Wilayah Kerajaan Banggai kini terletak di Kabupaten Banggai Kepulauan, Pulau Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Menurut buku Babad Banggai Sepintas Kilas susunan Machmud HK, kerajaan ini diperkirakan berdiri pada 1525.
Machmud mengatakan, sulit sekali memeroleh fakta-fakta yang obyektif untuk penulisan sejarah Banggai, apalagi tidak ada catatan tertulis sarna sekali tentang sejarah Banggai pada tahun-tahun sebelum abad ke-14. Sumbernya, kata Machmud, hanya cerita dari mulut ke mulut atau dari balelee, yakni cerita yang disampaikan dengan cara bernyanyi oleh seseorang yang dinilai kemasukan roh halus.
Satu-satunya bukti tertulis yang menunjukkan Banggai pada abad ke-14, adalah Nagarakretagama karangan Mpu Prapanca yang bertarikh 1278 Saka (1365 M). Prapanca menamai Banggai dengan Banggawi.
Empat Kerajaan Kecil: Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean
Kerajaan Babolau merupakan satu dari empat kerajaan kecil yang pernah berdiri di Pulau Banggai. Tiga kerajaan lainnya adalah Kerajaan Singgolok, Kookini, dan Katapean, yang masing-masing juga memiliki “rumah keramat” yang dianggap bekas istana. Tidak ada literatur yang dapat memastikan tahun berapa keempat kerajaan itu berdiri. Babad Banggai Sepintas Kilas, misalnya, hanya menyebut keempat kerajaan itu masih berdiri sampai abad ke-15.
Delapan dari 24 pemangku adat Kerajaan Babolau pun, tidak dapat memastikan tahun berapa Babolau dan tiga kerajaan lainnya berdiri. “Kami tidak tahu pasti tahun berdirinya. Tapi, dari cerita orangtua kami dulu, empat kerajaan inilah yang menjadi cikal bakal Kerajaan Banggai,” tutur Jabura, pemangku adat Kerajaan Babolau lainnya.
Adi Cokro, Panglima Perang Kesultanan Ternate, Pendiri Kerajaan Banggai
Dari sejumlah pustaka disimpulkan, pada awal abad ke-16 empat kerajaan kecil itu dikuasai Kesultanan Ternate. Adi Cokro, Panglima Perang Kesultanan Ternate yang berasal dari Jawa, kemudian menyatukannya menjadi satu kerajaan, yaitu Kerajaan Banggai yang beribukota di Pulau Banggai. Adi Cokro inilah yang dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai.
Oleh Adi Cokro, keempat rajanya kemudian dijadikan Basalo Sangkap yang terdiri dari Basalo Dodung (Raja Babolau), Basalo Gong-gong (Raja Singgolok), Basalo Bonunungan (Raja Kookini), dan Basalo Monsongan (Raja Katapean).
Setelah memperluas wilayah Kerajaan Banggai, dari semula hanya Banggai Laut (kini Bangkep) sampai ke Banggai Daratan (Kabupaten Banggai), Adi Cokro kembali ke Jawa. Basalo Sangkap lantas memilih Abu Kasim, putra Adi Cokro hasil perkawinan dengan Nurussapa, putri Raja Singgolok, menjadi Raja Banggai. Namun, sebelum dilantik, Abu Kasim dibunuh bajak laut dalam suatu pelayaran hingga tewas.
Basalo Sangkap kemudian memilih Maulana Prins Mandapar, anak Adi Cokro yang lain, hasil perkawinannya dengan seorang putri Portugis. Basalo Sangkap ini pula yang melantik Mandapar menjadi raja pertama Banggai yang berkuasa mulai tahun 1600 sampai 1625. Menurut Machmud, Raja Mandapar berkuasa sejak tahun 1571 sampai tahun 1601.
Pelantikan Mandapar dan raja-raja setelahnya dilakukan di atas sebuah batu yang dipahat menyerupai tempat duduk. Sampai saat ini batu tersebut masih ada di Kota Tua Banggai Lalongo, sekitar 5 km dari Kota Banggai.
Perang Tobelo
Setelah masa kekuasaan Raja Mandapar berakhir, raja-raja Banggai berikutnya berusaha melepaskan diri dari Kesultanan Ternate. Mereka menolak bekerja sama dengan Belanda, yang pada 1602 sudah menginjakkan kaki di Banggai. Upaya melepaskan diri dari kekuasaan Ternate ini mengakibatkan sejumlah raja Banggai ditangkap lalu dibuang ke Maluku Utara.
Perlawanan paling gigih terjadi pada masa pemerintahan raja Banggai ke-10 yang bergelar Mumbu Doi Bugis. Pada masanya meletuslah Perang Tobelo.
Sampai awal 2000, warga Banggai mengaku masih sering menemukan sisa-sisa Perang Tobelo di Kota Tua Banggai Lalongo, sekitar 5 km dari pusat Kota Banggai. Sisa-sisa yang dimaksud adalah berupa tengkorak dan tulang-belulang manusia yang diduga sebagai tulang-belulang prajurit Kerajaan Banggai atau dari pihak Ternate. Warga pun sering menemukan porselin yang diperkirakan dibawa orang-orang Cina ke Banggai sejak abad ke-13.
Basalo Sangkap, Lembaga Legislatif ala Kerajaan Banggai
Hingga 1957 raja-raja Banggai berjumlah 20 orang. Jika dinilai tidak mampu memimpin, raja-rajanya dapat diberhentikan, layaknya kehidupan demokratis zaman ini.
Basalo Sangkap—semacam lembaga legislatif—adalah yang bertugas memilih, melantik, dan memberhentikan raja Banggai. Terbentuknya Basalo Sangkap ini berawal dari empat kerajaan kecil di Pulau Banggai: Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean.
Dalam Babad Banggai Sepintas Kilas dikatakan, sebelum Kerajaan Banggai berdiri, empat kerajaan ini selalu berselisih. Masing-masing ingin menguasai yang lain, saling bersitegang. Namun, persaingan tersebut tidak sampai pada peperangan, melainkan hanya adu kesaktian raja masing-masing. Mungkin karena selalu berselisih, maka empat kerajaan tersebut jatuh ke dalam kekuasaan Kesultanan Temate, sekitar abad ke-16.
Adi Cokro, Panglima Perang Kesultanan Temate yang berasal dari Jawa, kemudian menyatukan keempat kerajaan itu, menjadi Kerajaan Banggai. Keempat rajanya kemudian dijadikan Basalo Sangkap yang terdiri dari Basalo Dodung (Raja Babolau), Basalo Gong-gong (Raja Singgolok), Basalo Bonunungan (Raja Kookini), dan Basalo Monsongan (Raja Katapean).
Setelah Adi Cokro menyatukan keempat kerajaan itu, ia kembali ke Jawa. Basalo Sangkap lalu memilih Abu Kasim. Namun, sebelum dilantik, Abu Kasim dibunuh bajak laut. Basalo Sangkap pun memilih Maulana Prins Mandapar, lalu melantiknya menjadi raja pertama Banggai (1600-1625).
Komisi Empat dan Pembantu-pembantunya
Setelah Mandapar dilantik, Kerajaan Banggai mulai ditata sedemikian rupa sehingga sistem pemerintahan dan kehidupan rakyatnya berjalan secara baik. Untuk membantu raja, dibentuklah dewan menteri, dikenal dengan Komisi Empat. Komisi Empat ini terdiri dari Mayor Ngopa (Raja Muda), Kapitan Laut (Kepala Angkatan Perang), Jogugu (Menteri Dalam Negeri), dan Hukum Tua (Pengadilan).
Komisi Empat tersebut masing-masing memiliki sejumlah pembantu. Mereka dan pembantu-pembantunya dipilih dan diangkat langsung oleh raja dengan persetujuan Basalo Sangkap. Selain Komisi Empat dan pembantu-pembantunya, raja juga mengangkat staf pribadi untuk urusan pemerintahan dan rumah tangga istana.
Ketika empat raja yang menjadi Basalo Sangkap itu mangkat, posisi mereka digantikan oleh keturunannya atau setidak-tidaknya oleh orang yang memiliki hubungan keluarga dengan mereka. Sampai saat ini keturunan dari Basalo Sangkap itu masih dapat kita temui.
Namun, peranan keturunan mereka tidak lagi sebagai Basalo Sangkap yang memilih, melantik, dan memberhentikan raja, melainkan sebagai pemangku adat kerajaan masing-masing. Peranan Basalo Sangkap di Kerajaan Banggai telah berakhir seiring dengan berakhirnya kekuasaan Raja Banggai ke-20, Raja Syukuran Aminudin Amir, pada 1957. Dua tahun setelah itu, wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai resmi menjadi Daerah Swantara (setingkat kabupaten) Tingkat II Banggai.
Jabura, salah seorang pemangku adat Kerajaan Babolau, mengatakan, silsilah keturunan Basalo Sangkap masih jelas. Masing-masing kerajaan (Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean) memiliki 24 pemangku adat yang merupakan keturunan raja. Tugas mereka saat ini adalah menjaga dan melestarikan peninggalan kerajaan masing-masing, seperti istana, pedang, tombak, dan bendera pusaka.
Jejak-jejak Kerajaan Banggai
Di Kota Tua Banggai Lalongo, yang dahulu menjadi pusat Kerajaan Banggai, pun masih dapat ditemukan sejumlah situs tua, seperti tempat duduk pelantikan raja-raja Banggai yang terbuat dari batu dan sumur tua (sumber mata air penduduk setempat kala itu). Sayang, situs-situs bersejarah tersebut sangat tidak terawat, ditutupi semak belukar.
Jejak Kerajaan Banggai juga dapat ditemukan dengan rnengunjungi Keraton Banggai yang terletak di pusat Kota Banggai. Namun, selain tidak mendapatkan informasi tahun berapa istana Kerajaan Banggai itu didirikan, kita juga tidak akan rnenemukan benda-benda peninggalan Kerajaan Banggai di sana, selain dua meriam buatan Belanda.
Setelah kekuasaannya berakhir, raja-raja Banggai membawa benda-benda peninggalan kerajaan ke rumahnya masing-masing. Hal itu terjadi karena raja-raja Banggai bukan berasal dari satu garis keturunan, melainkan dipilih dari rakyat biasa yang dianggap mampu memimpin Kerajaan.
Kamali Boneaka, Rumah Keramat Banggai
Jika biasanya para penjaga istana dan benda-benda pusaka kerajaan adalah para lelaki, lain halnya di Banggai Kepulauan, di mana perempuanlah yang dipercayakan bertugas menjaganya. Itu pun perempuan yang berusia 50 hingga 80 tahunlah yang memenuhi syarat menjaganya. Pimpinan ini diserahkan kepada seorang perempuan berusia 80 tahun bernama Patin.
Patin adalah seorang keturunan langsung dari salah seorang raja yang pernah berkuasa di Banggai. Sejauh ini tidak pernah ada yang berani mengusili ataupun menjamah koleksi pusaka itu. Hanya atas izin Patin seseorang diperkenankan masuk ke dalam istana. Patin adalah warga terpilih yang memiliki hak istimewa untuk tidur dan makan di rumah peninggalan kerajaan leluhur tersebut. Ia dihormati sebagai sosok suci yang layak menjadi penjaga utama karena dirinya memenuhi semua syarat yang ditentukan adat: keturunan langsung raja terakhir yang berdiam di istana itu, sudah tidak haid, dan tidak bersuami sehingga mampu sepenuh jiwa-raga mencurahkan dirinya bagi tugas yang diembannya.
Kata Kamali Boneaka secara harafiah berarti “rumah keramat”. Ini adalah bekas istana Kerajaan Babolau, salah satu kerajaan di Banggai Kepulauan yang ditaklukkan oleh Kesultanan Ternate dan kemudian bergabung dalam Kerajaan Banggai. Rumah panggung dari kayu yang masih berdiri kokoh konon sudah berumur ratusan tahun sehingga mengalami beberapa kali pemugaran. Di dalamnya tersimpan benda-benda pusaka yang usianya lebih kurang sama dengan usia rumah tersebut, seperti pedang, tombak, payung, dan bendera, juga kain pelantikan Tomundo sepanjang 17 meter bewarna merah. “
Rumah pusaka berbentuk panggung itu terdiri dari sebuah teras, sebuah ruang utama seluas kurang-lebih 5 x 8 meter, dan dua ruang kecil—satu kamar tidur dan satu lagi dapur. Untuk memasuki rumah pusaka ini disediakan dua tangga: di sisi kanan dan sisi kiri teras. Menurut tradisi, tamu hanya boleh naik dari tangga di sebelah kanan teras. Sehari-hari, Patin melakukan kegiatan dan tidur di ruang utama rumah pusaka Kamali Boneaka .
Di rumah keramat ini tersimpan sebuah bendera pusaka warisan leluhur dari abad ke-13. Warnanya merah-putih, seperti Sang Merah-putih, namun ia merah-putih bersusun 13. “Kami yakin, Bendera Indonesia kini, terinspirasi salah satunya dari bendera Kerajaan Banggai,” kata Hamzen B. Kuat dari Lembaga Adat Masyarakat Banggai.
Benda-benda pusaka yang tersimpan di Kamali Boneaka tidak sembarang waktu bisa dipegang atau dibersihkan. Jadwalnya tiga tahun sekali. Membersihkannya pula harus menggunakan air yang diambil dari sebuah sumur yang dipercaya sebagai keramat di depan bekas Istana Kerajaan Babolau itu. Prosesi pencucian pusaka leluhur ini dinamakan Bakubusoi dalam dialek Banggai. Menurut Sri Wahyuni, salah seorang perempuan yang memelihara istana, benda-benda pusaka Kamali Boneaka hanya boleh disentuh oleh Patin.
Ada dua pedang melekat di dinding. Ada pula sebuah tongkat kayu, sebilah tombak, tameng dan payung pelantikan Tomundo (raja/ratu) diikat dengan kain merah di tiang tengah rumah. Lalu ada dua botol berisi air dari sumur keramat. Di bagian kanan ruang utama Kamali Boneaka tersimpan sejumlah kain merah pengikat perut yang dipakai saat pelantikan oleh 12 perempuan penjaga Kamali, ditambah dengan 17 meter kain panjang yang juga bewarna merah. Itu digunakan saat mengelilingi Tomundu baru yang akan dilantik.
“Molikur atau mengelilingi raja dengan kain panjang berwarna merah adalah satu tugas perempuan penjaga Kamali Boneaka,” tutur Patin.
Untuk menjaga Kamali Boneaka, Patin dibantu oleh para penjaga istana yang berjumlah 24 orang yang berusia 50 tahun ke atas, 12 perempuan dan 12 lelaki. Sehari-harinya, mereka bertugas membersihkan halaman istana, membersihkan istana dan menyiapkan makanan bagi Patin. Kamali Boneaka sangat dihormati dan kelestariannya sangat diperhatikan oleh setiap warga.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/6/374/banggai
Machmud mengatakan, sulit sekali memeroleh fakta-fakta yang obyektif untuk penulisan sejarah Banggai, apalagi tidak ada catatan tertulis sarna sekali tentang sejarah Banggai pada tahun-tahun sebelum abad ke-14. Sumbernya, kata Machmud, hanya cerita dari mulut ke mulut atau dari balelee, yakni cerita yang disampaikan dengan cara bernyanyi oleh seseorang yang dinilai kemasukan roh halus.
Satu-satunya bukti tertulis yang menunjukkan Banggai pada abad ke-14, adalah Nagarakretagama karangan Mpu Prapanca yang bertarikh 1278 Saka (1365 M). Prapanca menamai Banggai dengan Banggawi.
Empat Kerajaan Kecil: Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean
Kerajaan Babolau merupakan satu dari empat kerajaan kecil yang pernah berdiri di Pulau Banggai. Tiga kerajaan lainnya adalah Kerajaan Singgolok, Kookini, dan Katapean, yang masing-masing juga memiliki “rumah keramat” yang dianggap bekas istana. Tidak ada literatur yang dapat memastikan tahun berapa keempat kerajaan itu berdiri. Babad Banggai Sepintas Kilas, misalnya, hanya menyebut keempat kerajaan itu masih berdiri sampai abad ke-15.
Delapan dari 24 pemangku adat Kerajaan Babolau pun, tidak dapat memastikan tahun berapa Babolau dan tiga kerajaan lainnya berdiri. “Kami tidak tahu pasti tahun berdirinya. Tapi, dari cerita orangtua kami dulu, empat kerajaan inilah yang menjadi cikal bakal Kerajaan Banggai,” tutur Jabura, pemangku adat Kerajaan Babolau lainnya.
Adi Cokro, Panglima Perang Kesultanan Ternate, Pendiri Kerajaan Banggai
Dari sejumlah pustaka disimpulkan, pada awal abad ke-16 empat kerajaan kecil itu dikuasai Kesultanan Ternate. Adi Cokro, Panglima Perang Kesultanan Ternate yang berasal dari Jawa, kemudian menyatukannya menjadi satu kerajaan, yaitu Kerajaan Banggai yang beribukota di Pulau Banggai. Adi Cokro inilah yang dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai.
Oleh Adi Cokro, keempat rajanya kemudian dijadikan Basalo Sangkap yang terdiri dari Basalo Dodung (Raja Babolau), Basalo Gong-gong (Raja Singgolok), Basalo Bonunungan (Raja Kookini), dan Basalo Monsongan (Raja Katapean).
Setelah memperluas wilayah Kerajaan Banggai, dari semula hanya Banggai Laut (kini Bangkep) sampai ke Banggai Daratan (Kabupaten Banggai), Adi Cokro kembali ke Jawa. Basalo Sangkap lantas memilih Abu Kasim, putra Adi Cokro hasil perkawinan dengan Nurussapa, putri Raja Singgolok, menjadi Raja Banggai. Namun, sebelum dilantik, Abu Kasim dibunuh bajak laut dalam suatu pelayaran hingga tewas.
Basalo Sangkap kemudian memilih Maulana Prins Mandapar, anak Adi Cokro yang lain, hasil perkawinannya dengan seorang putri Portugis. Basalo Sangkap ini pula yang melantik Mandapar menjadi raja pertama Banggai yang berkuasa mulai tahun 1600 sampai 1625. Menurut Machmud, Raja Mandapar berkuasa sejak tahun 1571 sampai tahun 1601.
Pelantikan Mandapar dan raja-raja setelahnya dilakukan di atas sebuah batu yang dipahat menyerupai tempat duduk. Sampai saat ini batu tersebut masih ada di Kota Tua Banggai Lalongo, sekitar 5 km dari Kota Banggai.
Perang Tobelo
Setelah masa kekuasaan Raja Mandapar berakhir, raja-raja Banggai berikutnya berusaha melepaskan diri dari Kesultanan Ternate. Mereka menolak bekerja sama dengan Belanda, yang pada 1602 sudah menginjakkan kaki di Banggai. Upaya melepaskan diri dari kekuasaan Ternate ini mengakibatkan sejumlah raja Banggai ditangkap lalu dibuang ke Maluku Utara.
Perlawanan paling gigih terjadi pada masa pemerintahan raja Banggai ke-10 yang bergelar Mumbu Doi Bugis. Pada masanya meletuslah Perang Tobelo.
Sampai awal 2000, warga Banggai mengaku masih sering menemukan sisa-sisa Perang Tobelo di Kota Tua Banggai Lalongo, sekitar 5 km dari pusat Kota Banggai. Sisa-sisa yang dimaksud adalah berupa tengkorak dan tulang-belulang manusia yang diduga sebagai tulang-belulang prajurit Kerajaan Banggai atau dari pihak Ternate. Warga pun sering menemukan porselin yang diperkirakan dibawa orang-orang Cina ke Banggai sejak abad ke-13.
Basalo Sangkap, Lembaga Legislatif ala Kerajaan Banggai
Hingga 1957 raja-raja Banggai berjumlah 20 orang. Jika dinilai tidak mampu memimpin, raja-rajanya dapat diberhentikan, layaknya kehidupan demokratis zaman ini.
Basalo Sangkap—semacam lembaga legislatif—adalah yang bertugas memilih, melantik, dan memberhentikan raja Banggai. Terbentuknya Basalo Sangkap ini berawal dari empat kerajaan kecil di Pulau Banggai: Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean.
Dalam Babad Banggai Sepintas Kilas dikatakan, sebelum Kerajaan Banggai berdiri, empat kerajaan ini selalu berselisih. Masing-masing ingin menguasai yang lain, saling bersitegang. Namun, persaingan tersebut tidak sampai pada peperangan, melainkan hanya adu kesaktian raja masing-masing. Mungkin karena selalu berselisih, maka empat kerajaan tersebut jatuh ke dalam kekuasaan Kesultanan Temate, sekitar abad ke-16.
Adi Cokro, Panglima Perang Kesultanan Temate yang berasal dari Jawa, kemudian menyatukan keempat kerajaan itu, menjadi Kerajaan Banggai. Keempat rajanya kemudian dijadikan Basalo Sangkap yang terdiri dari Basalo Dodung (Raja Babolau), Basalo Gong-gong (Raja Singgolok), Basalo Bonunungan (Raja Kookini), dan Basalo Monsongan (Raja Katapean).
Setelah Adi Cokro menyatukan keempat kerajaan itu, ia kembali ke Jawa. Basalo Sangkap lalu memilih Abu Kasim. Namun, sebelum dilantik, Abu Kasim dibunuh bajak laut. Basalo Sangkap pun memilih Maulana Prins Mandapar, lalu melantiknya menjadi raja pertama Banggai (1600-1625).
Komisi Empat dan Pembantu-pembantunya
Setelah Mandapar dilantik, Kerajaan Banggai mulai ditata sedemikian rupa sehingga sistem pemerintahan dan kehidupan rakyatnya berjalan secara baik. Untuk membantu raja, dibentuklah dewan menteri, dikenal dengan Komisi Empat. Komisi Empat ini terdiri dari Mayor Ngopa (Raja Muda), Kapitan Laut (Kepala Angkatan Perang), Jogugu (Menteri Dalam Negeri), dan Hukum Tua (Pengadilan).
Komisi Empat tersebut masing-masing memiliki sejumlah pembantu. Mereka dan pembantu-pembantunya dipilih dan diangkat langsung oleh raja dengan persetujuan Basalo Sangkap. Selain Komisi Empat dan pembantu-pembantunya, raja juga mengangkat staf pribadi untuk urusan pemerintahan dan rumah tangga istana.
Ketika empat raja yang menjadi Basalo Sangkap itu mangkat, posisi mereka digantikan oleh keturunannya atau setidak-tidaknya oleh orang yang memiliki hubungan keluarga dengan mereka. Sampai saat ini keturunan dari Basalo Sangkap itu masih dapat kita temui.
Namun, peranan keturunan mereka tidak lagi sebagai Basalo Sangkap yang memilih, melantik, dan memberhentikan raja, melainkan sebagai pemangku adat kerajaan masing-masing. Peranan Basalo Sangkap di Kerajaan Banggai telah berakhir seiring dengan berakhirnya kekuasaan Raja Banggai ke-20, Raja Syukuran Aminudin Amir, pada 1957. Dua tahun setelah itu, wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai resmi menjadi Daerah Swantara (setingkat kabupaten) Tingkat II Banggai.
Jabura, salah seorang pemangku adat Kerajaan Babolau, mengatakan, silsilah keturunan Basalo Sangkap masih jelas. Masing-masing kerajaan (Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean) memiliki 24 pemangku adat yang merupakan keturunan raja. Tugas mereka saat ini adalah menjaga dan melestarikan peninggalan kerajaan masing-masing, seperti istana, pedang, tombak, dan bendera pusaka.
Jejak-jejak Kerajaan Banggai
Di Kota Tua Banggai Lalongo, yang dahulu menjadi pusat Kerajaan Banggai, pun masih dapat ditemukan sejumlah situs tua, seperti tempat duduk pelantikan raja-raja Banggai yang terbuat dari batu dan sumur tua (sumber mata air penduduk setempat kala itu). Sayang, situs-situs bersejarah tersebut sangat tidak terawat, ditutupi semak belukar.
Jejak Kerajaan Banggai juga dapat ditemukan dengan rnengunjungi Keraton Banggai yang terletak di pusat Kota Banggai. Namun, selain tidak mendapatkan informasi tahun berapa istana Kerajaan Banggai itu didirikan, kita juga tidak akan rnenemukan benda-benda peninggalan Kerajaan Banggai di sana, selain dua meriam buatan Belanda.
Setelah kekuasaannya berakhir, raja-raja Banggai membawa benda-benda peninggalan kerajaan ke rumahnya masing-masing. Hal itu terjadi karena raja-raja Banggai bukan berasal dari satu garis keturunan, melainkan dipilih dari rakyat biasa yang dianggap mampu memimpin Kerajaan.
Kamali Boneaka, Rumah Keramat Banggai
Jika biasanya para penjaga istana dan benda-benda pusaka kerajaan adalah para lelaki, lain halnya di Banggai Kepulauan, di mana perempuanlah yang dipercayakan bertugas menjaganya. Itu pun perempuan yang berusia 50 hingga 80 tahunlah yang memenuhi syarat menjaganya. Pimpinan ini diserahkan kepada seorang perempuan berusia 80 tahun bernama Patin.
Patin adalah seorang keturunan langsung dari salah seorang raja yang pernah berkuasa di Banggai. Sejauh ini tidak pernah ada yang berani mengusili ataupun menjamah koleksi pusaka itu. Hanya atas izin Patin seseorang diperkenankan masuk ke dalam istana. Patin adalah warga terpilih yang memiliki hak istimewa untuk tidur dan makan di rumah peninggalan kerajaan leluhur tersebut. Ia dihormati sebagai sosok suci yang layak menjadi penjaga utama karena dirinya memenuhi semua syarat yang ditentukan adat: keturunan langsung raja terakhir yang berdiam di istana itu, sudah tidak haid, dan tidak bersuami sehingga mampu sepenuh jiwa-raga mencurahkan dirinya bagi tugas yang diembannya.
Kata Kamali Boneaka secara harafiah berarti “rumah keramat”. Ini adalah bekas istana Kerajaan Babolau, salah satu kerajaan di Banggai Kepulauan yang ditaklukkan oleh Kesultanan Ternate dan kemudian bergabung dalam Kerajaan Banggai. Rumah panggung dari kayu yang masih berdiri kokoh konon sudah berumur ratusan tahun sehingga mengalami beberapa kali pemugaran. Di dalamnya tersimpan benda-benda pusaka yang usianya lebih kurang sama dengan usia rumah tersebut, seperti pedang, tombak, payung, dan bendera, juga kain pelantikan Tomundo sepanjang 17 meter bewarna merah. “
Rumah pusaka berbentuk panggung itu terdiri dari sebuah teras, sebuah ruang utama seluas kurang-lebih 5 x 8 meter, dan dua ruang kecil—satu kamar tidur dan satu lagi dapur. Untuk memasuki rumah pusaka ini disediakan dua tangga: di sisi kanan dan sisi kiri teras. Menurut tradisi, tamu hanya boleh naik dari tangga di sebelah kanan teras. Sehari-hari, Patin melakukan kegiatan dan tidur di ruang utama rumah pusaka Kamali Boneaka .
Di rumah keramat ini tersimpan sebuah bendera pusaka warisan leluhur dari abad ke-13. Warnanya merah-putih, seperti Sang Merah-putih, namun ia merah-putih bersusun 13. “Kami yakin, Bendera Indonesia kini, terinspirasi salah satunya dari bendera Kerajaan Banggai,” kata Hamzen B. Kuat dari Lembaga Adat Masyarakat Banggai.
Benda-benda pusaka yang tersimpan di Kamali Boneaka tidak sembarang waktu bisa dipegang atau dibersihkan. Jadwalnya tiga tahun sekali. Membersihkannya pula harus menggunakan air yang diambil dari sebuah sumur yang dipercaya sebagai keramat di depan bekas Istana Kerajaan Babolau itu. Prosesi pencucian pusaka leluhur ini dinamakan Bakubusoi dalam dialek Banggai. Menurut Sri Wahyuni, salah seorang perempuan yang memelihara istana, benda-benda pusaka Kamali Boneaka hanya boleh disentuh oleh Patin.
Ada dua pedang melekat di dinding. Ada pula sebuah tongkat kayu, sebilah tombak, tameng dan payung pelantikan Tomundo (raja/ratu) diikat dengan kain merah di tiang tengah rumah. Lalu ada dua botol berisi air dari sumur keramat. Di bagian kanan ruang utama Kamali Boneaka tersimpan sejumlah kain merah pengikat perut yang dipakai saat pelantikan oleh 12 perempuan penjaga Kamali, ditambah dengan 17 meter kain panjang yang juga bewarna merah. Itu digunakan saat mengelilingi Tomundu baru yang akan dilantik.
“Molikur atau mengelilingi raja dengan kain panjang berwarna merah adalah satu tugas perempuan penjaga Kamali Boneaka,” tutur Patin.
Untuk menjaga Kamali Boneaka, Patin dibantu oleh para penjaga istana yang berjumlah 24 orang yang berusia 50 tahun ke atas, 12 perempuan dan 12 lelaki. Sehari-harinya, mereka bertugas membersihkan halaman istana, membersihkan istana dan menyiapkan makanan bagi Patin. Kamali Boneaka sangat dihormati dan kelestariannya sangat diperhatikan oleh setiap warga.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/6/374/banggai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar