Oleh : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.
1. Pengantar
Mengawali tulisan ini, perlu diperhatikan dua fungsi bahasa, yaitu fungsi komunikatif dan fungsi simbolik (Edwards, 1985:17). Secara antropologi linguistic, fungsi komunikatif sebuah bahasa sebagai alat komunikasi, sedangkan fungsi simbolik menyangkut fungsi bahasa sebagai lambing kelompok, sebagai symbol, bahkan sebagai wahana berkumpul. Kita tahu bahwa bahasa menjadi sangat penting dalam sentiment etnik dan sentimen nasional karena daya simbolismenya yang sangat kuat ddan jelas disampaing karena aspek komunikatifnya, yang pada umumnya didambakan oleh kelompok-kelompok minoritas. Ada pula gerakan-gerakan kelompok yang secara sadar sendiri ingin memahami kekuatan bahasa yang melewati fungsi komunikatif bahasa itu. Bagi masyarakat tutur yang bahasanya juga sebagai bahasa nenek moyangnya, fungsi simbolik bahasa pada umumnya terikat degan fungsi komunikatifnya.
Kedua komunikasi bahasa itu harus ditumbuhkembangkan dalam usaha melestarikan bahasa etnik di Indonesia. Sebagai symbol, bahasa etnik dan bahasa Indonesia harus menjadi kebanggaan masyarakatnya dan sebagai alat komunikasi, bahasa etnik dan bahasa Indonesia harus menjadi bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat penuturnya. Dengan kata lain, bahasa etnik dan bahasa Indonesia tidak hanya diarahkan sebagai symbol kebanggaan etnik dan kebanggaan nasional, tetapi baik bahasa etnik maupun bahasa Indonesia harus mampu digunakan sebagai alat komunikasi pemiliknya.
Sebagaimana diketahui bersama, sebelum dikukuhkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang berasal dari bahasa Melayu Riau, semua etnik di nusantara ini menggunakan bahasa etnik sebagai alat komunikasi sehari-hari dan sebagai media tradisi termasuk tradisi lisan. Itulah sebabnya sampai sekarang tradisi lisan yang kita kenal itu menggunakan bahasa etnik sebagai media penyimpan dan media penyampainya. Pelestarian dan pemertahanan bahasa etnik sangat menentukan kehidupan tradisi lisan.
Namun, pada kenyataannya, kelestarian dan mempertahankan bahasa etnik tampaknya semakin menghawatirkan karena adanya sikap bahasa masyarakat kita yang berat sebelah. Padahal, kedudukan setiap bahasa sama atau sederajat berdasarkan sudut pandang linguistik. Tidak ada bahasa yang disebut primitif. Betapapun miskinnya kehidupan suatu masyarakat, mereka tetap kaya akan bahasa sebagai alat komunikasi; bagaimanapun rendahnya system pengetahuan suatu masyarakat, mereka pasti memiliki system komunikasi simbolis yang memadai; bertapapun primitifnya suatu masyarakat jika ditinjau dari sudut pandang lain, mereka memiliki bahasa yang berkembang; betapapun sedikitnya jumlah penutur suatu bahasa, mereka pasti memiliki kata-kata yang cukup untuk mengungkapkan konsep pemikiran mereka. Peranan bahsa sangat penting dalam kebudayaan suatu msyarakat dapat membuktikan bahwa bahasa mereka akn selalu berkembang. Bahasa yang mereka pergunakan mempunyai prbendaharaan kata dan gramatika yang memadai, yang tidak rendah dari pebendaharaan kata dan gramatika bahasa lain. Dengan demikian, meskipun bahasa etnik tertentu memiliki masyarakat penutur yang lebih sediit daripada penutur bahasa inggris dn bahsa Indonesia, yakni sama-sama berfungsi sebagai alat komunikasi masyarakat penuturnya. Bahasa-bahasa itu memiliki tingkat kepadaan perbendharaan kata dan gramatika yag sama untuk mengungkapkan konsep pemikiran penuturnya.
Sebagai alat komunikasi, setiap bahasa digunakan untuk menyampaikan pesan atau amanat dari penyapa (pengirim) kepada pesapa (penerima). Komunikasi melalui bahasa dapat dikatakan berhasil apabila amanat atau pesan yang disampaikan penyapa dapat diterima pesapa seperti apa yang dimaksudkan penyapa. Intraksi masyarakat yang sangat beragam, system kumunikasi yang luas, perkembangan teknologi yang canggih, dan kebijakan pemerintah menyebabkan bahasa etnik kadang-kadang tidak lagi digunakan untuk mengungkapka konsep pikiran dan budaya etnik itu secara bebas, tetapi telah digantikan oleh bahasa Indonesia. Seolah-olah ada perintah tidak untuk bahasa etnik di depan umum meskipun peserta komunikasi itu berasal dan fasih bahasa etnik. Bahkan, yang lebih menyedihkan, ada sementara orang yang merasa “malu” berbahasa etnik jika didegar orag dari etnik lain. Sebaliknya, ada orang yang merasa tidak enak/senang jika dia mendengar orang berbahasa etnik. Ini menyiratkan bahwa bahasa etnik telah terdesak oleh penggunaan bahasa Indonesia, yang harus diakui berkembang pesat penggunaannya di seluruh Indonesia.
Jika ditinjau persentase saling pengaruh antara keduanya, pengaruh bahasa Indonesia ke dalam bahasa etnik lebih besar daripada pengaruh bahasa etnik ke dalam bahasa Indonesia terutama di dalam pegembangan kosakata. Bahkan kadang-kadang kata-kata dalam basa Indonesia lebih sering muncul ketika berkomunikasi secara resmi meskipun terdapat padanan kata-kata itu dalam bahasa etnik.
2. Situasi Kebahasaan di Indonesia
Ada tiga situasi bahasa yang mesti mendapat perhatian di Indonesia, yakni bahasa etnik, bahasa nasional, dan bahasa asing. Bahasa etnik dapat digunakan untuk sarana komunikasi antar individu dalam suatu etnik, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dapat digunakan untuk sarana komunikasi antar etnik, dan bahasa asing seperti bahasa Inggris dapat digunakan sebagai sarana komunikasi antarbangsa. Di samping sarana komunikasi, bahasa etnik sangat penting terutama dalam pelestarian kebudayaan dan pengetahuan etnik, bahasa nasional sangat penting terutama dalam persatuan bangsa dan penyebarluasan pengetahuan, dan bahasa asing sagat penting terutama dalam penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dari dunia yang berbahasa asing. Dengan demikian, yakni masyarakat yang sedikitnya masyarakat Indonesia seharusnya dituntut sebagai masyarakat yag multilingual, yakni masyarakat yang sedikitnya menguasai satu bahasa etnik, bahasa nasional, dan bahasa asing. Jika dilihat dari hasil sensus tahun 1990, 107.066.316 orang (67,07%) penduduk Indonesia tergolong masyarakat bilingual (dapat berbahasa Indonesia di samping menguasai salah satu bahasa etnik); 23.802.520 orang (15,07%) penduduk Indonesia tergolong masyarakat monolingual berbahasa Indonesia dan 27.055.488orang (17,13 %) penduduk Indonesia tergolong masyarakat monolingual berbahasa etnik.
Sudah pasti, hanya sebagian kecil penduduk Indonesia yang menguasai bahasa asing di samping menguasai bahasa etnik dan bahasa nasional (Indonesia). Jika data itu masih bisa di percaya, itu berarti bahwa terdapat 84,93 % masyarakat Indonesia yang tidak dapat berbahasa delapan belas tahun (18) lalu meskipun persentase itu pasti sudah semakin berkurang.
Jika penanganan kebahasaan di Indonesia berjalan seperti sekarang ini dalam waktu cukup lama, tampaknya situasi kebahasaan kita pada waktu mendatang akan mengarah kepada masyarakat monolingual berbahasa Indonesia dan masyarakat bilingual berbahasa Indonesia dan berbahasa asing. Kalaupun terdapat masyarakat multingual, masyarakat itu meguasai bahasa Indonesia dan beberapa bahasa asing. Itu berarti bahwa masa depan bahasa etnik akan terancam.
Ada beberapa faktor penyebabnya terutama terutama situasi kebahasaan si Sumatra Utara. Pertama, generasi muda memiliki kecendrungan pergi ke kota atau merantau ke tempat lain. Oleh akrena situasi dan tuntutan interaksi masyarakat di kota, mereka cendrung berbahasa Indonesia. Anak-anak mereka pun kemudian akan menjadi penutur bahasa Indonesia dan tidak dapat lagi menguasai bahasa etnik. Penghuni etnik asal adalah orang-orang tua yang disebabkan keterbatasan usianya tidak mungkin meneruskan pelestarian bahasa etniknya. Kedua, masyarakay ekonomi/berpendidikn menengah keatas cendrung lebih senang berbahasa Indonesia daripada berbahasa etnik meskipun mereka sama-sama berbahasa ibu yang sama. Ada beberapa factor yang menyebabkan mereka cendrung berbahasa Indonesia. Pertama, mereka sudah terbiasa dalam pergaulan dengan masyarakat dari etnik lain sehingga terbawa-bawa dan lebih terlatih dalam komunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini dialami seseorang ketika diminta berbicara dalam bahasa etnik pada acara umum: meskipun dia penutur bahasa etnik tertentu, dia lebih fasih berbahasa secara remi dalam bahasa Indonesia. Kedua, mereka malu berbahasa etnik. Hal ini mungkin yang lebih “berbahaya” dalam pelestarian bahasa etnik. Hal ini di alami terutama oleh generasi muda atau mahasiswa di kota-kota. Mereka malu berbahasa etnik kalau didengar masyarakat dari suku lain sehingga mereka kadang-kadang berbicara sangat pelan supaya tidak di dengar orang di sekeliling mereka. Kondisi ini pun akan merugikan dalam pelestarian bahasa etnik jika hal it uterus berlangsung. Sebaiknya, kita perlu tahu bahwa tindakan salah jika kita berbahasa etnik sepanjang peserta komunikasi yang terlibat itu mengerti bahasa etnik itu atau orang di sekeliling yang berbicara itu tidak terlibat dalam komunikasi itu. Bila perlu, peserta komunikasi itu dapat menerjemahkan kepada orang yang tidak mengerti bahasa etnik itu. Bahasa etnik adalah kekayaan bangsa yang perlu dilestarikan dan pelestarian bahasa etnik secara efektif hayalah dengan memakai sebagai alat komunikasi. Secara sosiolinguistik dan secara antropolinguistik, situasi komunikasi seperti itu sangat dimungkinkan.
Sebenarnya, pemerintah telah menetapkan landasan hak hidup dan pelestarian bahasa etnik dalam beberapa momen penting. Pertama, rumusan butir ke tiga Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tidaklah mengabaikan bahasa-bahasa etnik, tetapi hanya mengatakan bahwa suku-suku bangsa Indonesia perlu menjunjung suatu bahasa persatuan, bahasa Indonesia tanpa menghilangkan bahasa etnik. Kedua, penjelasan Pasal 36 UUD 1945 dengan jelas menyiratkan bahwa bahasa-bahasa etnik tetap digunakan oleh penuturnya dan dipelihara oleh Negara.
Harus diakui juga bahwa selama ini telah banyak dilakukan penelitian tentang bahasa-bahasa etnik di Indonesia terutama oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, tetapi penelitian itu hanya difokuskan pada peginventarisasian dan pendeskripsian bahasa-bahasa etnik itu tanpa memperhitungkan masyarakat penutur dan masa depan bahasa-bahasa etnik itu. Padahal, kalaupun semua bahasa-bahasa etnik itu diinventarisasi dan dideskripsikan, hal itu kurang berarti tanpa mengikutsertakan masyarakat penutur bahasa-bahasa etnik itu. Kecenderungan yang terjadi sekarang adalah kurangnya penutur bahasa etnik dan lunturnya penghargaan dan sikap bahasa masyarakat terhadap bahasa etnik. Pada masa mendatang, mungkin perlu kajian ulang terhadap penelitian bahasa-bahasa etnik, yakni lebih memfokuskan pada usaha peningkatan pemakaian bahasa etnik dan peningkatan sikap masyarakat terhadap bahasa etnik.
Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional sangat luar biasa karena dalam waktu 80 tahun setelah Sumpah Pemuda dikumandankangkan, bahasa Indonesia telah menjadi milik dan dipergunakan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia sampai ke pelosok desa. Bahasa Indonesia pun telah mampu sebagai media ilmu pengetahuan seperti dalam buku-buku dan jurnal, sebagai sarana pendidikan mulai tingkat TK sampai PT, dan sebagai sarana komunikasi pada pertemuan-pertemuan resmi. Dengan peran bahasa Indonesia yang besar dan penting seperti itu, penggunaan bahasa Indonesia akan terus dapat berkembang secara al am iah.
Situasi penguasaan bahasa Inggris mayoritas masyarakat kita juga kurang menggembicarakan jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Padahal, bahasa Inggris diajarkan mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi di Indonesia. Bahkan, di beberapa lembaga prasekolah di Indonesia diajarkan bahasa Inggris.
Dengan situasi seperti itu, bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi akan terus berkembang tanpa perhatian yang khusus, tetapi bahasa etnik akan punah secara pelan-pelan tanpa usaha pelestarian, dan bahasa asing tidak akan terkuasai tanpa usaha pembelajaran yang serius.
Berbicara mengenai bahasa etnik yang semakin mengkhawatirkan sekarang ini membuat para penutur atau pemiliknya juga khawatir atau tidak sejahtera secara batin; ada kekhawatiran terhadap kehilangan milik budayanya. Di samping itu, kekurangpenguasaan bahasa Inggris membuat siswa, mahasiswa, guru, dosen, dan profesional lainnya kurang mampu berkompetisi secara internasional dan sulit mengembangkan dirinya karena peran bahasa Inggris yang sangat besar sekarang ini.
3. Upaya Pelestarian
Kedudukan bahasa etnik dalam kehidupan nasional kita sudah sering dibicarakan. Kedudukan bahasa etnik itu sudah pasti sebagai dasar kebudayaan etnik yang pada gilirannya merupakan unsur penyumbang dan pemerkaya kebudayaan nasional kita. Pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa etnik sangat penting karena di samping pemerkaya kebudayaan nasional, nilai-nilai kebudayaan tradisional terkandung di dalam bahasa-bahasa etnik. Konsep nilai kebudayaan tradisional hanya dapat dimengerti melalui ungkapan bahasa etnik masyarakatnya. Dengan demikian, bahasa-bahasa etnik harus tetap dipelihara agar tetap mampu menjadi ungkapan budaya masyarakatnya yang mendukung kebinekaan budaya bangsa. Bahkan, bahasa etnik itu merupakan salah satu bagian dari kebudayaan nasional.
Sejak dulu, bahasa etnik telah dinyatakan sebagai pemerkaya bahasa nasional kita. Salah satu realisasi kedudukan bahasa etnik itu dalam pembinaan bahasa Indonesia ialah patokan yang diambil dalam usaha pembentukan istilah baru. Sebelum mencari-cari ke luar Indonesia, ke dalam bahasa asing, maka istilah-istilah baru harus digali dari khazanah bahasa-bahasa etnik. Akan tetapi, fungsi ini tidak berarti bahwa bahasa etnik subordinatif terhadap bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia pun juga sebagai pemerkaya bahasa etnik sebagaimana yang disinggung di atas. Dengan demikian, perlu kajian ulang terhadap istilah bahasa etnik sebagai pemerkaya bahasa Indonesia karena pada kenyataannya, bahasa Indonesia lebih banyak memperkaya bahasa etnik (tertentu) daripada sebaliknya.
Di samping itu, bahasa etnik merupakan identitas atau jati diri etnik yang tidak perlu kita khawatirkan. Meskipun identitas etnik kuat, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tidak akan luntur jika kita menerima dan mengakui identitas etnik itu sebagai kekayaan bangsa. Sikap dan penghargaan terhadap bahasa etnik itu perlu dikembangkan.
Oleh karena pentingnya bahasa-bahasa etnik itu dalam kehidupan nasional kita, maka kita perlu melestarikan bahasa-bahasa etnik di Nusantara ini. Cara-cara dan upaya pelestarian bahasa-bahasa etnik itu mungkin saja berbeda, tetapi cara-cara berikut ini mungkin bermanfaat untuk diperhatikan.
a. Pendidikan Formal
Pengajaran bahasa etnik melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah di daerah perlu terus dilaksanakan. Pengajaran itu tidak cukup hanya di SD, tetapi perlu ditingkatkan sampai di SMP. Di samping itu, Jurusan Sastra Daerah di beberapa perguruan tinggi negeri perlu didukung pemerintah dan semua lapisan masyarakat. Salah satu cara dukungannya adalah dengan memberikan bantuan beasiswa pada mahasiswanya dan kesempatan kerja pada alumninya sehingga minat masyarakat akan banyak untuk jurusan tersebut yang pada gilirannya bermanfaat untuk pelestarian bahasa etnik dan budaya etnik.
b. Pendidikan Informal
1. Pendidikan Bahasa Etnik di Rumah
Para orang tua di perantauan perlu mengajar anak-anak mereka berbahasa etnik di rumah sejak si anak mulai belajar berbicara. Si anak tidak perlu diajar bahasa Indonesia karena dia akan mendapatkannya di luar rumah. Anak-anak itulah penerus masa depan bahasa etnik. Cara ini dapat dilakukan oleh semua orang. Satu hal yang perlu diingat adalah semakin banyak bahasa diketahui si anak, maka semakin luas wawasan berpikirnya tentang fenomena alam, dan bukan sebaliknya bahwa penguasaan beberapa bahasa akan menghambat atau membatasi pikirannya tentang pengetahuan lain.
2. Pendidikan Bahasa Etnik lewat Lembaga Agama seperti Gereja
Khusus untuk bahasa-bahasa Batak dan Nias, sejak dahulu, gereja telah berperan untuk pendidikan dan penyebarluasan bahasa etnik. Akan tetapi, oleh karena keluhan para generasi muda di kota-kota yang tidak fasih berbahasa etnik, sekarang ini di antara dua kebaktian dewasa setiap hari Minggu, beberapa gereja telah mengadakan satu kali kebaktian dalam bahasa Indonesia dan satu kali dalam bahasa etnik. Ternyata, orang lebih banyak masuk pada kebaktian berbahasa Indonesia. Di samping itu, kebaktian Sekolah Minggu untuk anakanak di kota sejak dulu diadakan dalam bahasa Indonesia.
Oleh karena gereja sangat efektif untuk pelestarian bahasa etnik terutama bagi orang Batak dan Nias yang r beragama Kristen, semua kebaktian dewasa sebaiknya diadakan dalam bahasa etnik. Generasi muda lama-kelamaan akan memahaminya dan bila perlu diadakan kursus bahasa etnik kepada mereka yang tidak bisa memahaminya. Bahkan, kebaktian anak-anak (Sekolah Minggu) pun akan dapat diadakan dalam bahasa etnik pada masa mendatang jika anak-anak itu telah diajar bahasa etnik sejak kecil. Mungkin komunikasi semacam itu perlu dipertimbangkan dalam pada agama lain.
c. Penyebarluasan Bahasa Etnik
1. Penyebarluasan Bahasa Etnik melalui Lembaga/Upacara Adat
Lembaga Adat juga sangat penting untuk pelestarian bahasa etnik. Semua kegiatan lembaga dan upacara adat menggunakan bahasa etnik yang baik dan benar sebagai bahasa pengantarnya. Dengan demikian, lembaga ini cukup penting peranannya dalam pengembangan bahasa etnik yang baku.
2. Komunikasi dalam Bahasa Etnik
Perlu ada kesadaran semua penutur bahasa etnik untuk berkomunikasi dalam bahasa etnik sesama mereka sepanjang tidak mengganggu komunikasi dengan masyarakat dari suku lain. Dalam hal ini, perlu ditiru sikap orang Sunda dalam berbahasa Sunda. Jika sesama masyarakat Sunda bertemu, mereka berbahasa Sunda meskipun mereka dari kalangan sosial ekonomi/ berpendidikan tinggi.
3. Penyebarluasan melalui Tradisi Lisan
Tradisi lisan sangat berpotensi untuk mengembangkan bahasa etnik. Pengumpulan cerita-cerita rakyat dari suatu bahasa etnik untuk dibuat sebagai bahan bacaan anak-anak sangat penting untuk penyebarluasan bahasa etnik apalagi jika cerita-cerita rakyat itu dibukukan dalam dua bahasa: bahasa etnik dan bahasa Indonesia.
d. Penyusunan Buku Bahasa Etnik
Untuk pengembangan dan pelestarian bahasa etnik, perlu diadakan penyusunan tata bahasa, buku ajar, dan kamus bahasa etnik yang lengkap. Ketiga buku itu akan sangat bermanfaat sebagai bahan pelajaran untuk generasi muda. Penyusunan buku-buku itu akan sangat bermanfaat jika dilakukan dengan penelitian yang serius. Tampaknya, penyusunan kamus bahasa etnik lebih diminati masyarakat umum daripada penyusunan tata bahasa dan buku ajar untuk bahasa-bahasa etnik di Sumatera Utara. Sebagai contoh, bahasa Batak Toba saja sudah memiliki enam kamus: dua berbahasa asing sebagai bahasa sasarannya dan empat berbahasa Indonesia sebagai bahasa sasarannya.
Agar bermaanfaat untuk pengembangan kebudayaan etnik, pernulisan buku ajar itu dapat dibuat dalam sistem budaya terpadu sebagaimana yang pernah dijajaki oleh Dirjen Kebudayaan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Dikatakan bertema budaya terpadu karena semua materi buku ajar seperti itu mengandung unsur-unsur budaya seperti sejarah, kesenian, warisan budaya, adatistiadat, olah raga tradisional, permainan tradisional, dan aksara.
Penyusunan buku ajar untuk anak-anak yang lahir di kota perlu dilakukan karena situasi penutur bahasa etnik sekarang ini sudah mulai bergeser dibandingkan dengan keadaan dahulu. Dengan mengambil contoh bahasa Batak Toba (BBT), marilah kita lihat keadaan bahasa Batak Toba yang berhubungan dengan usaha pelestariannya. Ada dua hal yang perlu diperhatikan sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini.
Pertama, berdasarkan domisili penuturnya, ada tiga tipe penutur bahasa Batak Toba yang perlu dipertimbangkan sebagaimana terlihat berikut ini.
1. Penutur yang lahir dan tinggal di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir;
2. Penutur yang lahir di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir serta tinggal di luar Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir; dan
3. Penutur yang lahir dan tinggal di luar Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir.
Meskipun ada kemungkinan tipe keempat yakni penutur yang lahir di luar Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir serta tinggal di kedua kabupaten itu, hingga sekarang ini kemungkinan itu masih sangat langka karena pada kenyataannya masyarakat Batak Toba masih cenderung merantau ke kota dan masyarakat kota belum melihat peluang untuk tinggal di desa. Ketiga tipe penutur BBT di atas berpengaruh terhadap masa depan BBT. Penutur tipe pertama pada umumnya orang-orang tua karena generasi muda cenderung meninggalkan desa. Tipe pertama pada hakikatnya merupakan kelompok yang dapat melestarikan BBT terutama BBT yang dianggap baku. Akan tetapi, kelompok ini pun tampaknya kurang dapat diharapkan lagi pada masa mendatang karena generasi muda cenderung pergi ke kota dan kebanyakan orang-orang yang sudah tua yang tinggal di desa. Generasi muda yang berada di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir sudah sering menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa campuran karena mereka ada yang pegawai negeri di tempat itu dan ada juga yang pulang dari kota setelah beberapa lama merantau.
Tipe kedua adalah penutur BBT yang sebenarnya diharapkan untuk terus melestarikan BBT di perantauan. Mereka inilah penutur yang mungkin jumlahnya akan lebih banyak di masa mendatang sehingga sangat penting peranannya dalam pelestarian BBT. Mereka ini, misalnya, dapat melestarikan BBT dengan mewariskan atau mengajarkan BBT kepada anak-anak mereka yang lahir di perantauan. Namun, pada kenyataannya, ada beberapa masalah pada sebagian mereka karena mereka lebih senang berbahasa Indonesia daripada ber-BBT terutama mereka yang memiliki tingkat sosial ekonomi menengah ke atas dan Para mahasiswa. Bahkan, ada kecenderungan bahwa mereka malu berBBT. Dengan demikian, anak-anak mereka pun tidak dapat ber-BBT.
Tipe ketiga adalah masyarakat yang kurang menggembirakan dalam pelestarian BBT karena masyarakat ini pada umumnya bukan lagi pemakai BBT yang aktif, melainkan pemakai BBT yang pasif. Mereka dikategorikan pada pemakai bahasa yang pasif karena pada umumnya tidak dapat berkomunikasi secara aktif dalam BBT dan bahkan banyak di antara mereka yang sama sekali tidak mengerti BBT meskipun orang tuanya masih menggunakan BBT. Jika kondisi tipe ketiga ini terus berlangsung, dikhawatirkan bahwa BBT akan terancam karena jumlah masyarakat tipe ketiga ini akan semakin banyak dan anak-anak mereka ini pasti tidak akan dapat lagi ber-BBT. Dalam hal ini, perlu ada kesepakatan para orang tua di perantauan untuk mengajar anak-anak mereka ber-BBT. Pengajaran itu harus ditanamkan mulai dari rumah. Akan tetapi, jika terjadi perkawinan campuran, pengajaran seperti ini sulit dilakukan karena mereka tidak lagi ber-BBT. Meskipun begitu, orang tua yang kawin campuran masih ada kemungkinan untuk memperkenalkan satu atau kedua bahasa orang tua kepada anak-anak mereka.
Kedua, berdasarkan tingkat sosial ekonomi/pendidikan, masyarakat ekonomi/berpendidikan menengah ke atas cenderung lebih senang berbahasa Indonesia daripada ber-BBT meskipun mereka sama-sama berbahasa ibu BBT. Padahal, mereka ini seharusnya ber-BBT karena mereka inilah yang menjadi "panutan" atau dambaan masyarakat ekonomi/berpendidikan rendah.
Di samping itu, penerbitan buku-buku/majalah/surat kabar berbahasa etnik juga perlu dilakukan agar terdapat teks berbahasa etnik yang menjadi bahan bacaan masyarakat penutur bahasa etnik itu.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyinggung keberadaan aksara seperti aksara Batak. Kehidupa aksara Batak sekarang lebih parah daripada bahasa Batak (Toba) karena aksara Batak tidak lagi menjadi sarana komunikasi tulis masyarakat. Oleh karena itu, sangat perlu dilakukan usaha revitalisasi. LPPM USU telah melakukan usaha pelatihan aksara Batak di tiga kabupaten di Sumatera Utara sejak tahun 2007 lalu, yakni di Kabupaten Dairi, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Tapanuli Utara. Pelatihan itu dilakukan kepada guru-guru muda dan pegawai muda di tiga kabupaten itu.
4. Penutup
Kenyataan menunjukkan bahwa di satu sisi, perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita semakin meningkat, tetapi di sisi lain, masa depan bahasa etnik semakin terancam. Semua kita pasti sepakat bahwa kita menginginkan kedua-duanya berjalan beriring ke arah perkembangannya yang wajar dan hal itu tidak mustahil dapat terjadi. Kunci utama adalah mengangkat fungsi simbolik bahasa, yaitu menetapkan niat, rasa bangga, sikap bahasa, dan kesadaran kita semua untuk meningkatkan kedua-duanya. Kita harus menanamkan dalam diri kita terutama dalam diri generasi muda bahwa penguasaan bahasa etnik merupakan kebanggaan. Di samping pemerkaya bahasa Indonesia, bahasa etnik merupakan identitas bangsa. Janganlah kita menganggap bahwa "pemerkaya" itu berarti posisi subordinasi.
Peran para orang tua di kota sangat penting dalam pelestarian bahasa etnik. Jika orang tua (terutama orang tua yang menguasai satu bahasa etnik) menggunakan bahasa etnik ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya di rumah, si anak dengan sendirinya akan mendapat dasar pengetahuan bahasa etnik. Para orang tua perlu mengetahui bahwa semakin banyak si anak mengetahui bahasa, maka semakin luwas wawasan berpikirnya dan semakin mudah mengetahui bahasa-bahasa lain. Tidaklah sebaliknya bahwa semakin banyak bahasa dikuasai si anak, maka semakin terbatas kemampuannya untuk menguasai pengetahuan lain.
Penggunaan bahasa etnik di tempat umum oleh masyarakat penutur bahasa etnik tidak perlu dicurigai atau dianggap sebagai "kesalahan", tetapi bahkan harus dihargai sepanjang tidak menggangu orang lain. Kecurigaan itu tidak perlu. Di samping itu, penguatan bahasa etnik sebagai identitas etnik tidak perlu dikhawatirkan karena tidak akan mengganggu persatuan bangsa jika identitas etnik itu diterima dan dihargai sebagai kekayaan bangsa. Bahkan, jika identitas etnik sebagai kekayaan bangsa itu "ditutupi" atau dicoba untuk dihapuskan, maka akan mengganggu persatuan bangsa. Dengan demikian, kita perlu melakukan reorientasi atau kajian ulang terhadap fungsi dan kedudukan bahasa etnik yang dilakukan selama ini.
Oleh karena itu, untuk kita orang Indonesia, bahasa etnik, bahasa Indonesia, dan bahasa asing adalah tiga bahasa yang memiliki kedudukan dan peranan yang masing-masing penting dalam era globalisasi ini untuk meningkatkan kesejahteraan kita.. Dengan demikian, janganlah malu berbahasa etnik, pupuklah bahasa nasional, dan kuasailah bahasa asing!
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan 1997 "Pelestarian Bahasa Daerah dalam Rangka Pembinaan Bahasa Indonesia". Makalah dalam Seminar Nasional VII Bahasa dan Sastra Indonesia HPBI di Medan.
Dashefsky, Arnold (Ed.)1975 Ethnic Identity in Society. Chicago: College Publishing Company. De Jong, P.E. De Josselin dan Erik Schwimmer 1982 Symbolic Anthropology in The Nederlands. Leiden: The HagueMartinus Nijhoff.
Duranti, Alessandro (ed.) 1997 Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. 2001 Linguistic Anthropology. Massachusetts: Blackwell Publishers Echo, Umberto
_________________ 1979 A Theory of Semiotics. USA: Indian University Press.
Edwards, John 1985 Language, Society, and Identity. Oxford: Basil Blackwell. Foley, William A.
1997 Anthropological Linguistics: An Introduction. Massachusetts: Blackwell Publishers.
Hal im, Amran (ed.) 1984 Politik Bahasa Nasional. (Jilid I & 2). Jakarta: PN Balai Pustaka. Hutchinson, John and Anthony D. Smith (Ed.) 1996 Ethnicity. Oxford: Oxford University Press.
Nababan, P.W.J. 1981 A Grammar of Toba Batak. Australia: Pacific Linguistics D-37. Percival, W.K.
_____________1981 A Grammar of Urbanised Toba-Batak of Medan. Australia: Pacific Linguistics B-76.
Royce, Anya Peterson 1982 Ethnic Identity: Strategies of Deversity. Bloomington: Indiana University Press.
Schachter, Paul (ed.) 1984 Studies in The Structure of Toba Batak. Los Angeles: UCLA Occasional Papers in Linguistics
Sibarani, Robert 1992 Hakikat Bahasa. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
_____________1994 "The Types of Toba Batak Sentence". Makalah dalam International Conference on Austronesian Linguists. Leiden. 1997 Leksikografi. Medan: USU Press.
_________________________1997 Sintaksis Bahasa Batak Toba. Medan: USU Press.
_________________________2000 Kamus Teka-Teki. Medan: USU Press.
Sibarani, Robert (Peny.) 1998 Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak. (oleh Ul Kozok). Jakarta: Ecole francaise d'Extreme-Orient & Kepustakaat Populer Gramedia.
____________________2004 Antropolinguistik. Medan: Penerbit Poda
____________________2007 Linguistik Fungsional. Medan: LPPM USU
Simanjuntak, B.A. (ed.) 1986 Pemikiran tentang Batak. Medan: Pusat Dokumentasi dal Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nomensen.
Tuuk, H.N. van der 1861 Bataksch-Nederduitsch Woordenbook. Amsterdam: Neder landsch Bijbelgenootschap.
________________1971 A Grammar of Toba Batak. (Diterjemahkan oleh Miss Jeune Scott Kemball dari judul aslinya Tobasche Spraakunst (1864)) Nederland: The Hague-Martinus Nijhoff.
Voorhoeve, P.1955 Critical Survey of Studies on the Languages of Sumatra. Netherland: S-Gravenhage-Martinus Nijhoff
Warneck, Joh.1997 Toba-Batak-Deutsches Worterbuch. Den Haag: Martinus Nijhoff.
Makalah ini disampaikan pada Kongres Kebudayaan Indonesia 2008 pada tanggal 10-12 Desember di Bogor.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/99/528/pelestarian-bahasa-dan-aksara-sebagai-jati-diri-dalam-meningkatkan-kesejahteraan-masyarakat
1. Pengantar
Mengawali tulisan ini, perlu diperhatikan dua fungsi bahasa, yaitu fungsi komunikatif dan fungsi simbolik (Edwards, 1985:17). Secara antropologi linguistic, fungsi komunikatif sebuah bahasa sebagai alat komunikasi, sedangkan fungsi simbolik menyangkut fungsi bahasa sebagai lambing kelompok, sebagai symbol, bahkan sebagai wahana berkumpul. Kita tahu bahwa bahasa menjadi sangat penting dalam sentiment etnik dan sentimen nasional karena daya simbolismenya yang sangat kuat ddan jelas disampaing karena aspek komunikatifnya, yang pada umumnya didambakan oleh kelompok-kelompok minoritas. Ada pula gerakan-gerakan kelompok yang secara sadar sendiri ingin memahami kekuatan bahasa yang melewati fungsi komunikatif bahasa itu. Bagi masyarakat tutur yang bahasanya juga sebagai bahasa nenek moyangnya, fungsi simbolik bahasa pada umumnya terikat degan fungsi komunikatifnya.
Kedua komunikasi bahasa itu harus ditumbuhkembangkan dalam usaha melestarikan bahasa etnik di Indonesia. Sebagai symbol, bahasa etnik dan bahasa Indonesia harus menjadi kebanggaan masyarakatnya dan sebagai alat komunikasi, bahasa etnik dan bahasa Indonesia harus menjadi bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat penuturnya. Dengan kata lain, bahasa etnik dan bahasa Indonesia tidak hanya diarahkan sebagai symbol kebanggaan etnik dan kebanggaan nasional, tetapi baik bahasa etnik maupun bahasa Indonesia harus mampu digunakan sebagai alat komunikasi pemiliknya.
Sebagaimana diketahui bersama, sebelum dikukuhkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang berasal dari bahasa Melayu Riau, semua etnik di nusantara ini menggunakan bahasa etnik sebagai alat komunikasi sehari-hari dan sebagai media tradisi termasuk tradisi lisan. Itulah sebabnya sampai sekarang tradisi lisan yang kita kenal itu menggunakan bahasa etnik sebagai media penyimpan dan media penyampainya. Pelestarian dan pemertahanan bahasa etnik sangat menentukan kehidupan tradisi lisan.
Namun, pada kenyataannya, kelestarian dan mempertahankan bahasa etnik tampaknya semakin menghawatirkan karena adanya sikap bahasa masyarakat kita yang berat sebelah. Padahal, kedudukan setiap bahasa sama atau sederajat berdasarkan sudut pandang linguistik. Tidak ada bahasa yang disebut primitif. Betapapun miskinnya kehidupan suatu masyarakat, mereka tetap kaya akan bahasa sebagai alat komunikasi; bagaimanapun rendahnya system pengetahuan suatu masyarakat, mereka pasti memiliki system komunikasi simbolis yang memadai; bertapapun primitifnya suatu masyarakat jika ditinjau dari sudut pandang lain, mereka memiliki bahasa yang berkembang; betapapun sedikitnya jumlah penutur suatu bahasa, mereka pasti memiliki kata-kata yang cukup untuk mengungkapkan konsep pemikiran mereka. Peranan bahsa sangat penting dalam kebudayaan suatu msyarakat dapat membuktikan bahwa bahasa mereka akn selalu berkembang. Bahasa yang mereka pergunakan mempunyai prbendaharaan kata dan gramatika yang memadai, yang tidak rendah dari pebendaharaan kata dan gramatika bahasa lain. Dengan demikian, meskipun bahasa etnik tertentu memiliki masyarakat penutur yang lebih sediit daripada penutur bahasa inggris dn bahsa Indonesia, yakni sama-sama berfungsi sebagai alat komunikasi masyarakat penuturnya. Bahasa-bahasa itu memiliki tingkat kepadaan perbendharaan kata dan gramatika yag sama untuk mengungkapkan konsep pemikiran penuturnya.
Sebagai alat komunikasi, setiap bahasa digunakan untuk menyampaikan pesan atau amanat dari penyapa (pengirim) kepada pesapa (penerima). Komunikasi melalui bahasa dapat dikatakan berhasil apabila amanat atau pesan yang disampaikan penyapa dapat diterima pesapa seperti apa yang dimaksudkan penyapa. Intraksi masyarakat yang sangat beragam, system kumunikasi yang luas, perkembangan teknologi yang canggih, dan kebijakan pemerintah menyebabkan bahasa etnik kadang-kadang tidak lagi digunakan untuk mengungkapka konsep pikiran dan budaya etnik itu secara bebas, tetapi telah digantikan oleh bahasa Indonesia. Seolah-olah ada perintah tidak untuk bahasa etnik di depan umum meskipun peserta komunikasi itu berasal dan fasih bahasa etnik. Bahkan, yang lebih menyedihkan, ada sementara orang yang merasa “malu” berbahasa etnik jika didegar orag dari etnik lain. Sebaliknya, ada orang yang merasa tidak enak/senang jika dia mendengar orang berbahasa etnik. Ini menyiratkan bahwa bahasa etnik telah terdesak oleh penggunaan bahasa Indonesia, yang harus diakui berkembang pesat penggunaannya di seluruh Indonesia.
Jika ditinjau persentase saling pengaruh antara keduanya, pengaruh bahasa Indonesia ke dalam bahasa etnik lebih besar daripada pengaruh bahasa etnik ke dalam bahasa Indonesia terutama di dalam pegembangan kosakata. Bahkan kadang-kadang kata-kata dalam basa Indonesia lebih sering muncul ketika berkomunikasi secara resmi meskipun terdapat padanan kata-kata itu dalam bahasa etnik.
2. Situasi Kebahasaan di Indonesia
Ada tiga situasi bahasa yang mesti mendapat perhatian di Indonesia, yakni bahasa etnik, bahasa nasional, dan bahasa asing. Bahasa etnik dapat digunakan untuk sarana komunikasi antar individu dalam suatu etnik, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dapat digunakan untuk sarana komunikasi antar etnik, dan bahasa asing seperti bahasa Inggris dapat digunakan sebagai sarana komunikasi antarbangsa. Di samping sarana komunikasi, bahasa etnik sangat penting terutama dalam pelestarian kebudayaan dan pengetahuan etnik, bahasa nasional sangat penting terutama dalam persatuan bangsa dan penyebarluasan pengetahuan, dan bahasa asing sagat penting terutama dalam penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dari dunia yang berbahasa asing. Dengan demikian, yakni masyarakat yang sedikitnya masyarakat Indonesia seharusnya dituntut sebagai masyarakat yag multilingual, yakni masyarakat yang sedikitnya menguasai satu bahasa etnik, bahasa nasional, dan bahasa asing. Jika dilihat dari hasil sensus tahun 1990, 107.066.316 orang (67,07%) penduduk Indonesia tergolong masyarakat bilingual (dapat berbahasa Indonesia di samping menguasai salah satu bahasa etnik); 23.802.520 orang (15,07%) penduduk Indonesia tergolong masyarakat monolingual berbahasa Indonesia dan 27.055.488orang (17,13 %) penduduk Indonesia tergolong masyarakat monolingual berbahasa etnik.
Sudah pasti, hanya sebagian kecil penduduk Indonesia yang menguasai bahasa asing di samping menguasai bahasa etnik dan bahasa nasional (Indonesia). Jika data itu masih bisa di percaya, itu berarti bahwa terdapat 84,93 % masyarakat Indonesia yang tidak dapat berbahasa delapan belas tahun (18) lalu meskipun persentase itu pasti sudah semakin berkurang.
Jika penanganan kebahasaan di Indonesia berjalan seperti sekarang ini dalam waktu cukup lama, tampaknya situasi kebahasaan kita pada waktu mendatang akan mengarah kepada masyarakat monolingual berbahasa Indonesia dan masyarakat bilingual berbahasa Indonesia dan berbahasa asing. Kalaupun terdapat masyarakat multingual, masyarakat itu meguasai bahasa Indonesia dan beberapa bahasa asing. Itu berarti bahwa masa depan bahasa etnik akan terancam.
Ada beberapa faktor penyebabnya terutama terutama situasi kebahasaan si Sumatra Utara. Pertama, generasi muda memiliki kecendrungan pergi ke kota atau merantau ke tempat lain. Oleh akrena situasi dan tuntutan interaksi masyarakat di kota, mereka cendrung berbahasa Indonesia. Anak-anak mereka pun kemudian akan menjadi penutur bahasa Indonesia dan tidak dapat lagi menguasai bahasa etnik. Penghuni etnik asal adalah orang-orang tua yang disebabkan keterbatasan usianya tidak mungkin meneruskan pelestarian bahasa etniknya. Kedua, masyarakay ekonomi/berpendidikn menengah keatas cendrung lebih senang berbahasa Indonesia daripada berbahasa etnik meskipun mereka sama-sama berbahasa ibu yang sama. Ada beberapa factor yang menyebabkan mereka cendrung berbahasa Indonesia. Pertama, mereka sudah terbiasa dalam pergaulan dengan masyarakat dari etnik lain sehingga terbawa-bawa dan lebih terlatih dalam komunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini dialami seseorang ketika diminta berbicara dalam bahasa etnik pada acara umum: meskipun dia penutur bahasa etnik tertentu, dia lebih fasih berbahasa secara remi dalam bahasa Indonesia. Kedua, mereka malu berbahasa etnik. Hal ini mungkin yang lebih “berbahaya” dalam pelestarian bahasa etnik. Hal ini di alami terutama oleh generasi muda atau mahasiswa di kota-kota. Mereka malu berbahasa etnik kalau didengar masyarakat dari suku lain sehingga mereka kadang-kadang berbicara sangat pelan supaya tidak di dengar orang di sekeliling mereka. Kondisi ini pun akan merugikan dalam pelestarian bahasa etnik jika hal it uterus berlangsung. Sebaiknya, kita perlu tahu bahwa tindakan salah jika kita berbahasa etnik sepanjang peserta komunikasi yang terlibat itu mengerti bahasa etnik itu atau orang di sekeliling yang berbicara itu tidak terlibat dalam komunikasi itu. Bila perlu, peserta komunikasi itu dapat menerjemahkan kepada orang yang tidak mengerti bahasa etnik itu. Bahasa etnik adalah kekayaan bangsa yang perlu dilestarikan dan pelestarian bahasa etnik secara efektif hayalah dengan memakai sebagai alat komunikasi. Secara sosiolinguistik dan secara antropolinguistik, situasi komunikasi seperti itu sangat dimungkinkan.
Sebenarnya, pemerintah telah menetapkan landasan hak hidup dan pelestarian bahasa etnik dalam beberapa momen penting. Pertama, rumusan butir ke tiga Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tidaklah mengabaikan bahasa-bahasa etnik, tetapi hanya mengatakan bahwa suku-suku bangsa Indonesia perlu menjunjung suatu bahasa persatuan, bahasa Indonesia tanpa menghilangkan bahasa etnik. Kedua, penjelasan Pasal 36 UUD 1945 dengan jelas menyiratkan bahwa bahasa-bahasa etnik tetap digunakan oleh penuturnya dan dipelihara oleh Negara.
Harus diakui juga bahwa selama ini telah banyak dilakukan penelitian tentang bahasa-bahasa etnik di Indonesia terutama oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, tetapi penelitian itu hanya difokuskan pada peginventarisasian dan pendeskripsian bahasa-bahasa etnik itu tanpa memperhitungkan masyarakat penutur dan masa depan bahasa-bahasa etnik itu. Padahal, kalaupun semua bahasa-bahasa etnik itu diinventarisasi dan dideskripsikan, hal itu kurang berarti tanpa mengikutsertakan masyarakat penutur bahasa-bahasa etnik itu. Kecenderungan yang terjadi sekarang adalah kurangnya penutur bahasa etnik dan lunturnya penghargaan dan sikap bahasa masyarakat terhadap bahasa etnik. Pada masa mendatang, mungkin perlu kajian ulang terhadap penelitian bahasa-bahasa etnik, yakni lebih memfokuskan pada usaha peningkatan pemakaian bahasa etnik dan peningkatan sikap masyarakat terhadap bahasa etnik.
Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional sangat luar biasa karena dalam waktu 80 tahun setelah Sumpah Pemuda dikumandankangkan, bahasa Indonesia telah menjadi milik dan dipergunakan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia sampai ke pelosok desa. Bahasa Indonesia pun telah mampu sebagai media ilmu pengetahuan seperti dalam buku-buku dan jurnal, sebagai sarana pendidikan mulai tingkat TK sampai PT, dan sebagai sarana komunikasi pada pertemuan-pertemuan resmi. Dengan peran bahasa Indonesia yang besar dan penting seperti itu, penggunaan bahasa Indonesia akan terus dapat berkembang secara al am iah.
Situasi penguasaan bahasa Inggris mayoritas masyarakat kita juga kurang menggembicarakan jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Padahal, bahasa Inggris diajarkan mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi di Indonesia. Bahkan, di beberapa lembaga prasekolah di Indonesia diajarkan bahasa Inggris.
Dengan situasi seperti itu, bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi akan terus berkembang tanpa perhatian yang khusus, tetapi bahasa etnik akan punah secara pelan-pelan tanpa usaha pelestarian, dan bahasa asing tidak akan terkuasai tanpa usaha pembelajaran yang serius.
Berbicara mengenai bahasa etnik yang semakin mengkhawatirkan sekarang ini membuat para penutur atau pemiliknya juga khawatir atau tidak sejahtera secara batin; ada kekhawatiran terhadap kehilangan milik budayanya. Di samping itu, kekurangpenguasaan bahasa Inggris membuat siswa, mahasiswa, guru, dosen, dan profesional lainnya kurang mampu berkompetisi secara internasional dan sulit mengembangkan dirinya karena peran bahasa Inggris yang sangat besar sekarang ini.
3. Upaya Pelestarian
Kedudukan bahasa etnik dalam kehidupan nasional kita sudah sering dibicarakan. Kedudukan bahasa etnik itu sudah pasti sebagai dasar kebudayaan etnik yang pada gilirannya merupakan unsur penyumbang dan pemerkaya kebudayaan nasional kita. Pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa etnik sangat penting karena di samping pemerkaya kebudayaan nasional, nilai-nilai kebudayaan tradisional terkandung di dalam bahasa-bahasa etnik. Konsep nilai kebudayaan tradisional hanya dapat dimengerti melalui ungkapan bahasa etnik masyarakatnya. Dengan demikian, bahasa-bahasa etnik harus tetap dipelihara agar tetap mampu menjadi ungkapan budaya masyarakatnya yang mendukung kebinekaan budaya bangsa. Bahkan, bahasa etnik itu merupakan salah satu bagian dari kebudayaan nasional.
Sejak dulu, bahasa etnik telah dinyatakan sebagai pemerkaya bahasa nasional kita. Salah satu realisasi kedudukan bahasa etnik itu dalam pembinaan bahasa Indonesia ialah patokan yang diambil dalam usaha pembentukan istilah baru. Sebelum mencari-cari ke luar Indonesia, ke dalam bahasa asing, maka istilah-istilah baru harus digali dari khazanah bahasa-bahasa etnik. Akan tetapi, fungsi ini tidak berarti bahwa bahasa etnik subordinatif terhadap bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia pun juga sebagai pemerkaya bahasa etnik sebagaimana yang disinggung di atas. Dengan demikian, perlu kajian ulang terhadap istilah bahasa etnik sebagai pemerkaya bahasa Indonesia karena pada kenyataannya, bahasa Indonesia lebih banyak memperkaya bahasa etnik (tertentu) daripada sebaliknya.
Di samping itu, bahasa etnik merupakan identitas atau jati diri etnik yang tidak perlu kita khawatirkan. Meskipun identitas etnik kuat, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tidak akan luntur jika kita menerima dan mengakui identitas etnik itu sebagai kekayaan bangsa. Sikap dan penghargaan terhadap bahasa etnik itu perlu dikembangkan.
Oleh karena pentingnya bahasa-bahasa etnik itu dalam kehidupan nasional kita, maka kita perlu melestarikan bahasa-bahasa etnik di Nusantara ini. Cara-cara dan upaya pelestarian bahasa-bahasa etnik itu mungkin saja berbeda, tetapi cara-cara berikut ini mungkin bermanfaat untuk diperhatikan.
a. Pendidikan Formal
Pengajaran bahasa etnik melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah di daerah perlu terus dilaksanakan. Pengajaran itu tidak cukup hanya di SD, tetapi perlu ditingkatkan sampai di SMP. Di samping itu, Jurusan Sastra Daerah di beberapa perguruan tinggi negeri perlu didukung pemerintah dan semua lapisan masyarakat. Salah satu cara dukungannya adalah dengan memberikan bantuan beasiswa pada mahasiswanya dan kesempatan kerja pada alumninya sehingga minat masyarakat akan banyak untuk jurusan tersebut yang pada gilirannya bermanfaat untuk pelestarian bahasa etnik dan budaya etnik.
b. Pendidikan Informal
1. Pendidikan Bahasa Etnik di Rumah
Para orang tua di perantauan perlu mengajar anak-anak mereka berbahasa etnik di rumah sejak si anak mulai belajar berbicara. Si anak tidak perlu diajar bahasa Indonesia karena dia akan mendapatkannya di luar rumah. Anak-anak itulah penerus masa depan bahasa etnik. Cara ini dapat dilakukan oleh semua orang. Satu hal yang perlu diingat adalah semakin banyak bahasa diketahui si anak, maka semakin luas wawasan berpikirnya tentang fenomena alam, dan bukan sebaliknya bahwa penguasaan beberapa bahasa akan menghambat atau membatasi pikirannya tentang pengetahuan lain.
2. Pendidikan Bahasa Etnik lewat Lembaga Agama seperti Gereja
Khusus untuk bahasa-bahasa Batak dan Nias, sejak dahulu, gereja telah berperan untuk pendidikan dan penyebarluasan bahasa etnik. Akan tetapi, oleh karena keluhan para generasi muda di kota-kota yang tidak fasih berbahasa etnik, sekarang ini di antara dua kebaktian dewasa setiap hari Minggu, beberapa gereja telah mengadakan satu kali kebaktian dalam bahasa Indonesia dan satu kali dalam bahasa etnik. Ternyata, orang lebih banyak masuk pada kebaktian berbahasa Indonesia. Di samping itu, kebaktian Sekolah Minggu untuk anakanak di kota sejak dulu diadakan dalam bahasa Indonesia.
Oleh karena gereja sangat efektif untuk pelestarian bahasa etnik terutama bagi orang Batak dan Nias yang r beragama Kristen, semua kebaktian dewasa sebaiknya diadakan dalam bahasa etnik. Generasi muda lama-kelamaan akan memahaminya dan bila perlu diadakan kursus bahasa etnik kepada mereka yang tidak bisa memahaminya. Bahkan, kebaktian anak-anak (Sekolah Minggu) pun akan dapat diadakan dalam bahasa etnik pada masa mendatang jika anak-anak itu telah diajar bahasa etnik sejak kecil. Mungkin komunikasi semacam itu perlu dipertimbangkan dalam pada agama lain.
c. Penyebarluasan Bahasa Etnik
1. Penyebarluasan Bahasa Etnik melalui Lembaga/Upacara Adat
Lembaga Adat juga sangat penting untuk pelestarian bahasa etnik. Semua kegiatan lembaga dan upacara adat menggunakan bahasa etnik yang baik dan benar sebagai bahasa pengantarnya. Dengan demikian, lembaga ini cukup penting peranannya dalam pengembangan bahasa etnik yang baku.
2. Komunikasi dalam Bahasa Etnik
Perlu ada kesadaran semua penutur bahasa etnik untuk berkomunikasi dalam bahasa etnik sesama mereka sepanjang tidak mengganggu komunikasi dengan masyarakat dari suku lain. Dalam hal ini, perlu ditiru sikap orang Sunda dalam berbahasa Sunda. Jika sesama masyarakat Sunda bertemu, mereka berbahasa Sunda meskipun mereka dari kalangan sosial ekonomi/ berpendidikan tinggi.
3. Penyebarluasan melalui Tradisi Lisan
Tradisi lisan sangat berpotensi untuk mengembangkan bahasa etnik. Pengumpulan cerita-cerita rakyat dari suatu bahasa etnik untuk dibuat sebagai bahan bacaan anak-anak sangat penting untuk penyebarluasan bahasa etnik apalagi jika cerita-cerita rakyat itu dibukukan dalam dua bahasa: bahasa etnik dan bahasa Indonesia.
d. Penyusunan Buku Bahasa Etnik
Untuk pengembangan dan pelestarian bahasa etnik, perlu diadakan penyusunan tata bahasa, buku ajar, dan kamus bahasa etnik yang lengkap. Ketiga buku itu akan sangat bermanfaat sebagai bahan pelajaran untuk generasi muda. Penyusunan buku-buku itu akan sangat bermanfaat jika dilakukan dengan penelitian yang serius. Tampaknya, penyusunan kamus bahasa etnik lebih diminati masyarakat umum daripada penyusunan tata bahasa dan buku ajar untuk bahasa-bahasa etnik di Sumatera Utara. Sebagai contoh, bahasa Batak Toba saja sudah memiliki enam kamus: dua berbahasa asing sebagai bahasa sasarannya dan empat berbahasa Indonesia sebagai bahasa sasarannya.
Agar bermaanfaat untuk pengembangan kebudayaan etnik, pernulisan buku ajar itu dapat dibuat dalam sistem budaya terpadu sebagaimana yang pernah dijajaki oleh Dirjen Kebudayaan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Dikatakan bertema budaya terpadu karena semua materi buku ajar seperti itu mengandung unsur-unsur budaya seperti sejarah, kesenian, warisan budaya, adatistiadat, olah raga tradisional, permainan tradisional, dan aksara.
Penyusunan buku ajar untuk anak-anak yang lahir di kota perlu dilakukan karena situasi penutur bahasa etnik sekarang ini sudah mulai bergeser dibandingkan dengan keadaan dahulu. Dengan mengambil contoh bahasa Batak Toba (BBT), marilah kita lihat keadaan bahasa Batak Toba yang berhubungan dengan usaha pelestariannya. Ada dua hal yang perlu diperhatikan sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini.
Pertama, berdasarkan domisili penuturnya, ada tiga tipe penutur bahasa Batak Toba yang perlu dipertimbangkan sebagaimana terlihat berikut ini.
1. Penutur yang lahir dan tinggal di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir;
2. Penutur yang lahir di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir serta tinggal di luar Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir; dan
3. Penutur yang lahir dan tinggal di luar Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir.
Meskipun ada kemungkinan tipe keempat yakni penutur yang lahir di luar Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir serta tinggal di kedua kabupaten itu, hingga sekarang ini kemungkinan itu masih sangat langka karena pada kenyataannya masyarakat Batak Toba masih cenderung merantau ke kota dan masyarakat kota belum melihat peluang untuk tinggal di desa. Ketiga tipe penutur BBT di atas berpengaruh terhadap masa depan BBT. Penutur tipe pertama pada umumnya orang-orang tua karena generasi muda cenderung meninggalkan desa. Tipe pertama pada hakikatnya merupakan kelompok yang dapat melestarikan BBT terutama BBT yang dianggap baku. Akan tetapi, kelompok ini pun tampaknya kurang dapat diharapkan lagi pada masa mendatang karena generasi muda cenderung pergi ke kota dan kebanyakan orang-orang yang sudah tua yang tinggal di desa. Generasi muda yang berada di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir sudah sering menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa campuran karena mereka ada yang pegawai negeri di tempat itu dan ada juga yang pulang dari kota setelah beberapa lama merantau.
Tipe kedua adalah penutur BBT yang sebenarnya diharapkan untuk terus melestarikan BBT di perantauan. Mereka inilah penutur yang mungkin jumlahnya akan lebih banyak di masa mendatang sehingga sangat penting peranannya dalam pelestarian BBT. Mereka ini, misalnya, dapat melestarikan BBT dengan mewariskan atau mengajarkan BBT kepada anak-anak mereka yang lahir di perantauan. Namun, pada kenyataannya, ada beberapa masalah pada sebagian mereka karena mereka lebih senang berbahasa Indonesia daripada ber-BBT terutama mereka yang memiliki tingkat sosial ekonomi menengah ke atas dan Para mahasiswa. Bahkan, ada kecenderungan bahwa mereka malu berBBT. Dengan demikian, anak-anak mereka pun tidak dapat ber-BBT.
Tipe ketiga adalah masyarakat yang kurang menggembirakan dalam pelestarian BBT karena masyarakat ini pada umumnya bukan lagi pemakai BBT yang aktif, melainkan pemakai BBT yang pasif. Mereka dikategorikan pada pemakai bahasa yang pasif karena pada umumnya tidak dapat berkomunikasi secara aktif dalam BBT dan bahkan banyak di antara mereka yang sama sekali tidak mengerti BBT meskipun orang tuanya masih menggunakan BBT. Jika kondisi tipe ketiga ini terus berlangsung, dikhawatirkan bahwa BBT akan terancam karena jumlah masyarakat tipe ketiga ini akan semakin banyak dan anak-anak mereka ini pasti tidak akan dapat lagi ber-BBT. Dalam hal ini, perlu ada kesepakatan para orang tua di perantauan untuk mengajar anak-anak mereka ber-BBT. Pengajaran itu harus ditanamkan mulai dari rumah. Akan tetapi, jika terjadi perkawinan campuran, pengajaran seperti ini sulit dilakukan karena mereka tidak lagi ber-BBT. Meskipun begitu, orang tua yang kawin campuran masih ada kemungkinan untuk memperkenalkan satu atau kedua bahasa orang tua kepada anak-anak mereka.
Kedua, berdasarkan tingkat sosial ekonomi/pendidikan, masyarakat ekonomi/berpendidikan menengah ke atas cenderung lebih senang berbahasa Indonesia daripada ber-BBT meskipun mereka sama-sama berbahasa ibu BBT. Padahal, mereka ini seharusnya ber-BBT karena mereka inilah yang menjadi "panutan" atau dambaan masyarakat ekonomi/berpendidikan rendah.
Di samping itu, penerbitan buku-buku/majalah/surat kabar berbahasa etnik juga perlu dilakukan agar terdapat teks berbahasa etnik yang menjadi bahan bacaan masyarakat penutur bahasa etnik itu.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyinggung keberadaan aksara seperti aksara Batak. Kehidupa aksara Batak sekarang lebih parah daripada bahasa Batak (Toba) karena aksara Batak tidak lagi menjadi sarana komunikasi tulis masyarakat. Oleh karena itu, sangat perlu dilakukan usaha revitalisasi. LPPM USU telah melakukan usaha pelatihan aksara Batak di tiga kabupaten di Sumatera Utara sejak tahun 2007 lalu, yakni di Kabupaten Dairi, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Tapanuli Utara. Pelatihan itu dilakukan kepada guru-guru muda dan pegawai muda di tiga kabupaten itu.
4. Penutup
Kenyataan menunjukkan bahwa di satu sisi, perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita semakin meningkat, tetapi di sisi lain, masa depan bahasa etnik semakin terancam. Semua kita pasti sepakat bahwa kita menginginkan kedua-duanya berjalan beriring ke arah perkembangannya yang wajar dan hal itu tidak mustahil dapat terjadi. Kunci utama adalah mengangkat fungsi simbolik bahasa, yaitu menetapkan niat, rasa bangga, sikap bahasa, dan kesadaran kita semua untuk meningkatkan kedua-duanya. Kita harus menanamkan dalam diri kita terutama dalam diri generasi muda bahwa penguasaan bahasa etnik merupakan kebanggaan. Di samping pemerkaya bahasa Indonesia, bahasa etnik merupakan identitas bangsa. Janganlah kita menganggap bahwa "pemerkaya" itu berarti posisi subordinasi.
Peran para orang tua di kota sangat penting dalam pelestarian bahasa etnik. Jika orang tua (terutama orang tua yang menguasai satu bahasa etnik) menggunakan bahasa etnik ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya di rumah, si anak dengan sendirinya akan mendapat dasar pengetahuan bahasa etnik. Para orang tua perlu mengetahui bahwa semakin banyak si anak mengetahui bahasa, maka semakin luwas wawasan berpikirnya dan semakin mudah mengetahui bahasa-bahasa lain. Tidaklah sebaliknya bahwa semakin banyak bahasa dikuasai si anak, maka semakin terbatas kemampuannya untuk menguasai pengetahuan lain.
Penggunaan bahasa etnik di tempat umum oleh masyarakat penutur bahasa etnik tidak perlu dicurigai atau dianggap sebagai "kesalahan", tetapi bahkan harus dihargai sepanjang tidak menggangu orang lain. Kecurigaan itu tidak perlu. Di samping itu, penguatan bahasa etnik sebagai identitas etnik tidak perlu dikhawatirkan karena tidak akan mengganggu persatuan bangsa jika identitas etnik itu diterima dan dihargai sebagai kekayaan bangsa. Bahkan, jika identitas etnik sebagai kekayaan bangsa itu "ditutupi" atau dicoba untuk dihapuskan, maka akan mengganggu persatuan bangsa. Dengan demikian, kita perlu melakukan reorientasi atau kajian ulang terhadap fungsi dan kedudukan bahasa etnik yang dilakukan selama ini.
Oleh karena itu, untuk kita orang Indonesia, bahasa etnik, bahasa Indonesia, dan bahasa asing adalah tiga bahasa yang memiliki kedudukan dan peranan yang masing-masing penting dalam era globalisasi ini untuk meningkatkan kesejahteraan kita.. Dengan demikian, janganlah malu berbahasa etnik, pupuklah bahasa nasional, dan kuasailah bahasa asing!
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan 1997 "Pelestarian Bahasa Daerah dalam Rangka Pembinaan Bahasa Indonesia". Makalah dalam Seminar Nasional VII Bahasa dan Sastra Indonesia HPBI di Medan.
Dashefsky, Arnold (Ed.)1975 Ethnic Identity in Society. Chicago: College Publishing Company. De Jong, P.E. De Josselin dan Erik Schwimmer 1982 Symbolic Anthropology in The Nederlands. Leiden: The HagueMartinus Nijhoff.
Duranti, Alessandro (ed.) 1997 Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. 2001 Linguistic Anthropology. Massachusetts: Blackwell Publishers Echo, Umberto
_________________ 1979 A Theory of Semiotics. USA: Indian University Press.
Edwards, John 1985 Language, Society, and Identity. Oxford: Basil Blackwell. Foley, William A.
1997 Anthropological Linguistics: An Introduction. Massachusetts: Blackwell Publishers.
Hal im, Amran (ed.) 1984 Politik Bahasa Nasional. (Jilid I & 2). Jakarta: PN Balai Pustaka. Hutchinson, John and Anthony D. Smith (Ed.) 1996 Ethnicity. Oxford: Oxford University Press.
Nababan, P.W.J. 1981 A Grammar of Toba Batak. Australia: Pacific Linguistics D-37. Percival, W.K.
_____________1981 A Grammar of Urbanised Toba-Batak of Medan. Australia: Pacific Linguistics B-76.
Royce, Anya Peterson 1982 Ethnic Identity: Strategies of Deversity. Bloomington: Indiana University Press.
Schachter, Paul (ed.) 1984 Studies in The Structure of Toba Batak. Los Angeles: UCLA Occasional Papers in Linguistics
Sibarani, Robert 1992 Hakikat Bahasa. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
_____________1994 "The Types of Toba Batak Sentence". Makalah dalam International Conference on Austronesian Linguists. Leiden. 1997 Leksikografi. Medan: USU Press.
_________________________1997 Sintaksis Bahasa Batak Toba. Medan: USU Press.
_________________________2000 Kamus Teka-Teki. Medan: USU Press.
Sibarani, Robert (Peny.) 1998 Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak. (oleh Ul Kozok). Jakarta: Ecole francaise d'Extreme-Orient & Kepustakaat Populer Gramedia.
____________________2004 Antropolinguistik. Medan: Penerbit Poda
____________________2007 Linguistik Fungsional. Medan: LPPM USU
Simanjuntak, B.A. (ed.) 1986 Pemikiran tentang Batak. Medan: Pusat Dokumentasi dal Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nomensen.
Tuuk, H.N. van der 1861 Bataksch-Nederduitsch Woordenbook. Amsterdam: Neder landsch Bijbelgenootschap.
________________1971 A Grammar of Toba Batak. (Diterjemahkan oleh Miss Jeune Scott Kemball dari judul aslinya Tobasche Spraakunst (1864)) Nederland: The Hague-Martinus Nijhoff.
Voorhoeve, P.1955 Critical Survey of Studies on the Languages of Sumatra. Netherland: S-Gravenhage-Martinus Nijhoff
Warneck, Joh.1997 Toba-Batak-Deutsches Worterbuch. Den Haag: Martinus Nijhoff.
Makalah ini disampaikan pada Kongres Kebudayaan Indonesia 2008 pada tanggal 10-12 Desember di Bogor.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/99/528/pelestarian-bahasa-dan-aksara-sebagai-jati-diri-dalam-meningkatkan-kesejahteraan-masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar