Suku bangsa Mandailing bermukim di pedalaman pesisir pantai barat Pulau Sumatra. Menurut cerita rakyat yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat, asal-usul Mandailing berasal dari kata Mande Hilang (dalam bahasa Minangkabau) yang artinya “ibu yang hilang”. Versi lain mengatakan bahwa nama Mandailing berasal dari kata Mandala Holing, adalah satu kerajaan yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-12. Cakupan wilayah kerajaan Mandala Holing diperkirakan terbentang dari Portibi di Padang Lawas hingga ke Pidoli di dekat Panyabungan, Mandailing Godang. Berkaitan dengan hal ini, orang-orang Mandailing juga sering menyebut kata Holing yang bagi mereka mungkin memiliki arti yang cukup penting, seperti tertuang dalam ungkapan berikut ini:
Ungkapan tersebut di atas kurang lebih berarti, bahwa untuk mengadili seseorang harus didasarkan kepada empat syarat. Apabila keempat syarat itu telah terpenuhi barulah naraco holing (suatu lambing pertimbangan yang seadil-adilnya) dibersihkan, selanjutnya dilihat ketentuan adat, diukur beratnya kesalahan, dan setelah itu barulah hukuman dapat dijatuhkan. Selain itu, kata holing juga terdapat dalam ungkapan“surat tumbaga holing na so ra sasa”, yang artinya; “surat tumbaga holing yang tidak mau hapus”. Mungkin maksud dari ungkapan tersebut adalah ketentuan adat-istiadat tersebut akan tetap menjadi panutan hidup orang Mandailing selamalamanya.
Terminologi Mandailing mengandung dua macam pengertian yang tidak sama, akan tetapi keduanya saling mengikat dan tidak terpisahkan, yaitu pengertian budaya dan territorial. Dalam pengertian budaya, Mandailing adalah salah satu kelompok etnik atau suku-bangsa. Seperti yang dinyatakan oleh Koentjaraningrat, suku-bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ‘kesatuan kebudayaan’, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa”. Sedangkan dalam pengertian territorial, Mandailing adalah salah satu wilayah tertentu yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan Propinsi Sumatera Utara. Wilayah Mandailing memiliki batas-batas tertentu dan mayoritas penduduknya adalah suku-bangsa Mandailing. Sejalan dengan perkembangan zaman sekarang ini, wilayah Mandailing hanya meliputi lima wilayah kecamatan, yaitu Panyabungan, Batang Natal, Siabu, Kotanopan dan Muarasipongi.
Secara tradisional orang Mandailing membagi wilayah menjadi dua bagian utama, yaitu Mandailing Godang meliputi kecamatan Panyabungan, Batang natal, dan Siabu, dan Mandailing Julu meliputi kecamatan Katanopan dan Muarasipongi. Meskipun terdapat pembagian wilayah Mandailing secara tradisional menjadi dua bagian, akan tetapi orang Mandailing yang bermukim di Mandailing Godang dan Mandailing Julu boleh dikatakan masih tetap memiliki adat istiadat yang sama. Pada masa sebelum Kemerdekaaan RI tanggal 17 Agustus 1945, wilayah Mandailing Godang berada di bawah kekuasaan raja-raja yang bermarga Nasution, sedangkan wilayah Mandailing Julu dikuasai oleh raja-raja yang bermarga Lubis.
Wilayah Mandailing sekarang berbatas dengan Kecamatan Angkola di sebelah utara yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Simarongit di Desa Sihepeng. Sedangkan perbatasannya dengan wilayah Padang Bolak berada di suatu tempat bernama Rudang Sinabur. Di sebelah barat Mandailing terletak wilayah Natal yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Lingga Bayu. Sebelah selatan wilayah Mandailing berbatas dengan Kabupaten Pasaman yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Ranjo Batu. Namun batas wilayah Mandailing dengan wilayah sebelah timur tidak diketahui karena jarang disebut-sebut orang.
Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa sesungguhnya sangat sulit untuk mendapatkan sejarah masa silam suku-bangsa Mandailing. Dalam hal ini, Pangaduan Lubis ada menjelaskan, bahwa walaupun suku-bangsa Mandailing memiliki aksara tradisional yang disebut surat tulak-tulak dan biasa digunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha, namun pada umumnya pustaha itu tidaklah berisi catatan sejarah melainkan tentang pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan tentang waktu yang baik dan buruk serta ramalan tentang mimpi. Semua pustaha itu disimpan orang Mandailing sebagai warisan leluhur.
Salah satu sumber sejarah kuno yang menyebut-nyebut nama Mandailing adalah kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca untuk mencatatkan ekspansi kerajaan Majapahit ke beberapa wilayah di luar Pulau Jawa. Di dalam Pupuh ke XIII kitab itu tercatat bahwa ekspansi Majapahit sampai ke tanah Mandailing sekitar tahun 1287 Saka atau 1365 Masehi. Pada syair ke XIII Kakawin tersebut tercatat:
Selain itu, ada catatan tentang silsilah keturunan yang disebut tarombo yang barangkali merupakan satu-satunya sumber sejarah asal-usul orang Mandailing di masa lalu. Pada umumnya orang Mandailing mengelompokkan diri mereka ke dalam beberapa marga (klan) dan masingmasing marga selalu menempatkan diri mereka sebagai keturunan dari seorang tokoh nenek moyang yang berlainan asal. Tokoh leluhur suatu marga biasanya bersifat legendaris, dan senantiasa mereka tempatkan diawal silsilah keturunan (tarombo) mereka. Dengan adanya tarombo ini, setiap marga di Mandailing dapat mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai sekarang. Istilah marga dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang berasal dari keturunan seorang nenek moyang yang sama dan garis keturunan diperhitungkan melalui pihak laki-laki atau ayah (patrilineal).
Marga Lubis dan Nasution mempunyai jumlah warga yang terbesar di antara marga-marga lain di Mandailing. Marga Lubis memiliki satu kakek bersama bernama Na Mora Pande Bosi, yang menurut kisahnya adalah cucu dari seorang nakhoda kapal laut bernama Angin Bugis dari Pulau Sulu. Sedangkan satu kakek bersama dari marga Nasution bernama Si Baroar. Menurut legendanya, Si Baroar semasa bayi ditemukan oleh Sutan Pulungan, adalah seorang Raja dari Huta Bargot di Mandailing Godang. Cerita dalam versi lain menyebutkan bahwa marga Nasution pertama adalah putra dari Raja Iskandar Muda dari Pagaruyung, yang di masa lalu adalah pusat kerajaan Minangkabau. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa setiap marga biasanya mempunyai ompu parsadaan (nenek moyang) yang sama. Akan tetapi ada juga beberapa marga yang berlainan nama marganya yang mempunyai ompu parsadaan yang sama. Seperi marga Rangkuti dan Parinduri nenek moyangnya adalah Mangaraja Sutan Pane dan marga Pulungan, Lubis dan Harahap nenek moyangnya adalah Namora Pande Bosi. Sedangkan marga Matondang, Daulae dan Batubara memiliki nenek moyang dua orang yang bersaudara kandung (kakak beradik), yaitu Parmato Sopiak menurunkan marga Matondang dan Daulae, dan Bitcu Raya menurunkan marga Batubara. Adapun nama-nama marga orang Mandailing adalah: Hasibuan, Dalimunte, Mardia, Pulungan, Lubis, Nasution, Rangkuti, Parinduri, Daulae, Matondang, Batubara, Tanjung dan Lintang.
Reruntuhan candi di sekitar Desa Simangambat di Kecamatan Siabu merupakan sisa-sisa peninggalan sejarah kuno Mandailing. Candi tua itu mungkin termasuk sisa-sisa bangunan tertua di Sumatera Utara karena diperkirakan berasal dari abad ke 8 dan 9 Masehi, dimana bentuk dan ornamennya menyerupai candi gaya Jawa Tengah asli. Di samping itu, ada tempat di sekitar Desa Pidoli yang dinamakan Saba Biara (biara=vihara). Biara-biara ini pada masa sekarang hanya tinggal pondasinya saja yang tertimbun di dalam areal persawahan penduduk. Sementara itu di lereng gunung Sorik Marapi di Desa Maga dahulu terdapat beberapa buah “pilar batu” yang bertuliskan aksara Jawa Kuno bertanggal 9-9-1242.
Di areal pemakaman kuno yang disebut lobu atau huta lobu dapat ditemukan patung batu yang disebut tagor. Menurut kepercayaan lama, tagor tersebut dapat memberi suatu pertanda dengan suara gemuruh apabila terjadi sesuatu hal penting dalam keluarga raja, misalnya seandainya ada seorang raja yang akan wafat. Selain itu, di empat sudut huta (wilayah perkampungan kerajaan disebut juga banua) biasanya terdapat patung kuno bernama pangulu balang, yang di masa lalu dipercayai mampu menjaga kesatuan wilayah huta dan akan memberikan pertanda apabila ada sesuatu yang akan mengganggu komunitas huta.
Wilayah Mandailing Godang dikelilingi oleh gunung-gunung. Di tengah-tengah kawalan dari beberapa gunung itu terhampar dataran rendah yang cukup luas dan berhawa panas. Sungai yang bernama Aek Batang Gadis yang hulunya berada di Mandailing Julu melintasi wilayah Mandailing mulai dari bagian selatan dan menyusuri bagian baratnya menuju ke arah utara. Oleh karena air sungai ini dahulu sering terhalang alirannya menuju muaranya bernama Singkuang di Samudera Indonesia, maka keadaan itu menimbulkan daerah rawa-rawa di dataran rendah yang dikitari gunung-gunung tersebut. Penduduk Mandailing Godang kemudian mengolahnya menjadi areal persawahan yang cukup luas dan subur, sehingga daerah ini menjadi lumbung padi di Mandailing.
Selain menghasilkan padi, daerah ini juga banyak menghasilkan buah kelapa karena penduduknya memanfaatkan tanah pekarangan rumah yang cukup luas dan lingkungan sekitarnya dengan menanam pohon kelapa. Sedangkan di kaki-kaki gunung dan tanah-tanah yang tidak dipergunakan untuk lahan persawahan ditanami penduduknya dengan pohon karet. Beberapa kilometer ke arah utara, di sepanjang aliran Aek Batang Gadis banyak ditemukan pohon pisang dan umbi-umbian milik warga Huta Bargot, Saba Jior dan Jambur-Padang Matinggi.
Kota kecil Panyabungan sejak dahulu dianggap sebagai suatu tempat yang cukup penting. Kota kecil ini berada di tengah-tengah dataran rendah yang subur itu, sehingga menarik minat penduduk desa lain untuk pindah ke Mandailing Godang demi mencari penghidupan yang lebih baik sebagai petani atau pedagang. Seperti kepindahan orang-orang bermarga Lubis yang mendirikan suatu tempat pemukiman baru bernama Huta Lubis sekitar setengah kilometer dari kota kecil Panyabungan. Hingga kini kota kecil Panyabungan terdiri atas tiga bagian utama, yaitu Panyabungan Julu di bagian hulu, Panyabungan Tonga-tonga di bagian tengah, dan Panyabungan Jae di bagian hilir. Pembagian wilayah kota kecil Panyabungan yang demikian itu disesuaikan dengan arah mengalirnya sebuah sungai bernama Aek Mata yang melintang ke arah Panyabungan, dari timur ke barat dan bermuara ke Aek Batang Gadis. Dalam hubungan ini, orang Mandailing memiliki kebiasaan untuk membagi dan menamai bagian-bagian dari huta mereka menurut arah aliran sungai yang terdapat di dekat daerah pemukiman mereka.
Panyabungan Tonga-tonga adalah bagian terpenting di Mandailing Godang karena kelompok marga Nasution mempercayai, bahwa leluhur mereka Si Baroar pertama kali bermukim di tempat tersebut. Setelah dinobatkan penduduk menjadi raja, Si Baroar diberi gelar Sutan Diaru. Sampai saat ini masih terdapat bagas godang (istana raja) dan sopo godang (balai sidang adat) di Panyabungan Tonga-tonga. Dari Panyabungan Tonga-tonga inilah kemudian keturunan Si Baroar menyebar menjadi raja-raja di beberapa huta di kawasan Mandailing Godang, antara lain: Panyabungan Julu, Panyabungan Jae, Huta Siantar, Maga, dan lain-lain.
Berbeda dengan wilayah Mandailing Godang, meskipun wilayah Mandailing Julu alamnya berhawa sejuk, namun kawasan ini diapit oleh gunung-gunung yang sebagian mencapai ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, sehingga penduduknya hanya dapat mengolah lahan persawahan di kaki-kaki gunung dan di bagian tepi sepanjang Aek Batang Gadis dan Aek Pungkut. Keterbatasan lahan persawahan tersebut menyebabkan penduduk hanya dapat membuat petak-petak sawah yang kecil dan bertangga-tangga. Meskipun para petani bekerja keras dalam mengerjakan lahan sawahnya, namun karena arealnya sempit sehingga tidak dapat memberikan hasil panen yang mencukupi untuk makanan setahun.
Wilayah Mandailing Julu yang berhawa sejuk ternyata sangat ideal untuk tanaman kopi yang diperkenalkan kolonial Belanda6 pada abad ke-19 melalui sistem tanam paksa di masa lalu, terutama di daerah Pakantan dan Huta Godang (Ulu Pungkut). Sejak saat itulah, sebelum Perang Dunia Kedua, kopi yang berasal dari tanah Mandailing diekspor ke Amerika dan Eropah, sehingga kopi dari luat (wilayah) Mandailing ini lama-kelamaan menjadi cukup terkenal di dunia internasional dengan sebutan “Mandailing Coffee”. Selain itu, penduduk juga memanfaatkan lerenglereng gunung untuk ditanami pohon karet, cengkeh dan kayu manis. Sementara pohon enau yang banyak tumbuh secara alami di daerah ini mereka sadap niranya untuk dijadikan gulo bargot (gula aren) yang cukup terkenal di Sumatera Utara. Dari hasil-hasil tanaman keras inilah penduduk Mandailing Julu memperoleh penghasilan tambahan untuk kemudian dibelikan beras dan kebutuhan hidup lainnya.
Di Mandailing Julu banyak ditemukan bekas-bekas penambangan emas yang ditinggalkan orang Agam (Minangkabau), seperti di sekitar Huta Godang ada suatu tempat yang dinamakan garabak ni agom. Dan orang Belanda pun pernah membuka tambang emas di dekat kota kecil Muarasipongi. Di samping itu, Aek Batang Gadis yang hulunya terletak di Gunung Kulabu di dekat Pakantan itu melintasi wilayah Mandailing mulai dari selatan hingga utara dan bermuara di Singkuang di pantai barat mengandung bijih-bijih emas pula. Pada waktu-waktu tertentu di Aek Batang Gadis sampai sekarang banyak penduduk yang manggore (mendulang emas) sebagai mata pencaharian tambahan terutama pada masa pacekelik, yaitu sewaktu harga kopi, kayu manis, cengkeh dan karet turun di pasaran. Oleh sebab itulah, tano rura Mandailing juga dikenal dengan sebutan tano sere.
Kotanopan adalah sebuah kota kecil di Mandailing Julu yang memiliki arti penting bagi kelompok marga Lubis. Sebab menurut kepercayaan mereka, di sekitar tempat itulah dahulu putra kembar Na Mora Pande Bosi, yaitu Silangkitang dan Si Baitang untuk pertama kalinya membuka tempat pemukiman. Hal itu dilakukan sesuai dengan pesan ayah mereka Na Mora Pande Bosi, bahwa apabila dalam pengembaraan ke wilayah Mandailing Julu mereka menemukan suatu tempat dimana terdapat dua buah sungai yang muaranya bertentangan, maka ditempat itulah mereka harus membuka perkampungan baru. Lokasi ini kemudian dikenal dengan nama Muara Patontang, yaitu tempat pertemuan muara Aek Singengu dari arah barat dan Aek Singangir dari arah timur yang saling berhadapan lalu keduanya bermuara ke Aek Batang Gadis.
Selanjutnya Muara Patontang mereka namakan Huta Panopaan, yang kemudian menjadi Hutanopan, yang lama kelamaan menjadi Kotanopan. Dari sinilah Si Langkitang pergi menuju suatu tempat yang dinamakan Singengu, dan kemudian dari Singengu inilah keturunanya menyebar dan menjadi raja-raja bermarga Lubis di beberapa desa seperti Simpang Tolang, Sayurmaincat, Tambangan dan sebagainya. Sementara itu saudaranya Si Baitang melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Dikemudian hari keturunannya juga menyebar dan menjadi raja-raja bermarga Lubis di beberapa desa seperti Tamiang, Huta Dangka, Huta Pungkut, Huta Godang, Pakantan dan lain-lain.
2. Huta dan Banua
Wilayah pemukiman orang Mandailing disebut Luat atau Banua. Sedangkan kehidupan sosial budaya orang Mandailing berlangsung di dalam suatu huta yang memiliki satu kesatuan wilayah dengan batas-batas tertentu. Setiap huta berada dibawah sistem pemerintahan sendiri yang demokratis dan bersifat otonom yang dipimpin oleh seorang raja. Oleh karena yang memimpin pemerintahan adalah seorang raja, maka huta atau banua tersebut dapat disebut harajaon (“kerajaan kecil”) sesuai dengan cakupan wilayahnya yang umumnya tidak begitu luas. Menurut tradisi, yang diangkat menjadi raja hanyalah kaum laki-laki saja, dan adanya sejumlah huta di Mandailing disebabkan oleh kepindahan orang-orang Mandailing dari huta asal ke tempat-tempat lain untuk mendirikan atau membuka tempat pemukiman baru (disebut mamungka huta). Biasanya sekelompok orang yang akan mencari tempat pemukiman baru tersebut terdiri dari kelompok kekerabatan mora, kahanggi dan anak boru.
Suatu tempat pemukiman baru tidak bias langsung menjadi sebuah huta, karena di samping luas daerahnya yang masih relatif sempit, juga jumlah penduduknya pun masih sedikit dan tempat pemukiman baru ini disebut banjar. Daerah pemukiman baru yang memiliki wilayah yang lebih luas dari banjar dinamakan pagaran. Dalam prosesnya, biasanya banjar lama-kelamaan dapat menjadi pagaran apabila warga dan luas wilayahnya bertambah. Sedangkan pagaran yang semakin tumbuh berkembang akan menjadi lumban. Tapi adakalanya banjar dapat langsung menjadi lumban apabila terjadi suatu perkembangan penduduk dan wilayah yang begitu pesat. Jadi dalam keadaan normal, sejalan dengan perkembangan jumlah warga dan luas wilayahnya, tempat pemukiman terkecil yang berstatus banjar lama-kelamaan menjadi pagaran, kemudian berubah status menjadi lumban, dan terakhir menjadi huta. Sampai sekarang masih terdapat beberapa desa di Mandailingyang memiliki nama-nama tempat pemukiman penduduk yang demikian itu seperti: Banjar Pining, Banjar Sibaguri, Pagaran Tonga, Pagaran Sigatal, Lumban Pasir, Huta Dangka, Huta Pungkut, Huta Godang, Huta Siantar, dan Huta Bargot. Dahulu, semasa tempat pemukiman itu masih berstatus sebagai banjar, pagaran ataupun lumban tidak diperbolehkan memiliki raja dan wilayahnya sendiri yang otonom. Dengan demikian ia masih bergantung kepada huta atau banua asal karena dianggap belum mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Untuk itu mereka dipimpin oleh seseorang yang dinamai Raja Ihutan yang tidak berfungsi sebagai kepala pemerintahan.7
3. Mata Pencaharian Hidup
Mata Pencaharian utama penduduk Mandailing adalah bertani dengan mengolah sawah. Areal persawahan yang cukup luas terdapat di Mandailing Godang. Sedangkan di Mandailing Julu, karena areal persawahan sempit, maka penduduk memanfaatkan lereng-lereng gunung untuk ditanami tanaman keras.
Boleh dikatakan bahwa kehidupan sosial orang Mandailing erat kaitannya dengan masalah kepemilikan lahan persawahan. Menurut Pangaduan Lubis, bahwa meskipun sempit atau pun keadaannya kurang subur, pemilikan sebidang lahan persawahan amat penting artinya bagi orang Mandailing untuk mendukung martabat dan statusnya di tengah-tengah masyarakat. Satu keluarga yang tidak memiliki sebidang tanah di suatu desa biasanya dianggap sebagai orang penumpang di desanya, sehingga keluarga tersebut akan merasa dirinya bukanlah bagian yang integral dari komunitas desanya. Sebab keaslian dan keutuhan ikatannya sebagai anggota masyarakat desanya ditandai oleh adanya kepemilikan lahan persawahan yang diwarisi secara turun-temurun.
Di masa-masa lalu orang Mandailing senantiasa bergotong-royong untuk mengolah sawah, misalnya dalam mengerjakan tanah dan menanam padi secara bersama-sama disebut marsialap ari, dan kegiatan bersama-sama untuk memanen padi disebut manyaraya. Akan tetapi kegiatan gotongroyong yang demikian itu pada masa sekarang ini sudah sangat jarang mereka lakukan. Kegiatan mengolah sawah hanya dilakukan oleh anggota keluarga batih yang sudah mampu bekerja di sawah.
Suatu wadah berbentuk rumah kecil bertingkat dua yang disebut opuk atau sopo eme di setiap desa digunakan untuk menyimpan padi yang sudah selesai diirik. Bagian atasnya yang beratap ijuk (serabut pohon enau) dan berdinding gogat (bambu yang dipecah) digunakan untuk menyimpan padi, sedangkan bagian bawahnya yang hanya berlantai bambu atau kayu (papan) tanpa dinding biasanya digunakan sebagai tempat duduk-duduk untuk beristirahat. Biasanya setiap keluarga batih memiliki sebuah opuk. Namun ada juga gabungan dari beberapa keluarga batih memiliki opuk bersama sebagai cadangan bahan makanan yang dapat dipinjamkan kepada keluarga yang membutuhkannya terutama di musim pacekelik yang disebut aleon.
Sekitar dua puluh tahun lalu, petani sawah di Mandailing masih bertanam padi sekali dalam setahun. Seraya menunggu masa tanam berikutnya, areal sawah yang sudah dipanen padinya itu dibersihkan lalu ditanami dengan tanaman muda (palawija) seperti kacang tanah dan jagung. Namun semenjak mereka memakai bibit padi jenis unggul, bertanam padi dilakukan dua kali dalam setahun, sehingga kegiatan bertanam palawija mulai jarang dilakukan. Dalam kegiatan bercocok tanam padi di sawah dipergunakan berbagai macam peralatan yang terbuat dari logam (besi), antara lain: cangkul, tajak, sasabi, dan goluk. Sedangkan untuk marhauma (bercocok tanam palawija atau padi di ladang) dipergunakan sebuah alat berupa sepotong kayu yang diruncingkan yang disebut ordang. Dapat ditambahkan bahwa dari dahulu sampai sekarang petani sawah di Mandailing umumnya masih memakai sistem irigasi tradisional yang disebut bondar saba, yaitu suatu system distribusi (tali) air yang kontruksinya masih sangat sederhana untuk dapat mengairi areal sawah-sawah mereka. Di setiap huta biasanya terdapat sebidang lahan persawahan milik raja yang disebut saba bolak (sawah yang luas). Begitupun bukan berarti bahwa saba bolak milik raja itu lebih luas daripada area sawah milik penduduk huta. Menurut Pangaduan Lubis, penamaan saba bolak untuk sawah milik raja adalah sebagai suatu penghormatan yang menunjukkan bahwa raja memiliki kelebihan dari alak na jaji (orang kebanyakan). Memang sudah seharusnyalah raja memperoleh hasil panen yang lebih banyak karena raja mengemban fungsi sebagai inganan marsali, yaitu sebagai tempat peminjaman padi bagi warga huta terutama di masa-masa pacekelik. Selain itu, raja juga memiliki area sawah tertentu yang disebut saba olet yang hasil panennya secara khusus dipergunakan untuk menjamu tamu-tamu raja yang datang berkunjung ke Bagas Godang atau setiap orang yang meminta makan kepada Raja. Adanya kewajiban raja yang demikian itu karena raja adalah talaga na so hiang (tempat persediaan makanan yang tidak pernah habis) bagi orang Mandailing. Di masa lalu, beternak juga termasuk sumber mata pencaharian tambahan bagi penduduk huta. Terutama beternak manuk (ayam), itik (bebek), ambeng (kambing), lombu (sapi) dan orbo (kerbau). Ternak kerbau banyak diperlukan sebagai hewan sembelihan (disebut longit) pada berbagai upacara adat dan ritual. Di beberapa huta, raja memiliki padang pengembalaan kerbau sendiri yang disebut jalangan. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa kegiatan beternak kambing dan kerbau sekarang ini sudah mulai berkurang.
Kolam ikan yang disebut tobat banyak ditemukan di setiap huta, baik itu di samping rumah maupun di tempat-tempat lainnya sebagai milik pribadi. Ada pula kolam ikan yang cukup luas milik raja yang dinamakan tobat bolak, yang pada waktu-waktu tertentu ikannya diambil oleh penduduk huta setempat secara bersama-sama. Kegiatan bersama untuk mengambil ikan dari tobat milik raja yang dinamakan mambungkas tobat bolak ini biasanya dilakukan setahun sekali. Dapat dikatakan bahwa kegiatan mambungkas tobat bolak ini merupakan sumbangsih raja kepada rakyatnya dan juga suatu bentuk hiburan yang dapat menggembirakan rakyatnya.
4. Dalian Na Tolu
Sistem kekerabatan orang Mandailing adalah patrilineal, dan hubungan kekerabatannya dapat ditinjau berdasarkan pertalian darah dan perkawinan yang terpola. Dalam hal ini, orang Mandailing mengelompokkan diri menjadi tiga kelompok kekerabatan yang menjadi tumpuan dasar bagi berbagai aktivitas sosial-budaya mereka.
Menurut adat-istiadat, ketiga kelompok kekerabatan tersebut masing-masing berkedudukan sebagai mora, yaitu pemberi anak gadis, anak boru, adalah penerima anak gadis, dan kahanggi adalah kelompok kerabat satu marga, yang ketiganya terikat satu sama lain berdasarkan hubungan fungsional dalam satu sistem sosial yang dinamakan Dalian Na Tolu (“tumpuan yang tiga”). Dengan menggunakan sistem sosial Dalian Na Tolu itulah orang Mandailing mengatur dan melaksanakan berbagai aktivitas sosial-budayanya serta membentuk suatu persekutuan hukum (adattrechts gemeenschap) yang nama aslinya Janjian.
Selain tiga kelompok kekerabatan di atas, orang Mandailing juga mengenal kelompok kekerabatan lain sebagai kelompok kekerabatan tambahan yang sebenarnya berasal dari tiga kelompok kekerabatan inti, yaitu mora ni mora dan pisang raut. Mora ni mora adalah kelompok mora daripada mora, dan pisang raut (adakalanya juga disebut kijang jorat) adalah anak boru daripada anak boru. Selain itu ada pula kelompok kekerabatan yang disebut kahanggi pareban, yaitu kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga batih yang berlainan marga namun sama-sama merupakan anak boru dari satu keluarga yang bermarga tertentu.
Berdasarkan pertalian darah terdapat kelompok kerabat yang dinamakan saompu parsadaan (satu kakek bersama), saompu (satu kakek), sabagas (serumah), saudon (seperiuk) dan saama-saina (seayah-sibu). Kelompok kerabat yang disebut saompu adalah kumpulan orang-orang semarga yangmerupakan cucu dari beberapa orang kakek yang bersaudara kandung (kakak beradik); sabagas adalah kumpulan sejumlah anak semarga yang bersaudara kandung; saudon adalah kumpulanorang-orang semarga yang merupakan cucu dari seorang kakek; dan saama-saina adalah kumpulansejumlah anak dari pasangan ayah dan ibu kandung, yang di dalamnya tidak termasuk anak tiri dananak angkat.
Menurut Pangaduan Lubis, olong (kasih sayang) adalah nilai budaya Mandailing tertinggi dan paling abstrak yang merupakan landasan bagi hubungan fungsional di antara ketiga kelompok kekerabatan tersebut, yang lahir karena pertalian darah dan hubungan perkawinan sebagai inti kehidupan ketiga kelompok kekerabatan itu. Sehingga secara filosofis orang Mandailing yang masing-masing terintegrasi ke dalam kelompok kekerabatan mora, kahanggi dan anak boru yang terikat hubungan fungsional tersebut senantiasa menempatkan diri mereka sebagai orang-orang yang sahancit sahasonangan dan sasiluluton sasiriaon (sakit dan senang dirasakan bersama). Sebagai konsekuensi dari pandangan filosofis yang demikian itu adalah bahwa orang Mandailing menjadi sahata saoloan satumtum sapartahian (seia sekata menyatu dalam mufakat untuk sepakat) dan mate mangolu sapartahian (hidup dan mati dalam mufakat untuk sepakat).
Lebih jauh Pangaduan Lubis menjelaskan, bahwa sejalan dengan terciptanya suatu system sosial yang ideal berupa “jaringan besar”, maka orang Mandailing secara filosofis-simbolik memolakan dirinya seperti sebuah “jala” berbentuk segi tiga sama sisi. Setiap sudutnya merupakan posisi penting dalam mengatur hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan. Oleh karena itu pada sudut puncaknya ditempatkan kelompok kekerabatan mora, dan pada dua sudut lainnya ditempatkan pula kelompok kekerabatan kahanggi dan anak boru. Posisi ketiganya bisa saja beralih sewaktu-waktu akibat terjadinya praktek perkawinan, dan hubungan perkawinan pulalah yang menciptakan sisi-sisi yang terentang menautkan ketiganya sehingga terbentuk pola dasar kehidupan sosial-budaya orang Mandailing berupa segi-tiga besar. Di dalamnya secara fungsional terintegrasi sejumlah besar segi tiga-segi tiga kelompok kekerabatan yang kecil-kecil mengikuti pola dasar yang menjadi acuannya. Sebagai suatu totalitas, segi tiga besar itu bersama segi tiga-segi tiga kecil yang menjadi isinya menjelma menjadi sistem Dalian Na Tolu.
Sebagaimana halnya dengan sebuah “jala”, seluruh tali-temali jaringannya dipersatukan oleh satu tali pegangan yang mengikat dari sudut puncaknya. Menurut filsafat orang Mandailing, “tali pegangan” itulah olong yang menyatukan setiap kelompok kekerabatan maupun anggota masyarakat Mandailing dalam satu sistem sosial yaitu Dalian Na Tolu, yang secara filosofis-simbolik dapat digambarkan seperti berikut:
Selain kelompok kekerabatan yang telah dikemukakan di atas, ada pula jenis pengelompokan lain, yaitu apa yang lazim disebut koum-sisolkot. Istilah koum-sisolkot ini terbentuk dari dua kata, yaitu koum dan sisolkot, yang masing-masing mengandung makna klasifikatoris dalam konteks sistem kekerabatan. Koum merupakan istilah kekerabatan yang dirujuk berdasarkan hubungan perkawinan, sedangkan sisolkot dirujuk berdasarkan pertalian darah. Oleh sebab itu orang-orang yang semarga (disebut markahanggi) lazim pula disebut dengan istilah marsisolkot. Sementara pengertian koum meliputi anggota yang lebih banyak dan cakupannya lebih luas karena di dalamnya terintegrasi kelompok kekerabatan mora, kahanggi dan anak boru, tetangga dekat dan lain sebagainya. Dengan memperhatikan istilah koum-sisolkot ini yang didahului kata koum dan bukan sebaliknya, barangkali hal ini bukanlah terjadi secara kebetulan dan tanpa makna tertentu yang terkandung di dalamnya. Jika diasumsikan bahwa “bahasa menentukan corak kebudayaan”, maka ada kemungkinan bahwa istilah koum-sisolkot ini merupakan reflekasi dari corak kebudayaan atau paling tidak ada terdapat nilai budaya di dalamnya yang berakar dari adat-istiadat orang Mandailing, sehingga dapat diasumsikan bahwa “orang Mandailing dalam banyak hal tidak lebih mengutamakan sisolkot-nya dalam kehidupannya, tetapi lebih mendahulukan koum yang secara sosialpsikologis dan territorial lebih dekat dengannya”.
5. Adat Pergaulan Kekerabatan
Interaksi sosial-budaya dalam kehidupan masyarakat Mandailing dilandasi oleh adat-istuadat. Dalam satu keluarga batih misalnya, hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya yang masih kecil boleh dikatakan berlangsung cukup akrab penuh kasih sayang. Akan tetapi hubungan seorang ayah baik dengan anak perempuannya yang sudah berstatus sebagai bujing-bujing sangat terbatas karena dibatasi oleh norma-norma adat. Sang ayah senantiasa membatasi diri untuk berdialog dengan anak perempuannya yang telah dewasa tersebut, demikian pula sebaliknya si anak gadis merasa sungkan dan malu untuk memperbincangkan berbagai hal dengan ayahnya. Keadaan ini membuat seorang anak perempuan yang telah dewasa merasa lebih dekat dan akrab dengan ibunya. Demikian pula halnya dengan seorang anak laki-laki yang telah dewasa juga membatasi hubungannya dengan ibunya. Oleh sebab itulah anak-anak mereka yang telah dewasa tersebut tidak tidur bersama-sama dengan orang tua di rumah, melainkan di rumah atau tempat tertentu. Para anak gadis tidur bersama kawan-kawan sebayanya di sebuah rumah yang disebut bagas podoman, sedangkan para pemuda tidur bersama kawan-kawannya di sopo podoman.
Sementara itu, interaksi sosial antara seorang pemuda dengan saudara perempuannya yang sudah dewasa (bujing-bujing) tidak boleh terbuka dan akrab. Di masa lalu, pantang bagi seorang pemuda untuk berlama-lama di dalam rumahnya manakala saudara perempuannya (disebut iboto) tersebut juga berada di dalam rumah. Lebih luas lagi, hal yang demikian itu berlaku bagi pemuda dan anak gadis yang semarga yang disebut mariboto. Dalam sistem kekerabatan Dalian Na Tolu, interaksi sosial antara mora dan anak boru berlandaskan hak dan kewajiban masing-masing terhadap satu sama lain. Dalam hal ini, pihak anak boru mengemban fungsi sebagai sitamba na urang siorus na lobi (si penambah yang kurang si pengurang yang lebih). Karena kewajibannya yang demikian itu, anak boru dikenal pula sebagai na manorjak tu pudi juljul tu jolo (yang menerjang ke belakang menonjol ke depan), yang maksudnya pihak anak boru ini sudah semestinya membela kepentingan dan kemuliaan pihak mora, atau dengan kata lain pihak anak boru harus sangap marmora (menghormati dan memuliakan pihak mora). Di samping itu, anak boru juga diibaratkan sebagai si tastas nambur (penghalau embun pagi pada semak belukar), yang artinya pihak anak boru berkewajiban sebagai perintis jalan (barisan terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi pihak mora.
Semua itu mesti dilaksanakan pihak anak boru karena ia berkewajiban manjuljulkon morana (mengangkat harkat dan martabat pihak mora). Sebaliknya, pihak mora berkewajiban untuk elek maranak boru (menyayangi dan mengasihi pihak anak boru) agar pihak anak boru senantiasa manjuljulkon morana.
Terhadap kahanggi (saudara semarga), setiap orang biasanya selalu berusaha bersikap hati-hati. Sebab kahanggi sangat penting artinya bagi setiap individu karena berbagai persoalan hidup seperti perkawinan, kematian dan mencari nafkah terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan kahanggi. Untuk hal ini, para orang tua senantiasa memberi nasihat untuk manta-manat markahanggi (bersikap hati-hati terhadap kahanggi) agar tidak timbul perselisihan di antara sesama mereka yang semarga. Orang-orang semarga yang disebut markahanggi ini diharapkan selalu dapat bekerjasama dalam menghadapi berbagai macam tantangan kehidupan, seperti yang tersurat dan tersirat dalam endeende berikut ini :
6. Adat Pergaulan Na Poso Na Uli Bulung
Dalam interaksi sosial sehari-hari, anak laki-laki diberi nama panggilan lian dan sebutan taing diperuntukkan bagi anak perempuan. Nama panggilan lianberasal dari kata dalian, dan istilah taingberasal dari kata tataring. Kedua istilah nama panggilan bagi anak laki-laki dan anakperempuan tersebut ada kaitannya dengan peralatan memasak di dapur rumah. Di Mandailing, tataring adalah suatu tempat khusus untuk memasak yang terletak di sudut ruangan dapur rumah. Tataring berbentuk kubus dengan ukuran sekitar 100 x 80 x 20 centi meter. Dindingnya terbuat dari gogat (bambu yang dipecah) atau kayu (papan), dan bagian dalamnya terisi penuh dengan tanahkering. Di atas tataring ini biasanya terdapat dua tumpukan batu yang masing-masing terdiri atastiga buah batu bulat lonjong yang ditata dengan posisi seperti bentuk segi tiga sama sisi.Tumpukan batu yang dipergunakan untuk menyangga peralatan memasak seperti udon tano (belanga) tersebut disebut dalian. Jadi dalam hal ini pengertian dalian adalah suatu alat yangberfungsi sebagai penyangga atau tumpuan, dan tataring itu sendiri merupakan landasan ataupijakan dari dalian tersebut. Dapat ditambahkan bahwa seorang ibu rumah tangga dinamakan pula induk ni tataring.
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa para pemuda dan anak gadis memiliki kebiasaan tidur secara berkelompok di luar rumah orang tuanya. Rumah tempat tidur khusus bagi anak perempuan disebut bagas podoman, sedangkan tempat untuk tidur bagi para pemuda dinamakan sopo podoman. Biasanya para anak gadis pergi ke bagas podoman mereka sekitar pukul 20.00 WIB (malam hari) dan pada waktu subuh mereka kembali ke rumah masing-masing untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan membantu pekerjaan orang tua mereka di sawah atau di ladang, dan demikian pula halnya dengan para pemuda. Boleh dikatakan bahwa hampir semua kebutuhan hidup para pemuda dan anak gadis masih ditanggung oleh orang tuanya.
Tidaklah dianggap pantas apabila seorang anak gadis berkeliaran atau pergi ke suatu tempat hanya seorang diri. Sebab kelakukan seperti itu dapat menimbulkan prasangka buruk di tengah tengah masyarakat. Ketika seorang anak anak gadis hendak keluar rumah misalnya untuk bertemu dengan temannya, dia ditemani oleh inang (ibu kandung), etek (adik perempuan ibu), bouk (kakak perempuan ayah), atau paling tidak oleh anggi (adik) kandungnya sendiri. Ketika berada di luar rumah tersebut, si anak gadis biasanya tidak akan melewati tempat-tempat berkumpulnya kaum pria seperti lopo (kedai kopi) atau sopo podoman. Hal ini dilakukan untuk menjaga martabat dirinya agar warga masyarakat tidak memandangnya sebagai bujing-bujing na urgit (anak gadis yang genit). Dari sisi lain, busana yang dikenakan para anak gadis cukup sopan karena pada bagian kepala mereka tutup dengan busaen atau songkok (kerudung), sedangkan bagian badan dan kaki terbungkus dengan baju kurung (baju terusan) dan abit (kain sarung bermotif kembang).
Sebaliknya ruang gerak para pemuda boleh dikatakan lebih bebas daripada anak gadis. Di saat-saat tertentu para pemuda acap kali tampak bergerombol misalnya sewaktu mereka mardalan-dalan (jalan-jalan) di sore hari, dan pada malam harinya mereka berkumpul di sopo podoman. Dahulu, dalam penampilannya sehari-hari para pemuda selalu memakai kupiah (peci) dan tidak ketinggalan pula sebuah abit karung (kain sarung bermotif garis-garis lurus) yang disandangkan pada bagian pundak atau dililitkan pada bagian pinggangnya. Mereka biasanya mengenakan baju gunting cino (baju model Cina) dan saraor panjang (celana panjang). Selain itu, setiap pemuda umumnya memiliki sebuah piso balati (pisau belati) yang banyak gunanya bagi mereka seperti misalnya untuk membuat alat musik tiup tulila atau membuat lubang pangkusipan.
Kendati ruang gerak pergaulan Na Poso Na Uli Bulung dibatasi oleh adat-istiadat yang ketat, namun ada beberapa kesempatan tertentu yang memungkinkan mereka berinteraksi yang dapat dibagi dalam tiga bentuk kegiatan. Pertama, adalah kegiatan bersama dengan warga masyarakat lainnya seperti pada acara marburangir atau paboru-boruon13 di dalam rumah calon mempelai pria sebelum upacara adat perkawinan dilangsungkan beberapa hari kemudian. Kedua, adalah kegiatan muda-mudi dalam mengisi waktu-waktu senggang mereka seperti acara mangarabar. Dan ketiga, adalah interaksi muda-mudi dalam kegiatan berkencan yang bersifat rahasia, yaitu markusip.
7. Stratifikasi Sosial
Pada masyarakat Mandailing ada ditemukan stratifikasi (pelapisan) sosial yang telah berlangsung secara turun-temurun dalam tiga lapisan, yaitu : (1) na mora-mora, adalah golongan bangsawan; (2) alak na jaji atau si tuan na jaji, adalah orang kebanyakan atau rakyat biasa; dan (3) hatoban atau partangga bulu, adalah hamba sahaya. Namun di beberapa huta di Mandailing, antara lapisan na mora-mora dan alak na jaji terdapat lapisan perantara yang disebut na toras-toras, adalah pemukapemuka masyarakat yang tidak berstatus bangsawan maupun orang biasa, atau boleh dikatakan kedudukan na toras-toras lebih rendah dari kaum bangsawan tetapi lebih tinggi dari rakyat biasa.
Na mora-mora merupakan kelompok tersendiri dalam kelompok marga-nya, yang secara patrilineal berasal dari pendiri pertama huta mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pada mulanya status kebangsawanan dahulu tidaklah dibawa lahir melainkan karena penghargaan yang tinggi dari anggota masyarakat terhadap pendiri pertama huta mereka tersebut, setelah itu barulah tahta kerajaan diwariskan secara berantai kepada keturunanya. Karena yang dipandang sebagai pendiri pertama sejumlah huta di Mandailing adalah bermarga Lubis dan Nasution, sehingga hanya pada kedua marga itu saja yang muncul lapisan na mora-mora. Sedangkan na toras-toras yang jumlahnya relatif sedikit itu tercipta dari kelompok-kelompok kerabat yang anggotanya ada hubungan perkawinan dengan kerabat dekat raja atau na mora-mora. Jadi pada umumnya kelompok marga yang terdapat di Mandailing adalah lapisan alak na jaji.
Boleh dikatakan bahwa perbedaan antara na mora-mora dan alak na jaji tidaklah begitu menonjol dalam kehidupan sehari-hari karena sesungguhnya antara na mora-mora dan alak na jaji yang semarga senantiasa menyadari bahwa kedua belah pihak memiliki hubungan sedarah. Sedangkan terhadap marga-marga lainnya yang tergolong sebagai alak na jaji, biasanya na moramora mempunyai hubungan kekerabatan berdasarkan ikatan tali perkawinan.
Lapisan terbawah yaitu hatoban atau partangga bulu dapat dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan hal-hal yang menyebabkan mereka menjadi bagian dari lapisan tersebut. Pertama, karena mereka tidak membayar utangnya; kedua, mereka adalah orang-orang yang sengaja dibeli untuk dijadikan sebagai hamba sahaya; dan ketiga, mereka diperhamba karena mereka kalah dan takluk dalam peperangan. Kaum bangsawan di Mandailing dapat diidentifikasi dengan mudah karena mereka biasanya menyandang gelar antara lain: Raja, Sutan, Mangaraja, dan Baginda. Di samping itu, rumah tempat tinggal mereka dihiasi dengan ornamen-ornamen khas yang disebut bagas na martanduk atau bagas na marbolang.
8. Si Pelebegu
Masa sebelum masuknya agama Islam ke Mandailing, orang-orang yang bermukim di sana pada waktu itu menganut sistem kepercayaan animisme yang dinamakan si pelebegu (pemujaan roh-roh). Namun demikian keterangan mengenai sistem kepercayaan si pelebegu ini sekarang sangat sulit diperoleh karena orang-orang Mandailing selalu berusaha menutup diri apabila sistem religi leluhur mereka itu dipertanyakan. Keadaan di masa lalu sebagai “masa yang hitam dan kelam” itu mereka sebut maso na itom na robi.
Pada tahun 1999, saya bersama dengan Fumi Tamura dan kawan-kawannya pernah mengaudio-visualkan seni pertunjukan gordang sambilan di Sayurmaincat, Kotanopan, Mandailing Julu. Salah satu repertoar (lagu) yang dimainkan dengan gordang sambilan ketika itu adalah gondang mamele begu (irama atau musik untuk memuja roh-roh). Hal ini menunjukkan bahwa gordang sambilan memiliki kedudukan dan peran penting dalam sistem kepercayaan si pelebegu di masa lalu. Dalam hal ini, Pangaduan Lubis ada mencatatkan, bahwa “sampai sekitar awal abad ke-20, sisa dari sistem religi kuno itu masih tampak bekasnya dalam kehidupan masyarakat Mandailing meskipun agama Islam telah merata menjadi anutan orang Mandailing. Di beberapa tempat misalnya masih dilakukan orang upacara pemanggilan roh yang disebut pasusur begu atau marsibaso yang sangat dikutuk oleh para ulama Islam. Sesuai dengan tradisi si pelebegu upacara tersebut dilakukan untuk meminta pertolongan roh leluhur buat mengatasi suatu keadaan yang sulit, seperti misalnya musim kemarau panjang yang merusak tanaman padi penduduk. Orang-orang yang sempat menyaksikan upacara tersebut sulit membantah bahwa mereka memang melihat turunnya hujan lebat di tengah kemarau panjang setelah selesainya upacara ritual itu”.
Beberapa orang yang sudah cukup tua di Mandailing ada menyebut dua tokoh yang dituakan dengan sistem kepercayaan si pelebegu, yaitu sibaso dan datu. Sibaso dalam banyak hal Sangay dibutuhkan oleh raja dan penduduk huta untuk melakukan hubungan komunikasi dengan alam gaib atau roh leluhur karena sibaso merupakan medium yang melalui suatu upacara ritual tertentu dapat dirasuki oleh roh leluhur untuk memberi petunjuk guna mengatasi berbagai macam bala (mala petaka) seperi persoalan kemarau panjang dan penyakit menular yang mewabah. Sampai saat ini, datu masih memiliki kedudukan dan peran penting dalam masyarakat Mandailing. Datu dikenal dan dibutuhkan sebagai tradisional curer (penyembuh tradisional) atau sebagai medicine man (dukun untuk mengobati). Di setiap huta biasanya terdapat beberapa orang datu, ada datu yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit, namun ada pula datu yang menjurus kepada spesialisasi penyembuhan penyakit-penyakit tertentu, seperti misalnya datu rasa khusus untuk menyembuhkan orang yang terkena rasa (racun); datu ipon adalah dukun yang khusus menyembuhkan orang yang sedang mengalami sakit gigi; dan datu natarsilpuk adalah dukun khusus untuk mengobati orang yang mengalami sakit karena terkilir atau patah tulang.
Di masa lalu, kedudukan dan peran datu lebih luas daripada yang diuraikan di atas, karena seorang datu antara lain dapat menentukan waktu-waktu yang tepat dan baik untuk turun ke sawah, menuai padi, pelaksanaan upacara adat perkawinan maupun untuk memasuki rumah baru. Di samping itu, kemampuannya dalam meramal diperlukan untuk melihat kapan datangnya suatu bencana atau sebaliknya keberuntungan, dan ilmu gaibnya yang luar biasa itu dibutuhkan untuk menangkal atau menyembuhkan penyakit akibat guna-guna. Seorang datu selalu diresahi tanggungjawab untuk memimpin berbagai upacara adat dan ritual karena ia dipandang sebagai “gudang ilmu”. Datu sebagai pendamping raja mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk memberikan berbagai macam traditional wisdom (kearifan tradisional) yang sangat dibutuhkan guna kesempurnaan hidup komunitas huta”.
Orang-orang yang bermukim di Mandailing sekarang umumnya sudah memeluk agama Islam dan sudah sejak lama para ulama Islam berusaha untuk mengikis habis kepercayaan si pelebegu. Namun di antara orang-orang Mandailing hingga kini masih ada yang melaksanakan berbagai upacara adat yang sangat erat kaitannya dengan religi kuno itu, seperti ritus mangupa-upa (upacara untuk memanggil tondi guna membangkitkan semangat hidup seseorang) dan marpangir (tradisi berlangir) di batang aek (sungai), sehingga pelaksanaan ritus-ritus tersebut selalu menjadi sumber perdebatan yang tak kunjung habisnya antara tokoh-tokoh adat dan para ulama Islam di Mandailing.
9. Bahasa Mandailing
Masyarakat Mandailing memiliki bahasanya sendiri, yaitu bahasa Mandailing. Berdasarkan klasifikasi bahasa yang ditawarkan Slamet Mulyana, bahasa Mandailing termasuk rumpun bahasa Austronesia. Pangaduan Lubis ada mengemukakan bahwa di dalam bahasa Mandailing terdapat lima ragam bahasa yang masing-masing kosa katanya berbeda satu sama lain.
Ke lima ragam bahasa itu adalah: (1) hata somal, yaitu ragam bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari; (2) hata andung, yaitu ragam bahasa sastra yang dipakai dalam tradisi mangandung (meratap) pada upacara adat perkawinan atau kematian; (3) hata teas dohot jampolak, yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam pertengkaran atau mencaci-maki seseorang; (4) hata si baso, yaitu ragam bahasa yang secara khusus digunakan si baso (tokoh shaman) atau datu (dukun); dan (5) hata parkapur, yaitu ragam bahasa yang dipergunakan orang Mandailing di masa lalu ketika mereka berada di dalam hutan untuk mencari kapur barus. Misalnya, kata “mata” dapat dipakai untuk memperlihatkan kosa katanya. Dalam hata somal, indra penglihatan ini disebut mata, dalam hata andung adalah simanyolong, dan dalam hata teas dohot jampolak adalah loncot. Contoh lain, kata “daun sirih” dalam hata somal adalah burangir, dalam hata andung adalah simanggurak, dan dalam hata si baso atau datu adalah situngguk. Selain itu, kata “harimau” dalam hata somal adalah babiat, sedang dalam hata parkapur adalah ompung i, raja i, na gogo i.
Di masa lalu orang Mandailing juga memiliki satu alat komunikasi atau jenis bahasa tertentu yang disebut hata bulungbulung (bahasa dedaunan). Bahasa ini bukanlah berupa lambang bunyi, melainkan menggunakan daun tumbuh-tumbuhan sebagai perlambangnya. Hata bulung-bulung ini biasanya dipergunakan na poso na uli bulung (kalangan muda-mudi) sebagai alat komunikasi dalam memadu dan mengungkapkan perasaan cinta secara rahasia. Sebab menurut adat-istiadat lama, na poso-poso (para pemuda) dan bujing-bujing (para anak gadis) tidak boleh bergaul bebas dan terbuka di depan umum, sehingga perasaan cinta yang bagaimanapun menggeloranya di antara pemuda dan anak gadis harus tetap dirahasiakan. Dengan adanya adat-istiadat yang demikian itu, hata bulung-bulung dimanfaatkan sebagai salah satu media untuk saling mengkomunikasikan perasaan dan isi hati mereka.
Kepustakaan
Koentjaraningrat. (1980: Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Pangaduan Lubis. (1986). Na Mora Na Toras; Kepemimpinan Tradisional Mandailing. Medan: Skripsi FISIP USU
Zulkifli B. Lubis. (1988). Manipol: Studi tentang Orientasi Nilai Budaya Mandailing. Medan: Skripsi FISIP USU
Pangaduan Lubis. (1990). Sastra Mandailing dan Kita: Suatu Perkenalan Awal, (makalah dalam Seminar Kebudayaan Mandailing di Fakultas Sastra USU Medan.
Sumber : http://edinasution.files.wordpress.com
… muda tartiop opat na
ni paspas naraco holing
ni ungkap buntil ni adat
ni suat dokdok ni hasalaan
ni dabu utang dohot baris …
ni paspas naraco holing
ni ungkap buntil ni adat
ni suat dokdok ni hasalaan
ni dabu utang dohot baris …
Ungkapan tersebut di atas kurang lebih berarti, bahwa untuk mengadili seseorang harus didasarkan kepada empat syarat. Apabila keempat syarat itu telah terpenuhi barulah naraco holing (suatu lambing pertimbangan yang seadil-adilnya) dibersihkan, selanjutnya dilihat ketentuan adat, diukur beratnya kesalahan, dan setelah itu barulah hukuman dapat dijatuhkan. Selain itu, kata holing juga terdapat dalam ungkapan“surat tumbaga holing na so ra sasa”, yang artinya; “surat tumbaga holing yang tidak mau hapus”. Mungkin maksud dari ungkapan tersebut adalah ketentuan adat-istiadat tersebut akan tetap menjadi panutan hidup orang Mandailing selamalamanya.
Terminologi Mandailing mengandung dua macam pengertian yang tidak sama, akan tetapi keduanya saling mengikat dan tidak terpisahkan, yaitu pengertian budaya dan territorial. Dalam pengertian budaya, Mandailing adalah salah satu kelompok etnik atau suku-bangsa. Seperti yang dinyatakan oleh Koentjaraningrat, suku-bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ‘kesatuan kebudayaan’, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa”. Sedangkan dalam pengertian territorial, Mandailing adalah salah satu wilayah tertentu yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan Propinsi Sumatera Utara. Wilayah Mandailing memiliki batas-batas tertentu dan mayoritas penduduknya adalah suku-bangsa Mandailing. Sejalan dengan perkembangan zaman sekarang ini, wilayah Mandailing hanya meliputi lima wilayah kecamatan, yaitu Panyabungan, Batang Natal, Siabu, Kotanopan dan Muarasipongi.
Secara tradisional orang Mandailing membagi wilayah menjadi dua bagian utama, yaitu Mandailing Godang meliputi kecamatan Panyabungan, Batang natal, dan Siabu, dan Mandailing Julu meliputi kecamatan Katanopan dan Muarasipongi. Meskipun terdapat pembagian wilayah Mandailing secara tradisional menjadi dua bagian, akan tetapi orang Mandailing yang bermukim di Mandailing Godang dan Mandailing Julu boleh dikatakan masih tetap memiliki adat istiadat yang sama. Pada masa sebelum Kemerdekaaan RI tanggal 17 Agustus 1945, wilayah Mandailing Godang berada di bawah kekuasaan raja-raja yang bermarga Nasution, sedangkan wilayah Mandailing Julu dikuasai oleh raja-raja yang bermarga Lubis.
Wilayah Mandailing sekarang berbatas dengan Kecamatan Angkola di sebelah utara yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Simarongit di Desa Sihepeng. Sedangkan perbatasannya dengan wilayah Padang Bolak berada di suatu tempat bernama Rudang Sinabur. Di sebelah barat Mandailing terletak wilayah Natal yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Lingga Bayu. Sebelah selatan wilayah Mandailing berbatas dengan Kabupaten Pasaman yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Ranjo Batu. Namun batas wilayah Mandailing dengan wilayah sebelah timur tidak diketahui karena jarang disebut-sebut orang.
Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa sesungguhnya sangat sulit untuk mendapatkan sejarah masa silam suku-bangsa Mandailing. Dalam hal ini, Pangaduan Lubis ada menjelaskan, bahwa walaupun suku-bangsa Mandailing memiliki aksara tradisional yang disebut surat tulak-tulak dan biasa digunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha, namun pada umumnya pustaha itu tidaklah berisi catatan sejarah melainkan tentang pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan tentang waktu yang baik dan buruk serta ramalan tentang mimpi. Semua pustaha itu disimpan orang Mandailing sebagai warisan leluhur.
Salah satu sumber sejarah kuno yang menyebut-nyebut nama Mandailing adalah kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca untuk mencatatkan ekspansi kerajaan Majapahit ke beberapa wilayah di luar Pulau Jawa. Di dalam Pupuh ke XIII kitab itu tercatat bahwa ekspansi Majapahit sampai ke tanah Mandailing sekitar tahun 1287 Saka atau 1365 Masehi. Pada syair ke XIII Kakawin tersebut tercatat:
Lwir ning pranusa sakahawat ksoni ri Malaya
Ning Jambi mwang Palembang karitang i Teba len Dharmacraya tumut
Kandis Kahwat Manangkabwa ri Siyak i Rekan Kampar mwang i Pane
Kampe Harw athawe Mandahiling i Tumihang Parlak mwang i Barat
Ning Jambi mwang Palembang karitang i Teba len Dharmacraya tumut
Kandis Kahwat Manangkabwa ri Siyak i Rekan Kampar mwang i Pane
Kampe Harw athawe Mandahiling i Tumihang Parlak mwang i Barat
Selain itu, ada catatan tentang silsilah keturunan yang disebut tarombo yang barangkali merupakan satu-satunya sumber sejarah asal-usul orang Mandailing di masa lalu. Pada umumnya orang Mandailing mengelompokkan diri mereka ke dalam beberapa marga (klan) dan masingmasing marga selalu menempatkan diri mereka sebagai keturunan dari seorang tokoh nenek moyang yang berlainan asal. Tokoh leluhur suatu marga biasanya bersifat legendaris, dan senantiasa mereka tempatkan diawal silsilah keturunan (tarombo) mereka. Dengan adanya tarombo ini, setiap marga di Mandailing dapat mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai sekarang. Istilah marga dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang berasal dari keturunan seorang nenek moyang yang sama dan garis keturunan diperhitungkan melalui pihak laki-laki atau ayah (patrilineal).
Marga Lubis dan Nasution mempunyai jumlah warga yang terbesar di antara marga-marga lain di Mandailing. Marga Lubis memiliki satu kakek bersama bernama Na Mora Pande Bosi, yang menurut kisahnya adalah cucu dari seorang nakhoda kapal laut bernama Angin Bugis dari Pulau Sulu. Sedangkan satu kakek bersama dari marga Nasution bernama Si Baroar. Menurut legendanya, Si Baroar semasa bayi ditemukan oleh Sutan Pulungan, adalah seorang Raja dari Huta Bargot di Mandailing Godang. Cerita dalam versi lain menyebutkan bahwa marga Nasution pertama adalah putra dari Raja Iskandar Muda dari Pagaruyung, yang di masa lalu adalah pusat kerajaan Minangkabau. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa setiap marga biasanya mempunyai ompu parsadaan (nenek moyang) yang sama. Akan tetapi ada juga beberapa marga yang berlainan nama marganya yang mempunyai ompu parsadaan yang sama. Seperi marga Rangkuti dan Parinduri nenek moyangnya adalah Mangaraja Sutan Pane dan marga Pulungan, Lubis dan Harahap nenek moyangnya adalah Namora Pande Bosi. Sedangkan marga Matondang, Daulae dan Batubara memiliki nenek moyang dua orang yang bersaudara kandung (kakak beradik), yaitu Parmato Sopiak menurunkan marga Matondang dan Daulae, dan Bitcu Raya menurunkan marga Batubara. Adapun nama-nama marga orang Mandailing adalah: Hasibuan, Dalimunte, Mardia, Pulungan, Lubis, Nasution, Rangkuti, Parinduri, Daulae, Matondang, Batubara, Tanjung dan Lintang.
Reruntuhan candi di sekitar Desa Simangambat di Kecamatan Siabu merupakan sisa-sisa peninggalan sejarah kuno Mandailing. Candi tua itu mungkin termasuk sisa-sisa bangunan tertua di Sumatera Utara karena diperkirakan berasal dari abad ke 8 dan 9 Masehi, dimana bentuk dan ornamennya menyerupai candi gaya Jawa Tengah asli. Di samping itu, ada tempat di sekitar Desa Pidoli yang dinamakan Saba Biara (biara=vihara). Biara-biara ini pada masa sekarang hanya tinggal pondasinya saja yang tertimbun di dalam areal persawahan penduduk. Sementara itu di lereng gunung Sorik Marapi di Desa Maga dahulu terdapat beberapa buah “pilar batu” yang bertuliskan aksara Jawa Kuno bertanggal 9-9-1242.
Di areal pemakaman kuno yang disebut lobu atau huta lobu dapat ditemukan patung batu yang disebut tagor. Menurut kepercayaan lama, tagor tersebut dapat memberi suatu pertanda dengan suara gemuruh apabila terjadi sesuatu hal penting dalam keluarga raja, misalnya seandainya ada seorang raja yang akan wafat. Selain itu, di empat sudut huta (wilayah perkampungan kerajaan disebut juga banua) biasanya terdapat patung kuno bernama pangulu balang, yang di masa lalu dipercayai mampu menjaga kesatuan wilayah huta dan akan memberikan pertanda apabila ada sesuatu yang akan mengganggu komunitas huta.
Wilayah Mandailing Godang dikelilingi oleh gunung-gunung. Di tengah-tengah kawalan dari beberapa gunung itu terhampar dataran rendah yang cukup luas dan berhawa panas. Sungai yang bernama Aek Batang Gadis yang hulunya berada di Mandailing Julu melintasi wilayah Mandailing mulai dari bagian selatan dan menyusuri bagian baratnya menuju ke arah utara. Oleh karena air sungai ini dahulu sering terhalang alirannya menuju muaranya bernama Singkuang di Samudera Indonesia, maka keadaan itu menimbulkan daerah rawa-rawa di dataran rendah yang dikitari gunung-gunung tersebut. Penduduk Mandailing Godang kemudian mengolahnya menjadi areal persawahan yang cukup luas dan subur, sehingga daerah ini menjadi lumbung padi di Mandailing.
Selain menghasilkan padi, daerah ini juga banyak menghasilkan buah kelapa karena penduduknya memanfaatkan tanah pekarangan rumah yang cukup luas dan lingkungan sekitarnya dengan menanam pohon kelapa. Sedangkan di kaki-kaki gunung dan tanah-tanah yang tidak dipergunakan untuk lahan persawahan ditanami penduduknya dengan pohon karet. Beberapa kilometer ke arah utara, di sepanjang aliran Aek Batang Gadis banyak ditemukan pohon pisang dan umbi-umbian milik warga Huta Bargot, Saba Jior dan Jambur-Padang Matinggi.
Kota kecil Panyabungan sejak dahulu dianggap sebagai suatu tempat yang cukup penting. Kota kecil ini berada di tengah-tengah dataran rendah yang subur itu, sehingga menarik minat penduduk desa lain untuk pindah ke Mandailing Godang demi mencari penghidupan yang lebih baik sebagai petani atau pedagang. Seperti kepindahan orang-orang bermarga Lubis yang mendirikan suatu tempat pemukiman baru bernama Huta Lubis sekitar setengah kilometer dari kota kecil Panyabungan. Hingga kini kota kecil Panyabungan terdiri atas tiga bagian utama, yaitu Panyabungan Julu di bagian hulu, Panyabungan Tonga-tonga di bagian tengah, dan Panyabungan Jae di bagian hilir. Pembagian wilayah kota kecil Panyabungan yang demikian itu disesuaikan dengan arah mengalirnya sebuah sungai bernama Aek Mata yang melintang ke arah Panyabungan, dari timur ke barat dan bermuara ke Aek Batang Gadis. Dalam hubungan ini, orang Mandailing memiliki kebiasaan untuk membagi dan menamai bagian-bagian dari huta mereka menurut arah aliran sungai yang terdapat di dekat daerah pemukiman mereka.
Panyabungan Tonga-tonga adalah bagian terpenting di Mandailing Godang karena kelompok marga Nasution mempercayai, bahwa leluhur mereka Si Baroar pertama kali bermukim di tempat tersebut. Setelah dinobatkan penduduk menjadi raja, Si Baroar diberi gelar Sutan Diaru. Sampai saat ini masih terdapat bagas godang (istana raja) dan sopo godang (balai sidang adat) di Panyabungan Tonga-tonga. Dari Panyabungan Tonga-tonga inilah kemudian keturunan Si Baroar menyebar menjadi raja-raja di beberapa huta di kawasan Mandailing Godang, antara lain: Panyabungan Julu, Panyabungan Jae, Huta Siantar, Maga, dan lain-lain.
Berbeda dengan wilayah Mandailing Godang, meskipun wilayah Mandailing Julu alamnya berhawa sejuk, namun kawasan ini diapit oleh gunung-gunung yang sebagian mencapai ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, sehingga penduduknya hanya dapat mengolah lahan persawahan di kaki-kaki gunung dan di bagian tepi sepanjang Aek Batang Gadis dan Aek Pungkut. Keterbatasan lahan persawahan tersebut menyebabkan penduduk hanya dapat membuat petak-petak sawah yang kecil dan bertangga-tangga. Meskipun para petani bekerja keras dalam mengerjakan lahan sawahnya, namun karena arealnya sempit sehingga tidak dapat memberikan hasil panen yang mencukupi untuk makanan setahun.
Wilayah Mandailing Julu yang berhawa sejuk ternyata sangat ideal untuk tanaman kopi yang diperkenalkan kolonial Belanda6 pada abad ke-19 melalui sistem tanam paksa di masa lalu, terutama di daerah Pakantan dan Huta Godang (Ulu Pungkut). Sejak saat itulah, sebelum Perang Dunia Kedua, kopi yang berasal dari tanah Mandailing diekspor ke Amerika dan Eropah, sehingga kopi dari luat (wilayah) Mandailing ini lama-kelamaan menjadi cukup terkenal di dunia internasional dengan sebutan “Mandailing Coffee”. Selain itu, penduduk juga memanfaatkan lerenglereng gunung untuk ditanami pohon karet, cengkeh dan kayu manis. Sementara pohon enau yang banyak tumbuh secara alami di daerah ini mereka sadap niranya untuk dijadikan gulo bargot (gula aren) yang cukup terkenal di Sumatera Utara. Dari hasil-hasil tanaman keras inilah penduduk Mandailing Julu memperoleh penghasilan tambahan untuk kemudian dibelikan beras dan kebutuhan hidup lainnya.
Di Mandailing Julu banyak ditemukan bekas-bekas penambangan emas yang ditinggalkan orang Agam (Minangkabau), seperti di sekitar Huta Godang ada suatu tempat yang dinamakan garabak ni agom. Dan orang Belanda pun pernah membuka tambang emas di dekat kota kecil Muarasipongi. Di samping itu, Aek Batang Gadis yang hulunya terletak di Gunung Kulabu di dekat Pakantan itu melintasi wilayah Mandailing mulai dari selatan hingga utara dan bermuara di Singkuang di pantai barat mengandung bijih-bijih emas pula. Pada waktu-waktu tertentu di Aek Batang Gadis sampai sekarang banyak penduduk yang manggore (mendulang emas) sebagai mata pencaharian tambahan terutama pada masa pacekelik, yaitu sewaktu harga kopi, kayu manis, cengkeh dan karet turun di pasaran. Oleh sebab itulah, tano rura Mandailing juga dikenal dengan sebutan tano sere.
Kotanopan adalah sebuah kota kecil di Mandailing Julu yang memiliki arti penting bagi kelompok marga Lubis. Sebab menurut kepercayaan mereka, di sekitar tempat itulah dahulu putra kembar Na Mora Pande Bosi, yaitu Silangkitang dan Si Baitang untuk pertama kalinya membuka tempat pemukiman. Hal itu dilakukan sesuai dengan pesan ayah mereka Na Mora Pande Bosi, bahwa apabila dalam pengembaraan ke wilayah Mandailing Julu mereka menemukan suatu tempat dimana terdapat dua buah sungai yang muaranya bertentangan, maka ditempat itulah mereka harus membuka perkampungan baru. Lokasi ini kemudian dikenal dengan nama Muara Patontang, yaitu tempat pertemuan muara Aek Singengu dari arah barat dan Aek Singangir dari arah timur yang saling berhadapan lalu keduanya bermuara ke Aek Batang Gadis.
Selanjutnya Muara Patontang mereka namakan Huta Panopaan, yang kemudian menjadi Hutanopan, yang lama kelamaan menjadi Kotanopan. Dari sinilah Si Langkitang pergi menuju suatu tempat yang dinamakan Singengu, dan kemudian dari Singengu inilah keturunanya menyebar dan menjadi raja-raja bermarga Lubis di beberapa desa seperti Simpang Tolang, Sayurmaincat, Tambangan dan sebagainya. Sementara itu saudaranya Si Baitang melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Dikemudian hari keturunannya juga menyebar dan menjadi raja-raja bermarga Lubis di beberapa desa seperti Tamiang, Huta Dangka, Huta Pungkut, Huta Godang, Pakantan dan lain-lain.
2. Huta dan Banua
Wilayah pemukiman orang Mandailing disebut Luat atau Banua. Sedangkan kehidupan sosial budaya orang Mandailing berlangsung di dalam suatu huta yang memiliki satu kesatuan wilayah dengan batas-batas tertentu. Setiap huta berada dibawah sistem pemerintahan sendiri yang demokratis dan bersifat otonom yang dipimpin oleh seorang raja. Oleh karena yang memimpin pemerintahan adalah seorang raja, maka huta atau banua tersebut dapat disebut harajaon (“kerajaan kecil”) sesuai dengan cakupan wilayahnya yang umumnya tidak begitu luas. Menurut tradisi, yang diangkat menjadi raja hanyalah kaum laki-laki saja, dan adanya sejumlah huta di Mandailing disebabkan oleh kepindahan orang-orang Mandailing dari huta asal ke tempat-tempat lain untuk mendirikan atau membuka tempat pemukiman baru (disebut mamungka huta). Biasanya sekelompok orang yang akan mencari tempat pemukiman baru tersebut terdiri dari kelompok kekerabatan mora, kahanggi dan anak boru.
Suatu tempat pemukiman baru tidak bias langsung menjadi sebuah huta, karena di samping luas daerahnya yang masih relatif sempit, juga jumlah penduduknya pun masih sedikit dan tempat pemukiman baru ini disebut banjar. Daerah pemukiman baru yang memiliki wilayah yang lebih luas dari banjar dinamakan pagaran. Dalam prosesnya, biasanya banjar lama-kelamaan dapat menjadi pagaran apabila warga dan luas wilayahnya bertambah. Sedangkan pagaran yang semakin tumbuh berkembang akan menjadi lumban. Tapi adakalanya banjar dapat langsung menjadi lumban apabila terjadi suatu perkembangan penduduk dan wilayah yang begitu pesat. Jadi dalam keadaan normal, sejalan dengan perkembangan jumlah warga dan luas wilayahnya, tempat pemukiman terkecil yang berstatus banjar lama-kelamaan menjadi pagaran, kemudian berubah status menjadi lumban, dan terakhir menjadi huta. Sampai sekarang masih terdapat beberapa desa di Mandailingyang memiliki nama-nama tempat pemukiman penduduk yang demikian itu seperti: Banjar Pining, Banjar Sibaguri, Pagaran Tonga, Pagaran Sigatal, Lumban Pasir, Huta Dangka, Huta Pungkut, Huta Godang, Huta Siantar, dan Huta Bargot. Dahulu, semasa tempat pemukiman itu masih berstatus sebagai banjar, pagaran ataupun lumban tidak diperbolehkan memiliki raja dan wilayahnya sendiri yang otonom. Dengan demikian ia masih bergantung kepada huta atau banua asal karena dianggap belum mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Untuk itu mereka dipimpin oleh seseorang yang dinamai Raja Ihutan yang tidak berfungsi sebagai kepala pemerintahan.7
3. Mata Pencaharian Hidup
Mata Pencaharian utama penduduk Mandailing adalah bertani dengan mengolah sawah. Areal persawahan yang cukup luas terdapat di Mandailing Godang. Sedangkan di Mandailing Julu, karena areal persawahan sempit, maka penduduk memanfaatkan lereng-lereng gunung untuk ditanami tanaman keras.
Boleh dikatakan bahwa kehidupan sosial orang Mandailing erat kaitannya dengan masalah kepemilikan lahan persawahan. Menurut Pangaduan Lubis, bahwa meskipun sempit atau pun keadaannya kurang subur, pemilikan sebidang lahan persawahan amat penting artinya bagi orang Mandailing untuk mendukung martabat dan statusnya di tengah-tengah masyarakat. Satu keluarga yang tidak memiliki sebidang tanah di suatu desa biasanya dianggap sebagai orang penumpang di desanya, sehingga keluarga tersebut akan merasa dirinya bukanlah bagian yang integral dari komunitas desanya. Sebab keaslian dan keutuhan ikatannya sebagai anggota masyarakat desanya ditandai oleh adanya kepemilikan lahan persawahan yang diwarisi secara turun-temurun.
Di masa-masa lalu orang Mandailing senantiasa bergotong-royong untuk mengolah sawah, misalnya dalam mengerjakan tanah dan menanam padi secara bersama-sama disebut marsialap ari, dan kegiatan bersama-sama untuk memanen padi disebut manyaraya. Akan tetapi kegiatan gotongroyong yang demikian itu pada masa sekarang ini sudah sangat jarang mereka lakukan. Kegiatan mengolah sawah hanya dilakukan oleh anggota keluarga batih yang sudah mampu bekerja di sawah.
Suatu wadah berbentuk rumah kecil bertingkat dua yang disebut opuk atau sopo eme di setiap desa digunakan untuk menyimpan padi yang sudah selesai diirik. Bagian atasnya yang beratap ijuk (serabut pohon enau) dan berdinding gogat (bambu yang dipecah) digunakan untuk menyimpan padi, sedangkan bagian bawahnya yang hanya berlantai bambu atau kayu (papan) tanpa dinding biasanya digunakan sebagai tempat duduk-duduk untuk beristirahat. Biasanya setiap keluarga batih memiliki sebuah opuk. Namun ada juga gabungan dari beberapa keluarga batih memiliki opuk bersama sebagai cadangan bahan makanan yang dapat dipinjamkan kepada keluarga yang membutuhkannya terutama di musim pacekelik yang disebut aleon.
Sekitar dua puluh tahun lalu, petani sawah di Mandailing masih bertanam padi sekali dalam setahun. Seraya menunggu masa tanam berikutnya, areal sawah yang sudah dipanen padinya itu dibersihkan lalu ditanami dengan tanaman muda (palawija) seperti kacang tanah dan jagung. Namun semenjak mereka memakai bibit padi jenis unggul, bertanam padi dilakukan dua kali dalam setahun, sehingga kegiatan bertanam palawija mulai jarang dilakukan. Dalam kegiatan bercocok tanam padi di sawah dipergunakan berbagai macam peralatan yang terbuat dari logam (besi), antara lain: cangkul, tajak, sasabi, dan goluk. Sedangkan untuk marhauma (bercocok tanam palawija atau padi di ladang) dipergunakan sebuah alat berupa sepotong kayu yang diruncingkan yang disebut ordang. Dapat ditambahkan bahwa dari dahulu sampai sekarang petani sawah di Mandailing umumnya masih memakai sistem irigasi tradisional yang disebut bondar saba, yaitu suatu system distribusi (tali) air yang kontruksinya masih sangat sederhana untuk dapat mengairi areal sawah-sawah mereka. Di setiap huta biasanya terdapat sebidang lahan persawahan milik raja yang disebut saba bolak (sawah yang luas). Begitupun bukan berarti bahwa saba bolak milik raja itu lebih luas daripada area sawah milik penduduk huta. Menurut Pangaduan Lubis, penamaan saba bolak untuk sawah milik raja adalah sebagai suatu penghormatan yang menunjukkan bahwa raja memiliki kelebihan dari alak na jaji (orang kebanyakan). Memang sudah seharusnyalah raja memperoleh hasil panen yang lebih banyak karena raja mengemban fungsi sebagai inganan marsali, yaitu sebagai tempat peminjaman padi bagi warga huta terutama di masa-masa pacekelik. Selain itu, raja juga memiliki area sawah tertentu yang disebut saba olet yang hasil panennya secara khusus dipergunakan untuk menjamu tamu-tamu raja yang datang berkunjung ke Bagas Godang atau setiap orang yang meminta makan kepada Raja. Adanya kewajiban raja yang demikian itu karena raja adalah talaga na so hiang (tempat persediaan makanan yang tidak pernah habis) bagi orang Mandailing. Di masa lalu, beternak juga termasuk sumber mata pencaharian tambahan bagi penduduk huta. Terutama beternak manuk (ayam), itik (bebek), ambeng (kambing), lombu (sapi) dan orbo (kerbau). Ternak kerbau banyak diperlukan sebagai hewan sembelihan (disebut longit) pada berbagai upacara adat dan ritual. Di beberapa huta, raja memiliki padang pengembalaan kerbau sendiri yang disebut jalangan. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa kegiatan beternak kambing dan kerbau sekarang ini sudah mulai berkurang.
Kolam ikan yang disebut tobat banyak ditemukan di setiap huta, baik itu di samping rumah maupun di tempat-tempat lainnya sebagai milik pribadi. Ada pula kolam ikan yang cukup luas milik raja yang dinamakan tobat bolak, yang pada waktu-waktu tertentu ikannya diambil oleh penduduk huta setempat secara bersama-sama. Kegiatan bersama untuk mengambil ikan dari tobat milik raja yang dinamakan mambungkas tobat bolak ini biasanya dilakukan setahun sekali. Dapat dikatakan bahwa kegiatan mambungkas tobat bolak ini merupakan sumbangsih raja kepada rakyatnya dan juga suatu bentuk hiburan yang dapat menggembirakan rakyatnya.
4. Dalian Na Tolu
Sistem kekerabatan orang Mandailing adalah patrilineal, dan hubungan kekerabatannya dapat ditinjau berdasarkan pertalian darah dan perkawinan yang terpola. Dalam hal ini, orang Mandailing mengelompokkan diri menjadi tiga kelompok kekerabatan yang menjadi tumpuan dasar bagi berbagai aktivitas sosial-budaya mereka.
Menurut adat-istiadat, ketiga kelompok kekerabatan tersebut masing-masing berkedudukan sebagai mora, yaitu pemberi anak gadis, anak boru, adalah penerima anak gadis, dan kahanggi adalah kelompok kerabat satu marga, yang ketiganya terikat satu sama lain berdasarkan hubungan fungsional dalam satu sistem sosial yang dinamakan Dalian Na Tolu (“tumpuan yang tiga”). Dengan menggunakan sistem sosial Dalian Na Tolu itulah orang Mandailing mengatur dan melaksanakan berbagai aktivitas sosial-budayanya serta membentuk suatu persekutuan hukum (adattrechts gemeenschap) yang nama aslinya Janjian.
Selain tiga kelompok kekerabatan di atas, orang Mandailing juga mengenal kelompok kekerabatan lain sebagai kelompok kekerabatan tambahan yang sebenarnya berasal dari tiga kelompok kekerabatan inti, yaitu mora ni mora dan pisang raut. Mora ni mora adalah kelompok mora daripada mora, dan pisang raut (adakalanya juga disebut kijang jorat) adalah anak boru daripada anak boru. Selain itu ada pula kelompok kekerabatan yang disebut kahanggi pareban, yaitu kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga batih yang berlainan marga namun sama-sama merupakan anak boru dari satu keluarga yang bermarga tertentu.
Berdasarkan pertalian darah terdapat kelompok kerabat yang dinamakan saompu parsadaan (satu kakek bersama), saompu (satu kakek), sabagas (serumah), saudon (seperiuk) dan saama-saina (seayah-sibu). Kelompok kerabat yang disebut saompu adalah kumpulan orang-orang semarga yangmerupakan cucu dari beberapa orang kakek yang bersaudara kandung (kakak beradik); sabagas adalah kumpulan sejumlah anak semarga yang bersaudara kandung; saudon adalah kumpulanorang-orang semarga yang merupakan cucu dari seorang kakek; dan saama-saina adalah kumpulansejumlah anak dari pasangan ayah dan ibu kandung, yang di dalamnya tidak termasuk anak tiri dananak angkat.
Menurut Pangaduan Lubis, olong (kasih sayang) adalah nilai budaya Mandailing tertinggi dan paling abstrak yang merupakan landasan bagi hubungan fungsional di antara ketiga kelompok kekerabatan tersebut, yang lahir karena pertalian darah dan hubungan perkawinan sebagai inti kehidupan ketiga kelompok kekerabatan itu. Sehingga secara filosofis orang Mandailing yang masing-masing terintegrasi ke dalam kelompok kekerabatan mora, kahanggi dan anak boru yang terikat hubungan fungsional tersebut senantiasa menempatkan diri mereka sebagai orang-orang yang sahancit sahasonangan dan sasiluluton sasiriaon (sakit dan senang dirasakan bersama). Sebagai konsekuensi dari pandangan filosofis yang demikian itu adalah bahwa orang Mandailing menjadi sahata saoloan satumtum sapartahian (seia sekata menyatu dalam mufakat untuk sepakat) dan mate mangolu sapartahian (hidup dan mati dalam mufakat untuk sepakat).
Lebih jauh Pangaduan Lubis menjelaskan, bahwa sejalan dengan terciptanya suatu system sosial yang ideal berupa “jaringan besar”, maka orang Mandailing secara filosofis-simbolik memolakan dirinya seperti sebuah “jala” berbentuk segi tiga sama sisi. Setiap sudutnya merupakan posisi penting dalam mengatur hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan. Oleh karena itu pada sudut puncaknya ditempatkan kelompok kekerabatan mora, dan pada dua sudut lainnya ditempatkan pula kelompok kekerabatan kahanggi dan anak boru. Posisi ketiganya bisa saja beralih sewaktu-waktu akibat terjadinya praktek perkawinan, dan hubungan perkawinan pulalah yang menciptakan sisi-sisi yang terentang menautkan ketiganya sehingga terbentuk pola dasar kehidupan sosial-budaya orang Mandailing berupa segi-tiga besar. Di dalamnya secara fungsional terintegrasi sejumlah besar segi tiga-segi tiga kelompok kekerabatan yang kecil-kecil mengikuti pola dasar yang menjadi acuannya. Sebagai suatu totalitas, segi tiga besar itu bersama segi tiga-segi tiga kecil yang menjadi isinya menjelma menjadi sistem Dalian Na Tolu.
Sebagaimana halnya dengan sebuah “jala”, seluruh tali-temali jaringannya dipersatukan oleh satu tali pegangan yang mengikat dari sudut puncaknya. Menurut filsafat orang Mandailing, “tali pegangan” itulah olong yang menyatukan setiap kelompok kekerabatan maupun anggota masyarakat Mandailing dalam satu sistem sosial yaitu Dalian Na Tolu, yang secara filosofis-simbolik dapat digambarkan seperti berikut:
Selain kelompok kekerabatan yang telah dikemukakan di atas, ada pula jenis pengelompokan lain, yaitu apa yang lazim disebut koum-sisolkot. Istilah koum-sisolkot ini terbentuk dari dua kata, yaitu koum dan sisolkot, yang masing-masing mengandung makna klasifikatoris dalam konteks sistem kekerabatan. Koum merupakan istilah kekerabatan yang dirujuk berdasarkan hubungan perkawinan, sedangkan sisolkot dirujuk berdasarkan pertalian darah. Oleh sebab itu orang-orang yang semarga (disebut markahanggi) lazim pula disebut dengan istilah marsisolkot. Sementara pengertian koum meliputi anggota yang lebih banyak dan cakupannya lebih luas karena di dalamnya terintegrasi kelompok kekerabatan mora, kahanggi dan anak boru, tetangga dekat dan lain sebagainya. Dengan memperhatikan istilah koum-sisolkot ini yang didahului kata koum dan bukan sebaliknya, barangkali hal ini bukanlah terjadi secara kebetulan dan tanpa makna tertentu yang terkandung di dalamnya. Jika diasumsikan bahwa “bahasa menentukan corak kebudayaan”, maka ada kemungkinan bahwa istilah koum-sisolkot ini merupakan reflekasi dari corak kebudayaan atau paling tidak ada terdapat nilai budaya di dalamnya yang berakar dari adat-istiadat orang Mandailing, sehingga dapat diasumsikan bahwa “orang Mandailing dalam banyak hal tidak lebih mengutamakan sisolkot-nya dalam kehidupannya, tetapi lebih mendahulukan koum yang secara sosialpsikologis dan territorial lebih dekat dengannya”.
5. Adat Pergaulan Kekerabatan
Interaksi sosial-budaya dalam kehidupan masyarakat Mandailing dilandasi oleh adat-istuadat. Dalam satu keluarga batih misalnya, hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya yang masih kecil boleh dikatakan berlangsung cukup akrab penuh kasih sayang. Akan tetapi hubungan seorang ayah baik dengan anak perempuannya yang sudah berstatus sebagai bujing-bujing sangat terbatas karena dibatasi oleh norma-norma adat. Sang ayah senantiasa membatasi diri untuk berdialog dengan anak perempuannya yang telah dewasa tersebut, demikian pula sebaliknya si anak gadis merasa sungkan dan malu untuk memperbincangkan berbagai hal dengan ayahnya. Keadaan ini membuat seorang anak perempuan yang telah dewasa merasa lebih dekat dan akrab dengan ibunya. Demikian pula halnya dengan seorang anak laki-laki yang telah dewasa juga membatasi hubungannya dengan ibunya. Oleh sebab itulah anak-anak mereka yang telah dewasa tersebut tidak tidur bersama-sama dengan orang tua di rumah, melainkan di rumah atau tempat tertentu. Para anak gadis tidur bersama kawan-kawan sebayanya di sebuah rumah yang disebut bagas podoman, sedangkan para pemuda tidur bersama kawan-kawannya di sopo podoman.
Sementara itu, interaksi sosial antara seorang pemuda dengan saudara perempuannya yang sudah dewasa (bujing-bujing) tidak boleh terbuka dan akrab. Di masa lalu, pantang bagi seorang pemuda untuk berlama-lama di dalam rumahnya manakala saudara perempuannya (disebut iboto) tersebut juga berada di dalam rumah. Lebih luas lagi, hal yang demikian itu berlaku bagi pemuda dan anak gadis yang semarga yang disebut mariboto. Dalam sistem kekerabatan Dalian Na Tolu, interaksi sosial antara mora dan anak boru berlandaskan hak dan kewajiban masing-masing terhadap satu sama lain. Dalam hal ini, pihak anak boru mengemban fungsi sebagai sitamba na urang siorus na lobi (si penambah yang kurang si pengurang yang lebih). Karena kewajibannya yang demikian itu, anak boru dikenal pula sebagai na manorjak tu pudi juljul tu jolo (yang menerjang ke belakang menonjol ke depan), yang maksudnya pihak anak boru ini sudah semestinya membela kepentingan dan kemuliaan pihak mora, atau dengan kata lain pihak anak boru harus sangap marmora (menghormati dan memuliakan pihak mora). Di samping itu, anak boru juga diibaratkan sebagai si tastas nambur (penghalau embun pagi pada semak belukar), yang artinya pihak anak boru berkewajiban sebagai perintis jalan (barisan terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi pihak mora.
Semua itu mesti dilaksanakan pihak anak boru karena ia berkewajiban manjuljulkon morana (mengangkat harkat dan martabat pihak mora). Sebaliknya, pihak mora berkewajiban untuk elek maranak boru (menyayangi dan mengasihi pihak anak boru) agar pihak anak boru senantiasa manjuljulkon morana.
Terhadap kahanggi (saudara semarga), setiap orang biasanya selalu berusaha bersikap hati-hati. Sebab kahanggi sangat penting artinya bagi setiap individu karena berbagai persoalan hidup seperti perkawinan, kematian dan mencari nafkah terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan kahanggi. Untuk hal ini, para orang tua senantiasa memberi nasihat untuk manta-manat markahanggi (bersikap hati-hati terhadap kahanggi) agar tidak timbul perselisihan di antara sesama mereka yang semarga. Orang-orang semarga yang disebut markahanggi ini diharapkan selalu dapat bekerjasama dalam menghadapi berbagai macam tantangan kehidupan, seperti yang tersurat dan tersirat dalam endeende berikut ini :
songon siala sampagul
rap tu incat rap tu toru
muda malamun saulak
muda magulang rap margulu
rap tu incat rap tu toru
muda malamun saulak
muda magulang rap margulu
seperti buah siala yang menyatu
sama-sama ke atas dan ke bawah
lalu apabila masak sekaligus semuanya
apabila terguling sama-sama berlumpur
sama-sama ke atas dan ke bawah
lalu apabila masak sekaligus semuanya
apabila terguling sama-sama berlumpur
6. Adat Pergaulan Na Poso Na Uli Bulung
Dalam interaksi sosial sehari-hari, anak laki-laki diberi nama panggilan lian dan sebutan taing diperuntukkan bagi anak perempuan. Nama panggilan lianberasal dari kata dalian, dan istilah taingberasal dari kata tataring. Kedua istilah nama panggilan bagi anak laki-laki dan anakperempuan tersebut ada kaitannya dengan peralatan memasak di dapur rumah. Di Mandailing, tataring adalah suatu tempat khusus untuk memasak yang terletak di sudut ruangan dapur rumah. Tataring berbentuk kubus dengan ukuran sekitar 100 x 80 x 20 centi meter. Dindingnya terbuat dari gogat (bambu yang dipecah) atau kayu (papan), dan bagian dalamnya terisi penuh dengan tanahkering. Di atas tataring ini biasanya terdapat dua tumpukan batu yang masing-masing terdiri atastiga buah batu bulat lonjong yang ditata dengan posisi seperti bentuk segi tiga sama sisi.Tumpukan batu yang dipergunakan untuk menyangga peralatan memasak seperti udon tano (belanga) tersebut disebut dalian. Jadi dalam hal ini pengertian dalian adalah suatu alat yangberfungsi sebagai penyangga atau tumpuan, dan tataring itu sendiri merupakan landasan ataupijakan dari dalian tersebut. Dapat ditambahkan bahwa seorang ibu rumah tangga dinamakan pula induk ni tataring.
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa para pemuda dan anak gadis memiliki kebiasaan tidur secara berkelompok di luar rumah orang tuanya. Rumah tempat tidur khusus bagi anak perempuan disebut bagas podoman, sedangkan tempat untuk tidur bagi para pemuda dinamakan sopo podoman. Biasanya para anak gadis pergi ke bagas podoman mereka sekitar pukul 20.00 WIB (malam hari) dan pada waktu subuh mereka kembali ke rumah masing-masing untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan membantu pekerjaan orang tua mereka di sawah atau di ladang, dan demikian pula halnya dengan para pemuda. Boleh dikatakan bahwa hampir semua kebutuhan hidup para pemuda dan anak gadis masih ditanggung oleh orang tuanya.
Tidaklah dianggap pantas apabila seorang anak gadis berkeliaran atau pergi ke suatu tempat hanya seorang diri. Sebab kelakukan seperti itu dapat menimbulkan prasangka buruk di tengah tengah masyarakat. Ketika seorang anak anak gadis hendak keluar rumah misalnya untuk bertemu dengan temannya, dia ditemani oleh inang (ibu kandung), etek (adik perempuan ibu), bouk (kakak perempuan ayah), atau paling tidak oleh anggi (adik) kandungnya sendiri. Ketika berada di luar rumah tersebut, si anak gadis biasanya tidak akan melewati tempat-tempat berkumpulnya kaum pria seperti lopo (kedai kopi) atau sopo podoman. Hal ini dilakukan untuk menjaga martabat dirinya agar warga masyarakat tidak memandangnya sebagai bujing-bujing na urgit (anak gadis yang genit). Dari sisi lain, busana yang dikenakan para anak gadis cukup sopan karena pada bagian kepala mereka tutup dengan busaen atau songkok (kerudung), sedangkan bagian badan dan kaki terbungkus dengan baju kurung (baju terusan) dan abit (kain sarung bermotif kembang).
Sebaliknya ruang gerak para pemuda boleh dikatakan lebih bebas daripada anak gadis. Di saat-saat tertentu para pemuda acap kali tampak bergerombol misalnya sewaktu mereka mardalan-dalan (jalan-jalan) di sore hari, dan pada malam harinya mereka berkumpul di sopo podoman. Dahulu, dalam penampilannya sehari-hari para pemuda selalu memakai kupiah (peci) dan tidak ketinggalan pula sebuah abit karung (kain sarung bermotif garis-garis lurus) yang disandangkan pada bagian pundak atau dililitkan pada bagian pinggangnya. Mereka biasanya mengenakan baju gunting cino (baju model Cina) dan saraor panjang (celana panjang). Selain itu, setiap pemuda umumnya memiliki sebuah piso balati (pisau belati) yang banyak gunanya bagi mereka seperti misalnya untuk membuat alat musik tiup tulila atau membuat lubang pangkusipan.
Kendati ruang gerak pergaulan Na Poso Na Uli Bulung dibatasi oleh adat-istiadat yang ketat, namun ada beberapa kesempatan tertentu yang memungkinkan mereka berinteraksi yang dapat dibagi dalam tiga bentuk kegiatan. Pertama, adalah kegiatan bersama dengan warga masyarakat lainnya seperti pada acara marburangir atau paboru-boruon13 di dalam rumah calon mempelai pria sebelum upacara adat perkawinan dilangsungkan beberapa hari kemudian. Kedua, adalah kegiatan muda-mudi dalam mengisi waktu-waktu senggang mereka seperti acara mangarabar. Dan ketiga, adalah interaksi muda-mudi dalam kegiatan berkencan yang bersifat rahasia, yaitu markusip.
7. Stratifikasi Sosial
Pada masyarakat Mandailing ada ditemukan stratifikasi (pelapisan) sosial yang telah berlangsung secara turun-temurun dalam tiga lapisan, yaitu : (1) na mora-mora, adalah golongan bangsawan; (2) alak na jaji atau si tuan na jaji, adalah orang kebanyakan atau rakyat biasa; dan (3) hatoban atau partangga bulu, adalah hamba sahaya. Namun di beberapa huta di Mandailing, antara lapisan na mora-mora dan alak na jaji terdapat lapisan perantara yang disebut na toras-toras, adalah pemukapemuka masyarakat yang tidak berstatus bangsawan maupun orang biasa, atau boleh dikatakan kedudukan na toras-toras lebih rendah dari kaum bangsawan tetapi lebih tinggi dari rakyat biasa.
Na mora-mora merupakan kelompok tersendiri dalam kelompok marga-nya, yang secara patrilineal berasal dari pendiri pertama huta mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pada mulanya status kebangsawanan dahulu tidaklah dibawa lahir melainkan karena penghargaan yang tinggi dari anggota masyarakat terhadap pendiri pertama huta mereka tersebut, setelah itu barulah tahta kerajaan diwariskan secara berantai kepada keturunanya. Karena yang dipandang sebagai pendiri pertama sejumlah huta di Mandailing adalah bermarga Lubis dan Nasution, sehingga hanya pada kedua marga itu saja yang muncul lapisan na mora-mora. Sedangkan na toras-toras yang jumlahnya relatif sedikit itu tercipta dari kelompok-kelompok kerabat yang anggotanya ada hubungan perkawinan dengan kerabat dekat raja atau na mora-mora. Jadi pada umumnya kelompok marga yang terdapat di Mandailing adalah lapisan alak na jaji.
Boleh dikatakan bahwa perbedaan antara na mora-mora dan alak na jaji tidaklah begitu menonjol dalam kehidupan sehari-hari karena sesungguhnya antara na mora-mora dan alak na jaji yang semarga senantiasa menyadari bahwa kedua belah pihak memiliki hubungan sedarah. Sedangkan terhadap marga-marga lainnya yang tergolong sebagai alak na jaji, biasanya na moramora mempunyai hubungan kekerabatan berdasarkan ikatan tali perkawinan.
Lapisan terbawah yaitu hatoban atau partangga bulu dapat dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan hal-hal yang menyebabkan mereka menjadi bagian dari lapisan tersebut. Pertama, karena mereka tidak membayar utangnya; kedua, mereka adalah orang-orang yang sengaja dibeli untuk dijadikan sebagai hamba sahaya; dan ketiga, mereka diperhamba karena mereka kalah dan takluk dalam peperangan. Kaum bangsawan di Mandailing dapat diidentifikasi dengan mudah karena mereka biasanya menyandang gelar antara lain: Raja, Sutan, Mangaraja, dan Baginda. Di samping itu, rumah tempat tinggal mereka dihiasi dengan ornamen-ornamen khas yang disebut bagas na martanduk atau bagas na marbolang.
8. Si Pelebegu
Masa sebelum masuknya agama Islam ke Mandailing, orang-orang yang bermukim di sana pada waktu itu menganut sistem kepercayaan animisme yang dinamakan si pelebegu (pemujaan roh-roh). Namun demikian keterangan mengenai sistem kepercayaan si pelebegu ini sekarang sangat sulit diperoleh karena orang-orang Mandailing selalu berusaha menutup diri apabila sistem religi leluhur mereka itu dipertanyakan. Keadaan di masa lalu sebagai “masa yang hitam dan kelam” itu mereka sebut maso na itom na robi.
Pada tahun 1999, saya bersama dengan Fumi Tamura dan kawan-kawannya pernah mengaudio-visualkan seni pertunjukan gordang sambilan di Sayurmaincat, Kotanopan, Mandailing Julu. Salah satu repertoar (lagu) yang dimainkan dengan gordang sambilan ketika itu adalah gondang mamele begu (irama atau musik untuk memuja roh-roh). Hal ini menunjukkan bahwa gordang sambilan memiliki kedudukan dan peran penting dalam sistem kepercayaan si pelebegu di masa lalu. Dalam hal ini, Pangaduan Lubis ada mencatatkan, bahwa “sampai sekitar awal abad ke-20, sisa dari sistem religi kuno itu masih tampak bekasnya dalam kehidupan masyarakat Mandailing meskipun agama Islam telah merata menjadi anutan orang Mandailing. Di beberapa tempat misalnya masih dilakukan orang upacara pemanggilan roh yang disebut pasusur begu atau marsibaso yang sangat dikutuk oleh para ulama Islam. Sesuai dengan tradisi si pelebegu upacara tersebut dilakukan untuk meminta pertolongan roh leluhur buat mengatasi suatu keadaan yang sulit, seperti misalnya musim kemarau panjang yang merusak tanaman padi penduduk. Orang-orang yang sempat menyaksikan upacara tersebut sulit membantah bahwa mereka memang melihat turunnya hujan lebat di tengah kemarau panjang setelah selesainya upacara ritual itu”.
Beberapa orang yang sudah cukup tua di Mandailing ada menyebut dua tokoh yang dituakan dengan sistem kepercayaan si pelebegu, yaitu sibaso dan datu. Sibaso dalam banyak hal Sangay dibutuhkan oleh raja dan penduduk huta untuk melakukan hubungan komunikasi dengan alam gaib atau roh leluhur karena sibaso merupakan medium yang melalui suatu upacara ritual tertentu dapat dirasuki oleh roh leluhur untuk memberi petunjuk guna mengatasi berbagai macam bala (mala petaka) seperi persoalan kemarau panjang dan penyakit menular yang mewabah. Sampai saat ini, datu masih memiliki kedudukan dan peran penting dalam masyarakat Mandailing. Datu dikenal dan dibutuhkan sebagai tradisional curer (penyembuh tradisional) atau sebagai medicine man (dukun untuk mengobati). Di setiap huta biasanya terdapat beberapa orang datu, ada datu yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit, namun ada pula datu yang menjurus kepada spesialisasi penyembuhan penyakit-penyakit tertentu, seperti misalnya datu rasa khusus untuk menyembuhkan orang yang terkena rasa (racun); datu ipon adalah dukun yang khusus menyembuhkan orang yang sedang mengalami sakit gigi; dan datu natarsilpuk adalah dukun khusus untuk mengobati orang yang mengalami sakit karena terkilir atau patah tulang.
Di masa lalu, kedudukan dan peran datu lebih luas daripada yang diuraikan di atas, karena seorang datu antara lain dapat menentukan waktu-waktu yang tepat dan baik untuk turun ke sawah, menuai padi, pelaksanaan upacara adat perkawinan maupun untuk memasuki rumah baru. Di samping itu, kemampuannya dalam meramal diperlukan untuk melihat kapan datangnya suatu bencana atau sebaliknya keberuntungan, dan ilmu gaibnya yang luar biasa itu dibutuhkan untuk menangkal atau menyembuhkan penyakit akibat guna-guna. Seorang datu selalu diresahi tanggungjawab untuk memimpin berbagai upacara adat dan ritual karena ia dipandang sebagai “gudang ilmu”. Datu sebagai pendamping raja mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk memberikan berbagai macam traditional wisdom (kearifan tradisional) yang sangat dibutuhkan guna kesempurnaan hidup komunitas huta”.
Orang-orang yang bermukim di Mandailing sekarang umumnya sudah memeluk agama Islam dan sudah sejak lama para ulama Islam berusaha untuk mengikis habis kepercayaan si pelebegu. Namun di antara orang-orang Mandailing hingga kini masih ada yang melaksanakan berbagai upacara adat yang sangat erat kaitannya dengan religi kuno itu, seperti ritus mangupa-upa (upacara untuk memanggil tondi guna membangkitkan semangat hidup seseorang) dan marpangir (tradisi berlangir) di batang aek (sungai), sehingga pelaksanaan ritus-ritus tersebut selalu menjadi sumber perdebatan yang tak kunjung habisnya antara tokoh-tokoh adat dan para ulama Islam di Mandailing.
9. Bahasa Mandailing
Masyarakat Mandailing memiliki bahasanya sendiri, yaitu bahasa Mandailing. Berdasarkan klasifikasi bahasa yang ditawarkan Slamet Mulyana, bahasa Mandailing termasuk rumpun bahasa Austronesia. Pangaduan Lubis ada mengemukakan bahwa di dalam bahasa Mandailing terdapat lima ragam bahasa yang masing-masing kosa katanya berbeda satu sama lain.
Ke lima ragam bahasa itu adalah: (1) hata somal, yaitu ragam bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari; (2) hata andung, yaitu ragam bahasa sastra yang dipakai dalam tradisi mangandung (meratap) pada upacara adat perkawinan atau kematian; (3) hata teas dohot jampolak, yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam pertengkaran atau mencaci-maki seseorang; (4) hata si baso, yaitu ragam bahasa yang secara khusus digunakan si baso (tokoh shaman) atau datu (dukun); dan (5) hata parkapur, yaitu ragam bahasa yang dipergunakan orang Mandailing di masa lalu ketika mereka berada di dalam hutan untuk mencari kapur barus. Misalnya, kata “mata” dapat dipakai untuk memperlihatkan kosa katanya. Dalam hata somal, indra penglihatan ini disebut mata, dalam hata andung adalah simanyolong, dan dalam hata teas dohot jampolak adalah loncot. Contoh lain, kata “daun sirih” dalam hata somal adalah burangir, dalam hata andung adalah simanggurak, dan dalam hata si baso atau datu adalah situngguk. Selain itu, kata “harimau” dalam hata somal adalah babiat, sedang dalam hata parkapur adalah ompung i, raja i, na gogo i.
Di masa lalu orang Mandailing juga memiliki satu alat komunikasi atau jenis bahasa tertentu yang disebut hata bulungbulung (bahasa dedaunan). Bahasa ini bukanlah berupa lambang bunyi, melainkan menggunakan daun tumbuh-tumbuhan sebagai perlambangnya. Hata bulung-bulung ini biasanya dipergunakan na poso na uli bulung (kalangan muda-mudi) sebagai alat komunikasi dalam memadu dan mengungkapkan perasaan cinta secara rahasia. Sebab menurut adat-istiadat lama, na poso-poso (para pemuda) dan bujing-bujing (para anak gadis) tidak boleh bergaul bebas dan terbuka di depan umum, sehingga perasaan cinta yang bagaimanapun menggeloranya di antara pemuda dan anak gadis harus tetap dirahasiakan. Dengan adanya adat-istiadat yang demikian itu, hata bulung-bulung dimanfaatkan sebagai salah satu media untuk saling mengkomunikasikan perasaan dan isi hati mereka.
Kepustakaan
Koentjaraningrat. (1980: Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Pangaduan Lubis. (1986). Na Mora Na Toras; Kepemimpinan Tradisional Mandailing. Medan: Skripsi FISIP USU
Zulkifli B. Lubis. (1988). Manipol: Studi tentang Orientasi Nilai Budaya Mandailing. Medan: Skripsi FISIP USU
Pangaduan Lubis. (1990). Sastra Mandailing dan Kita: Suatu Perkenalan Awal, (makalah dalam Seminar Kebudayaan Mandailing di Fakultas Sastra USU Medan.
Sumber : http://edinasution.files.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar