Oleh : Yurnaldi
Mengunjungi situs Muaro Jambi di Desa Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, berselang 18 tahun, tidak begitu terlihat perubahan berarti.
Pengamatan kasatmata tahun 1991 dan kemudian membandingkannya dengan situasi dan kondisi pada minggu kedua Maret 2009, kesannya tetap sepi. Sepi dari aktivitas keilmuan (arkeologi), pengembangan, dan sepi pengunjung.
Bayangkan, di situs Muaro Jambi yang luasnya sekitar 12 kilometer persegi—dan menjadi situs terbesar di Nusantara, lebih luas dari situs Trowulan yang menjadi pusat Kerajaan Majapahit—dilaporkan terdapat lebih dari 80 candi dan menapo/gundukan peninggalan Kerajaan Malayu. Namun yang telah diokupasi dan dipugar baru sekitar 10 persen. Untung saja, masyarakat yang bermukim di kawasan situs sangat peduli pada benda cagar budaya sehingga kerusakan situs hampir tak terjadi.
Padahal, candi-candi yang belum dikupas (diokupasi) berada di tanah milik warga. Lahan-lahan di situs Muaro Jambi itu dipenuhi pohon duku dan durian, yang berusia puluhan tahun, dan selama ini menjadi sumber ekonomi masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi dan Provinsi Jambi perlu juga dari sekarang memikirkan pemberdayaan masyarakat dan mengalihkan sumber ekonomi masyarakat di kawasan situs Muaro Jambi sekiranya tanah mereka kelak dibebaskan untuk keperluan ekskavasi.
Baru sebagian kecil
Menurut data, luas tanah yang dibebaskan baru sebagian kecil, yakni kompleks Candi Astano 100 x 200 meter, Candi Tinggi 125 x 200 m, dan Candi Gumpung 150 x 150 m, serta Candi Kembar Batu 80 x 80 m.
Tanah tempat berdirinya Candi Gedong I dan II seluas 100 x 300 m juga telah dibebaskan, termasuk Candi Kedaton 220 x 245 m, Candi Kotomahligai 100 x 100 m, Manapo Candi Tinggi 40 x 40 m, Manapo Sialang 100 x 100 m, dan Talago Rajo 100 x 150 m.
”Dana yang dianggarkan pemerintah sangat minim, apalagi Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) yang berpusat di Jambi membawahi empat provinsi, yakni Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Bengkulu,” kata Agus Widiatmoko, Pokja Dokumentasi dan Publikasi BP3 Jambi.
Dengan dana yang minim tentu perubahan fisik yang terlihat tidak begitu mencolok. Namun, setiap tahun ada kegiatan, seperti revitalisasi atau normalisasi kanal di sekitar situs Muaro Jambi.
Direktur Peninggalan Purbakala Ditjen Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Soeroso, di Jakarta, mengatakan, tahun 2007 sudah ada suatu kegiatan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan Departemen Pekerjaan Umum untuk menggarap situs-situs yang potensial untuk destinasi, termasuk situs Muaro Jambi.
”Kegiatan yang sudah dimulai antara lain pembuatan talut agar kawasan situs Muaro Jambi tidak longsor dan untuk membuka kanal-kanal,” katanya.
Tentang kondisi situs Muaro Jambi yang lamban perkembangannya, diakui Soeroso, di samping BP3 mengurusi empat provinsi, sehingga dana yang dianggarkan dibagi untuk empat provinsi, juga karena masalah kualitas sumber daya manusia yang terkesan asal comot. Tidak menempatkan orang yang ahli dan mencintai bidang pekerjaannya.
Sejak 1820
Kepala BP3 Jambi Tonny Mambo mengatakan, situs Muaro Jambi yang berada di ketinggian 14 meter di atas permukaan laut dan terletak di suatu daerah dataran yang merupakan daerah tanggul alam dari Sungai Batanghari (panjang sekitar 800 km, lebar sekitar 500 meter, dengan kedalaman lebih dari 5 meter). Di sekeliling bangunan terdapat tanah yang rendah merupakan parit keliling halaman bangunan candi.
Menurut Tonny, perhatian terhadap antiquiti yang terdapat di Muaro Jambi sudah dimulai sejak tahun 1820 oleh Kapten SC Crooke, seorang perwira kehormatan bangsa Inggris. Kemudian oleh Adam tahun 1920. Melihat tinggalan di Muaro Jambi, ia menyimpulkan, Muaro Jambi merupakan sebuah ibu kota dengan bangunan-bangunan yang dibuat dari bata/batu. ”Dugaan Adam ini disetujui oleh Schnitger yang berkunjung pada tahun 1936,” katanya.
Setelah lama tidak diteliti, pada 1954 sebuah tim dari Dinas Purbakala meninjau lokasi situs dan mendata kembali apa yang telah dilaporkan oleh Schnitger. Pemugaran baru dimulai tahun 1975 sampai sekarang.
Menurut Soeroso, situs Muaro Jambi terlihat lamban perkembangan pemugarannya dibandingkan dengan situs lain karena percandian di situs Muaro Jambi terdiri dari bata, bukan batu seperti di Jawa. Merekonstruksi bangunan candi dari bata lebih sulit ketimbang candi dari batu karena mudah rapuh.
Peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, menyebutkan, situs percandian Muaro Jambi diduga telah ada sejak pertengahan abad VII Masehi. Situs ini merupakan situs keagamaan yang dibangun kelompok masyarakat pemeluk agama Buddha Mahayana pada sekitar abad VIII Masehi dan terus berlanjut hingga abad XIV.
”Kelangsungan bangunan-bangunan keagamaan di tempat ini sejalan dengan kelangsungan kerajaan yang pernah ada di daerah aliran Sungai Batanghari. Ketika Batanghari di bawah penguasaan Kerajaan Malayu, Muaro Jambi dimanfaatkan sebagai tempat upacara agama Buddha masyarakat Malayu,” jelasnya. Ketika Batanghari di bawah penguasaan Kerajaan Sriwijaya, a Muaro Jambi dimanfaatkan oleh masyarakat Sriwijaya.
Ada petunjuk bahwa beberapa bangunan di Muaro Jambi mengalami beberapa tahapan pembangunan. Bambang mencontohkan, bangunan Candi Astano dan Candi Gumpung. Bangunan Candi Gumpung diduga sekurang-kurangnya telah mengalami dua tahapan pembangunan. Bangunan pertama mungkin dibangun pada sekitar abad IX Masehi. Entah pada tahun berapa kemudian bangunan ini diperbesar sebagaimana tampak pada bagian dinding ketika dilakukan pembongkaran.
Data terakhir mengindikasikan, ketika pusat Kerajaan Malayu-Dharmasraya berada di daerah Rambahan (abad XIII Masehi), Muaro Jambi masih berfungsi sebagai tempat upacara agama Buddha. Arca Prajnaparamita yang ditemukan di reruntuhan sebelah timur Candi Gumpung merupakan buktinya.
Warisan dunia
Soeroso menjelaskan, situs Muaro Jambi saat ini telah diprioritaskan menjadi warisan dunia. Usulan itu sudah terdaftar di UNESCO, 3-4 tahun lalu.
Situs Muaro Jambi juga sudah dimanfaatkan untuk upacara-upacara keagamaan umat Buddha, diselaraskan dengan Candi Burobudur.
Jika berkunjung ke situs Muaro Jambi, Anda akan menemukan sejumlah keunikan dari candi-candi yang ada. Sebagian dari bangunan-bangunan bata mengelompok di suatu tempat yang dikelilingi tembok pagar keliling,
Di situs Muaro Jambi juga ditemukan sisa permukiman, diduga berasal dari abad VII-XIII Masehi. Dari situs ada indikator pertanggalan situs, yaitu dari pertulisan singkat yang ditemukan di reruntuhan Candi Gumpung, pertulisan pada Gong Perunggu dalam aksara Tionghoa, fragmen arca Buddha, arca Prajnaparamita di Candi Gumpung, dan pecahan keramik.
Sumber : http://oase.kompas.com
Mengunjungi situs Muaro Jambi di Desa Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, berselang 18 tahun, tidak begitu terlihat perubahan berarti.
Pengamatan kasatmata tahun 1991 dan kemudian membandingkannya dengan situasi dan kondisi pada minggu kedua Maret 2009, kesannya tetap sepi. Sepi dari aktivitas keilmuan (arkeologi), pengembangan, dan sepi pengunjung.
Bayangkan, di situs Muaro Jambi yang luasnya sekitar 12 kilometer persegi—dan menjadi situs terbesar di Nusantara, lebih luas dari situs Trowulan yang menjadi pusat Kerajaan Majapahit—dilaporkan terdapat lebih dari 80 candi dan menapo/gundukan peninggalan Kerajaan Malayu. Namun yang telah diokupasi dan dipugar baru sekitar 10 persen. Untung saja, masyarakat yang bermukim di kawasan situs sangat peduli pada benda cagar budaya sehingga kerusakan situs hampir tak terjadi.
Padahal, candi-candi yang belum dikupas (diokupasi) berada di tanah milik warga. Lahan-lahan di situs Muaro Jambi itu dipenuhi pohon duku dan durian, yang berusia puluhan tahun, dan selama ini menjadi sumber ekonomi masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi dan Provinsi Jambi perlu juga dari sekarang memikirkan pemberdayaan masyarakat dan mengalihkan sumber ekonomi masyarakat di kawasan situs Muaro Jambi sekiranya tanah mereka kelak dibebaskan untuk keperluan ekskavasi.
Baru sebagian kecil
Menurut data, luas tanah yang dibebaskan baru sebagian kecil, yakni kompleks Candi Astano 100 x 200 meter, Candi Tinggi 125 x 200 m, dan Candi Gumpung 150 x 150 m, serta Candi Kembar Batu 80 x 80 m.
Tanah tempat berdirinya Candi Gedong I dan II seluas 100 x 300 m juga telah dibebaskan, termasuk Candi Kedaton 220 x 245 m, Candi Kotomahligai 100 x 100 m, Manapo Candi Tinggi 40 x 40 m, Manapo Sialang 100 x 100 m, dan Talago Rajo 100 x 150 m.
”Dana yang dianggarkan pemerintah sangat minim, apalagi Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) yang berpusat di Jambi membawahi empat provinsi, yakni Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Bengkulu,” kata Agus Widiatmoko, Pokja Dokumentasi dan Publikasi BP3 Jambi.
Dengan dana yang minim tentu perubahan fisik yang terlihat tidak begitu mencolok. Namun, setiap tahun ada kegiatan, seperti revitalisasi atau normalisasi kanal di sekitar situs Muaro Jambi.
Direktur Peninggalan Purbakala Ditjen Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Soeroso, di Jakarta, mengatakan, tahun 2007 sudah ada suatu kegiatan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan Departemen Pekerjaan Umum untuk menggarap situs-situs yang potensial untuk destinasi, termasuk situs Muaro Jambi.
”Kegiatan yang sudah dimulai antara lain pembuatan talut agar kawasan situs Muaro Jambi tidak longsor dan untuk membuka kanal-kanal,” katanya.
Tentang kondisi situs Muaro Jambi yang lamban perkembangannya, diakui Soeroso, di samping BP3 mengurusi empat provinsi, sehingga dana yang dianggarkan dibagi untuk empat provinsi, juga karena masalah kualitas sumber daya manusia yang terkesan asal comot. Tidak menempatkan orang yang ahli dan mencintai bidang pekerjaannya.
Sejak 1820
Kepala BP3 Jambi Tonny Mambo mengatakan, situs Muaro Jambi yang berada di ketinggian 14 meter di atas permukaan laut dan terletak di suatu daerah dataran yang merupakan daerah tanggul alam dari Sungai Batanghari (panjang sekitar 800 km, lebar sekitar 500 meter, dengan kedalaman lebih dari 5 meter). Di sekeliling bangunan terdapat tanah yang rendah merupakan parit keliling halaman bangunan candi.
Menurut Tonny, perhatian terhadap antiquiti yang terdapat di Muaro Jambi sudah dimulai sejak tahun 1820 oleh Kapten SC Crooke, seorang perwira kehormatan bangsa Inggris. Kemudian oleh Adam tahun 1920. Melihat tinggalan di Muaro Jambi, ia menyimpulkan, Muaro Jambi merupakan sebuah ibu kota dengan bangunan-bangunan yang dibuat dari bata/batu. ”Dugaan Adam ini disetujui oleh Schnitger yang berkunjung pada tahun 1936,” katanya.
Setelah lama tidak diteliti, pada 1954 sebuah tim dari Dinas Purbakala meninjau lokasi situs dan mendata kembali apa yang telah dilaporkan oleh Schnitger. Pemugaran baru dimulai tahun 1975 sampai sekarang.
Menurut Soeroso, situs Muaro Jambi terlihat lamban perkembangan pemugarannya dibandingkan dengan situs lain karena percandian di situs Muaro Jambi terdiri dari bata, bukan batu seperti di Jawa. Merekonstruksi bangunan candi dari bata lebih sulit ketimbang candi dari batu karena mudah rapuh.
Peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, menyebutkan, situs percandian Muaro Jambi diduga telah ada sejak pertengahan abad VII Masehi. Situs ini merupakan situs keagamaan yang dibangun kelompok masyarakat pemeluk agama Buddha Mahayana pada sekitar abad VIII Masehi dan terus berlanjut hingga abad XIV.
”Kelangsungan bangunan-bangunan keagamaan di tempat ini sejalan dengan kelangsungan kerajaan yang pernah ada di daerah aliran Sungai Batanghari. Ketika Batanghari di bawah penguasaan Kerajaan Malayu, Muaro Jambi dimanfaatkan sebagai tempat upacara agama Buddha masyarakat Malayu,” jelasnya. Ketika Batanghari di bawah penguasaan Kerajaan Sriwijaya, a Muaro Jambi dimanfaatkan oleh masyarakat Sriwijaya.
Ada petunjuk bahwa beberapa bangunan di Muaro Jambi mengalami beberapa tahapan pembangunan. Bambang mencontohkan, bangunan Candi Astano dan Candi Gumpung. Bangunan Candi Gumpung diduga sekurang-kurangnya telah mengalami dua tahapan pembangunan. Bangunan pertama mungkin dibangun pada sekitar abad IX Masehi. Entah pada tahun berapa kemudian bangunan ini diperbesar sebagaimana tampak pada bagian dinding ketika dilakukan pembongkaran.
Data terakhir mengindikasikan, ketika pusat Kerajaan Malayu-Dharmasraya berada di daerah Rambahan (abad XIII Masehi), Muaro Jambi masih berfungsi sebagai tempat upacara agama Buddha. Arca Prajnaparamita yang ditemukan di reruntuhan sebelah timur Candi Gumpung merupakan buktinya.
Warisan dunia
Soeroso menjelaskan, situs Muaro Jambi saat ini telah diprioritaskan menjadi warisan dunia. Usulan itu sudah terdaftar di UNESCO, 3-4 tahun lalu.
Situs Muaro Jambi juga sudah dimanfaatkan untuk upacara-upacara keagamaan umat Buddha, diselaraskan dengan Candi Burobudur.
Jika berkunjung ke situs Muaro Jambi, Anda akan menemukan sejumlah keunikan dari candi-candi yang ada. Sebagian dari bangunan-bangunan bata mengelompok di suatu tempat yang dikelilingi tembok pagar keliling,
Di situs Muaro Jambi juga ditemukan sisa permukiman, diduga berasal dari abad VII-XIII Masehi. Dari situs ada indikator pertanggalan situs, yaitu dari pertulisan singkat yang ditemukan di reruntuhan Candi Gumpung, pertulisan pada Gong Perunggu dalam aksara Tionghoa, fragmen arca Buddha, arca Prajnaparamita di Candi Gumpung, dan pecahan keramik.
Sumber : http://oase.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar