Oleh : Magdalia Alfian
Indonesia merupaksan salah satu negara di dunia yang paling majemuk komposisi jati diri budaya dan etniknya, dan kemajemukan itu menjadi salah satu sumber kebanggaan bangsa. Semboyan yang tercantum pada lambang negara Bhineka Tunggal Ika merupakan refleksi kenyataan tersebut. Negara yang dihuni oleh ratusan kelompok etnik dan kaya akan bahasa serta kebudayaan daerah, secara historis dipersatukan oleh kesamaan nasib yang dijajah oleh pemerintah kolonial Belanda selama kurun waktu yang cukup panjang.
Kata Bhineka Tunggal Ika diadopsi sebagai salah satu upaya untuk memayungi keanekaragaman yang ada serta strategi untuk mempersatukan berbagai kelompok etnik yang ada dalam suatu ikatan yang berorientasi ke masa depan. Paham “berbeda-beda namun tetap satu” dalam kenyataannya hanya indah untuk didengar dan diucapkan, namun amat sulit untuk diwujudkan, sebab secara konseptual paham tersebut sudah membawa suatu kontradiksi. Idealnya ketunggalikaan tidak boleh mematikan kebhinekaan. Begitu pula sebaliknya, sebuah unsur kebhinekaan tidak boleh dipaksakan untuk menjadi acuan normatif bagi kehidupan seluruh bangsa (Budiman, 1999: 5-9).
Yang menjadi persoalan adalah bagaiman konsep tersebut dapat diterjemahkan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara yang nyata, terutama dalam pengejawantahan pengertian “ketunggalikaan” yang tidak mematikan “kebhinekaan” serta mencegah terjadinya satu unsur kebhinekaan yang mendominasi kehidupan bangsa dan negara.
Sebagaimana tercantum dalam penjelasan UUD 45, bahwa “Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia”. Dengan begitu keanekaragaman yang tercakup dalam “Bhineka Tunggal Ika” dimasudkan lebih pada keanekaragaman kebudayaan (multicultural society). Dan puncuk-puncak kebudayaan itu hendaknya diartikan sebagai unsur-unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah yang antara lain dapat dilihat dari naskah kuno yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan.
Bila penekanan pada keanekaragaman kebudayaan dan tidak pada suku bangsa atau etnisitas, maka paling tidak bangsa Indonesia dapat terhindar dari bangkitnya gerakan-gerakan etnosentris yang bersifat primordial. Oleh sebab itu konsep yang paling cocok untuk itu adalah multikulturalisme yang penekanannya pada kesederajatan kebudayaan-kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat. Multikulturalisme ini adalah sebuah perspektif alternatif untuk mengatasi pertentangan dan konflik sosial yang bernuansa etnis, agama, dan berbagai identitas primordial lainnya (Magdalia, 2004).
Watak masyarakat multikultur adalah toleran. Mereka hidup dalam semangat peaceful-co-existence, hidup berdampingan secara damai. Setiap entitas sosial dan budaya masih tetap membawa serta jati dirinya, dan tidak terlebur kemudian hilang, tetapi juga tidak diperlihatkan sebagai kebanggaan melebihi penghargaan terhadap entitas lainnya. Dalam perspektif multikulturalisme ini baij individu maupun kelompok dan berbagai entitas etnik dan budaya hidup dalam societal cohesion tanpa kehilangan identitas etnik dan kultur masing-masing. Masyarakat bersatu dalam ranah sosial, tetapi antar-etnisitas tetap ada perbedaan. Konsep multikulturisme ini dapat berkembang dalam masyarakat yang demokratis seperti di Indonesia, sebab konsep ini menekankan perbedaan dalam kesederajatan (Parsudi, 2003).
Setiap bangsa pasti memiliki catatan mengenai perjalanan bangsanya, tak terkecuali bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang memiliki beragam etnik dan budaya, tentulah memiliki catatan panjang mengenai kehidupan masyarakatnya, sosial budayanya, pemerintahan, dan sebagainya. Perjalanan yang dimulai dari zaman prasejarah itu banyak sekali meninggalkan cacatan yang terangkum dalam naskah-naskah kuno atau dokumen yang merupakan sumber data penting bagi masyarakat Indonesia.
Naskah kuno mengandung informasi yang berlimpah. Isi naskah tidak hanya terbatas pada kesusasteraan, tetapi mencakup berbagai bidang seperti: agama, sejarah, hukum, adat-istiadat, obat-obatan, teknik, filsafat, dan sebagainya. Oleh sebab itu, para ahli di berbagai bidang seharusnya dapat memanfaatkan data yang terpendam dalam koleksi naskah. Para sejarawan misalnya sudah lama menggunakan teks-teks naskah kuno yang sudah diterbitkan oleh para filolog. Sementara naskah yang belum diterbitkan masih banyak, bahkan masih banyak yang disimpan oleh masyarakat setempat.
Naskah dalam bentuk babad atau teks yang menyebut dirinya sejarah dapat pula dipakai sebagai sumber penulisan sejarah lokal, seperti: Babad Tanah Jawi, Babad Banjar, Babad Cirebon, Hikayat Aceh, dan Hikayat Raja-raja Pasai. Menurut CC Berg, babad dapat tergolong dalam tiga kelompok yaitu : 1. Isi tidak sesuai dengan judul, 2. Isi sesuai dengan judul, dan 3. Isi bercerita tentang periode tertentu. Naskah sebagai hasil karya tulis yang menggambarkan tentang masyarakat tertentu sebagai bukti akan kesadaran bersejarah, meski pun di dalamnya banyak ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kaidah sejarah (Madjid, 2004: 7).
Naskah, sebagai sumber budaya lokal nonmaterial, juga mengandung berbagai pemikiran, pengetahuan, adat-istiadat serta perilaku masyarakat pada masa lalu yang jauh lebih besar keberadaannya (Ikram, 1997: 24). Di antara berbagai kategori naskah Nusantara, kita dapat mengetahui bagaimana perspektif budaya daerah tertentu. Perspektif budaya Sunda terhadap politik misalnya. Melalui naskah kuno Sunda kita dapat melihat jauh ke belakang dengan menelusuri nilai-nilai politik yang terkandung dalam penyelenggaraan pemerintahan yang pernah berlaku pada zaman Kerajaan Sunda masa lampau.
Pada tahun 1518 Masehi, pada masa pemerintahan Sri Baginda muncul suatu karya sastra keagamaan dan kesusilaan yang diberi nama Sangyang Siksa Karesian. Karya sastra ini berisi ajaran kesusilaan atau norma-norma perilaku yang ditujukan bagi semua orang (masyarakat Kerajaan Sunda). Namun pada bagian awal isi naskah tersebut dikemukakan suatu prinsip dasar ajaran guna melangsungkan pemerintahan yang disebut sebagai ajaran Sangyang Sasanakreta (jalan/media kesejahteraan) yang berbunyi:
Siapa (pemerintah/penguasa/raja) yang hendak menegakkan sasanakreta, agar dapat lama hidup, lama berjaya, ternak berbiak, tanaman subur, selalu unggul dalam perang, (sumbernya) terletak pada orang banyak (rakyat). (Suwaryo, 2004: 7).
Dari bunyi ajaran tersebut terlihat bahwa prinsip dasar pedoman bernegara dalam Kerajaan Sunda untuk mencapai kesejahteraan adalah dengan mengutamakan orang banyak (rakyat).
Sementara, syarat untuk menjadi pemimpin adalah harus cageur, bageur, bener, dan pinter. Cageur itu maknanya sehat, baik jasmani maupun rohani. Bageur berarti baik, sopan, tidak sombong dan mengayomi rakyat. Bener adalah jujur, tidak korupsi, dan kolusi. Dan pinter artinya orang yang cerdas, pandai, dan memunyai kapasitas dan kompeten. Yang menarik di sini adalah konsep pinter ditempatkan terakhir setelah konsep bener. Ini berarti bahwa percuma saja seorang pemimpin itu pinter bila tidak jujur, sombong, dan jauh dari rakyat.
Dalam naskah Palembang misalnya, banyak memuat kekayaan peninggalan yang merekam kehidupan spiritual dan jatidiri. Naskah-naskah tersebut dihimpun dan dibukukan dalam bentuk buku yang berjudul Jati Diri Yang Terlupakan: Naskah-naskah Palembang. Buku yang diedit oleh Prof. Dr. Achadiati Ikram ini berisi kumpulan naskah yang dikerjakan oleh 13 penulis (Latifah Ratnawati, Retno Purwanti, Achadiati Ikram, Tjiptaningrum Fuad Hasan, Maria Indra Rukni, Munawar Holil, Mu’jizah, Nyimas Umim Kalsum, Titiek
Pudjiastuti, Dewaki Kramadibrata Nugardjito, Laily Yulita, Surip Suwandi dan Suyati Suwarso) dengan tema yang beragam. (Ikram, 2004: vii-xiv).
Selain naskah Palembang, cukup banyak naskah Nusantara yang sudah dibukukan seperti Naskah Tradisi Basimalin yang berisi tentang kesusasteraan Minangkabau yang diterbitkan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1998. Selain itu juga ada buku Kerajaan Bima Dalam Sastra dan Sejarah. Buku yang disunting oleh Henri Chambert-Loir ini memuat tentang cerita "Asal-Usul Hikayat Bima" yang berisi mitos, legenda, dan sejarah yang sangat bermanfaat bagi penulisan sejarah.
Kemudian ada juga buku Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan yang diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia yang bekerjasama dengan The Ford Foundation, Universitas Hasanuddin, dan Gadjah Mada University Press tahun 2003.
Bagi masyarakat Bugis, Makassar, dan Mandar di Sulawesi Selatan, tradisi tulis sangat penting artinya sebagai sarana pengabdian buah pikiran dan perasaan (PaEni, 2003: v). Oleh sebab itu, tidak heran bila mereka memiliki naskah-naskah tradisional yang dikenal dengan lontara. Meskipun tradisi tulis ini belum diketahui secara pasti kapan dimulainya, namun beberapa ahli mengatakan bahwa tradisi tersebut sudah ada sebelum agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan (sebelum abad ke-16). Hal ini dapat dibuktikan melalui situs batu bertulis di Somba Opu. Juga tampak dari kisah-kisah kuno Bugis yang dikenal dengan cerita Galigo yang kandungan ceritanya menyangkut abad ke-14-17 Masehi.
Melalui kisah-kisah perjalanan sejarah yang cukup panjang ini menjadikan sejarah yang dalam rentang waktu yang cukup panjang itu, menjadikan kisah yang termuat di dalamnya sangat kaya dengan informasi sejarah dan legenda. Naskah-naskah semacam ini sangat penting artinya bagi studi-studi sosial kemasyarakatan. Sebab melalui naskah-naskah ini dapat diperoleh pengetahuan tentang dinamika kehidupan yang dialami suatu masyarakat (PaEni, 2003, vii).
Selain mengenai kisah-kisah perjalanan sejarah, lontara-lontara Sulawesi Selatan juga memuat silsilah, ramalan-ramalan, petunjuk bercocok tanam, tata niaga, mistik, undang-undang pelayaran, perjanjian, tuntunan keagamaan, undang-undang kerajaan, tasawuf, metode dan taktik erang, arsitektur, teknologi pembuatan kapal, dan sebagainya.
Akan halnya naskah-naskah kuno di Bali pada umumnya terdiri dari naskah lontar. Naskah-naskah yang ada di Bali ini sudah banyak yang disimpan dan dirawat oleh lembaga-lembaga tertentu seperti di Gedung Kertya, Balai Penelitian Singaraja, Pusat Dokumentasi Daerah, Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali dan Museum Daerah Bali. Meski pun demikian, masih banyak naskah-naskah kuno Bali yang disimpan oleh masyarakat setempat.
Fakultas Sastra Universitas Udayana bahkan telah memiliki perpustakaan Lontar tersendiri dengan Lembaga Pustaka Lontara Fakultas Sastra Universitas Udayana. Bahkan universitas ini memiliki ciri khas tersendiri di mana kebudayaan merupakan ciri utamanya (lihat Statuta Unud, 1977). Bila dilihat dan dihubungkan dengan Pulau Bali, ciri tersebut sangat tepat mengingat masyarakat Bali memiliki kebudayaan yang sangat tinggi yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Bila dilihat dari segi warisan kebudayaan dan agama, Bali memiliki ciri tersendiri dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Bali yang sejak dulu dikenal sebagai gudang kebudayaan, oleh Stutterheim disebut sebagai Museum Hidup yang menyimpan dan memelihara ciri kekhususan tersendiri.
Dengan sifat yang pluralistik dan multikultural, agaknya kita perlu memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Berbagai kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi harus mampu saling menyesuaikan diri dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks itu pula maka ratusan suku bangsa yang memiliki kebudayaan daerah dapat dilihat sebagai aset bangsa tempat bersemayamnya semangat multikultural. Hal itu dapat ditemukan dalam naskah-naskah kuno yang dimiliki.
Potensi budaya-budaya masyarakat harus dipelihara dan direvitalisasi, sehingga karya-karya local genius dapat muncul sebagai modal dasar pembangunan dalam bentuk barunya yang moderen dan sepadan dengan kemajuan teknologi. Di samping itu perlu perhatian pada kearifan lokal yang dimiliki secara turun-temurun dalam merespons tantangan kehidupan yang dihadapi. Kita telah mencatat berbagai folk wisdoms yang sampai saat ini masih dapat dibuktikan keunggulannya seperti yang dapat kita temukan dalam naskah-naskah kuno yang kesemuanya merupakan potensi pembangunan yang bermanfaat dan dapat diterapkan dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri (Swasono, 2000: 6-7). Hadirnya ilmu dan teknologi Barat tidak untuk menggusur berbagai folk wisdoms ini, melainkan untuk melengkapi atau meningkatkan pemberdayaannya. Kesemua ini dapat menjadi bagian dari upaya membentuk dan memperkokoh jatidiri masyarakat, sebagai bagian dari nation and character building Indonesia.
Dengan begitu maka setiap suku bangsa dapat memberikan kontribusi untuk memperkuat rasa kebangsaan dan menjadikan keragaman budaya sebagai kekuatan pemersatu bangsa dan negara. Dengan memperhatikan amanat Undang-Undang Dasar 1945, maka perlu meningkatkan identitas budaya melalui penggalian dan pengungkapan nilai-nilai budaya yang dapat menjadi acuan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Masih banyak naskah-naskah kuno yang belum dikerjakan dan dianalisis untuk pengembangan dan pembinaan kebudayaan.
Daftar Bacaan
Alfian, Magdalia, “Pluralisme Sosial-Budaya dan Otonomi Daerah : Implikasi Pemekaran Wilayah”, disampaikan pada Seminar NasionalnOtonomi Daerah Dalam Perspektif Sejarah, Kupang, 4-6 Agustus 2004.
Budiman, Manneke. 1999. “Jati Diri Budaya Dalam Proses Nation Building di Indonesia", Wacana, Vol I, no. 1. Chamber-Loin, Henri. 2004. Kerajaan Bima Dalam Sastra dan Sejarah. Jakarta: Kepustakaan Gramedia.
_____ dan Fathurahman, Oman. 1999. Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Yayasan Obor.
Madjid, Dien. “Penulisan Sejarah Lokal dari Aspek Kebudayaan”, disampaikan Pada Lokakarya Penulisan Sejarah Lokal, Bogor : 15-16 Juli 2004.
PaEni, Mukhlis, dkk. 2003. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suryadi. 1998. Naskah Tradisi Basimalin. Jakarta: Fakultas Sastra UI, .
Swasono, Meutia Farida. “Reaktualisasi Bhineka Tunggal Ika dalam Menghadapi Disintegrasi bangsa”, makalah pada Simposium dan Lokakarya Internasional, Makassar, 1-5 Agustus 2004.
_____ . “Strategi Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir”, makalah disampaikan pada Rakernas Persatuan Taman Siswa dan Rakernas Wanita Taman Siswa, Jakarta, 15-19 Februari 2004.
Suwarno, H, Utang. “Perspektif Kebudayaan Sunda terhadap Politik”, makalah pada Lokakarya Daerah Pembangunan Berwawasan Budaya Bandung, 31 Januari 2004.
Magdalia Alfian merupakan Lektor Kepala pada Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Asisten Deputi Urusan Pemikiran Kolektif Bangsa, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Tulisan ini merupakan Makalah yang disampaikan pada Seminar Naskah Kuno Sebagai Perekat NKRI di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya 28 A Jakarta, 12 Oktober 2004.
Sumber : http://digilib.pnri.go.id
I
Indonesia merupaksan salah satu negara di dunia yang paling majemuk komposisi jati diri budaya dan etniknya, dan kemajemukan itu menjadi salah satu sumber kebanggaan bangsa. Semboyan yang tercantum pada lambang negara Bhineka Tunggal Ika merupakan refleksi kenyataan tersebut. Negara yang dihuni oleh ratusan kelompok etnik dan kaya akan bahasa serta kebudayaan daerah, secara historis dipersatukan oleh kesamaan nasib yang dijajah oleh pemerintah kolonial Belanda selama kurun waktu yang cukup panjang.
Kata Bhineka Tunggal Ika diadopsi sebagai salah satu upaya untuk memayungi keanekaragaman yang ada serta strategi untuk mempersatukan berbagai kelompok etnik yang ada dalam suatu ikatan yang berorientasi ke masa depan. Paham “berbeda-beda namun tetap satu” dalam kenyataannya hanya indah untuk didengar dan diucapkan, namun amat sulit untuk diwujudkan, sebab secara konseptual paham tersebut sudah membawa suatu kontradiksi. Idealnya ketunggalikaan tidak boleh mematikan kebhinekaan. Begitu pula sebaliknya, sebuah unsur kebhinekaan tidak boleh dipaksakan untuk menjadi acuan normatif bagi kehidupan seluruh bangsa (Budiman, 1999: 5-9).
Yang menjadi persoalan adalah bagaiman konsep tersebut dapat diterjemahkan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara yang nyata, terutama dalam pengejawantahan pengertian “ketunggalikaan” yang tidak mematikan “kebhinekaan” serta mencegah terjadinya satu unsur kebhinekaan yang mendominasi kehidupan bangsa dan negara.
Sebagaimana tercantum dalam penjelasan UUD 45, bahwa “Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia”. Dengan begitu keanekaragaman yang tercakup dalam “Bhineka Tunggal Ika” dimasudkan lebih pada keanekaragaman kebudayaan (multicultural society). Dan puncuk-puncak kebudayaan itu hendaknya diartikan sebagai unsur-unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah yang antara lain dapat dilihat dari naskah kuno yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan.
Bila penekanan pada keanekaragaman kebudayaan dan tidak pada suku bangsa atau etnisitas, maka paling tidak bangsa Indonesia dapat terhindar dari bangkitnya gerakan-gerakan etnosentris yang bersifat primordial. Oleh sebab itu konsep yang paling cocok untuk itu adalah multikulturalisme yang penekanannya pada kesederajatan kebudayaan-kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat. Multikulturalisme ini adalah sebuah perspektif alternatif untuk mengatasi pertentangan dan konflik sosial yang bernuansa etnis, agama, dan berbagai identitas primordial lainnya (Magdalia, 2004).
Watak masyarakat multikultur adalah toleran. Mereka hidup dalam semangat peaceful-co-existence, hidup berdampingan secara damai. Setiap entitas sosial dan budaya masih tetap membawa serta jati dirinya, dan tidak terlebur kemudian hilang, tetapi juga tidak diperlihatkan sebagai kebanggaan melebihi penghargaan terhadap entitas lainnya. Dalam perspektif multikulturalisme ini baij individu maupun kelompok dan berbagai entitas etnik dan budaya hidup dalam societal cohesion tanpa kehilangan identitas etnik dan kultur masing-masing. Masyarakat bersatu dalam ranah sosial, tetapi antar-etnisitas tetap ada perbedaan. Konsep multikulturisme ini dapat berkembang dalam masyarakat yang demokratis seperti di Indonesia, sebab konsep ini menekankan perbedaan dalam kesederajatan (Parsudi, 2003).
II
Setiap bangsa pasti memiliki catatan mengenai perjalanan bangsanya, tak terkecuali bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang memiliki beragam etnik dan budaya, tentulah memiliki catatan panjang mengenai kehidupan masyarakatnya, sosial budayanya, pemerintahan, dan sebagainya. Perjalanan yang dimulai dari zaman prasejarah itu banyak sekali meninggalkan cacatan yang terangkum dalam naskah-naskah kuno atau dokumen yang merupakan sumber data penting bagi masyarakat Indonesia.
Naskah kuno mengandung informasi yang berlimpah. Isi naskah tidak hanya terbatas pada kesusasteraan, tetapi mencakup berbagai bidang seperti: agama, sejarah, hukum, adat-istiadat, obat-obatan, teknik, filsafat, dan sebagainya. Oleh sebab itu, para ahli di berbagai bidang seharusnya dapat memanfaatkan data yang terpendam dalam koleksi naskah. Para sejarawan misalnya sudah lama menggunakan teks-teks naskah kuno yang sudah diterbitkan oleh para filolog. Sementara naskah yang belum diterbitkan masih banyak, bahkan masih banyak yang disimpan oleh masyarakat setempat.
Naskah dalam bentuk babad atau teks yang menyebut dirinya sejarah dapat pula dipakai sebagai sumber penulisan sejarah lokal, seperti: Babad Tanah Jawi, Babad Banjar, Babad Cirebon, Hikayat Aceh, dan Hikayat Raja-raja Pasai. Menurut CC Berg, babad dapat tergolong dalam tiga kelompok yaitu : 1. Isi tidak sesuai dengan judul, 2. Isi sesuai dengan judul, dan 3. Isi bercerita tentang periode tertentu. Naskah sebagai hasil karya tulis yang menggambarkan tentang masyarakat tertentu sebagai bukti akan kesadaran bersejarah, meski pun di dalamnya banyak ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kaidah sejarah (Madjid, 2004: 7).
Naskah, sebagai sumber budaya lokal nonmaterial, juga mengandung berbagai pemikiran, pengetahuan, adat-istiadat serta perilaku masyarakat pada masa lalu yang jauh lebih besar keberadaannya (Ikram, 1997: 24). Di antara berbagai kategori naskah Nusantara, kita dapat mengetahui bagaimana perspektif budaya daerah tertentu. Perspektif budaya Sunda terhadap politik misalnya. Melalui naskah kuno Sunda kita dapat melihat jauh ke belakang dengan menelusuri nilai-nilai politik yang terkandung dalam penyelenggaraan pemerintahan yang pernah berlaku pada zaman Kerajaan Sunda masa lampau.
Pada tahun 1518 Masehi, pada masa pemerintahan Sri Baginda muncul suatu karya sastra keagamaan dan kesusilaan yang diberi nama Sangyang Siksa Karesian. Karya sastra ini berisi ajaran kesusilaan atau norma-norma perilaku yang ditujukan bagi semua orang (masyarakat Kerajaan Sunda). Namun pada bagian awal isi naskah tersebut dikemukakan suatu prinsip dasar ajaran guna melangsungkan pemerintahan yang disebut sebagai ajaran Sangyang Sasanakreta (jalan/media kesejahteraan) yang berbunyi:
Siapa (pemerintah/penguasa/raja) yang hendak menegakkan sasanakreta, agar dapat lama hidup, lama berjaya, ternak berbiak, tanaman subur, selalu unggul dalam perang, (sumbernya) terletak pada orang banyak (rakyat). (Suwaryo, 2004: 7).
Dari bunyi ajaran tersebut terlihat bahwa prinsip dasar pedoman bernegara dalam Kerajaan Sunda untuk mencapai kesejahteraan adalah dengan mengutamakan orang banyak (rakyat).
Sementara, syarat untuk menjadi pemimpin adalah harus cageur, bageur, bener, dan pinter. Cageur itu maknanya sehat, baik jasmani maupun rohani. Bageur berarti baik, sopan, tidak sombong dan mengayomi rakyat. Bener adalah jujur, tidak korupsi, dan kolusi. Dan pinter artinya orang yang cerdas, pandai, dan memunyai kapasitas dan kompeten. Yang menarik di sini adalah konsep pinter ditempatkan terakhir setelah konsep bener. Ini berarti bahwa percuma saja seorang pemimpin itu pinter bila tidak jujur, sombong, dan jauh dari rakyat.
Dalam naskah Palembang misalnya, banyak memuat kekayaan peninggalan yang merekam kehidupan spiritual dan jatidiri. Naskah-naskah tersebut dihimpun dan dibukukan dalam bentuk buku yang berjudul Jati Diri Yang Terlupakan: Naskah-naskah Palembang. Buku yang diedit oleh Prof. Dr. Achadiati Ikram ini berisi kumpulan naskah yang dikerjakan oleh 13 penulis (Latifah Ratnawati, Retno Purwanti, Achadiati Ikram, Tjiptaningrum Fuad Hasan, Maria Indra Rukni, Munawar Holil, Mu’jizah, Nyimas Umim Kalsum, Titiek
Pudjiastuti, Dewaki Kramadibrata Nugardjito, Laily Yulita, Surip Suwandi dan Suyati Suwarso) dengan tema yang beragam. (Ikram, 2004: vii-xiv).
Selain naskah Palembang, cukup banyak naskah Nusantara yang sudah dibukukan seperti Naskah Tradisi Basimalin yang berisi tentang kesusasteraan Minangkabau yang diterbitkan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1998. Selain itu juga ada buku Kerajaan Bima Dalam Sastra dan Sejarah. Buku yang disunting oleh Henri Chambert-Loir ini memuat tentang cerita "Asal-Usul Hikayat Bima" yang berisi mitos, legenda, dan sejarah yang sangat bermanfaat bagi penulisan sejarah.
Kemudian ada juga buku Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan yang diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia yang bekerjasama dengan The Ford Foundation, Universitas Hasanuddin, dan Gadjah Mada University Press tahun 2003.
Bagi masyarakat Bugis, Makassar, dan Mandar di Sulawesi Selatan, tradisi tulis sangat penting artinya sebagai sarana pengabdian buah pikiran dan perasaan (PaEni, 2003: v). Oleh sebab itu, tidak heran bila mereka memiliki naskah-naskah tradisional yang dikenal dengan lontara. Meskipun tradisi tulis ini belum diketahui secara pasti kapan dimulainya, namun beberapa ahli mengatakan bahwa tradisi tersebut sudah ada sebelum agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan (sebelum abad ke-16). Hal ini dapat dibuktikan melalui situs batu bertulis di Somba Opu. Juga tampak dari kisah-kisah kuno Bugis yang dikenal dengan cerita Galigo yang kandungan ceritanya menyangkut abad ke-14-17 Masehi.
Melalui kisah-kisah perjalanan sejarah yang cukup panjang ini menjadikan sejarah yang dalam rentang waktu yang cukup panjang itu, menjadikan kisah yang termuat di dalamnya sangat kaya dengan informasi sejarah dan legenda. Naskah-naskah semacam ini sangat penting artinya bagi studi-studi sosial kemasyarakatan. Sebab melalui naskah-naskah ini dapat diperoleh pengetahuan tentang dinamika kehidupan yang dialami suatu masyarakat (PaEni, 2003, vii).
Selain mengenai kisah-kisah perjalanan sejarah, lontara-lontara Sulawesi Selatan juga memuat silsilah, ramalan-ramalan, petunjuk bercocok tanam, tata niaga, mistik, undang-undang pelayaran, perjanjian, tuntunan keagamaan, undang-undang kerajaan, tasawuf, metode dan taktik erang, arsitektur, teknologi pembuatan kapal, dan sebagainya.
Akan halnya naskah-naskah kuno di Bali pada umumnya terdiri dari naskah lontar. Naskah-naskah yang ada di Bali ini sudah banyak yang disimpan dan dirawat oleh lembaga-lembaga tertentu seperti di Gedung Kertya, Balai Penelitian Singaraja, Pusat Dokumentasi Daerah, Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali dan Museum Daerah Bali. Meski pun demikian, masih banyak naskah-naskah kuno Bali yang disimpan oleh masyarakat setempat.
Fakultas Sastra Universitas Udayana bahkan telah memiliki perpustakaan Lontar tersendiri dengan Lembaga Pustaka Lontara Fakultas Sastra Universitas Udayana. Bahkan universitas ini memiliki ciri khas tersendiri di mana kebudayaan merupakan ciri utamanya (lihat Statuta Unud, 1977). Bila dilihat dan dihubungkan dengan Pulau Bali, ciri tersebut sangat tepat mengingat masyarakat Bali memiliki kebudayaan yang sangat tinggi yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Bila dilihat dari segi warisan kebudayaan dan agama, Bali memiliki ciri tersendiri dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Bali yang sejak dulu dikenal sebagai gudang kebudayaan, oleh Stutterheim disebut sebagai Museum Hidup yang menyimpan dan memelihara ciri kekhususan tersendiri.
III
Dengan sifat yang pluralistik dan multikultural, agaknya kita perlu memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Berbagai kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi harus mampu saling menyesuaikan diri dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks itu pula maka ratusan suku bangsa yang memiliki kebudayaan daerah dapat dilihat sebagai aset bangsa tempat bersemayamnya semangat multikultural. Hal itu dapat ditemukan dalam naskah-naskah kuno yang dimiliki.
Potensi budaya-budaya masyarakat harus dipelihara dan direvitalisasi, sehingga karya-karya local genius dapat muncul sebagai modal dasar pembangunan dalam bentuk barunya yang moderen dan sepadan dengan kemajuan teknologi. Di samping itu perlu perhatian pada kearifan lokal yang dimiliki secara turun-temurun dalam merespons tantangan kehidupan yang dihadapi. Kita telah mencatat berbagai folk wisdoms yang sampai saat ini masih dapat dibuktikan keunggulannya seperti yang dapat kita temukan dalam naskah-naskah kuno yang kesemuanya merupakan potensi pembangunan yang bermanfaat dan dapat diterapkan dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri (Swasono, 2000: 6-7). Hadirnya ilmu dan teknologi Barat tidak untuk menggusur berbagai folk wisdoms ini, melainkan untuk melengkapi atau meningkatkan pemberdayaannya. Kesemua ini dapat menjadi bagian dari upaya membentuk dan memperkokoh jatidiri masyarakat, sebagai bagian dari nation and character building Indonesia.
Dengan begitu maka setiap suku bangsa dapat memberikan kontribusi untuk memperkuat rasa kebangsaan dan menjadikan keragaman budaya sebagai kekuatan pemersatu bangsa dan negara. Dengan memperhatikan amanat Undang-Undang Dasar 1945, maka perlu meningkatkan identitas budaya melalui penggalian dan pengungkapan nilai-nilai budaya yang dapat menjadi acuan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Masih banyak naskah-naskah kuno yang belum dikerjakan dan dianalisis untuk pengembangan dan pembinaan kebudayaan.
Daftar Bacaan
Alfian, Magdalia, “Pluralisme Sosial-Budaya dan Otonomi Daerah : Implikasi Pemekaran Wilayah”, disampaikan pada Seminar NasionalnOtonomi Daerah Dalam Perspektif Sejarah, Kupang, 4-6 Agustus 2004.
Budiman, Manneke. 1999. “Jati Diri Budaya Dalam Proses Nation Building di Indonesia", Wacana, Vol I, no. 1. Chamber-Loin, Henri. 2004. Kerajaan Bima Dalam Sastra dan Sejarah. Jakarta: Kepustakaan Gramedia.
_____ dan Fathurahman, Oman. 1999. Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Yayasan Obor.
Madjid, Dien. “Penulisan Sejarah Lokal dari Aspek Kebudayaan”, disampaikan Pada Lokakarya Penulisan Sejarah Lokal, Bogor : 15-16 Juli 2004.
PaEni, Mukhlis, dkk. 2003. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suryadi. 1998. Naskah Tradisi Basimalin. Jakarta: Fakultas Sastra UI, .
Swasono, Meutia Farida. “Reaktualisasi Bhineka Tunggal Ika dalam Menghadapi Disintegrasi bangsa”, makalah pada Simposium dan Lokakarya Internasional, Makassar, 1-5 Agustus 2004.
_____ . “Strategi Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir”, makalah disampaikan pada Rakernas Persatuan Taman Siswa dan Rakernas Wanita Taman Siswa, Jakarta, 15-19 Februari 2004.
Suwarno, H, Utang. “Perspektif Kebudayaan Sunda terhadap Politik”, makalah pada Lokakarya Daerah Pembangunan Berwawasan Budaya Bandung, 31 Januari 2004.
Magdalia Alfian merupakan Lektor Kepala pada Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Asisten Deputi Urusan Pemikiran Kolektif Bangsa, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Tulisan ini merupakan Makalah yang disampaikan pada Seminar Naskah Kuno Sebagai Perekat NKRI di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya 28 A Jakarta, 12 Oktober 2004.
Sumber : http://digilib.pnri.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar