A. Pendahuluan
Relief adalah hiasan candi yang digambarkan atau dipahatkan pada badan candi. Candi sendiri merupakan salah satu hasil pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia. Relief dalam wujud hasil kebudayaan dapat digolongkan dalam kompleks kebudayaan fisik atau disebut artefak. Berbagai cerita yang digambarkan dalam relief merupakan hasil dari kompleks aktivitas yang digerakkan oleh ide-ide. Kompleks ide terdiri dari gagasan-gagasan, norma, dan nilai-nilai yang bersifat abstrak (Koentjaraningrat, 1990: 186).
Kompleks ide atau gagasan bersumber dari pedoman hidup yang merupakan identitas diri dari suatu masyarakat. Gagasan-gagasan tersebut saling berkaitan dan menjadi suatu sistem yang disebut sistem budaya. Sistem budaya setiap bangsa memiliki nilai-nilai yang khas. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil budaya yang dihasilkan, seperti halnya relief candi.
Relief candi merupakan bagian dari seni pahat. Asmito (1988: 124) menjelaskan pengertian seni pahat dan dimensi-dimensinya, sebagai berikut:
Berbicara mengenai seni pahat (seni memahat) merupakan hasil ciptaan manusia dengan cara menciptakan sesuatu dengan memahat. Seni memahat merupakan seni yang berdimensi tiga, yaitu architectur (seni bangunan) dan sculpture (seni pahat). Seni bangunan, seni ukir (seni pahat) ada dalam ruang dimensi tiga, tetapi seni pahat sebagai citra lebih dekat menggambarkan (painting) dari seni bangunan. Hingga sekarang seni pahat telah diperhatikan terutama dengan penyajian kembali dari mahluk-mahluk hidup dan bentuk-bentuk alam dalam bahan yang nyata yang ada dalam ruang yang sama seperti bentuk-bentuk yang mereka sajikan. Tetapi seni pahat juga mungkin mewujudkan sifat-sifat penting pandangan dan idea telah menyajikan dengan ajeg citra-citra dewata dan orang-orang dalam jiwa kepahlawanan, juga aspek-aspek manusia yang utama.
Oleh karena itu, relief kiranya dapat memproyeksikan pandangan, ide, atau aspek-aspek manusia yang utama seperti apa yang telah dijelaskan di atas. Relief suatu candi akan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dimiliki masyarakat pendukung hasil kebudayaan tersebut.
Teori akulturasi kiranya dapat dijadikan bahan pertimbangan, di mana pengambilan unsur-unsur kebudayaan Hindu-Buddha hanya dapat dilakukan karena ada persamaan dengan kebudayaan asli masyarakat penerima kebudayaan ini. Dalam proses akulturasi dapat dilihat seberapa kuat dasar-dasar kepribadian budaya penerima, yang menurut F.D.K Bosch disebut dengan istilah local genius (1952).
Relief secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu relief dekoratif dan relief cerita. Relief dekoratif memunyai fungsi sebagai hiasan pengisi bidang kosong pada bangunan candi. Ada pun relief cerita merupakan pengungkapan visual dari naskah kesusastraan maupun cerita tutur. Hampir semua candi yang ditemukan sampai saat ini memunyai relief dekoratif, sedangkan relief cerita hanya terdapat pada candi-candi tertentu. Salah satu relief yang menarik untuk dikaji karena informasi yang dikandungnya adalah relief raksasa yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I, di kompleks percandian Padang Lawas.
Suleiman (1985: 26) berasumsi bahwa relief raksasa tersebut merupakan indikasi bahwa Biaro Bahal I, pada khususnya digunakan untuk peribadatan umat Buddha sekte Vajrayana. Apabila ditelaah lebih dalam, permasalahan-permasalahan yang muncul berkaitan dengan relief raksasa tersebut, antara lain:
1. siapakah sosok raksasa yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I tersebut?
2. mengapa seniman memahatkan figur raksasa, bukan figur yang lain?
3. mengapa figur raksasa digambarkan dalam posisi menari?
4. mengapa seniman memahatkan figur raksasa tersebut pada batur biaro, bukan pada atap, tubuh, atau kaki biaro?
Melalui pisau bedah semiotika Pierce, diharapkan dapat menjawab dan menjelaskan latar belakang konsep seniman masa lampau berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang muncul pada masa kini.
B. Kerangka Analisis Semiotika Pierce
Relief adalah bagian wujud eksperesi budaya. Sebagai karya budaya relief banyak menyimpan tanda. Masinambaw (2000: 13) berpendapat bahwa sistem tanda itu berfungsi sebagai sarana penataan kehidupan masyarakat. Peneliti budaya dan masyarakat akan mempertanyakan aneka tanda: mengapa mereka berpwrilaku demikian? Dari tanda itu akan diperoleh gambaran keteraturan dari keadaan yang kacau dan membingungkan. Kajian relief tentang tanda ini dapat dilakukan secara semiotik.
Asumsi dasar hadirnya teori semiotik dalam kajian relief, adalah adanya anggapan bahwa relief fenpmena budaya yang penuh dengan tanda. Tanda-tanda dalam relief menyuratkan dan menyaratkan akan tanda yang penuh dengan makna. Tanda dan makna harus dicari dalam sebuah kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kaitan ini, semiotik yang banyak digunakan dalam bidang linguistik dan sastra, sebenarnya dapat juga dipergunakan dalam bidang budaya.
Relief adalah ekspresi jiwa (ideologi) dan tindakan manusia. Ekspresi tersebut terwujud dalam tanda (sign). Maka kajian relief dari semiotika akan mengungkap tanda-tanda yang berada dalam relief. Tanda tersebut memiliki referensi (yang di tandai). Tanda akan menyuguhkan makna yang berlapis-lapis. Dalam pandangan Soussure, tanda mengandung dua sisi, yaitu citra bunyi (sound image) dan konsep. Ini merupakan wawasan linguistik, dalam relief pun sebenarnya ada unsur keduanya. Dalam relief, yang menjadi pengamatan tentunya bukan suara tetapi lebih kepada gambar yang bisa diamati dan konsep yang terkandung di dalamnya. Relief ini mengandung wujud dan konsep yang ingin disampaikan oleh masyarakat pendukungnya dan menjadi wujud yang bisa kita amati.
Wujud dan konsep selalu beriringan dan saling berkaitan. Wujud sebagai signifier dan konsep sebagai signified. Kedua konsep semiotik ini merupakan bentuk dyadic system (sistem duaan). Keduanya saling berhubungan, membentuk tanda dan makna tanda relief secara utuh. Tanda relief dapat dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu (1) representasi, adalah objek yang dapat diamati berfungsi sebagai tanda, (2) objek, adalah direpresentasikan oleh tanda, (3) interpretasi, adalah makna sebagai hasil pertalian antara objek dan referen. Hubungan ketiga aspek semiotik tersebut berlapis, membentuk keutuhan makna fenomena. Setiap fenomena relief akan mengandung tiga aspek ini.
