca mata normatif pokok ajaran Sasongko jati adalah anjuran bagaimana hidup manusia bahagia. Tujuan kebahagian akan tercapai apabila manusia telah kepada sangkan parannya, karena kebahagiaan terletak pada kesatuan manusia dengan Tuhannya. Karena itu kebahagiaan dicapai manakala manusia menyadari hakekat dirinya sebagai suksma atau roh suci. Sadar akan ke’ilahiannya” yang asal yang mengatur suksma dan badannya. Menyadari bahwa manusia berada dalam keterikatan dan kekacauan hawa nafsu dilakukan dengan hasta sila dan laku tapa yakni jalan moral pengatur tindakan manusia menuju kesatuan manusia dengan Tuhan (Muji Soetrisno 1993: 117).
Kebudayaan Megalitik di Bali hingga sekarang tetap memiliki peranan penting dalam kehidupan keagamaan masyarakat Bali yang peninggalan-peninggalannya mengandung nilai kesucian yang masih dipuja. Diantaranya stone altar (menhir berbentuk tiang batu pemujaan) yang terletak di desa Tenganan Pegringsingan dan desa Penebel di Gelgel; Teras piramik (teras berundak) merupakan bangunan suci masysarakat di Bali pada bagian pundennya ditahtakan (arca) menhir, ditemukan antara lain di desa Sembiran, Penebel juga Gelgel; Sarkofagus (peti batu si mati) hingga kini terbanyak ditemukan di Bali dan kelanjutan sarkofags kini masih tetap di dalam hubungan dengan tempat penyimpanan si mati pada saat upacara Ngaben, sarkofagus dibuat dari bahan kayu berfungsi sebagai tempat penyimpanan si mati; termasuk upacara menghormati gunung sebagai tahta persemayaman roh (leluhur). Oleh karena itu Gunung Agung dipandang gunung paling suci (mahameru) dan menjadi simbol meru pada bangunan-bangunan suci di Bali.
Inti ajaran Hindu Dharma berdasarkan lima keyakinan yakni Panca Sraddha sebagai kontinuitas kepercayaan masa pra-Hindu. Kepercayaan terhadap yang tertinggi disebut Sang Hyang Widhi Wasa diberi istilah Dewa; aspek-apek kemahakuasaannya atau unsur-unsur alam yang dipersonifikasi juga diberi istilah baru, yaitu Dewa Indra (unsur kekuatan air), Dewa Agni (unsur kekuatan api), Dewa Marutha (unsur kekuatan angin). Unsur-unsur kekuatan alam yang selanjutnya dikenal di dalam Trimurti, menjadi Dewa Brahma (api), Dewa Wisnu (air) dan Dewa Iswara (angin); sedangkan unsur Matahari dipuja dengan istilah Siwa-Raditya.
Kepercayaan terhadap roh (arwah leluhur) menjadi atman, disamping ada stulasarira (badan kasar), seseorang meninggal, atman meninggalkan stulasarira. Agar atman bersatu dengan sumber yang asal (brahman), dilakukan upacara Ngaben dan disempurnakan dengan upacara memukur, selanjutnya disemayamkan di sanggah pemrajan (tempat suci keluarga) di-sebut sanggah kemulan.
Tradisi ngaluang yaitu jika seorang bayi lahir dan mencapai usia 12 (kepus pungsed), pihak keluarga akan bertandang ke balian (dukun) untuk menanyakan siapakah leuhurnya yag menumadi (menjelma, menitis) kepada sang bayi. Suatu petunjuk lekatnya unsur kepercayaan asli tentang rebirth (kelahiran kembali) yang diungkapkan pada berbagai temuan dalam peti sarkofagus. Si mati di dalamnya diposisikan dengan sikap berlipat kedua tangan dan kakinya ke depan perut dengan kepala merunduk ke samping. Posisi ini melmbangkan bahwa si mati kembali ke dalam kandungan (perut) sang ibu dan kelak akan dilahirkan kembali.
Berakarnya kepercayaan asli di Bali tercermin dalam kegiatan upacara kesuburan dengan upacara kurban kerbau sebagai simbol bumi (tanah leluhur) yang pada tradisi Megalitik diiringi dengan didirikannya bangunan-bangunan suci. Kerbau dipandang simbol magis dapat mengusir kekuatan jahat dan kendaraan bagi arwah nenekmoyang itu di Bali diperingati dalam upacara titi mamah juga dalam upacara Ngaben sebagaimana tampil di dalam sesajennya selalu disediakan kulit kerbau, kepala dan kaki yang masih utuh. Hal itu dimaksudkan sebagai simbol jembatan atma si mati sebelum dinaikkan ke balai-balai untuk dihanyutkan ke laut.
Kiranya semua perilaku yan tercermin dalam adat istiadat, tradisi baik yang bertali langsung denga keagamaan maupun sehari-hari, hakekatnya cerminan KEPRIBADIAN menghormati nenek moyang, melanjutkan warisan tradisi SANG IBU (leluhur, karuhun, rumuhun)nya – Hiyang- sesuai menurut pengalaman pengetahuannya masing-masing. Implikasi perilaku itu semata-mata adalah cermin dari pemahaman diri dengan tetap menjalin keselarasan, keseimbangan jiwa (unsensorable mesage) dan badan (sensorable message) kepada leluhurnya langsung.
3. Pamungkas
Secara universal ajaran leluhur yang terpatri sangat dalam sebagai kepercayaan asli pribumi menerapkan kebijaksanaan tingkah dan perilaku bagaimana manusia dapat mencapai kebahagiaan secara universal:
1. bagaimana menafsirkan peristiwa dan kondisi hidup bermasyarakat. Hidup di dunia hanyalah cerminan kekuatan dominan di dalam kosmos. Apabila daya keteraturan dominan, maka masyarakat manusia tentram dan aman, teratur juga makmur, namun sebaliknya bilama yang dominan adalah daya kekacauan maka masyarakat manusia pun menjadi kacau;
2. keteraturan bergantung kepada keadaaan suksma (jiwa) atau rohani, batin manusia. Apabila manusia tenang dan teratur, hidup masyarakat manusia akan teratur. Sebalik-nya jikalau jiwa, suksma atau batin manusia dikuasai nafsu dan pamrih maka kehidupan masyarakat manusia juga menjadi kacau;
3. pada dasarnya manusia sendiri yang merupakan kunci keteraturan atau kekacauan, sebab daya-daya itu sendiri bersifat netral, maka tugas moral setiap manusia untuk selalu mengusahakan ketertiban dan keharmonisan.
Inilah jasa tertinggi ajaran luhur nenek moyang Nusantara, kepribadian luhur dengan kemandirian sesungguhnya tertanam dalam kepercayaan pribumi Nusantara. Layaknya batu karang tertanam di dasar lautan, abadi, tangguh tak bergeming dengan kasih sayang dan menyangga samudra kehidupan para keturunannya. Yang diungkapkan secara tersurat dan tersirat. Ajaran tersurat berupa warisan aktivitas berupa data tekstual dan kontekstual yang nampak sebagai warisan aktivitas budaya arkeologi, yang dapat diraba, dan dilihat secata fisik. Sedangkan ajaran tersirat adalah makna (meaning) yang terkandung sebagai nilai kepribadian yang menjadi landasan kekuatan kepribadian, dan tampak nyata bagi siapa yang hendak mengenal dan menyelaminya.
Di dalam proses membersihkan diri manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu, intelektualitas dan kadar kemampuan yang bereda-beda. Di dalam rangka menuju pencapaian kesatuan dirinya kepada Sang Pencipta manusia diberi jalan sesuai kemampuan-nya dengan cara mengerti bahwa manusia memiliki kodrat hidup sebagai mahluk ganda terdiri dari badan kasar (waruga/wadah) dan badan halus (raraga/isi). Karena itu dalam menjalani kehidupannya juga memperoleh pengetahuan sejak lahir, dewasa, tua dan mati termasuk pengetahuan dijalani sesuai kepercayaannya.
Kepercayaan asli pribumi adalah warisan nenekmoyang yang menyiratkan ajaran tentang filsafat moral yang direaktualisasi secara nyata pada abad ke XIV Masehi. Sistem kepercayaaan yang bertumpu pada kesadaran murni tentang hakekat diri manusia sesuai kebudayaannya. Demikianlah bahwa kebudayaan masa lalu bereksistensi di masa kini; kebudayaan kini disampaikan ke masa datang; kesadaran bahwa mengikat waktu. Suatu pemahaman tentang eksistensi manusia sebagai mahluk sosial selalu mengaktivitaskan diri. Layaknya tanaman mengikatkan diri dengan akar-akarnya, hewan mengikat diri ke dalam ruang, hanya manusia yang mampu mengikat menghubungkan bentuk, waktu dan ruang melalui kebudayaan.
Cag- Peun
Tlas Sinurat Ing Bintaro
Ing Masehiwarsa 2008, Tithi Dasami, Somawara, Bhadrawadamasa
[1] Noerhadi Magetsari “Kemungkinan Agama sebagai Alat Pendekatan dalam Penelitian Arkeologi”, Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA I), Cibulan, 21-25 Februari 1977. Pusat Penenelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Jakarta 1980..
[2] Noerhadi Magetsari, Tathagata di Jawa pada Abad Sembilan. Disertasi FSUI. 1982.
[3] Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan & Cipta Loka Caraka.
[4] Hasan Djafar, “ Beberapa Catatan Mengenai Keagamaan Pada Masa Majhapahit” Pertemuan Ilmiah Arkeolgi (PIA) IV: buku IV. Jakarta:Pusat penielitian Arkeologi Nasional. 1986: M.M.Soekarto K.Atmodjo, “Sekeping Data Prasasti Gunung Waringin (Bali) dan Samirono (Jawa)”, Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (REHPA) I. Jakarta Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
[5] Yang disebut Jawa di sini dimaksudkan Pulau Jawa tanpa batasan geografis Jawa Barat, Jaw Tengah dan Jawa Timur.
[6] Ayatrohaedi, “Masyarakat Sunda Sebelum Islam: Data Naskah. Laporan penelitian untuk Lembaga Penelitian Universitas Indonesia”, Depok 1987; Ayatrohaedi “Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian”, di dalam Subagio Sastrowardoyo dkk. penyunting, Anthology of Asean Literatures: Pre-Islamic Literature of Indonesia: 435-85. Ttp: The Asean Committee on Culture and lnformation
[7] Koentjaraningrat “Peranan Local Genius dalam Akulturasi”,di dalam Ayatrohaedi, penyunting., Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta Pustaka Jaya. Sejarah Teori Antropologi I. 1986 Jakarta: UI Press; Noerid Haloei Radam Religi Orang Bukit. Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi. 2001 Yogyakarta: Yayasan Semesta.
[8] Bernard Philippe Grosslier, INDOCINA: Persilangan Kebudayaan. Seri Terjemahan Arkeologi no. 6. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) – Ecole Francaise d’Extreme Orient – Pusat Penelitian Arkeologi – Forum Jakarta – Paris. 2002.
[9] Soekmono, Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
[10] R. von Heine Geldern, “The Cosmological Foundation of South-East Asian Architectur” Journal of The Historic Society, Singapore.
[11] H.G.Quaritch Wales, The Mountain of God, Study in Early Religion and Kingship. London: Bernard Quaritch, ltd
[12] Idem catatan no 10
[13] B.Ch.Chhabra, “Three More Yupa Inscriptions of King Mulawarmman from Kutei, East Borneo”, TBG LXXXIII. 1949: 37-74; J.Gonda, The Ritual Function and Significance of Grasses in The Religion of The Veda. North Holland Publishing Company – Amsterdam – New York. 1985; R.M.Ng. Poerbatjaraka, Agastya in Den Archipel, l951.
[14]MM.Sukarto K.Atmodjo, “Mengungkap Masalah Pembacaan Prasasti Pasru Jambe”Di Dalam Berkala Arkeologi. B. Ark VII (1). Maret l986: 39-57. Balai Arkeologi Yogyakarta
[15] Hariani Santiko, HARIHARA: Kumpulan Tulisan Tentang Agama Veda dan Hindu di Indonesia Abad IV – XVI Masehi. April 2005. Universitas Indonesia.
[16]Hariani Santiko, “Mandala (Kadewaguruan) Pada Masyarakat Majapahit” Masalah-Masalah Arkeologi Serta Hubungan Dengan Situs Trowulan, Buku Acuan Perkuliahan IFSA 1991-1993 (Indonesian Field School of Archaeology, Trowulan l991-l993),Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan The Ford Foundation, l996. Halaman 143-152.
[17] Digoreskan pada 3 prasasti Pasru Jambe sbb: “ (1) i saka 1381 (2) sang nawakrnda (3) (gambar yantra)
[18] Periksa MM.Sukarto K.Atmodjo, “Punden Cemoro Bulus di Lereng Gunung Lawu”, di dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, Ciloto, 23-28 Mei 1983: 325-337.
[19] F.X.Mudji Sutrisno, Paham Moral Sasongko Jati”, Selecta Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Seri Filsafat Driyarkara:4. Jakarta” PT.Gramedia Pustaka Utama. 1993: 135-152.
[20] J.Kuntara Wiryamartana, “Usaha Refleksi Alam Pemikiran Jawa”,Capita Selecta Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Seri Filsafat Driyarkara:4. Jakarta” PT.Gramedia Pustaka Utama. 1993: 117-124.
[21] J.G.de Casparis (l950), “Inscripties uit de Cailendra-tijd”, Prasasti Indonesia I. Bandung: A.C.Nix.
[22] Sumpah dan kutukan yang dimuat dalam prasasti-prasasti bertema sima pertama kali ditemukan di dalam prasasti Tru Tpusan II yang dikeluarkan atas perintah Sri Kahulunan (764 Saka). Walaupun lutukannya sangat singkat berbeda dengan prasasti-prasasti masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Ba;litung. Periksa J.G. de Casparis, Prasasti Indonesia I, 1950:75. Bandung: Masa Baru.
[23] R.P.Soejono (l977), Sistem-sistem Penguburan Pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Disertasi Universitas Indonesia.
[24] R.von Heine Geldern (1982), Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Rajawali Press
[25] John N. Miksic (l982), “Perubahan Kebudayaan dan Kronologi Arkeologi di Indonesia”, Makalah dalam Ceramah Himpunan Mahasiswa Arkeologi UGM.
[26] Periksa M.M.Soekarto Kartoatmodjo (l986), “Pengertia Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi”dalam Ayatrohaedi (Peny.), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
[27] Koentjaraningrat (l963) “Guna Antropologi untuk Historiografi Indonesia’s”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia (MISI), Indonesian Journal of Cultural Studies, Djilid I, No.1. Diterbitkan oleh Penerbit Bhratara dalam Kerdjasama Ikatan Sardjana Sastra Indonesia.
[28] K.C.Kruq (1889), “De Geschiedenis van Heilige Kanon te Banten”, TBG 78; M.M.Soekarto K Atmodjo(1983), “Arti Air Penghidupan dalam Masyarakat Jawa”, Proyek Javanologi 2 dan (l983), “Short Notes on Agricultural Data from Ancient Balinese Inscriptions”, The Fourth Indonesia-Dutch History Conference, Yogyakarta, Juli 24-29.
[29] Edi Sedyawati (1977), “Tarumanagara: Penafsiran Budaya”, dalam HM.Joesoef dan TA.Soebrata Wiriamihardja (Penyunting), Laporan Diskusi Panel: Menggali Kembali Sejarah Kebudayaan Tarumanagara Sebagai Sumbangsih Universitas Tarumanagara Kepada Nusa dan Bangsa. UPT. Universitas Tarumanagara.
[30] P. Bellwood, Man Conquest of the Pacific. Auckland: Collins. 1978; K.Butzer, Environment and Archaeology. Chicago: Aldin. 1971.
[31] Istilah Mandala digunakan menyebut bentuk pola bangunan candi Borobudur (A.J.Bernet Kempers 1975), padepokan ke-agamaan “Mandala Kadewagurwan” (Soekmono 1974; Hariani Santiko 1996: 143-152;2005:126 139). Pengucapan atau spelling artikulasi Sunda (juga Jawa) atas kata mandara merujuk arti “a sacred mountain”, istilah kerap ditemukan di dalam sumber-sumber kuno (terutama masa Klasik). Termasuk konsep Tantu Pangglaran yang merupakan kisah terjadinya penciptaan kosmis Pulau Jawa oleh para dewa dengan pusat gunung tertinggi yang disebut Mahameru.
[32] Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda (l986), Kehidupan Masyarakat Kanekes, Bagian Proyek Penelitian Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Direktorat Jendral Kebudayaan. Bandung Dep.Dik.Bud.
[33] Ibid catatan 29
[34] Hariani Santiko (1992), Bhatari Durga. Disertasi: FSUI .
[35] Richadiana Kartakusuma “Situs Kabuyutan Kawali di Ciamis, Jawa Barat: Ajaran Sunda Di Dalam Tatanan Tradisi Megalitik” dalam Ajip Rosidi et.al Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) Jilid I (Prosiding). Yayasan Kebudayaan Rancage. 2001 (cetakan 2006); “Rasionalisasi Ideologi Sunda Wiwitan (Kabuyutan): Penyatuan Diri Urang Sunda Kepada Gunung Sebagai Lambang Semesta (Kosmis)”, Berkala Arkeologi, Sub Tema : Arkeologi Mengungkap Masa Lalu. Tahun XXVI Edisi No1, Mei 2006.
[36] Ibid no 32
[37] Ibid no 32
[38] Ibid 32
[39] R.Goris, Bali, Atlas Kebudayaan, Cult and Customs. 1953; Ancient History of Bali, 1965.
[40] Parisadha Hindu Dharma, Upadesa, Tentang Adjaran-adjaran Agama Hindu. 1968; I Made Sutaba “Hiasan Tanduk Kerbau Pada Bale Agung Di Desa Manikliyu, Kintamani” Disajikan pada Seminar Sejarah Nasional II di Jogyakarta.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/content/view/category/1/id/481