1. Pendahuluan
Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang ada di alam ini. Menurut sebagian orang manusia adalah makhluk yang berfikir. Manusia sangat berbeda dengan makhluk lainnya di alam ini, manusia tersusun dari akal dan jiwa yang akhirnya akan menentukan perbedaan dari setiap individu itu sendiri. Perbedaan individu ini akan berdampak kepada perbedaan tingkah laku atau kepribadian dari setiap individu dan akhirnya akan mempengaruhi corak dari sebuah masyarakat. Dengan akal manusia akhirnya akan memiliki sebuah pengetahuan yang mengisi jiwa manusia secara sadar dan terencana.
Manusia dalam kehidupannya tidak akan hidup sendiri tetapi akan membutuhkan orang lain, walaupun memang secara hakiki manusia itu adalah individu, dengan tidak memungkinkan untuk hidup sendiri maka manusia harus membentuk sebuah kelompok dalam kehidupannya (kehidupan kolektif). Manusia adalah jenis makhluk yang juga hidup dalam kolektif. Adanya berbagai kehidupan kolektif dalam kehidupan manusia, kita terlebih dahulu harus menyamakan persepsi mengenai kehidupan kolektif apa yang dimaksud dalam pembahasan ini, pembahasan kehidupan kolektif yang akan kami bahas disini adalah masyarakat. Menurut Koenjaraningrat masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau berinteraksi.
Masyarakat dalam kehidupannya selalu hidup berkelompok atau kolektif dan dengan akalnya manusia akan selalu berusaha untuk menutupi kekurangannya baik dalam bentuk materi atau immateri. Tidakan manusia selamanya akan selalu bernilai, karena tindakan manusia akan selalu dilandasi oleh pengetahuan yang dimilikinya sehingga akan menghasilkan sebuah karya dalam kehidupan berkelompoknya. Hasil karya manusia biasanya disebut kebudayaan. Menurut ilmu Antropolog kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sedangkan menurut Koenjaraningrat kebudayaan adalah “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa itu. Hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan.
Setelah kita melihat bahwa manusia adalah makhluk yang berakal, hidupnya selalu berkelompok dan memiliki kebudayaan. Desa Ciptagelar merupakan salah satu desa adat. Desa Ciptagelar ini memiliki kelebihan tersendiri karena sampai saat ini masih memegang teradisi lamanya, walaupun memang tidak sedikit orang-orang yang datang kesana baik hanya berkunjung hanya rekreasi maupun bertujuan untuk melakukan penelitian, namun hanya sedikit pengaruh yang berefek terhadap kehidupan sosial kemasyarakatannya. Kebudayan yang ada di desa Ciptagelar dianggap merupakan representasi dari kehidupan masyarakat Indonesia jaman dulu yang masih terperihara sampai sekarang, maka untuk itu kami mencoba untuk mengkaji secara umum bagaimana sebenarnya kebudayaan masyarakat adat Ciptagelar ditinjau dari tujuah unsur kebudayaan.
2. Landasan Teori
2.1 Definisi Kebudayaan
Mengenai definisi kebudayaan, berikut ini akan dipaparkan beberapa definisi kebudayaan menurut para tokoh :
a. Menurut E.B. Taylor (1832-1917)
Beliau merupakan orang yang pertama kali merumuskan definisi kebudayaan, E.B Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut “ Kebudayan adalah mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.
b. Menurut Koentjaraningrat
Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan,tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia manusia dengan cara belajar.
c. Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan yang berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan zaman atau kodrat dan masyarakat untuk mengatasi berbagai rintangan dalam kehidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Selain istilah kebudayaan, terdapat juga konsep tentang peradaban, peradaban atau keluhuran budi dalam bahasa inggris disebut civilization. Istilah peradaban ini sering digunakan untuk mengungkapkan unsur-unsur kebudayaan yang lebih tinggi, halus, dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan, atau untuk menunjukkan suatu kebudayaan yang lebih maju dan kompleks, seperti sistem teknologi, sistem kenegaraan dan lain-lain.
2.2 Teori-Teori yang Berhubungan dengan Perkembangan Kebudayaan
a. Teori Evolusi Kebudayaan Herbert Spencer
Dalam bukunya yang berjudul Principles of Sociology (1876-1896). Spencer menggambarkan secara menyeluruh tentang evolusi universal dari umat manusia. Secara garis besar Spencer melihat perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari tiap bangsa di dunia itu telah atau akan melalui tingkat-tingkat evolusi yang sama. Namun tiap bagian masyarakat atau sub-sub kebudayaan bisa mengalami proses evolusi yang melalui tingkatan-tingkatan yang berbeda-deda.
Penjabaran dari teori Spencer diatas dicontohkan dalam teorinya mengenai asal mula munculnya religi. Asal mula munculnya sistem religi dimulai adanya kesamaan bahwa semua bangsa di dunia ini sadar dan takut akan maut, senada dengan pendapat ahli sejarah kebudayaan E.B. Taylor, kemudian berkembang menjadi bentuk religi yang tertua yaitu penyembahan roh-roh, yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang yang telah meninggal (roh nenek moyang) kemudian berkembang lagi menjadi lebih kompleks dan berdiferensiasi menjadi penyembahan kepada dewa-dewa. Dalam kehidupan suku bangsa lain, bisa saja pola ini tidak persis sama. Misalnya munculnya sistem religinya diawali dengan adanya kepercayaan akan konsep reinkarnasi (kelahiran kembali) dalam keyakinan reinkarnasi ini meyakini bahwa roh orang yang mati akan masuk kedalam tubuh binatang timbulah kepercayaan akan kekuatan binatang dan menjadikan binatang sebagai lambang dari sifat-sifat yang dicita-citakan atau ditakuti oleh manusia. Misalnya singa dijadikan sebagai lambang peperangan, gajah dijadikan sebagai lambang kebijasanaan, dll. Dengan demikian pada proses selanjutnya manusia yang menghormat binatang-binatang tadi akan mulai menghormat dewa-dewa peperangan, dan dewa kebijaksanaan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan telah ada evolusi religi dari tingkat penyembahan roh-roh nenek moyang ke tingkat penyembahan dewa-dewa. Walaupun melalui melalui penyembahan terhadap kekuatan binatang terlebih dahulu. Sedangkan pada bangsa lainnya evolusi juga berlangsung tetapi tidak melalui tingkatan antara yaitu penyembahan kepada roh binatang terlebih dahulu.
Hal lain yang dicontohkan oleh Spencer yaitu tentang evolusi hukum dalam masyarakat. Pertama hukum terbentuk dari adanya kepercayaan terhadap hukum keramat (berasal dari nenek moyang) yang didasarkan atas ketakutan mereka akan kemarahan roh nenek moyang apabila aturan-aturan yang ada mereka langgar, namun apabila dianalisa secara sosiologis hal ini terbentuk kerena adanya saling ketergantungan (hubungan timbal balik) karena azas timbal balik ini maka individu terikat untuk tidak berbuat kejahatan terhadap sesamanya. Kemudian hukum ini berkembang dalam masyarakat yang lebih kompleks menjadi hukum sekuler, karena dianggap sudah tidak relevan, dan dalam penerapan hukum memerlukan suatu kekuasaan yang otoriter di dalamnya. Pada tingkat evolusi selanjutnya tumbuhlah masyarakat beragama. Kekuatan hukum ini perlu dibangun dengan sifat keramat raja, sehingga munculah konsep bahwa Raja adalah Putra Dewa (dikenal dengan konsep dewa raja). Setelah itu masyarakat berkembang menjadi individualis dimana kekuasaan raja semakin meluntur, maka timbul lagi suatu sistem hukum yang baru yang kembali berdasarkan azas saling membutuhkan, dengan adanya suatu prosedur terbentuklah suatu undang-undang yang terbentuk berdasarkan kesepakatan yang dihasilkan melalui perundingan antara wakil-wakil warga masyarakat dalam badan legislatif.
b. Teori Malinowski Tentang Kebudayaan
Dalam bukunya yang berjudul A Scientific Theory of Culture and Other Essay (1944). Dia mengemukakan inti pemikirannya yaitu segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian merupakan salah satu contoh unsur kebudayaan, kesenian terbentuk karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena kebutuhan manusia untuk tahu. Tetapi banyak juga aktivitas kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human needs. Dengan faham itu, menurut Malinowski seorang peneliti dapat menganalisa dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.
c. Konsep Akulturasi Kebudayaan Menurut Koentjaraningrat
Menurut Koentjaraningrat akulturasi akan terjadi bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa. Sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaannya sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
d. Teori Difusi Kebudayaan F. Ratzel (1844-1904)
Ratzel berkesimpulan bahwa di waktu yang lampau suku-suku bangsa yang mendiami tempat-tempat dimana ditemukanya unsur-unsur kebudayaan yang sama pernah menjalin suatu hubungan. Anggapan dasar dari teori ini adalah kebudayaan manusia itu pangkalnya satu dan berada di suatu tempat tertentu, yaitu pada waktu itu makhluk manusia baru saja muncul di dunia ini. Kemudian kebudayaan induk ini berkembang, menyebar dan pecah ke dalam banyak kebudayaan baru, karena adanya pengaruh keadaan lingkungan dan waktu.
e. Perubahan Kebudayaan
Unsur-unsur dari sebuah kebudayaan yang lain memang tidak dapat dimasukkan ke dalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan perubahan pada kebudayaan itu. Kita harus ingat bahwa kebudayaan tidak brsifat statis ia selalu berubah. Tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh masuknya unsur kebudayaan asing sekalipun, suatu kebudayaan dalam masyarakat tertentu pasti akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Dalam setiap kebudayan selalu ada suatu kebebasan tertentu pada para individu dan kebebasan individu memperkenalan variasi dalam cara-cara berlaku dan variasi itu pada akhirnya dapat menjadi milik bersama, dengan demikian dikemudian hari menjadi bagian dari kebudayan, atau mungkin beberapa aspek dari lingkungan akan berubah, dan memerlukan adaptasi kebudayaan yang baru. Setiap masyarakat mempunyai suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan masyarakat lain dan kebudayaan itu merupakan suatu kumpulan yang berintegrasi dari cara-cara berlaku yang dimiliki bersama dan kebudayaan yang bersangkutan secara unik mencapai penyesuaian kepada lingkungan tertentu.
3. Masyarakat Ciptagelar
3.1 Sejarah dan letak geografis Desa Ciptagelar
a. Letak geografis
Jawa Barat terkenal dengan alam pegunungannya yang indah dan sejuk. Selain itu Jawa Barat juga terkenal dengan banyaknya desa adat yang salah satunya dalah desa adat Ciptagelar (Kampung Ciptagelar, Desa Sirna Rasa, Kecamatan Cisolok, Sukabumi) yang terletak di lereng bukit selatan Gunung Halimun dan Taman Nasional Gunung Halimun. Kampung Ciptagelar yang luasnya hanya sekitar empat hektar dengan yang jaraknya sekitar 44 kilometer dari Pelabuhan Ratu ke arah Cisolok, atau sekitar 200 km dari Jakarta, persis di berbatasan dengan tapal batas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Untuk mencapai kampung itu para pendatang harus melalui jalan tanah berbatu kasar sepanjang sekitar 14 kilometer, dengan jalan menurun dan menanjak yang sangat tajam dari lereng satu ke lereng yang lain di Gunung Halimun.
b. Sejarah Desa Ciptagelar
Dalam bahasa Sunda, kata kasepuhan mengacu pada golongan masyarakat yang masih hidup dan bertingkah-laku sesuai dengan aturan adat istiadat lama. Masyarakat Kampung Ciptagelar menyebut diri sebagai kaum Kasepuhan Pancer Pangawinan, serta merasa kelompoknya sebagai keturunan Prabu Siliwangi. Perihal nama Pacer Pangawinan, berasal dari kata pancer yang bearti asal-usul atau sumber. Sementara kata pangawinan berasal dari kata ngawin, yang artinya "membawa tombak saat upacara perkawinan". Tetapi, kata "pangawinan" dalam konteks ini, mungkin bersangkut paut dengan "bareusan pangawinan", barisan tombak, pasukan khusus Kerajaan Sunda yang bersenjata tombak. (Kusnaka Adimihardja, 1992).
Bukti sejarah
Sejauh ini bukti sejarah, menurut Djuanda, memang masih banyak pihak yang meragukan keberadaan warga desa Cipagelar tersebut memiliki hubungan erat dengan Raja Pajajaran Prabu Siliwangi. Tapi, jika melihat fakta situs yang diduga kuat peninggalan Kerajaan Pajajaran yang berada di sekitar desa tersebut tepatnya di kampung Pangguyangan rasanya itu bisa dipercaya. Apalagi, di sekitar situs tersebut tumbuh pohon hanjuang (pajajaran). Situs yang ditemukan di perkampungan tersebut, katanya, dilihat dari ilmu arkeologi diyakini tempat pemujaan animis. Di sana, terdapat situs megalitik, batu jolang (tempat pemandian), salak datar, tugu gede, cungkuk, batu kursi dan batu dakon (alat perhitungan tanggal/ilmu bintang).
Perkampungan tersebut, papar Djuanda, menurut cerita legenda merupakan salah satu tempat pelarian keturunan dan pengikuti Kerajaan Pajajaran. Sekitar tahun 1300, saat Prabu Siliwangi dan pengikutnya dikejar-kejar Kerajaan Mataram dari Banten mencoba melarikan diri ke Pulau Christmas (Australia) lewat Pantai Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi. Tapi itu gagal dilakukan Prabu Siliwangi dan pengikutnya, karena ombak Samudra Hindia saat itu sedang pasang. Tanpa memikir panjang, Prabu Siliwangi meminta pada keturunan dan pengikutnya untuk mencari jalan masing-masing untuk menyelamatkan diri dari kejaran Kerajaan Mataram.
Dari sekian banyak pengikut dan keturunan Prabu Siliwangi, mereka akhirnya berpencar. Sebagian di antaranya, cerita Djuanda, melarikan diri ke Urug ( Bogor ) dan sebagian lagi lari ke Citorek (Banten), Sirna Rasa dan Ciganas (Sukabumi). Sedangkan, Prabu Siliwangi sendiri lari ke arah utara pantai Tegal Buleud.
Berdirinya desa Cipta Gelar tidak terlepas dari yang sifatnya mitos dan tradisi yang melekat pada penduduk tradisional sebagaimana mestinya. Penduduk desa Cipata Gelar merupakan penduduk pindahan dari desa Ciptarasa. Perpindahan ini di dahului oleh sebuah mimpi atau wangsit yang diterima oleh Abah Anom yang meyuruh pindah, maka tepatnya bulan Juli 2001, Abah Anom bersama belasan baris kolot (pembantu sesepuh girang) menjalankan wangsit tersebut. Beberapa rumah baris kolot beserta seluruh isinya ikut dibawa pindah. Lokasi baru tempat tinggal Abah Anom beserta baris kolot-nya bukan daerah yang baru dibuka. Abah Anom pindah ke tempat yang telah ada penduduknya dan kampungnya bernama Sukamulya. Oleh Abah Anom kemudian diganti menjadi Ciptagelar.
Abah Anom atau yang bernama asli Bapak Encup Sucipta sebagai puncak pimpinan kampung adat memberi nama Ciptagelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Arti dari kata Ciptagelar sendiri artinya terbuka atau pasrah. Kepindahan Kampung Ciptarasa ke kampung Ciptagelar lebih disebabkan karena "perintah leluhur" yang disebut wangsit. Wangsit ini diperoleh atau diterima oleh Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak, mesti dilakukan. Oleh karena itulah kepindahan kampung adat bagi warga Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya.
3.2 Kebudayaan desa Ciptagelar
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa kebudayan merupakan hasil dari manusia. Sedangkan menurut Konjaraningrat kebudayaan adalah “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa. Kebudayan menurut J.J Honigmann dibedakan atas gejala-gejalanya yang terdiri dari
1. Wujud kebudayan yang terdiri dari ide, gagasan, norma-norma dan sebagainya.
2. Kebudayan sebagai aktivitas tindakan manusia yang terpola
3. Wujud kebudayaan yang merupakan hasil dari karyanya.
Secara umum kebudayaan memiliki kesamaan di dunia ini, maka untuk itu Konjaraningrat membagi kebudayaan kedalam tujuh unsur. Yaitu bahasa, sistem pengetahuan, Organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi dan kesenian. Dari ketujuah unsur kebudayan yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat ini kami mencoba melihat kebudayaan yang muncul dalam sebuah masyarakat desa Cipta Gelar.
1. Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia baik secara lisan maupun tulisan, untuk berkomunikasi satu sama lain. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan komunikasi satu sama-lain, ini merupakan salah satu bukti perbedaan manusia dengan makluk lainya dan manusia dianggap merupakan makhluk yang diciptakan tuhan dengan sempurna. Bahasa yang digunakan di dunia ini sangat bermacam-macam, bahkan di Indonesia sendiri bahasa sangat banyak sekali yang merupakan hasil dari daya kreasi manusia yang menggunakannya. Jawa Barat merupakan suatu wilayah yang kebanyakannya mengunakan bahasa sunda tidak terkecuali di Desa Ciptagelar sebagai salah satu desa yang terdapat di tatar Pasundan mereka dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa resminya sebagai alat komunikasi.
Dalam Masyarakat Perkampungan Ciptagelar Kabupaten Sukabumi, Sebagian besar menggunakan Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari–hari, Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi dalam kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14. Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu.
2. Sistem Pendidikan dan Pengetahuan
Masuknya peralatan modern ke desa Ciptagelar tidak menghilangkan tradisi lama nenek moyak mereka terutama dalam bidang pengetahuan bertaninya, mereka dalam menanam padi tetep memegang amanah tradisi leluhur tanpa obat-obatan kimiawi dan selalu berhasil panen setiap tahun, dengan memberikan kesempatan untuk bernapas sejenak kepada bumi yang menghidupkan padi-padian maka yang terjadi adalah panen yang selalu berhasil dan leuit-leuit (tempat penyimpanan padi)yang tidak pernah dihampiri hama.
Bagi orang Sunda yang hidup di pedesaan leuit memang bukan sesuatu yang asing, meski sekarang fungsinya sudah tergerus zaman. Di masa lalu, leuit punya peran vital, sebagai gudang penyimpanan gabah atau beras hasil panen. Pada saat musim paceklik, simpanan gabah itu ditumbuk untuk kemudian dijadikan pemenuhan makan sehari-hari.
Di zaman modern sekarang leuit nyaris punah. Apalagi di daerah perkotaan, orang lebih menyukai sesuatu yang serba instan. Dikatakan "nyaris punah", karena memang masih ada sebagian warga yang tetap mempertahankan fungsi leuit. Salah satunya adalah warga adat yang menempati kaki Gunung Halimun, sebuah kawasan yang jadi simpul perbatasan tiga kabupaten, Sukabumi, Bogor, dan Lebak (Banten). Bagi mereka yang memang jauh dari ingar-bingar dan gemerlap kota, keberadaan leuit sangat vital sebagai bumper ketahanan pangan warga.
Saking pentingnya, ketika seorang bayi lahir, maka yang pertama dijadikan "hadiah" adalah membangun leuit. Begitu juga saat seseorang menikah, yang pertama harus diurus adalah leuit. "Orang kota, kalau anak lahir biasanya langsung dibelikan boks bayi. Tapi bagi warga Kampung Adat Halimun, yang pertama diberikan kepada bayi baru lahir adalah leuit".
Leuit biasanya dibangun tidak jauh dari rumah pemiliknya. Ukurannya bervariasi, bergantung status sosial pembuatnya. Bagi kebanyakan warga, ukurannya biasanya 4 x 5 meter, sedangkan bagi orang kaya bisa lebih luas lagi, 8 x 10 meter. "Sebenarnya ukurannya bukan dalam meter, tapi daya tampung. Satu leuit bisa menampung 500 - 1.000 ikat pare gede (jenis padi yang biasa ditanam warga setempat)," katanya. Jika dikonversikan, satu ikat pare gede setara dengan 5 kg. Jadi, leuit yang dibangun warga bisa menampung 2,5 ton sampai 5 ton padi.
Bagi penduduk setempat, tidak ada jenis padi yang ditanam selain pare gede. Untuk jenis ini, biasanya panen satu tahun sekali. Meski begitu, tiap kali panen jarang gagal seperti yang biasa terjadi di daerah lain. Dalam satu kali musim panen, satu hektare sawah bisa menghasilkan sekira 5 ton lebih gabah. Pola tanam yang dianutnya dengan sistem pola tanam serentak. Tujuannya agar bisa mengurangi serangan hama. Meski satu tahun sekali, hasilnya cukup untuk dua tahun.
Dalam pandangan saya sistem ketahanan pangan leuit yang masih dianut oleh warga adat Gunung Halimun, sangat bagus. Model tersebut bisa dijadikan contoh masyarakat modern, sehingga saat terjadi kekosongan suplai beras di pasar, masyarakat tidak kelabakan. "Saya kira, negara juga patut bercermin kepada kaum adat tadi, bagaimana mengatur tata niaga beras jangan sampai terus mengandalkan impor beras saja,". Dalam hal ini masyarakat Ciptagelar pengetahuan tentang bagaimana cara memenuhui kebutuhan hidupnya sangat patut untuk kita contoh mereka tidak tergantung kepada orang lain atau pemerintah sendiri tetapi mereka hidup mandiri.
3. Pemerintahan
Abah anom sebagai kepala adat disana memliki peranan dan pengaruh sangat penting dalam masyarakatnya. Di Desa Ciptagelar tidak nampak adanya organisasi sosial yang modern seperti di daerah perkotaan, namun ketika ada kegiatan mereka secara sukarela membatu.
Gaya kepemimpinan Abah Anom sebagai seorang ketua adat dapat tergambarkan sebagai berikut, gaya kepemimpinan Abah Anom yang santun dan contoh laku hidup yang diterapkannya membuat ia menjadi panutan warga dalam kehidupan sehari-hari. Harmonisasi alam dan manusia adalah satu dari sekian banyak kearifan hidup yang dijalaninya. Bijak dalam memperlakukan alam, tak terjebak nafsu untuk menguras apa yang ada di depan mata, ia membawa warganya pada hidup yang relatif tak pernah kekurangan.
Salah satu bentuk pertanggungjawaban Abah Anom sebagai pemimpin masyarakat, di wujudkan dengan adanya pelaporan pertanggungjawaban setiap selesai upacara “Seren Taun”. Sesudah prosesi upacara tersebut, Abah Anom memberikan laporan pertanggungjawaban dalam bahasa Sunda kepada para sesepuh adat, disaksikan beberapa pejabat daerah serta ribuan warga.
Sistem organisasi kemasyarakatan di kampung ciptagelar telah berjalan dengan baik hal ini didasari karena warga menyakini bahwa Abah telah memikirkan kesejahteraan warganya. Abah dikenal memiliki banyak pembantu atau mentri yang tersebar dari pusat hingga berbagai daerah. Secara struktural tertinggi, kasepuhan ini dipimpin oleh kolot girang. Ia didampingi sesepuh induk yang dijabat oleh Marjuhi. Marjuhi merupakan mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan Abah Anom. Jika ada persoalan adat atau persoalan warga, misalnya konflik tanah, maka biasanya akan ditangani terlebih dulu oleh kolot lembur di daerah. Jika gagal, masalah tersebut dapat dibawa ke sesepuh induk. Marjuhi sebagai sesepuh induk akan berusaha menyelesaikan persoalan itu. Jika tidak bisa, maka Abah Anom yang akan menjadi penentu. Tapi selama ini jarang ada konflik karena warga memegang teguh aturan adat, menurut Marjuhi. Di tingkat pusat maupun daerah juga ada fungsi-fungsi untuk menjalankan roda tata kelola adat.
Perangkat lain yang menopang berjalannya roda pemerintahan desa adat Ciptagelar yang berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing adalah adanya mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian secara gaib dari serangan hama), juru do’a, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani, juru sawer untuk menjalankan fungsi keamanan atau ronda. Selain itu di beberapa kampung ada juga pengawal atau ajudan yang berfungsi untuk membantu membawakan barang bawaan kolot lebur jika bepergian dinas. Dan juga terdapat apa yang disebut pujangga keraton, yaitu Ki Radi namanya berusia sekitar 50 tahun, ia bertugas membunyikan kecapi buhun sambil berpantun, pada malam kedua perayaan seren taun ketika para pengunjung sudah banyak yang pulang, isi pantunnya tersebut menuturkan asal-usul perjalanan hidup.
Abah Anom juga memiliki perangkat untuk rakyat, mereka bekerja lintas administrasi desa. Dalam satu wilayah kampung adat bisa menaungi dan mengayomi beberapa desa. Di di kampong Ciptagelar ini tidak ada konflik antara otoritas pemerintah desa dengan pemerintahan adat. Dari sektor kependudukan, Abah Anom juga memiliki biro statistika yang bisa mengecek jumlah penduduk serta angka mortalitas dan natalitas. Penghitungan jumlah penduduk dibarengkan dengan pengumpulan dana untuk keperluan adat yang disebut pongokan. Tidak hanya jumlah penduduk, jumlah pongokan juga dihitung secara beraturan yang dipungut berdasarkan perhitungan jumlah hewanpiaraan dan kendaraan yang dimiliki warga. Kepemilikan hewan dan kendaraanmempengaruhi jumlah dana yang ditarik dari masing-masing keluarga. Sebab,dana seren taun ini juga berasal dari pajak ingon (hewan peliharaan) dan pajak kendaraan.
4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Dalam pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya, warga Kasepuhan Ciptagelar juga melakukannya dengan tenaga mereka sendiri. Dalam laporan kepada warganya itu, Abah Anom menyampaikan selesainya beberapa proyek pembangunan jalan dan jembatan yang menelan biaya hingga ratusan juta rupiah. Hebatnya, seluruh biaya pembangunan itu sepenuhnya swadaya masyarakat adat Kasepuhan tersebut. Kegiatan-kegiatan yang ada itu tidak terlalu banyak membutuhkan uang, tetapi tenaga. Untuk pembangunan jalan, misalnya, bantuan warga bukan berbentuk uang, tetapi tenaga.
Alat penerangan yang ada disana ternyata sudah menggunakan listrik yang dibuat oleh sekelompok orang yang merasa prihatin terhadap daerah-daerah terpencil seperti desa Ciptagelar. Listrik yang ada disana bukan listrik dari PLN namun listrik yang dibuat secara swadaya masyarakat dan bantuan donatur. Dengan adanya listerik maka tidak menuntut kemungkinan masuknya berbagai alat komunikasi seperti televisi radio komunitas. Peralatan pertanian yang digunakan disana masih sangat sederhana sekali mereka masih menggunakan kerbau sebagai alat untuk membajak tanah.
5. Sistem Mata Pencarian Hidup
Bagaimana warga di desa Ciptagelar berusaha hidup mandiri, sebanyak mungkin melepas ketergantungan kepada pihak lain, namun di sisi lain menjunjung tinggi kegotongroyongan di dalam "keluarga" sendiri adalah hal yang sudah semakin hilang di sekeliling kita. Meskipun mereka hidup dari hasil bersawah dan atau berladang yang panen hanya sekali setahun, di keluarga Kesatuan Adat Banten Kidul itu tak terdengar ada kabar tentang kekurangan pangan, apalagi kelaparan. Bahkan, lumbung-lumbung gabah tidak pernah kosong sepanjang tahun.
Pekerjaan masyarakat Kasepuhan rata-rata adalah bertani dan bercocok tanam padi, pekerjaan lainnya adalah beternak dan berkebun, bila sawah dalam masa Boyor / berair cukup akan dipakai untuk memelihara ikan, dan apabila kurang air akan ditanami tanaman yang berjangka pendek. Pekerjaan lainnya adalah sebagai buruh, tukang, kuli bangunan dan pedagang, bagi warga yang tinggal di kampung akan bekerja di kebun, membuat kerajinan anyaman, menanam pisang, membuat gula dll.
Istilah maro system bagi dua untuk pemilik dan penggarap, baik pertanian ataupun peternakan, dan istilah bawon hanya berlaku saat panen padi, seperti jika seseorang ikut memanen dari lima ikat (sunda: pocong) maka dia akan mendapat satu pocong, begitu juga berlaku ketika menumbuk padi.
Selesai panen, setiap keluarga menyisihkan dua pocong untuk diserahkan ke sesepuh girang sebagai tatali setiap habis panen, padi tersebut biasanya disimpan di lumbung kesatuan, dan padi itu juga berfungsi sebagai cadangan bila datang musim paceklik, dan bisa dipinjam oleh siapapun, dan dikembalikan dengan jumlah yang sama.
Di Kasepuhan Ciptagelar ada satu Lumbung komunal yang beri nama leuit Si Jimat, lumbung ini dipergunakan untuk upacara adat di acara Seren Taun setiap tahunnya sebagai tempat penyimpanan indung pare.
Peraturan adat melarang untuk menjual beras sebagai makanan pokok, juga hasil olahan dari beras juga dilarang untuk di jual, tetapi masyarakat diijinkan menjual padi apabila ada kelebihan cadangan, hal ini biasanya dilakukan untuk pembangunan sarana dan prasarana warga Kasepuhan, seperti pembangunan jalan, jembatan, saluran air dsb.
6. Sistem Religi
Sistem religi di Desa Ciptagelar sebenarnya beragama Islam, namun unsur animisme dan dinasmisme masih sangat kental, terutama sangat terlihat pada saat adanya upacara-upacara adat. Contohnya masyarakat disana masih percaya kepada hal-hal yang sifatnya magis, tahayul dan lain-lain.
Sebagai perangkat nilai yang dimiliki masyarakat adalam memandang dan memanfaatkan lingkungan banyak dipengaruhi oleh adat istiadat dan lingkungan dimana mereka tinggal, contoh pemahaman masyarakat akan system pertanian yang menyelaraskan dengan alam dan tidak mau menanam padi jenis unggul versi pemerintah, karena;
a) upacara adat mengharuskan menggunakan padi local
b) padi jenis unggul [pemerintah] tidak dapat tumbuh dengan baik di daerah lembab dan terlalu dingin.
c) padi jenis lokal berbatang panjang sehingga memudahkan dietem, mudah pengeringan dan penyimpannya, tahan sampai waktu lebih dari 5 tahun dan tidak rontok.
d) melestarikan adat leluhur, ada sekitar 43 jenis pare rurukan (padi pokok) dan 100 jenis padi hasil silang dari pare rurukan.
e) dengan menanam padi setahun sekali, juga menghentikan siklus hama wereng yang biasanya jatuh apada bulan dan musim yang sudah diperhitungkan
f) untuk menentukan masa tanam didasarkan pada perhitungan dengan menggunakan perhitungan bintang [seperti yang diungkapkan olek Kusnaka Adimiharja.1992] yaitu;
· Tanggal Kerti Kana Beusi, tanggal Kidang turun Kijang , untuk menyiapkan alat-lat pertanian,
· Kidang Ngarangsang Ti Wetan, Kerti ngagoredag ka kulon untuk lahan mulai digarap.
Pengetahuan tentang hutan di masyarakat adat Kasepuhan di bagi 3 golongan, yaitu;
1. Hutan Tua (Leuweung Kolot)
Hutan asli dengan kerimbunan dan kerapatan tinggi dan banyak satwa, tidak boleh dieksploitasi.
2. Hutan Titipan / Kramat (leuweung Titipan)
Hutan Kramat yang harus dijaga oleh setiap orang dan tidak boleh digunakan tanpa seijin sesepuh girang, memungkinkan digunakan hasil hutannya bila ada wangsit dari leluhur.
3. Hutan Sempalan / bukaan (leuweung Sampalan)
Hutan bukaan yang boleh dieksploitasi untuk ladang, menggembalakan ternak, mencari kayu bakar dan ditanami berbagai tanaman kayu dan buah-buahan yang hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Aturan-aturan adat dan upacara adat yang berkaitan dengan padi selalu disertai dengan upacara ritual;
Ritual: Ngaseuk
Upacara prosesi menanam padi, memohon keselamatan dan keamanan dalam menanam padi, prosesi selamatan dengan kegiatan hiburan seperti wayang golek, Jipeng, Topeng, dan Pantun Buhun. Diawali oleh sesepuh girang berziarah ke pemakaman leluhur yang tersebar di wilayah Lebak, Bogor dan Sukabumi.
Ritual: Sapang Jadian Pare
Satu minggu setelah tumbuhnya penanaman padi. Memohon ijin kepada sang ibu untuk ditananmi padi, dan restu leluhur dan Sang pencipta agar padi tumbuh dengan baik.
Ritual: Salametan Pare nyiram, mapag pare beukah
Selamatan padi keluar bunga, memohon padi tumbuh dengan baik dan terhindar dari hama:
a. Ritual: Sawenan
Upacara setelah padi keluar, memberikan pengobatan padi dengan tujuan agar padi selamat dan terisi dengan baik dan terhindar dari hama.
b. Ritual: Mipit Pare
Diadakan saat akan memotong padi baik dihuma maupun dipesawahan, dengan memohon kepada sang Pencipta agar diberikan hasil panen yang banyak dan meminta ijin untuk pemotongan padi kepada leluhur.
c. Ritual: Nganjaran / Ngabukti
Upacara ritual saat padi ditumbuk dan dimasak pertama kali, sementara itu warga menunggu sampai emak selesai dengan ritualnya.
d. Ritual Ponggokan
Seminggu sebelum Seren Taun, baris kolot berkumpul untuk membahas jumlah jiwa dihitung berdasarkan pajak /jiwa Rp.150,- dan rumah Rp.250,- (data th 1997)
Kemudian menyerahkan biaya Seren Taun yang telah disepakati sebelumnya dan membahas biaya Seren Taun yang akan datang.
e. Ritual: Seren Taun
Adalah puncak acara dari segala kegiatan masyarakat Kasepuhan yang dilakukan hanya di kampung gede setiap tahunnya. Upacara besar dalam menghormati leluhur dan Dewi Sri, dengan segala bentuk seni dan kesenian dari yang sangat buhun (lama) sampai seni yang modern sekalipun di tampilkan untuk masyarakat, dan padi di bawa dan diarak dan diiringi oleh semua orang, untuk kemudian dan disimpan di lumbung komunal Leuit Si Jimat.
Selain upacara yang terkait dengan padi, ada upacara lain yang dilakukan yaitu;
Ø selamatan 14 bulan purnama
Ø upacara Nyawen – bulan safar (pemasangan jimat kampong)
Ø selamat Rosulan (permohonan)
Ø selamatan Beberes (menghindarkan masalah karena pelanggaran)
Ø sedekah Maulud dan Rewah ( saling mengirim makanan )
7. Kesenian
Seren tahun merupakan salah satu tradisi warga desa adat Ciptagelar, yang bertujuan soal prilaku, ulah, dan langkah warga kasepuhan selalu dalam kaidah adat yang santun. Ini penting, katanya, agar setiap keinginan yang dicita-citakan bisa tercapai. Pertanian subur, panen melimpah, dan hidup tenteram. Dalam acara seren tahun ini mereka biasanya menggelar berbagi kesenian seperti jaipongan, wayang golek, debus, semua ini merupakan bentuk syukuran rakyat kepada sang pencipta atas rizki yang telah diberikan kepada mereka selain itu mereka juga meminta agar kedepannya panen mereka lebih baik lagi. Selain pentas kesenian pada malam itu juga tidak sedikit orang datang ke Abah Anom yang mana para warga ingin menyampaikan keluh kesahnya sambil meminta wejangan.
Selesai atraksi ini dimulailah upacara seren taun, diawali pembacaan do’a dan renungan oleh pemuka masyarakat di depan leuit (lumbung) keramat. Usai sesi yang penuh ritual ini, abah dan istri serta anggota inti, menaiki tangga lumbung dan masuk ke dalamnya. Sepanjang acara ini asap menyan menebarkan kesan magis. Sesudah keluarga inti kasepuhan kembali ke panggung, padi yang digotong tadi mulai dimasukkan dengan cara dilempar. Acara selanjutnya adalah pidato pertanggungjawaban yang intinya nyoreang alam katukang, nyawanan bakal katukang. Yang kira-kira artinya, kecukupan di tahun yang sudah-sudah bagaimana, lalu di tahun mendatang apa yang harus dilakukan.
Kesimpulan
Kebudayaan merupakan hasil dari cipta dan karsa manusia dalam bermasyarakat yang dilakukan secara sadar baik oleh kelompok maupun individu. Suatu kelompok masyarakat akan membentuk sebuah kebudayaan yang didalamnya memiliki karakteristik tertentu sebagai ciri atau identitas masyarakat tersebut, sistem budaya masyarakat tersebut terangkum dalam tujuh unsur kebudayaan yang biasanya akan nyata terlihat dalam masyarakat yang masih berada di wilayah pedesaan. Masyarakat desa Ciptagelar memiliki ciri khas keunikan tersendiri sebagai masyarakat pedesaan, terutama dalam menahan derasnya kemajuan jaman dan moderenisasi.
Dalam sistem kehidupan sosialnya masyarakat desa Ciptagelar masih mempertahankan tradisi lamanya yaitu masih menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan sosial dalam bermasyarakat. Masyarakat Ciptagelar walaupun sudah mengenal yang teknologi modern seperti Televisi, Radio dll, namun mereka tetap memprtahankan tradisi lamanya, seperti dalam hal menyimpan padi. Mereka menyimpan padi di tempat yang dinamakan leuit atau lumbung padi. Penggunaan leuit ini untuk menyimpan padi setelah panen agar ketika musim tidak panen mereka tidak kekurangan makanan.
Keunikan lain yang ada di desa Ciptagelar adalah acara seren tahun dimana acara ini diadakan setahun sekali setelah panen. Acara Seren Taun ini merupakan pesta rakyat yang dilakukan untuk penyimpanan padi ke tempatnya (leuit). Dalam acara ini biasanya di lakukan berbagai hiburan rakyat seperti jaipongan wayang golek dll. Dalam upacara Seren Taun ini dapat dilihat berberapa wujud nyata yang merepresentasikan tujuh unsur kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat, yaitu sistem religi adanya unsur-unsur magis dalam upacara, sistem kesenian adanya acara hiburan rakyat atau kesenian tradisional, dan juga unsur sistem organisasi atau sistem pemerintahan dengan adanya acara laporan pertanggungjawaban dari kepala adat. Dalam unsur kebudayaan lainnya, masyarakat Ciptagelar masih merupakan salah satu desa adat yang masih teguh memegang tardisinya seperti, bentuk rumah, sistem kepemimpinan, cara bertani, kesenian, cara penyimpanan padi, dan lain-lain.
Kepustakaan
Koentjaraningrat. 1981. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia.
_____ . 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
_____ . 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.
_____ . 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Penghantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
.......................... (Aug 15, '07).Kasepuhan Cipta Gelar Halimun. [Online]. Tersedia. http://dweepitt.multiply.com/journal/item/8. 25 Februari 2008.
Permanasari, Indira dan Amir Sodikin. (2005). [Online]. Tersedia. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0508/24/humaniora/1998005.htm. 20 Maret 2008
.
Susanto, Arif .(.......). Seren Taun - Kedamaian “Negeri di Awan. [Online]. Tersedia. http://www.garudamagazine.com/department.php?id=77
. 20 Maret 2008.
........................ (......). Cipta Gelar Gunung Halimun. [Online]. Tersedia. http://dweeand.blogs.friendster.com/my_journey/2007/08/cipta_gelar_gun.html. 25
Februari 2008
..........................(..........) .Leuit”, Kearifan Warga Kaki G. Halimun. [Online]. Tersedia.http://dweeand.blogs.friendster.com/my_journey/2007/08/sekilas_tentang.html
25 februari 2008
..................... (..........).Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar.[Online]. Tersedia. http://bandungheritage.org/index.php?option=com_content&task=view&id=54&Itemid=49&limit=1&limitstart=5 20 Maret 2008.
.................... (............).Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar. [Online]. Tersedia. http://dieny-yusuf.com/2007/03/02/kampung-gede-kasepuhan-ciptagelar/
. 20 Maret 2008.
………………….. (2008). Tentang Kebudayaan Kasepuhan . [Online] Tersedia. http://ciptagelar.multiply.com/journal/item/5 [31 08-09]
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/content/view/category/2/id/492
Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang ada di alam ini. Menurut sebagian orang manusia adalah makhluk yang berfikir. Manusia sangat berbeda dengan makhluk lainnya di alam ini, manusia tersusun dari akal dan jiwa yang akhirnya akan menentukan perbedaan dari setiap individu itu sendiri. Perbedaan individu ini akan berdampak kepada perbedaan tingkah laku atau kepribadian dari setiap individu dan akhirnya akan mempengaruhi corak dari sebuah masyarakat. Dengan akal manusia akhirnya akan memiliki sebuah pengetahuan yang mengisi jiwa manusia secara sadar dan terencana.
Manusia dalam kehidupannya tidak akan hidup sendiri tetapi akan membutuhkan orang lain, walaupun memang secara hakiki manusia itu adalah individu, dengan tidak memungkinkan untuk hidup sendiri maka manusia harus membentuk sebuah kelompok dalam kehidupannya (kehidupan kolektif). Manusia adalah jenis makhluk yang juga hidup dalam kolektif. Adanya berbagai kehidupan kolektif dalam kehidupan manusia, kita terlebih dahulu harus menyamakan persepsi mengenai kehidupan kolektif apa yang dimaksud dalam pembahasan ini, pembahasan kehidupan kolektif yang akan kami bahas disini adalah masyarakat. Menurut Koenjaraningrat masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau berinteraksi.
Masyarakat dalam kehidupannya selalu hidup berkelompok atau kolektif dan dengan akalnya manusia akan selalu berusaha untuk menutupi kekurangannya baik dalam bentuk materi atau immateri. Tidakan manusia selamanya akan selalu bernilai, karena tindakan manusia akan selalu dilandasi oleh pengetahuan yang dimilikinya sehingga akan menghasilkan sebuah karya dalam kehidupan berkelompoknya. Hasil karya manusia biasanya disebut kebudayaan. Menurut ilmu Antropolog kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sedangkan menurut Koenjaraningrat kebudayaan adalah “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa itu. Hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan.
Setelah kita melihat bahwa manusia adalah makhluk yang berakal, hidupnya selalu berkelompok dan memiliki kebudayaan. Desa Ciptagelar merupakan salah satu desa adat. Desa Ciptagelar ini memiliki kelebihan tersendiri karena sampai saat ini masih memegang teradisi lamanya, walaupun memang tidak sedikit orang-orang yang datang kesana baik hanya berkunjung hanya rekreasi maupun bertujuan untuk melakukan penelitian, namun hanya sedikit pengaruh yang berefek terhadap kehidupan sosial kemasyarakatannya. Kebudayan yang ada di desa Ciptagelar dianggap merupakan representasi dari kehidupan masyarakat Indonesia jaman dulu yang masih terperihara sampai sekarang, maka untuk itu kami mencoba untuk mengkaji secara umum bagaimana sebenarnya kebudayaan masyarakat adat Ciptagelar ditinjau dari tujuah unsur kebudayaan.
2. Landasan Teori
2.1 Definisi Kebudayaan
Mengenai definisi kebudayaan, berikut ini akan dipaparkan beberapa definisi kebudayaan menurut para tokoh :
a. Menurut E.B. Taylor (1832-1917)
Beliau merupakan orang yang pertama kali merumuskan definisi kebudayaan, E.B Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut “ Kebudayan adalah mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.
b. Menurut Koentjaraningrat
Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan,tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia manusia dengan cara belajar.
c. Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan yang berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan zaman atau kodrat dan masyarakat untuk mengatasi berbagai rintangan dalam kehidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Selain istilah kebudayaan, terdapat juga konsep tentang peradaban, peradaban atau keluhuran budi dalam bahasa inggris disebut civilization. Istilah peradaban ini sering digunakan untuk mengungkapkan unsur-unsur kebudayaan yang lebih tinggi, halus, dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan, atau untuk menunjukkan suatu kebudayaan yang lebih maju dan kompleks, seperti sistem teknologi, sistem kenegaraan dan lain-lain.
2.2 Teori-Teori yang Berhubungan dengan Perkembangan Kebudayaan
a. Teori Evolusi Kebudayaan Herbert Spencer
Dalam bukunya yang berjudul Principles of Sociology (1876-1896). Spencer menggambarkan secara menyeluruh tentang evolusi universal dari umat manusia. Secara garis besar Spencer melihat perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari tiap bangsa di dunia itu telah atau akan melalui tingkat-tingkat evolusi yang sama. Namun tiap bagian masyarakat atau sub-sub kebudayaan bisa mengalami proses evolusi yang melalui tingkatan-tingkatan yang berbeda-deda.
Penjabaran dari teori Spencer diatas dicontohkan dalam teorinya mengenai asal mula munculnya religi. Asal mula munculnya sistem religi dimulai adanya kesamaan bahwa semua bangsa di dunia ini sadar dan takut akan maut, senada dengan pendapat ahli sejarah kebudayaan E.B. Taylor, kemudian berkembang menjadi bentuk religi yang tertua yaitu penyembahan roh-roh, yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang yang telah meninggal (roh nenek moyang) kemudian berkembang lagi menjadi lebih kompleks dan berdiferensiasi menjadi penyembahan kepada dewa-dewa. Dalam kehidupan suku bangsa lain, bisa saja pola ini tidak persis sama. Misalnya munculnya sistem religinya diawali dengan adanya kepercayaan akan konsep reinkarnasi (kelahiran kembali) dalam keyakinan reinkarnasi ini meyakini bahwa roh orang yang mati akan masuk kedalam tubuh binatang timbulah kepercayaan akan kekuatan binatang dan menjadikan binatang sebagai lambang dari sifat-sifat yang dicita-citakan atau ditakuti oleh manusia. Misalnya singa dijadikan sebagai lambang peperangan, gajah dijadikan sebagai lambang kebijasanaan, dll. Dengan demikian pada proses selanjutnya manusia yang menghormat binatang-binatang tadi akan mulai menghormat dewa-dewa peperangan, dan dewa kebijaksanaan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan telah ada evolusi religi dari tingkat penyembahan roh-roh nenek moyang ke tingkat penyembahan dewa-dewa. Walaupun melalui melalui penyembahan terhadap kekuatan binatang terlebih dahulu. Sedangkan pada bangsa lainnya evolusi juga berlangsung tetapi tidak melalui tingkatan antara yaitu penyembahan kepada roh binatang terlebih dahulu.
Hal lain yang dicontohkan oleh Spencer yaitu tentang evolusi hukum dalam masyarakat. Pertama hukum terbentuk dari adanya kepercayaan terhadap hukum keramat (berasal dari nenek moyang) yang didasarkan atas ketakutan mereka akan kemarahan roh nenek moyang apabila aturan-aturan yang ada mereka langgar, namun apabila dianalisa secara sosiologis hal ini terbentuk kerena adanya saling ketergantungan (hubungan timbal balik) karena azas timbal balik ini maka individu terikat untuk tidak berbuat kejahatan terhadap sesamanya. Kemudian hukum ini berkembang dalam masyarakat yang lebih kompleks menjadi hukum sekuler, karena dianggap sudah tidak relevan, dan dalam penerapan hukum memerlukan suatu kekuasaan yang otoriter di dalamnya. Pada tingkat evolusi selanjutnya tumbuhlah masyarakat beragama. Kekuatan hukum ini perlu dibangun dengan sifat keramat raja, sehingga munculah konsep bahwa Raja adalah Putra Dewa (dikenal dengan konsep dewa raja). Setelah itu masyarakat berkembang menjadi individualis dimana kekuasaan raja semakin meluntur, maka timbul lagi suatu sistem hukum yang baru yang kembali berdasarkan azas saling membutuhkan, dengan adanya suatu prosedur terbentuklah suatu undang-undang yang terbentuk berdasarkan kesepakatan yang dihasilkan melalui perundingan antara wakil-wakil warga masyarakat dalam badan legislatif.
b. Teori Malinowski Tentang Kebudayaan
Dalam bukunya yang berjudul A Scientific Theory of Culture and Other Essay (1944). Dia mengemukakan inti pemikirannya yaitu segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian merupakan salah satu contoh unsur kebudayaan, kesenian terbentuk karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena kebutuhan manusia untuk tahu. Tetapi banyak juga aktivitas kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human needs. Dengan faham itu, menurut Malinowski seorang peneliti dapat menganalisa dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.
c. Konsep Akulturasi Kebudayaan Menurut Koentjaraningrat
Menurut Koentjaraningrat akulturasi akan terjadi bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa. Sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaannya sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
d. Teori Difusi Kebudayaan F. Ratzel (1844-1904)
Ratzel berkesimpulan bahwa di waktu yang lampau suku-suku bangsa yang mendiami tempat-tempat dimana ditemukanya unsur-unsur kebudayaan yang sama pernah menjalin suatu hubungan. Anggapan dasar dari teori ini adalah kebudayaan manusia itu pangkalnya satu dan berada di suatu tempat tertentu, yaitu pada waktu itu makhluk manusia baru saja muncul di dunia ini. Kemudian kebudayaan induk ini berkembang, menyebar dan pecah ke dalam banyak kebudayaan baru, karena adanya pengaruh keadaan lingkungan dan waktu.
e. Perubahan Kebudayaan
Unsur-unsur dari sebuah kebudayaan yang lain memang tidak dapat dimasukkan ke dalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan perubahan pada kebudayaan itu. Kita harus ingat bahwa kebudayaan tidak brsifat statis ia selalu berubah. Tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh masuknya unsur kebudayaan asing sekalipun, suatu kebudayaan dalam masyarakat tertentu pasti akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Dalam setiap kebudayan selalu ada suatu kebebasan tertentu pada para individu dan kebebasan individu memperkenalan variasi dalam cara-cara berlaku dan variasi itu pada akhirnya dapat menjadi milik bersama, dengan demikian dikemudian hari menjadi bagian dari kebudayan, atau mungkin beberapa aspek dari lingkungan akan berubah, dan memerlukan adaptasi kebudayaan yang baru. Setiap masyarakat mempunyai suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan masyarakat lain dan kebudayaan itu merupakan suatu kumpulan yang berintegrasi dari cara-cara berlaku yang dimiliki bersama dan kebudayaan yang bersangkutan secara unik mencapai penyesuaian kepada lingkungan tertentu.
3. Masyarakat Ciptagelar
3.1 Sejarah dan letak geografis Desa Ciptagelar
a. Letak geografis
Jawa Barat terkenal dengan alam pegunungannya yang indah dan sejuk. Selain itu Jawa Barat juga terkenal dengan banyaknya desa adat yang salah satunya dalah desa adat Ciptagelar (Kampung Ciptagelar, Desa Sirna Rasa, Kecamatan Cisolok, Sukabumi) yang terletak di lereng bukit selatan Gunung Halimun dan Taman Nasional Gunung Halimun. Kampung Ciptagelar yang luasnya hanya sekitar empat hektar dengan yang jaraknya sekitar 44 kilometer dari Pelabuhan Ratu ke arah Cisolok, atau sekitar 200 km dari Jakarta, persis di berbatasan dengan tapal batas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Untuk mencapai kampung itu para pendatang harus melalui jalan tanah berbatu kasar sepanjang sekitar 14 kilometer, dengan jalan menurun dan menanjak yang sangat tajam dari lereng satu ke lereng yang lain di Gunung Halimun.
b. Sejarah Desa Ciptagelar
Dalam bahasa Sunda, kata kasepuhan mengacu pada golongan masyarakat yang masih hidup dan bertingkah-laku sesuai dengan aturan adat istiadat lama. Masyarakat Kampung Ciptagelar menyebut diri sebagai kaum Kasepuhan Pancer Pangawinan, serta merasa kelompoknya sebagai keturunan Prabu Siliwangi. Perihal nama Pacer Pangawinan, berasal dari kata pancer yang bearti asal-usul atau sumber. Sementara kata pangawinan berasal dari kata ngawin, yang artinya "membawa tombak saat upacara perkawinan". Tetapi, kata "pangawinan" dalam konteks ini, mungkin bersangkut paut dengan "bareusan pangawinan", barisan tombak, pasukan khusus Kerajaan Sunda yang bersenjata tombak. (Kusnaka Adimihardja, 1992).
Bukti sejarah
Sejauh ini bukti sejarah, menurut Djuanda, memang masih banyak pihak yang meragukan keberadaan warga desa Cipagelar tersebut memiliki hubungan erat dengan Raja Pajajaran Prabu Siliwangi. Tapi, jika melihat fakta situs yang diduga kuat peninggalan Kerajaan Pajajaran yang berada di sekitar desa tersebut tepatnya di kampung Pangguyangan rasanya itu bisa dipercaya. Apalagi, di sekitar situs tersebut tumbuh pohon hanjuang (pajajaran). Situs yang ditemukan di perkampungan tersebut, katanya, dilihat dari ilmu arkeologi diyakini tempat pemujaan animis. Di sana, terdapat situs megalitik, batu jolang (tempat pemandian), salak datar, tugu gede, cungkuk, batu kursi dan batu dakon (alat perhitungan tanggal/ilmu bintang).
Perkampungan tersebut, papar Djuanda, menurut cerita legenda merupakan salah satu tempat pelarian keturunan dan pengikuti Kerajaan Pajajaran. Sekitar tahun 1300, saat Prabu Siliwangi dan pengikutnya dikejar-kejar Kerajaan Mataram dari Banten mencoba melarikan diri ke Pulau Christmas (Australia) lewat Pantai Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi. Tapi itu gagal dilakukan Prabu Siliwangi dan pengikutnya, karena ombak Samudra Hindia saat itu sedang pasang. Tanpa memikir panjang, Prabu Siliwangi meminta pada keturunan dan pengikutnya untuk mencari jalan masing-masing untuk menyelamatkan diri dari kejaran Kerajaan Mataram.
Dari sekian banyak pengikut dan keturunan Prabu Siliwangi, mereka akhirnya berpencar. Sebagian di antaranya, cerita Djuanda, melarikan diri ke Urug ( Bogor ) dan sebagian lagi lari ke Citorek (Banten), Sirna Rasa dan Ciganas (Sukabumi). Sedangkan, Prabu Siliwangi sendiri lari ke arah utara pantai Tegal Buleud.
Berdirinya desa Cipta Gelar tidak terlepas dari yang sifatnya mitos dan tradisi yang melekat pada penduduk tradisional sebagaimana mestinya. Penduduk desa Cipata Gelar merupakan penduduk pindahan dari desa Ciptarasa. Perpindahan ini di dahului oleh sebuah mimpi atau wangsit yang diterima oleh Abah Anom yang meyuruh pindah, maka tepatnya bulan Juli 2001, Abah Anom bersama belasan baris kolot (pembantu sesepuh girang) menjalankan wangsit tersebut. Beberapa rumah baris kolot beserta seluruh isinya ikut dibawa pindah. Lokasi baru tempat tinggal Abah Anom beserta baris kolot-nya bukan daerah yang baru dibuka. Abah Anom pindah ke tempat yang telah ada penduduknya dan kampungnya bernama Sukamulya. Oleh Abah Anom kemudian diganti menjadi Ciptagelar.
Abah Anom atau yang bernama asli Bapak Encup Sucipta sebagai puncak pimpinan kampung adat memberi nama Ciptagelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Arti dari kata Ciptagelar sendiri artinya terbuka atau pasrah. Kepindahan Kampung Ciptarasa ke kampung Ciptagelar lebih disebabkan karena "perintah leluhur" yang disebut wangsit. Wangsit ini diperoleh atau diterima oleh Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak, mesti dilakukan. Oleh karena itulah kepindahan kampung adat bagi warga Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya.
3.2 Kebudayaan desa Ciptagelar
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa kebudayan merupakan hasil dari manusia. Sedangkan menurut Konjaraningrat kebudayaan adalah “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa. Kebudayan menurut J.J Honigmann dibedakan atas gejala-gejalanya yang terdiri dari
1. Wujud kebudayan yang terdiri dari ide, gagasan, norma-norma dan sebagainya.
2. Kebudayan sebagai aktivitas tindakan manusia yang terpola
3. Wujud kebudayaan yang merupakan hasil dari karyanya.
Secara umum kebudayaan memiliki kesamaan di dunia ini, maka untuk itu Konjaraningrat membagi kebudayaan kedalam tujuh unsur. Yaitu bahasa, sistem pengetahuan, Organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi dan kesenian. Dari ketujuah unsur kebudayan yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat ini kami mencoba melihat kebudayaan yang muncul dalam sebuah masyarakat desa Cipta Gelar.
1. Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia baik secara lisan maupun tulisan, untuk berkomunikasi satu sama lain. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan komunikasi satu sama-lain, ini merupakan salah satu bukti perbedaan manusia dengan makluk lainya dan manusia dianggap merupakan makhluk yang diciptakan tuhan dengan sempurna. Bahasa yang digunakan di dunia ini sangat bermacam-macam, bahkan di Indonesia sendiri bahasa sangat banyak sekali yang merupakan hasil dari daya kreasi manusia yang menggunakannya. Jawa Barat merupakan suatu wilayah yang kebanyakannya mengunakan bahasa sunda tidak terkecuali di Desa Ciptagelar sebagai salah satu desa yang terdapat di tatar Pasundan mereka dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa resminya sebagai alat komunikasi.
Dalam Masyarakat Perkampungan Ciptagelar Kabupaten Sukabumi, Sebagian besar menggunakan Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari–hari, Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi dalam kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14. Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu.
2. Sistem Pendidikan dan Pengetahuan
Masuknya peralatan modern ke desa Ciptagelar tidak menghilangkan tradisi lama nenek moyak mereka terutama dalam bidang pengetahuan bertaninya, mereka dalam menanam padi tetep memegang amanah tradisi leluhur tanpa obat-obatan kimiawi dan selalu berhasil panen setiap tahun, dengan memberikan kesempatan untuk bernapas sejenak kepada bumi yang menghidupkan padi-padian maka yang terjadi adalah panen yang selalu berhasil dan leuit-leuit (tempat penyimpanan padi)yang tidak pernah dihampiri hama.
Bagi orang Sunda yang hidup di pedesaan leuit memang bukan sesuatu yang asing, meski sekarang fungsinya sudah tergerus zaman. Di masa lalu, leuit punya peran vital, sebagai gudang penyimpanan gabah atau beras hasil panen. Pada saat musim paceklik, simpanan gabah itu ditumbuk untuk kemudian dijadikan pemenuhan makan sehari-hari.
Di zaman modern sekarang leuit nyaris punah. Apalagi di daerah perkotaan, orang lebih menyukai sesuatu yang serba instan. Dikatakan "nyaris punah", karena memang masih ada sebagian warga yang tetap mempertahankan fungsi leuit. Salah satunya adalah warga adat yang menempati kaki Gunung Halimun, sebuah kawasan yang jadi simpul perbatasan tiga kabupaten, Sukabumi, Bogor, dan Lebak (Banten). Bagi mereka yang memang jauh dari ingar-bingar dan gemerlap kota, keberadaan leuit sangat vital sebagai bumper ketahanan pangan warga.
Saking pentingnya, ketika seorang bayi lahir, maka yang pertama dijadikan "hadiah" adalah membangun leuit. Begitu juga saat seseorang menikah, yang pertama harus diurus adalah leuit. "Orang kota, kalau anak lahir biasanya langsung dibelikan boks bayi. Tapi bagi warga Kampung Adat Halimun, yang pertama diberikan kepada bayi baru lahir adalah leuit".
Leuit biasanya dibangun tidak jauh dari rumah pemiliknya. Ukurannya bervariasi, bergantung status sosial pembuatnya. Bagi kebanyakan warga, ukurannya biasanya 4 x 5 meter, sedangkan bagi orang kaya bisa lebih luas lagi, 8 x 10 meter. "Sebenarnya ukurannya bukan dalam meter, tapi daya tampung. Satu leuit bisa menampung 500 - 1.000 ikat pare gede (jenis padi yang biasa ditanam warga setempat)," katanya. Jika dikonversikan, satu ikat pare gede setara dengan 5 kg. Jadi, leuit yang dibangun warga bisa menampung 2,5 ton sampai 5 ton padi.
Bagi penduduk setempat, tidak ada jenis padi yang ditanam selain pare gede. Untuk jenis ini, biasanya panen satu tahun sekali. Meski begitu, tiap kali panen jarang gagal seperti yang biasa terjadi di daerah lain. Dalam satu kali musim panen, satu hektare sawah bisa menghasilkan sekira 5 ton lebih gabah. Pola tanam yang dianutnya dengan sistem pola tanam serentak. Tujuannya agar bisa mengurangi serangan hama. Meski satu tahun sekali, hasilnya cukup untuk dua tahun.
Dalam pandangan saya sistem ketahanan pangan leuit yang masih dianut oleh warga adat Gunung Halimun, sangat bagus. Model tersebut bisa dijadikan contoh masyarakat modern, sehingga saat terjadi kekosongan suplai beras di pasar, masyarakat tidak kelabakan. "Saya kira, negara juga patut bercermin kepada kaum adat tadi, bagaimana mengatur tata niaga beras jangan sampai terus mengandalkan impor beras saja,". Dalam hal ini masyarakat Ciptagelar pengetahuan tentang bagaimana cara memenuhui kebutuhan hidupnya sangat patut untuk kita contoh mereka tidak tergantung kepada orang lain atau pemerintah sendiri tetapi mereka hidup mandiri.
3. Pemerintahan
Abah anom sebagai kepala adat disana memliki peranan dan pengaruh sangat penting dalam masyarakatnya. Di Desa Ciptagelar tidak nampak adanya organisasi sosial yang modern seperti di daerah perkotaan, namun ketika ada kegiatan mereka secara sukarela membatu.
Gaya kepemimpinan Abah Anom sebagai seorang ketua adat dapat tergambarkan sebagai berikut, gaya kepemimpinan Abah Anom yang santun dan contoh laku hidup yang diterapkannya membuat ia menjadi panutan warga dalam kehidupan sehari-hari. Harmonisasi alam dan manusia adalah satu dari sekian banyak kearifan hidup yang dijalaninya. Bijak dalam memperlakukan alam, tak terjebak nafsu untuk menguras apa yang ada di depan mata, ia membawa warganya pada hidup yang relatif tak pernah kekurangan.
Salah satu bentuk pertanggungjawaban Abah Anom sebagai pemimpin masyarakat, di wujudkan dengan adanya pelaporan pertanggungjawaban setiap selesai upacara “Seren Taun”. Sesudah prosesi upacara tersebut, Abah Anom memberikan laporan pertanggungjawaban dalam bahasa Sunda kepada para sesepuh adat, disaksikan beberapa pejabat daerah serta ribuan warga.
Sistem organisasi kemasyarakatan di kampung ciptagelar telah berjalan dengan baik hal ini didasari karena warga menyakini bahwa Abah telah memikirkan kesejahteraan warganya. Abah dikenal memiliki banyak pembantu atau mentri yang tersebar dari pusat hingga berbagai daerah. Secara struktural tertinggi, kasepuhan ini dipimpin oleh kolot girang. Ia didampingi sesepuh induk yang dijabat oleh Marjuhi. Marjuhi merupakan mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan Abah Anom. Jika ada persoalan adat atau persoalan warga, misalnya konflik tanah, maka biasanya akan ditangani terlebih dulu oleh kolot lembur di daerah. Jika gagal, masalah tersebut dapat dibawa ke sesepuh induk. Marjuhi sebagai sesepuh induk akan berusaha menyelesaikan persoalan itu. Jika tidak bisa, maka Abah Anom yang akan menjadi penentu. Tapi selama ini jarang ada konflik karena warga memegang teguh aturan adat, menurut Marjuhi. Di tingkat pusat maupun daerah juga ada fungsi-fungsi untuk menjalankan roda tata kelola adat.
Perangkat lain yang menopang berjalannya roda pemerintahan desa adat Ciptagelar yang berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing adalah adanya mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian secara gaib dari serangan hama), juru do’a, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani, juru sawer untuk menjalankan fungsi keamanan atau ronda. Selain itu di beberapa kampung ada juga pengawal atau ajudan yang berfungsi untuk membantu membawakan barang bawaan kolot lebur jika bepergian dinas. Dan juga terdapat apa yang disebut pujangga keraton, yaitu Ki Radi namanya berusia sekitar 50 tahun, ia bertugas membunyikan kecapi buhun sambil berpantun, pada malam kedua perayaan seren taun ketika para pengunjung sudah banyak yang pulang, isi pantunnya tersebut menuturkan asal-usul perjalanan hidup.
Abah Anom juga memiliki perangkat untuk rakyat, mereka bekerja lintas administrasi desa. Dalam satu wilayah kampung adat bisa menaungi dan mengayomi beberapa desa. Di di kampong Ciptagelar ini tidak ada konflik antara otoritas pemerintah desa dengan pemerintahan adat. Dari sektor kependudukan, Abah Anom juga memiliki biro statistika yang bisa mengecek jumlah penduduk serta angka mortalitas dan natalitas. Penghitungan jumlah penduduk dibarengkan dengan pengumpulan dana untuk keperluan adat yang disebut pongokan. Tidak hanya jumlah penduduk, jumlah pongokan juga dihitung secara beraturan yang dipungut berdasarkan perhitungan jumlah hewanpiaraan dan kendaraan yang dimiliki warga. Kepemilikan hewan dan kendaraanmempengaruhi jumlah dana yang ditarik dari masing-masing keluarga. Sebab,dana seren taun ini juga berasal dari pajak ingon (hewan peliharaan) dan pajak kendaraan.
4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Dalam pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya, warga Kasepuhan Ciptagelar juga melakukannya dengan tenaga mereka sendiri. Dalam laporan kepada warganya itu, Abah Anom menyampaikan selesainya beberapa proyek pembangunan jalan dan jembatan yang menelan biaya hingga ratusan juta rupiah. Hebatnya, seluruh biaya pembangunan itu sepenuhnya swadaya masyarakat adat Kasepuhan tersebut. Kegiatan-kegiatan yang ada itu tidak terlalu banyak membutuhkan uang, tetapi tenaga. Untuk pembangunan jalan, misalnya, bantuan warga bukan berbentuk uang, tetapi tenaga.
Alat penerangan yang ada disana ternyata sudah menggunakan listrik yang dibuat oleh sekelompok orang yang merasa prihatin terhadap daerah-daerah terpencil seperti desa Ciptagelar. Listrik yang ada disana bukan listrik dari PLN namun listrik yang dibuat secara swadaya masyarakat dan bantuan donatur. Dengan adanya listerik maka tidak menuntut kemungkinan masuknya berbagai alat komunikasi seperti televisi radio komunitas. Peralatan pertanian yang digunakan disana masih sangat sederhana sekali mereka masih menggunakan kerbau sebagai alat untuk membajak tanah.
5. Sistem Mata Pencarian Hidup
Bagaimana warga di desa Ciptagelar berusaha hidup mandiri, sebanyak mungkin melepas ketergantungan kepada pihak lain, namun di sisi lain menjunjung tinggi kegotongroyongan di dalam "keluarga" sendiri adalah hal yang sudah semakin hilang di sekeliling kita. Meskipun mereka hidup dari hasil bersawah dan atau berladang yang panen hanya sekali setahun, di keluarga Kesatuan Adat Banten Kidul itu tak terdengar ada kabar tentang kekurangan pangan, apalagi kelaparan. Bahkan, lumbung-lumbung gabah tidak pernah kosong sepanjang tahun.
Pekerjaan masyarakat Kasepuhan rata-rata adalah bertani dan bercocok tanam padi, pekerjaan lainnya adalah beternak dan berkebun, bila sawah dalam masa Boyor / berair cukup akan dipakai untuk memelihara ikan, dan apabila kurang air akan ditanami tanaman yang berjangka pendek. Pekerjaan lainnya adalah sebagai buruh, tukang, kuli bangunan dan pedagang, bagi warga yang tinggal di kampung akan bekerja di kebun, membuat kerajinan anyaman, menanam pisang, membuat gula dll.
Istilah maro system bagi dua untuk pemilik dan penggarap, baik pertanian ataupun peternakan, dan istilah bawon hanya berlaku saat panen padi, seperti jika seseorang ikut memanen dari lima ikat (sunda: pocong) maka dia akan mendapat satu pocong, begitu juga berlaku ketika menumbuk padi.
Selesai panen, setiap keluarga menyisihkan dua pocong untuk diserahkan ke sesepuh girang sebagai tatali setiap habis panen, padi tersebut biasanya disimpan di lumbung kesatuan, dan padi itu juga berfungsi sebagai cadangan bila datang musim paceklik, dan bisa dipinjam oleh siapapun, dan dikembalikan dengan jumlah yang sama.
Di Kasepuhan Ciptagelar ada satu Lumbung komunal yang beri nama leuit Si Jimat, lumbung ini dipergunakan untuk upacara adat di acara Seren Taun setiap tahunnya sebagai tempat penyimpanan indung pare.
Peraturan adat melarang untuk menjual beras sebagai makanan pokok, juga hasil olahan dari beras juga dilarang untuk di jual, tetapi masyarakat diijinkan menjual padi apabila ada kelebihan cadangan, hal ini biasanya dilakukan untuk pembangunan sarana dan prasarana warga Kasepuhan, seperti pembangunan jalan, jembatan, saluran air dsb.
6. Sistem Religi
Sistem religi di Desa Ciptagelar sebenarnya beragama Islam, namun unsur animisme dan dinasmisme masih sangat kental, terutama sangat terlihat pada saat adanya upacara-upacara adat. Contohnya masyarakat disana masih percaya kepada hal-hal yang sifatnya magis, tahayul dan lain-lain.
Sebagai perangkat nilai yang dimiliki masyarakat adalam memandang dan memanfaatkan lingkungan banyak dipengaruhi oleh adat istiadat dan lingkungan dimana mereka tinggal, contoh pemahaman masyarakat akan system pertanian yang menyelaraskan dengan alam dan tidak mau menanam padi jenis unggul versi pemerintah, karena;
a) upacara adat mengharuskan menggunakan padi local
b) padi jenis unggul [pemerintah] tidak dapat tumbuh dengan baik di daerah lembab dan terlalu dingin.
c) padi jenis lokal berbatang panjang sehingga memudahkan dietem, mudah pengeringan dan penyimpannya, tahan sampai waktu lebih dari 5 tahun dan tidak rontok.
d) melestarikan adat leluhur, ada sekitar 43 jenis pare rurukan (padi pokok) dan 100 jenis padi hasil silang dari pare rurukan.
e) dengan menanam padi setahun sekali, juga menghentikan siklus hama wereng yang biasanya jatuh apada bulan dan musim yang sudah diperhitungkan
f) untuk menentukan masa tanam didasarkan pada perhitungan dengan menggunakan perhitungan bintang [seperti yang diungkapkan olek Kusnaka Adimiharja.1992] yaitu;
· Tanggal Kerti Kana Beusi, tanggal Kidang turun Kijang , untuk menyiapkan alat-lat pertanian,
· Kidang Ngarangsang Ti Wetan, Kerti ngagoredag ka kulon untuk lahan mulai digarap.
Pengetahuan tentang hutan di masyarakat adat Kasepuhan di bagi 3 golongan, yaitu;
1. Hutan Tua (Leuweung Kolot)
Hutan asli dengan kerimbunan dan kerapatan tinggi dan banyak satwa, tidak boleh dieksploitasi.
2. Hutan Titipan / Kramat (leuweung Titipan)
Hutan Kramat yang harus dijaga oleh setiap orang dan tidak boleh digunakan tanpa seijin sesepuh girang, memungkinkan digunakan hasil hutannya bila ada wangsit dari leluhur.
3. Hutan Sempalan / bukaan (leuweung Sampalan)
Hutan bukaan yang boleh dieksploitasi untuk ladang, menggembalakan ternak, mencari kayu bakar dan ditanami berbagai tanaman kayu dan buah-buahan yang hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Aturan-aturan adat dan upacara adat yang berkaitan dengan padi selalu disertai dengan upacara ritual;
Ritual: Ngaseuk
Upacara prosesi menanam padi, memohon keselamatan dan keamanan dalam menanam padi, prosesi selamatan dengan kegiatan hiburan seperti wayang golek, Jipeng, Topeng, dan Pantun Buhun. Diawali oleh sesepuh girang berziarah ke pemakaman leluhur yang tersebar di wilayah Lebak, Bogor dan Sukabumi.
Ritual: Sapang Jadian Pare
Satu minggu setelah tumbuhnya penanaman padi. Memohon ijin kepada sang ibu untuk ditananmi padi, dan restu leluhur dan Sang pencipta agar padi tumbuh dengan baik.
Ritual: Salametan Pare nyiram, mapag pare beukah
Selamatan padi keluar bunga, memohon padi tumbuh dengan baik dan terhindar dari hama:
a. Ritual: Sawenan
Upacara setelah padi keluar, memberikan pengobatan padi dengan tujuan agar padi selamat dan terisi dengan baik dan terhindar dari hama.
b. Ritual: Mipit Pare
Diadakan saat akan memotong padi baik dihuma maupun dipesawahan, dengan memohon kepada sang Pencipta agar diberikan hasil panen yang banyak dan meminta ijin untuk pemotongan padi kepada leluhur.
c. Ritual: Nganjaran / Ngabukti
Upacara ritual saat padi ditumbuk dan dimasak pertama kali, sementara itu warga menunggu sampai emak selesai dengan ritualnya.
d. Ritual Ponggokan
Seminggu sebelum Seren Taun, baris kolot berkumpul untuk membahas jumlah jiwa dihitung berdasarkan pajak /jiwa Rp.150,- dan rumah Rp.250,- (data th 1997)
Kemudian menyerahkan biaya Seren Taun yang telah disepakati sebelumnya dan membahas biaya Seren Taun yang akan datang.
e. Ritual: Seren Taun
Adalah puncak acara dari segala kegiatan masyarakat Kasepuhan yang dilakukan hanya di kampung gede setiap tahunnya. Upacara besar dalam menghormati leluhur dan Dewi Sri, dengan segala bentuk seni dan kesenian dari yang sangat buhun (lama) sampai seni yang modern sekalipun di tampilkan untuk masyarakat, dan padi di bawa dan diarak dan diiringi oleh semua orang, untuk kemudian dan disimpan di lumbung komunal Leuit Si Jimat.
Selain upacara yang terkait dengan padi, ada upacara lain yang dilakukan yaitu;
Ø selamatan 14 bulan purnama
Ø upacara Nyawen – bulan safar (pemasangan jimat kampong)
Ø selamat Rosulan (permohonan)
Ø selamatan Beberes (menghindarkan masalah karena pelanggaran)
Ø sedekah Maulud dan Rewah ( saling mengirim makanan )
7. Kesenian
Seren tahun merupakan salah satu tradisi warga desa adat Ciptagelar, yang bertujuan soal prilaku, ulah, dan langkah warga kasepuhan selalu dalam kaidah adat yang santun. Ini penting, katanya, agar setiap keinginan yang dicita-citakan bisa tercapai. Pertanian subur, panen melimpah, dan hidup tenteram. Dalam acara seren tahun ini mereka biasanya menggelar berbagi kesenian seperti jaipongan, wayang golek, debus, semua ini merupakan bentuk syukuran rakyat kepada sang pencipta atas rizki yang telah diberikan kepada mereka selain itu mereka juga meminta agar kedepannya panen mereka lebih baik lagi. Selain pentas kesenian pada malam itu juga tidak sedikit orang datang ke Abah Anom yang mana para warga ingin menyampaikan keluh kesahnya sambil meminta wejangan.
Selesai atraksi ini dimulailah upacara seren taun, diawali pembacaan do’a dan renungan oleh pemuka masyarakat di depan leuit (lumbung) keramat. Usai sesi yang penuh ritual ini, abah dan istri serta anggota inti, menaiki tangga lumbung dan masuk ke dalamnya. Sepanjang acara ini asap menyan menebarkan kesan magis. Sesudah keluarga inti kasepuhan kembali ke panggung, padi yang digotong tadi mulai dimasukkan dengan cara dilempar. Acara selanjutnya adalah pidato pertanggungjawaban yang intinya nyoreang alam katukang, nyawanan bakal katukang. Yang kira-kira artinya, kecukupan di tahun yang sudah-sudah bagaimana, lalu di tahun mendatang apa yang harus dilakukan.
Kesimpulan
Kebudayaan merupakan hasil dari cipta dan karsa manusia dalam bermasyarakat yang dilakukan secara sadar baik oleh kelompok maupun individu. Suatu kelompok masyarakat akan membentuk sebuah kebudayaan yang didalamnya memiliki karakteristik tertentu sebagai ciri atau identitas masyarakat tersebut, sistem budaya masyarakat tersebut terangkum dalam tujuh unsur kebudayaan yang biasanya akan nyata terlihat dalam masyarakat yang masih berada di wilayah pedesaan. Masyarakat desa Ciptagelar memiliki ciri khas keunikan tersendiri sebagai masyarakat pedesaan, terutama dalam menahan derasnya kemajuan jaman dan moderenisasi.
Dalam sistem kehidupan sosialnya masyarakat desa Ciptagelar masih mempertahankan tradisi lamanya yaitu masih menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan sosial dalam bermasyarakat. Masyarakat Ciptagelar walaupun sudah mengenal yang teknologi modern seperti Televisi, Radio dll, namun mereka tetap memprtahankan tradisi lamanya, seperti dalam hal menyimpan padi. Mereka menyimpan padi di tempat yang dinamakan leuit atau lumbung padi. Penggunaan leuit ini untuk menyimpan padi setelah panen agar ketika musim tidak panen mereka tidak kekurangan makanan.
Keunikan lain yang ada di desa Ciptagelar adalah acara seren tahun dimana acara ini diadakan setahun sekali setelah panen. Acara Seren Taun ini merupakan pesta rakyat yang dilakukan untuk penyimpanan padi ke tempatnya (leuit). Dalam acara ini biasanya di lakukan berbagai hiburan rakyat seperti jaipongan wayang golek dll. Dalam upacara Seren Taun ini dapat dilihat berberapa wujud nyata yang merepresentasikan tujuh unsur kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat, yaitu sistem religi adanya unsur-unsur magis dalam upacara, sistem kesenian adanya acara hiburan rakyat atau kesenian tradisional, dan juga unsur sistem organisasi atau sistem pemerintahan dengan adanya acara laporan pertanggungjawaban dari kepala adat. Dalam unsur kebudayaan lainnya, masyarakat Ciptagelar masih merupakan salah satu desa adat yang masih teguh memegang tardisinya seperti, bentuk rumah, sistem kepemimpinan, cara bertani, kesenian, cara penyimpanan padi, dan lain-lain.
Kepustakaan
Koentjaraningrat. 1981. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia.
_____ . 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
_____ . 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.
_____ . 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Penghantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
.......................... (Aug 15, '07).Kasepuhan Cipta Gelar Halimun. [Online]. Tersedia. http://dweepitt.multiply.com/journal/item/8. 25 Februari 2008.
Permanasari, Indira dan Amir Sodikin. (2005). [Online]. Tersedia. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0508/24/humaniora/1998005.htm. 20 Maret 2008
.
Susanto, Arif .(.......). Seren Taun - Kedamaian “Negeri di Awan. [Online]. Tersedia. http://www.garudamagazine.com/department.php?id=77
. 20 Maret 2008.
........................ (......). Cipta Gelar Gunung Halimun. [Online]. Tersedia. http://dweeand.blogs.friendster.com/my_journey/2007/08/cipta_gelar_gun.html. 25
Februari 2008
..........................(..........) .Leuit”, Kearifan Warga Kaki G. Halimun. [Online]. Tersedia.http://dweeand.blogs.friendster.com/my_journey/2007/08/sekilas_tentang.html
25 februari 2008
..................... (..........).Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar.[Online]. Tersedia. http://bandungheritage.org/index.php?option=com_content&task=view&id=54&Itemid=49&limit=1&limitstart=5 20 Maret 2008.
.................... (............).Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar. [Online]. Tersedia. http://dieny-yusuf.com/2007/03/02/kampung-gede-kasepuhan-ciptagelar/
. 20 Maret 2008.
………………….. (2008). Tentang Kebudayaan Kasepuhan . [Online] Tersedia. http://ciptagelar.multiply.com/journal/item/5 [31 08-09]
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/content/view/category/2/id/492
Tidak ada komentar:
Posting Komentar