Dalam pandangan teori semiotik ala Pierce, tanda relief akan memuat hubungan representasi, objek dan interpretasi terdiri dari tiga hal, yaitu; (1) ikon, merupakan hubungan persamaan antara tanda dan referen. Di dalamnya ada keterkaitan yang berupa persamaan bentuk. (2) indeks, adalah tanda yang meliputi hubungan kausal, berkesinambungan. (3) simbol, adalah tanda yang bersifat arbriter, berdasarkan kesepakatan. Simbol sering berbeda antara wilayah pemilik relief. Dua jenis tanda (1) dan (2) merupakan tanda yang dapat mengubah emosi dan pengalaman langsung dari hal-hal yang ditendai. Peneliti akan sendirinya bangkit emosinya ketika mengamati fenomena relief, sedangkan tanda (3) merupakan pengalaman berpikir, pengetahuan, dan memerlukan tafsiran.
Dalam kajian relief seperti figur raksasa menari pada Batur Biaro Bahal I, akan diteliti dari aspek bentuk relief. Peneliti harus mampu mengungkap unsur signifier (penanda atau material) dan signified (tertanda/nonmaterial).
Semiotika berpandangan, semua fenomena budaya, termasuk relief di dalamnya, dapat dipandang sebagai sebuah sistem tanda. Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barang kali suatu tanda yang lebih berkembang. Pada saat mengkaji objek seni sebagai tanda, sama artinya dengan menganggapnya sebagai bagian dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia. Dengan kata lain, mengkaji sebuah relief sebagai sistem tanda sama artinya dengan mempelajari kebudayaan tempat relief tersebut berada. Relief memunyai referensi pada fenomena kultural yang merupakan milik masyarakat tertentu, tradisi tertentu, dan cara berpikir tertentu. Dapat dikatakan bahwa relief menyatakan pertaliannya dengan sesuatu melalui bentuknya, sehingga untuk mengkajinya adalah dengan cara menemukan kode-kode yang mengatur pada suatu komunitas, kebudayaan, dan atau ruang tertentu (Restiyadi, 2006: 17).
C. Candi Padang Lawas (Biaro Bahal)
Daerah Padang Lawas yang merupakan dataran rendah yang kering, pada masa lampau mungkin tidak pernah menjadi pusat pemukiman, dan hanya berfungsi sebagai pusat upacara keagamaan. Meski daerah ini dapat dicapai melalui jalan sungai dan jalan darat, yang dapat berarti tidak terisolir, tetapi lingkungan Padang Lawas yang sering bertiup angin panas tidak memungkinkan untuk bercocok-tanam. Oleh karena itulah, diduga bahwa pemukiman masyarakat pendukung budaya biaro Padang Lawas seharusnya bermukim di daerah muara Sungai Pane dan Barumun, tidak di sekitar kompleks percandian.
Persebaran bangunan-bangunan candi di sepanjang daerah aliran Sungai Barumun mungkin sengaja dibangun pada jalan-jalan penting untuk perdagangan. Sungai Barumun pada masa lampau diduga sebagai jalur perdagangan lokal yang cukup ramai. Jalur perdagangan ini menghubungkan daerah pesisir timur Sumatra Utara dan daerah pedalaman di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Seharusnya, di daerah sepanjang tepian Sungai Barumun, terutama mulai dari Situs Si Pamutung hingga ke muara Sungai Barumun, terdapat sisa pemukiman kuno. Hingga kini belum ada laporan penelitian atau pun penemuan yang menyebutkan situs pemukiman di daerah-daerah tersebut. Mungkin situs-situs tersebut telah hilang sebagai akibat erosi dari Sungai Barumun.
Di dataran yang panas dan kering, yang hanya ditumbuhi ilalang dan beberapa pohon, di sekitar Batang Pane, Sungai Sirumambe, dan Sungai Barumun yang membelah dataran Padang Lawas, nampaklah pemandangan runtuhan berbagai biaro yang menjulang tinggi. Daerah luas yang sunyi dengan runtuhan biaronya, diperkirakan pernah menjadi pusat agama dalam Kerajaan Pannai, sebuah kerajaan yang kurang dikenal dalam percaturan sejarah kuno Indonesia. Sekarang daerah yang berupa padang ilalang ini yang dikelilingi oleh rangkaian perbukitan rendah, termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.
Untuk mencapai lokasi kompleks percandian di Padang Lawas kita dapat menggunakan kendaraan bermotor roda empat, kecuali untuk beberapa buah situs yang harus menyeberangi sungai seperti Bara dan Si Pamutung, dari Medan jaraknya sekitar 400 km ke arah baratdaya melalui Tebingtinggi, Kisaran, Rantauprapat, Gunungtua, dan Barumun, atau sekitar 100 km ke arah timur ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Sidimpuan. Pusat lokasi percandian Padang Lawas adalah di Barumun, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan.
1. Awal Penemuan
Daerah Padang Lawas yang secara geografis merupakan daerah aliran Sungai Barumun, banyak ditemukan tinggalan budaya masa lampau, terutama dari masa klasik Indonesia. Tinggalan-tinggalan tersebut ada yang berupa arca, baik yang utuh maupun fragmen atau yang ada dalam konteks bangunan maupun lepas; ada yang berupa prasasti, baik yang utuh maupun yang sudah rusak karena berbagai alasan; dan ada pula yang berupa bangunan atau runtuhan bangunan. Sebagian dari tinggalan-tinggalan tersebut sudah termuat dalam Oudheidkundig Verslag dan Laporan Dinas Purbakala, tetapi ada pula yang dibuat oleh perorangan seperti yang ditulis oleh Schnitger dalam beberapa bukunya mengenai kepurbakalaan di Sumatra; Bosch (1930); Suleiman (1954; 1976;1980); Rumbi Mulia (1980); dan Nik Hassan Shuhaimi (1992). Dari sekian banyak laporan dan tulisan mengenai Padang Lawas, tulisan yang dibuat oleh Schnitger yang terlengkap karena ia adalah seorang kurator di Museum Palembang dan pelopor ekspedisi arkeologi di Sumatra pada 1935 dan 1936.
Catatan tertua mengenai kapan ditemukan kompleks biaro di Padang Lawas diperoleh dari Franz Junghun, seorang ahli geologi dan Komisaris Hindia Timur pada 1846. Setelah Junghun, kemudian kompleks biaro berturut-turut dikunjungi oleh von Rosenberg pada 1854 dan Kerkhoff pada 1887. Von Rosenberg dari Padang Lawas membawa beberapa fragmen arca untuk ditempatkan di Museum Batavia. Arca yang dibawa antara lain sebuah arca Buddha. Kerkhoff, seorang Kontrolir di Tapanuli, dalam kitabnya berjudul "Aanteekeningen betreffende eenige der in de afdeeling Padang Lawas voorkomende Hindoe-oudheden" menyebutkan "biara", Si Pamutung, dan "kuburan di Gunung Tua". Selain itu ia juga mempublikasikan secara rinci mengenai temuan-temuan hasil pengumpulan Franz Junghun di Padang Lawas.
Padang Lawas semakin sering dikunjungi oleh para peneliti asing, dan semakin banyak runtuhan bangunan yang ditemukan. Pada 1920, seorang peneliti bangsa Belanda, van Stein Callenfels berkesempatan mengunjungi Padang Lawas. Ia menyebutkan beberapa peninggalan purbakala di Gunung Tua, yaitu Bahal 1, Bahal 2, Bahal 3, Si Topayan, Aek Biaro, dan Si Pamutung.
Krom, seorang peneliti Belanda, menulis tentang Padang Lawas pada 1923. Dalam tulisannya itu, ia menyebutkan bahwa peninggalan-peninggalan di Padang Lawas disebut "on Javaansch" yang berarti "gaya seni pahat bangunan-bangunan di Padang Lawas tidak mirip dengan gaya seni pada bangunan-bangunan di Jawa". Dalam telaahnya ia melihat banyak persamaan dengan pahatan di India Selatan atau Asia Tenggara daratan. Selanjutnya Krom menghubungkan peninggalan di Padang Lawas dengan Śrīwijaya.
Pada 1925, van Stein Callenfels kembali lagi ke Padang Lawas. Dalam laporannya ia memberi gambaran dari susunan bangunan di Si Topayan, Biaro Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3. Selanjutnya ia memberikan gambaran bahwa yang menyebabkan kerusakan pada bangunan biaro adalah banyaknya ternak (sapi) yang berkeliaran. Laporan ini kemudian mendapat tanggapan dari de Haan yang kemudian pada 1926 mengadakan sedikit perbaikan dan pengukuran pada biaro Si Topayan, Bahal 1 dan 2.
Pada 1930 Bosch menulis tentang Padang Lawas dan mengajukan suatu teori bahwa masyarakat pendukung biaro di Padang Lawas adalah pemeluk agama Buddha aliran Wajrayāna. Anggapannya ini didasarkan indikator artefak yang ditemukannya berupa arca, relief yang menggambarkan wajah-wajah yang menyeramkan dan prasasti singkat yang bertuliskan mantra-mantra aliran Tantris.
Seorang arkeolog amatir yang banyak berjasa atas pengenalan kepurbakalaan di Sumatra yang bernama Schnitger, sudah berkali-kali mengunjungi Padang Lawas. Menurut Schnitger, biaro-biaro di Padang Lawas dibangun bersamaan dengan stupa-stupa di Muara Takus, yaitu pada sekitar abad ke-12 M. Pendapat ini disetujui oleh Suleiman, tetapi lebih lanjut ia menambahkan bahwa biaro-biaro di Padang Lawas dibangun pada abad ke-11-14 M (Suleiman, 1985: 25). Pendapatnya ini didasarkan atas pembacaan dari pertulisan-pertulisan singkat yang ditemukan di situs.
Setelah sekian lama tidak diteliti, Situs Padang Lawas kemudian diteliti kembali pada 1953 oleh tim kecil dari Dinas Purbakala di bawah pimpinan Satyawati Suleiman. Hasil dari penelitiannya itu kemudian diterbitkan dalam majalah Amerta pada 1954. Dalam tulisannya itu, Suleiman menggunakan istilah "Hindu-Batak" untuk hasil budaya di Padang Lawas, karena ada istilah "Hindu-Jawa" untuk hasil budaya dari Jawa. Istilah ini tidak disetujui oleh Damais. Ia lebih suka menyebut dengan istilah "Sumatra Purbakala".
Penelitian berikutnya dilakukan pada 1973 dan 1975 oleh tim dari Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) bekerjasama dengan the University of Pennsylvania Museum. Namun pada penelitian ini, tim hanya mendeskripsikan beberapa bangunan yang mudah dijangkau. Hal ini disebabkan karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan untuk dilalui. Umumnya bangunan-bangunan yang dikunjungi pernah dilaporkan oleh peneliti terdahulu.
Penelitian yang mutakhir dilakukan pada tahun 1993 oleh tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hasil dari penelitian itu adalah bahwa Sungai Barumun dan Batang Pane telah mengalami perubahan yang cukup jauh. Hal ini disebabkan karena tingkat erosi yang tinggi. Kelompok-kelompok bangunan di Padang Lawas sebagian besar berlokasi dekat dengan aliran sungai pada jarak sekitar 200-500 meter dari tepi sungai.
Pada Maret 1994, sebuah tim kerjasama Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatra Utara dan Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sumatra Utara melakukan pendataan dan inventarisasi tinggalan budaya di daerah Padang Lawas. Benda budaya masa lampau yang didata keseluruhannya ada yang masih insitu di Padang Lawas (bangunan dan arca), dan ada pula yang ditempatkan di Museum Nasional Jakarta (arca dan prasasti).
Pada tahun yang sama, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengadakan penelitian di Padang Lawas. Penelitian tersebut meliputi survei di daerah aliran Sungai Barumun dan Pane serta ekskavasi di Situs Tandihet 2. Ekskavasi yang dilakukan di runtuhan bangunan Tandihet 2 berhasil menampakkan bentuk dan ukuran denah bangunan Tandihet 2. Bangunan ini menghadap ke arah timur dengan tangga naiknya dihias dengan sepasang makara. Sebuah arca singa yang dibuat dari batupasir (sandstone) ditemukan di antara runtuhan bangunan.
2. Kepurbakalaan
Sungai utama yang mengalir di daerah Padang Lawas adalah Barumun. Di sungai ini bermuara anak-anak sungai, misalnya Batang Pane dan Sirumambe. Kepurbakalaan yang ditemukan di Barumun mulai dari daerah hulu adalah Pageranbira, Sangkilon, Joreng Belangah (Tandihat 1 dan Tandihat 2), dan Si Pamutung. Agaknya tinggalan budaya yang terpenting di Sungai Barumun adalah kelompok Biaro Si Pamutung. Kelompok bangunan ini terletak di daerah pertemuan Sungai Barumun dan Batang Pane.
Batang Pane yang bermata-air di daerah Pegunungan Bukit Barisan, telah memiliki sejarah yang cukup panjang—setidak-tidaknya sejak zaman klasik Indonesia yang dipengaruhi oleh budaya India. Berbagai tinggalan budaya zaman itu yang berupa bangunan suci, banyak ditemukan di daerah tepiannya. Di beberapa tempat, di daerah hulunya, Batang Pane memunyai lembah yang cukup dalam. Beberapa kompleks candi nampak seperti di atas bukit. Perbedaan ketinggian antara permukaan air sungai dan kompleks candi sekitar 10-25 meter. Tinggalan budaya yang berupa kompleks biaro antara lain ditemukan di Situs Gunung Tua, Si Topayan, Aek Hayuara, Tanjung Bangun, Bara, Pulo, Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3. Kompleks Biaro ini letaknya tidak jauh dari tepian sungai dengan jarak sekitar 500 meter.
Sungai Sirumambe merupakan anak Sungai Pane yang menyabang di daerah Portibijulu, sedangkan Sungai Pane merupakan anak Sungai Barumun yang menyabang di daerah Binanga. Sungai Sirumambe merupakan sungai muda yang ditandai dengan lembahnya berbentuk V dan mengalir di antara lembah-lembah yang curam. Sungai ini bermata-air di daerah perbukitan di sekitar daerah Padang Lawas.
Survei arkeologi yang dilakukan di sekitar Sungai Sirumambe berhasil menemui beberapa lokasi yang mengandung tinggalan budaya zaman lampau di situs-situs Si Soldop, Aek Korsik, Aek Tolong Tonga, Lobu Dolok, Batu Gana, Padang Bujur, Torna Tambang, dan Naga Saribu. Sedangkan tinggalan arkeologi yang terdapat di tepian hulu Sungai Barumun adalah Si Sangkilon dan Pageran Bira/Makam Kramat Jiret.
Biaro-biaro itu, yang dahulu dicipta sebagai syair pujian dari batu dengan puncaknya menjulang ke langit, kini masih berceritera tentang kemegahan kerajaan itu, tentang agama yang pernah berkembang selama beberapa abad, tentang seni bangunan dan seni pahatnya. Semua itu merupakan bukti nyata dari sebuah hasil budaya yang bermutu tinggi. Situs-situs arkeologi di lembah Sungai Barumun dan Batang Pane ditemukan di sekitar Padang Lawas. Kawasan ini meliputi lembah-lembah Sungai Barumun, Batang Pane dan sungai-sungai lain yang luas arealnya sekitar 1.500 km persegi. Di lokasi ini terdapat sekurang-kurangnya 26 runtuhan biaro yang dibuat dari bata dan beberapa fragmen arca yang ditemukan di tepian Batang Pane, yaitu Gunung Tua, Si Topayan, Hayuara, Haloban, Rondaman, Bara, Pulo, Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3; di tepian Sungai Sirumambe, yaitu Batu Gana, Si Soldop, Padangbujur, Nagasaribu, dan Mangaledang; dan di tepian Sungai Barumun, yaitu Pageranbira, Pordak Dolok, Si Sangkilon, Si Joreng Belangah (Tandihat 1), Tandihat 2, dan Si Pamutung. Tidak semua lokasi yang disebutkan itu terdapat runtuhan bangunan, melainkan hanya terdapat artefak kecil seperti misalnya prasasti, arca, dan stambha (tiang batu).
Runtuhan bangunan candi di Padang Lawas disebut biaro (=vihara dalam bahasa Sansekerta), sebutan yang biasa dipakai masyarakat untuk menyebut bangunan candi Buddha atau Hindu di Sumatra. Tetapi di India, vihara adalah biara yang merupakan tempat tinggal para pendeta atau biksu. Padang Lawas dengan kompleks biaro-nya merupakan suatu dataran yang kering dan tandus. Bagi ilmu pengetahuan, khususnya arkeologi dan sejarah, tentu saja ini sangat menarik untuk diteliti.
D. Candi Biaro Bahal
Candi Bahal I yang berada di Desa Bahal, Kec. Padang Bolak, sekitar 450 kilometer barat daya Medan, ibukota Sumut, merupakan candi terbesar yang telah dipugar. Selain kawat berduri pemagar komplek candi seluas 2.744 meter persegi, di dalam masih ada pagar sepanjang 59 meter berupa susunan bata, mulai dari empat hingga 22 lapis. Dengan begitu, Bahal I merupakan candi terluas yang telah selesai dipugar bersama empat candi perwaranya, yakni candi kecil di samping kiri dan depannya berbentuk bujur sangkar, menyerupai altar.
Perwara pertama luasnya 4,9 x 4,9 m dengan tinggi 1,5 m, berada enam meter sebelah timur laut bangunan induk. Perwara kedua merupakan perwara terluas, berada enam meter sebelah tenggara atau berhadapan dengan candi induk. Ukurannya 9,5 x 9,5 m dengan tinggi dua meter. Perwara ketiga terletak 2,20 m sebelah barat daya perwara kedua. Ukurannya 4,65 x 4,65 m dengan tinggi dua meter. Sedangkan perwara keempat ada di barat daya perwara ketiga, tinggi 1,5 meter dengan ukuran paling kecil, yakni 4 x 4 m.
Sementara bangunan induk Candi Bahal I itu sendiri berdenah bujur sangkar. Di pintu masuk terdapat delapan anak selebar 2,25 meter. Sepasang arca singa terlihat mengapit tangga. Pada bagian tengah bangunan utama terdapat ruang kosong seluas 2,5 m x 2,5 m yang fungsi awalnya diperkirakan sebagai tempat pemujaan.
Berbeda dengan posisi menghadap barat pada candi-candi di Jawa Timur atau menghadap timur pada candi-candi di Jawa Tengah, Bahal I justru dibangun menghadap tenggara dengan sudut 135 derajat.
1. Relief Yaksha di Biaro Bahal I
Pada bagian luar pipi tangga terdapat 3 panil relief yang menggambarkan raksasa (makhluk kahyangan yang khusus menjaga kekayaan dan kesuburan alam) dalam posisi menari (Koestoro, 2001: 28; Susanto, 1998:7–11).
Deskripsi visual tiap panil relief dalam hal ini adalah pemaparan semua fenomena visual seperti yang tervisualisasi dalam relief secara urut dalam satu panil. Penamaan panil diurutkan dari Panil I sampai Panil VI. Arah pembacaan figur dalam relief akan dimulai dari figur yang terletak paling kiri ke kanan. Detil deskripsi disajikan dalam uraian berikut.
Relief raksasa terletak pada bagian luar pipi kanan dan kiri tangga masuk Batur Biaro. Keseluruhan relief terdiri dari enam panil. Pada masing-masing pipi tangga terdapat tiga panil relief yang berbentuk persegi panjang vertikal. Panil berbentuk persegi tersebut bagian atas dibatasi oleh pelipit. Ada pun pada sisi bawah panil terdapat jarak tiga susunan bata dengan pelipit bawah pipi tangga masuk. Ketiga panil, baik yang terletak di sebelah barat daya atau timur laut, digambarkan secara terpisah. Dalam hal ini antara satu panil dengan panil yang lain terdapat jarak berupa pilaster setinggi dan selebar panil relief.
E. Analisis Relief
Dalam hubungan antara relief dalam candi dengan analisis semiotika, hal yang paling prinsip adalah tanda (objek). Sesuatu yang disebut tanda utama apabila dijadikan bentuk verbal akan menjadi, (relief raksasa dalam posisi menari yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I). Untuk memudahkan analisis, tanda tersebut akan dirinci menjadi unit-unit tanda yang lebih kecil yaitu, tanda I (figur raksasa), tanda II (figur digambarkan dalam tiga panil dalam posisi menari dan mulut menganga); dan yang terakhir Tanda III (batur Biaro Bahal I).
1. Tanda I (relief raksasa)
Representasi adalah objek yang dapat diamati berfungsi sebagai tanda. Representasi atau tanda I di candi Biaro Bahal adalah figur raksasa, dalam hal ini diperlukan ground peneliti selaku interpreter pada masa sekarang. Ground nantinya akan menjadi penghubung antara referensi seniman dan referensi peneliti dalam menginterpretasi figur raksasa. Dalam hal ini karena figur raksasa dipahatkan pada dinding sebuah bangunan suci agama Buddha, maka ground dengan sendirinya akan berkaitan juga dengan konsep kepercayaan agama Buddha pada masa itu. Seperti yang dikatakan oleh Sairam (1982: 17–18) bahwa sebuah “seni religious” yang ideal menyiratkan titik penting ketika aspirasi kebebasan, pandangan dunia, dan pikiran jernih seniman, pada saat yang bersamaan dikendalikan oleh religiusitas.
Kembali pada ground, figur raksasa dikenal dalam agama Hindu, Buddha, atau pun Jain. Dalam mitologi India, penggambaran rakshasha dibedakan menjadi dua. Pertama, dalam mitologi Hindu, raksasa adalah makhluk jahat atau jiwa yang bersifat jahat. Dalam bahasa Sanskerta, kata raksasa berarti “kekejaman” dan merupakan lawan kata dari raksha (sentosa). Mereka adalah bangsa pemakan daging manusia atau kanibal. Menurut mitologi Hindu, beberapa raksasa merupakan reinkarnasi dari orang-orang berdosa pada kehidupannya yang lampau. Meski bersifat jahat dan suka bertikai dengan para dewa, namun mereka juga memohon kesaktian dengan menyembah dewa tertentu, misalnya Brahma. Dalam Hindu, tidak selamanya raksasa berwujud mengerikan, mukanya sangar, dan bertubuh besar. Beberapa orang lahir dengan tubuh dan rupa manusia namun memiliki jiwa jahat selayaknya raksasa, seperti misalnya: Kamsa, Duryodana, Dursasana, Jarasanda, Sisupala. Tokoh-tokoh tersebut muncul dalam kisah Mahabharata. Raksasa betina disebut rakshasi, sedangkan raksasa dalam wujud manusia disebut manushya raksasa. Kedua, yaksa atau yaksha (berasal dari bahasa Sanskerta) adalah sejenis makhluk dalam mitologi Hindu, setengah manusia, setengah dewa. Yaksa seringkali dihubungkan dengan raksasa.
Berdasarkan definisi keterangan tentang raksasa, kemungkinan raksasa yang digambarkan dalam Biaro Bahal 1 adalah yaksha. Dugaan ini didasarkan pada: pertama, figur raksasa digambarkan pada sebuah bangunan suci; kedua, figur digambarkan tanpa gambaran bidang latar belakang, sehingga yang menjadi pusat perhatian adalah figur itu sendiri tanpa gangguan dari bidang latar belakang. Figur yang menjadi pusat perhatian pembaca relief dan dipahatkan pada bangunan suci tidak lain adalah figur dewa atau yang dianggap sebagai dewa; tidak mungkin figur raksasa jahat dipahatkan pada sebuah bangunan suci tanpa adanya figur dewa atau pahlawan yang menyertainya.
Sebelum dewa-dewa Hindu dan Buddha muncul dalam sistem kepercayaan di India, yaksha merupakan makhluk gaib yang dipuja oleh orang India sebagai sumber kehidupan karena melindungi pertanian. Setelah panteonisme dewa muncul dalam sistem kepercayaan di India, yaksha dimasukkan ke dalam golongan setingkat di bawah dewa.
Pada perkembangan berikutnya, yaksha menjadi pendamping Sang Buddha. Makhluk ini menghiasi stupa bersama makhluk lain seperti yang terdapat di stupa Bharhut, India pada abad I Masehi. Di Sanchi, masih di India, yaksha seakan-akan melindungi dan menjaga bangunan suci di Puncak Torana. Tugas yaksha sebagai pelindung itulah yang kemudian berkembang di Indonesia menjadi dwarapala.
Di Tibet, yaksha disebut sebagai gnod sybin, yang termasuk ke dalam kelas roh halus. Disebutkan juga dalam salah satu teks Buddha bahwa yaksha adalah penjelmaan kekuatan supernatural dari alam. Mereka biasanya hidup terpencil dari manusia dan memiliki keistimewaan sebagai pemimpin kehidupan spiritual.
Sumber lain menyebutkan bahwa yaksha termasuk ke dalam kelas semidewa. Pada umumnya makhluk ini penuh dengan kebaikan, tetapi kadang-kadang juga jahat. Beberapa di antaranya digambarkan sebagai sosok dewa-dewa lokal, yang lainnya hidup di Gunung Semeru (Mahameru) untuk menjaga dunia para dewa. Yaksha juga dikenal sebagai dewa yang melimpahkan keberuntungan dan kekayaan (Jain & Daljeet, 2006: 10). Dalam agama Hindu, Kubera (Sansekerta: Kuvera; baca: Kuwera) adalah dewa pemimpin golongan bangsa yaksa atau raksasa. Meski demikian, ia lebih istimewa dan yang utama di antara kaumnya. Ia bergelar “bendahara para dewa”, sehingga ia disebu dewa (Hindu), sedangkan dalam agama Buddha disebut Jambhala yang merupakan Dewa Kekayaan.
Figur yaksha sering digambarkan dalam bentuk raksasa ataupun figur manusia biasa dengan perhiasan yang mencolok (Jain & Daljeet, 2006:10). Melalui uraian di atas, dapat diketahui bahwa tanda I (figur raksasa) memunyai indeks dengan representasinya. Hal ini berarti, tanda I (figur raksasa) mengindikasikan sebuah konsep bahwa figur tersebut adalah yaksha yang digambarkan sebagai raksasa.
2. Tanda II (relief menari dan mulut menganga)
Tanda II, yaitu figur yang digambarkan dalam tiga panel dalam posisi menari dan mulut menganga. Tanda II ini akan dirinci lagi menjadi dua tanda yang lebih kecil, yaitu tanda (b), figur digambarkan dalam tiga panil relief; dan tanda (b), figur digambarkan dalam posisi menari dengan mulut menganga. Masing-masing tanda akan dihubungkan dengan ground yang bersifat ikon dan indeks untuk selanjutnya ditentukan representasinya yang paling tepat.
Tanda (a) yaitu, figur digambarkan dalam tiga panil relief, apabila dihubungkan dengan ground yang bersifat ikonik, dapat berarti bahwa jumlah figur yang digambarkan dalam relief tersebut adalah tiga figur. Akan tetapi, apabila diamati lebih detil, tampak bahwa komponen-komponen ikonografi dan gambaran wajah yang dimiliki oleh tiga figur tersebut sama. Hal ini tentunya menjadi sebuah pertimbangan juga bahwa terdapat sebuah kemungkinan bahwa figur yang digambarkan sebenarnya berjumlah satu figur saja, tetapi digambarkan dalam tiga sekuen gerakan tari. Representasi yang terakhir sepertinya lebih tepat apabila diterapkan pada tanda (a). Dengan demikian, tanda (a) yaitu figur digambarkan dalam tiga panil relief, merupakan sebuah indikasi adanya sebuah konsep bahwa jumlah figur sebenarnya satu tetapi digambarkan dalam tiga panil relief karena figur tersebut bergerak dalam tiga sekuen gerakan. Hal ini berarti antara tanda (a) dan representasinya memiliki ground yang bersifat indeks.
Tanda (b), yaitu figur digambarkan dalam posisi menari dengan mulut menganga, representasi dihubungkan dengan konsep kepercayaan dalam agama Buddha. Satu hal yang perlu dicatat dalam hal ini adalah adanya aksesoris berupa sebilah pedang. Pedang, selain sebagai sarana mempertahankan diri, juga merupakan simbol dari adanya pengorbanan. Apabila konsep ini dihubungkan dengan aktivitas menari yang dilakukan oleh yaksha, terdapat kemungkinan bahwa yaksha dalam hal ini digambarkan dalam posisi melakukan aktivitas tarian pengorbanan. Seperti yang dikemukakan oleh Suleiman (1985:26), bahwa kompleks percandian Padang Lawas erat kaitannya dengan agama Buddha aliran Vajrayana.
Vajrayana memandang alam kosmos (alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk mencapai pembebasan. Apabila di Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh Buddha), maka dalam Vajrayana, Buddha bermanifestasi dan berada di mana-mana. Oleh karenanya, Buddha adalah wadah atau badan kosmik yang memiliki enam elemen, yakni: tanah, air, api, angin, angkasa, dan kesadaran. Dalam rangkaian yang tersusun sebagai sistem, Vajrayana selain memiliki pandangan filosofis, juga memiliki puja bakti ritual maupun sistem meditasi khusus yang disebut Sadhana, yaitu meditasi dengan cara memvisualisasikan dengan mata batin, menyatukan mudra, dharani (mantra), dan mandala.
Hal tersebut didasarkan pada beberapa temuan di tempat penelitian yang mengindikasikan keberadaan aliran tersebut di kompleks percandian Padang Lawas. Antara lain adalah penemuan Arca Bhairawa, Heruka dan Prasasti Tandihat yang berisi mantra dalam sekte Vajrayana. Upacara terpenting bagi penganut aliran Vajrayana adalah upacara Bhairawa yang pelaksanaannya berlangsung di sebuah ksetra, yakni tempat penimbunan mayat sebelum dibakar yang dianggap suci. Di sana mereka melakukan semadi, menari-nari, merapalkan mantra-mantra, membakar mayat, minum darah, tertawa-tawa, serta mengeluarkan bunyi seperti suara banteng (Suleiman, 1985: 26). Lebih jauh lagi, pisau atau pedang dalam hal ini sebagai simbol dari pengorbanan. Melalui uraian di atas, maka tanda (b) merupakan sebuah indikasi terdapatnya sebuah konsep bahwa yaksha di dalam relief tersebut digambarkan dalam suatu aktivitas ritual suci aliran Vajrayana.
Setelah dilakukan pembahasan terhadap tanda-tanda (a) dan (b), selanjutnya representasi dari Tanda II (figur digambarkan dalam tiga panel dalam posisi menari dan mulut menganga) dapat ditentukan dengan lebih mudah. Kata kunci untuk ground berdasarkan interpretasi dari tanda (a) dan (b), adalah figur melakukan tiga sekuen gerakan tari dan menari, pengorbanan dan tertawa merupakan ritual suci aliran Vajrayana. Jadi, representasi dari tanda II adalah figur digambarkan melakukan aktivitas ritual aliran Vajrayana.
Pembahasan berikutnya adalah tanda III yaitu, (batur Biaro Bahal I) yang akan dihubungkan dengan ground arsitektural bangunan candi secara umum, yang berarti hubungan antara tanda III dan representasinya akan bersifat indeks pula.
Menurut Soekmono (1977: 241) candi adalah kuil tempat pemujaan dewa. Di tempat itu orang berbakti kepada dewa, oleh karena itu benda terpenting untuk pemujaan adalah patung yang melukiskan dewa itu. Menurut kosmologi India, tempat bersemayam para dewa yang sesungguhnya adalah puncak Gunung Mahameru—gunung kosmis bangsa India. Dengan demikian candi merupakan pencerminan atau simbol tempat tinggal dewa-dewa itu atau merupakan replika Gunung Mahameru. Candi juga merupakan simbolisasi alam semesta.
Pembagian bangunan ke dalam tiga bagian yaitu kaki, tubuh, dan atap sesuai dengan lingkungan alam semesta yang terdiri atas bhurloka (lingkungan para makhluk yang masih bisa mati), bhuvarloka (lingkungan manusia yang sudah disucikan), dan svarloka (lingkungan para dewa) (Soekmono, 1972: 15). Sebagai replika Gunung Mahameru atau replika kosmos, candi harus didirikan di lingkungan yang suci. Oleh karena itu, suatu tempat yang akan dipakai untuk mendirikan candi harus disucikan lebih dahulu. Tempat itu kemudian diberi tanda dengan sembilan patok, satu di pusat lainnya pada keempat sudutnya serta pada tengah sisi-sisinya. Ketiga alam tersebut secara berturut-turut dalam agama Buddha disebut Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu (Fontein, 1972: 13). Selanjutnya di halaman itu didirikan candi. Halaman candi kemudian dinyatakan dengan tembok keliling (Soekmono, 1977: 232-235). Halaman dalam kompleks candi merupakan lingkungan yang suci, sedangkan pagar merupakan batas pemisah dengan dunia profan (Kempers, 1959: 20).
Ketiga bagian dari bangunan suci Candi Biaro Bahal I berada di atas sebuah batur yang berbentuk bujursangkar dengan ukuran 10 x 10m. Keberadaan batur candi ini mengindikasikan bahwa tiga bagian bangunan suci tidak didirikan di atas tanah, dan batur dalam hal ini adalah sebagai landasan tempat ketiga bangunan suci tersebut berada. Dalam bilik candi agama Buddha pada umumnya terdapat arca pemujaan yang tentunya merupakan figur dewa utama. Ada pun batur candi merupakan bangunan tempat dilaksanakannya pradaksinapatha. Pelaksanaan pradaksinapatha, yang tidak lain adalah ritual pemujaan berupa berjalan mengelilingi bangunan suci yang dilakukan di batur candi, mengindikasikan bahwa batur candi merupakan wahana pelaksanaan ritual, tempat penting dalam pelaksanaan ritual pemujaan. Melalui uraian ground indeks di atas, maka tanda III yang berupa (batur Biaro Bahal I) mengindikasikan sebuah konsep bahwa Batur Biaro merupakan wahana ritual dan landasan ketiga bagian bangunan suci tempat dewa-dewa yang dipuja berada.
Dalam proses semiotic, tanda-tanda di atas selanjutnya dapat dijadikan petunjuk untuk selanjutnya menentukan representasi dan interpretaasi dari tanda utama yang tertera di dalam permasalahan, yaitu relief raksasa dalam posisi menari yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I. Hal-hal yang perlu dicatat berdasarkan analisis tanda-tanda, berkaitan dengan inti permasalahan adalah figur yaksha; gerakan menari dalam tiga sekuen; ritual-ritual suci aliran Vajrayana; dan batur candi sebagai wahana ritual pemujaan dan landasan keberadaan bangunan suci tempat dewa-dewa utama dipuja. Dengan demikian, tanda (relief raksasa dalam posisi menari yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I)berdasarkan uraian dan pembahasan atas Tanda I, II, dan III, mengindikasikan sebuah konsep bahwa relief tersebut menggambarkan figur yaksha yang secara kontinyu melakukan ritual-ritual suci aliran Vajrayana dengan menari dan tertawa, tidak lain untuk melindungi, memakmurkan, dan menyucikan ketiga bagian suci dari Biaro Bahal I yaitu Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu tempat dewa-dewa utama dipuja.
Lebih jelas lagi, apabila dihubungkan dengan candi sebagai representasi dari Gunung Mahameru, maka tanda (relief raksasa dalam posisi menari yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I) memunyai relasi indeks dengan konsep representasi Biaro Bahal sebagai representasi dari Gunung Mahameru, dan yaksha sebagai penjaga alam dewa-dewa bertempat tinggal di kaki gunung Mahameru tersebut, melakukan ritual ritual aliran Vajrayana dengan menari dan tertawa untuk menyucikan dan memuja dewa-dewa yang bertempat tinggal di Gunung Meru. Melalui relasi tersebut tidak mengherankan apabila relief tersebut digambarkan pada batur candi.
Kepustakaan
Fontein, Jan. et. al. 1972. Kesenian Indonesia Purba. New York: Grapic Society Ltd.
Kempers, A. J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: P. J. Van der Peet.
Koestoro, Lucas Partanda. dkk. 2001. Biaro Bahal Selayang Pandang. Medan: Maparasu.
Restiyadi, Andri. 2006. “Analisis Sintaktik, Semantik, dan Kreativitas Seniman Jawa dalam Pembingkaian Tanda Visual-Naratif pada Relief Cerita Krsna di Candi Prambanan (Sebuah Pendekatan Semiotika Desain)”, dalam Skripsi untuk gelar Sarjana dalam Ilmu Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sairam, T. V. 1982. Indian Temple Forms and Foundations. New Delhi: Agam Kala Prakasham.
Internet
Sonesson, Göran. Lecture I: The Quadrature of The Hermeneutic Cicle, Historical And Systematic Introduction to Pitorial Semiotics. http://www.chass.utoronto.ca/epc/srb/cyber/ Sonesson1.pdf. tt (a).
http://balarmedan.wordpress.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Relief
Relasi Makna C.S Piercehttp://fahri99.wordpress.com/2007/06/20/relasi-makna-cs-pierce/
JudulMetodologi Penelitian FolklorPenulisSuwardi EndraswaraPenerbitMedia PressindoISBN9797880990, 9789797880996
http://echoarianto.wordpress.com/2010/02/28/candi-biaro-bahal-di-tapanuli-selatan/
http://www.budpar.go.id/filedata/790_1261-03Padang Lawas1.pdf
http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub20/Sub221/Art223/baca.php?com=1&id=223
http://bulletin.alambahasa.com/budaya-indonesia/52/riwayat-dvarapala/
http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
http://www.purbakala.jawatengah.go.id/detail_berita.php?act=view&idku=35
http://balarmedan.wordpress.com
Sumber : http://www.wacananusantara.org/content/view/category/2/id/647
Relief adalah hiasan candi yang digambarkan atau dipahatkan pada badan candi. Candi sendiri merupakan salah satu hasil pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia. Relief dalam wujud hasil kebudayaan dapat digolongkan dalam kompleks kebudayaan fisik atau disebut artefak. Berbagai cerita yang digambarkan dalam relief merupakan hasil dari kompleks aktivitas yang digerakkan oleh ide-ide. Kompleks ide terdiri dari gagasan-gagasan, norma, dan nilai-nilai yang bersifat abstrak (Koentjaraningrat, 1990: 186).
Kompleks ide atau gagasan bersumber dari pedoman hidup yang merupakan identitas diri dari suatu masyarakat. Gagasan-gagasan tersebut saling berkaitan dan menjadi suatu sistem yang disebut sistem budaya. Sistem budaya setiap bangsa memiliki nilai-nilai yang khas. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil budaya yang dihasilkan, seperti halnya relief candi.
Relief candi merupakan bagian dari seni pahat. Asmito (1988: 124) menjelaskan pengertian seni pahat dan dimensi-dimensinya, sebagai berikut:
Berbicara mengenai seni pahat (seni memahat) merupakan hasil ciptaan manusia dengan cara menciptakan sesuatu dengan memahat. Seni memahat merupakan seni yang berdimensi tiga, yaitu architectur (seni bangunan) dan sculpture (seni pahat). Seni bangunan, seni ukir (seni pahat) ada dalam ruang dimensi tiga, tetapi seni pahat sebagai citra lebih dekat menggambarkan (painting) dari seni bangunan. Hingga sekarang seni pahat telah diperhatikan terutama dengan penyajian kembali dari mahluk-mahluk hidup dan bentuk-bentuk alam dalam bahan yang nyata yang ada dalam ruang yang sama seperti bentuk-bentuk yang mereka sajikan. Tetapi seni pahat juga mungkin mewujudkan sifat-sifat penting pandangan dan idea telah menyajikan dengan ajeg citra-citra dewata dan orang-orang dalam jiwa kepahlawanan, juga aspek-aspek manusia yang utama.
Oleh karena itu, relief kiranya dapat memproyeksikan pandangan, ide, atau aspek-aspek manusia yang utama seperti apa yang telah dijelaskan di atas. Relief suatu candi akan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dimiliki masyarakat pendukung hasil kebudayaan tersebut.
Teori akulturasi kiranya dapat dijadikan bahan pertimbangan, di mana pengambilan unsur-unsur kebudayaan Hindu-Buddha hanya dapat dilakukan karena ada persamaan dengan kebudayaan asli masyarakat penerima kebudayaan ini. Dalam proses akulturasi dapat dilihat seberapa kuat dasar-dasar kepribadian budaya penerima, yang menurut F.D.K Bosch disebut dengan istilah local genius (1952).
Relief secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu relief dekoratif dan relief cerita. Relief dekoratif memunyai fungsi sebagai hiasan pengisi bidang kosong pada bangunan candi. Ada pun relief cerita merupakan pengungkapan visual dari naskah kesusastraan maupun cerita tutur. Hampir semua candi yang ditemukan sampai saat ini memunyai relief dekoratif, sedangkan relief cerita hanya terdapat pada candi-candi tertentu. Salah satu relief yang menarik untuk dikaji karena informasi yang dikandungnya adalah relief raksasa yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I, di kompleks percandian Padang Lawas.
Suleiman (1985: 26) berasumsi bahwa relief raksasa tersebut merupakan indikasi bahwa Biaro Bahal I, pada khususnya digunakan untuk peribadatan umat Buddha sekte Vajrayana. Apabila ditelaah lebih dalam, permasalahan-permasalahan yang muncul berkaitan dengan relief raksasa tersebut, antara lain:
1. siapakah sosok raksasa yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I tersebut?
2. mengapa seniman memahatkan figur raksasa, bukan figur yang lain?
3. mengapa figur raksasa digambarkan dalam posisi menari?
4. mengapa seniman memahatkan figur raksasa tersebut pada batur biaro, bukan pada atap, tubuh, atau kaki biaro?
Melalui pisau bedah semiotika Pierce, diharapkan dapat menjawab dan menjelaskan latar belakang konsep seniman masa lampau berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang muncul pada masa kini.
B. Kerangka Analisis Semiotika Pierce
Relief adalah bagian wujud eksperesi budaya. Sebagai karya budaya relief banyak menyimpan tanda. Masinambaw (2000: 13) berpendapat bahwa sistem tanda itu berfungsi sebagai sarana penataan kehidupan masyarakat. Peneliti budaya dan masyarakat akan mempertanyakan aneka tanda: mengapa mereka berpwrilaku demikian? Dari tanda itu akan diperoleh gambaran keteraturan dari keadaan yang kacau dan membingungkan. Kajian relief tentang tanda ini dapat dilakukan secara semiotik.
Asumsi dasar hadirnya teori semiotik dalam kajian relief, adalah adanya anggapan bahwa relief fenpmena budaya yang penuh dengan tanda. Tanda-tanda dalam relief menyuratkan dan menyaratkan akan tanda yang penuh dengan makna. Tanda dan makna harus dicari dalam sebuah kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kaitan ini, semiotik yang banyak digunakan dalam bidang linguistik dan sastra, sebenarnya dapat juga dipergunakan dalam bidang budaya.
Relief adalah ekspresi jiwa (ideologi) dan tindakan manusia. Ekspresi tersebut terwujud dalam tanda (sign). Maka kajian relief dari semiotika akan mengungkap tanda-tanda yang berada dalam relief. Tanda tersebut memiliki referensi (yang di tandai). Tanda akan menyuguhkan makna yang berlapis-lapis. Dalam pandangan Soussure, tanda mengandung dua sisi, yaitu citra bunyi (sound image) dan konsep. Ini merupakan wawasan linguistik, dalam relief pun sebenarnya ada unsur keduanya. Dalam relief, yang menjadi pengamatan tentunya bukan suara tetapi lebih kepada gambar yang bisa diamati dan konsep yang terkandung di dalamnya. Relief ini mengandung wujud dan konsep yang ingin disampaikan oleh masyarakat pendukungnya dan menjadi wujud yang bisa kita amati.
Wujud dan konsep selalu beriringan dan saling berkaitan. Wujud sebagai signifier dan konsep sebagai signified. Kedua konsep semiotik ini merupakan bentuk dyadic system (sistem duaan). Keduanya saling berhubungan, membentuk tanda dan makna tanda relief secara utuh. Tanda relief dapat dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu (1) representasi, adalah objek yang dapat diamati berfungsi sebagai tanda, (2) objek, adalah direpresentasikan oleh tanda, (3) interpretasi, adalah makna sebagai hasil pertalian antara objek dan referen. Hubungan ketiga aspek semiotik tersebut berlapis, membentuk keutuhan makna fenomena. Setiap fenomena relief akan mengandung tiga aspek ini.
Dalam pandangan teori semiotik ala Pierce, tanda relief akan memuat hubungan representasi, objek dan interpretasi terdiri dari tiga hal, yaitu; (1) ikon, merupakan hubungan persamaan antara tanda dan referen. Di dalamnya ada keterkaitan yang berupa persamaan bentuk. (2) indeks, adalah tanda yang meliputi hubungan kausal, berkesinambungan. (3) simbol, adalah tanda yang bersifat arbriter, berdasarkan kesepakatan. Simbol sering berbeda antara wilayah pemilik relief. Dua jenis tanda (1) dan (2) merupakan tanda yang dapat mengubah emosi dan pengalaman langsung dari hal-hal yang ditendai. Peneliti akan sendirinya bangkit emosinya ketika mengamati fenomena relief, sedangkan tanda (3) merupakan pengalaman berpikir, pengetahuan, dan memerlukan tafsiran.
Dalam kajian relief seperti figur raksasa menari pada Batur Biaro Bahal I, akan diteliti dari aspek bentuk relief. Peneliti harus mampu mengungkap unsur signifier (penanda atau material) dan signified (tertanda/nonmaterial).
Semiotika berpandangan, semua fenomena budaya, termasuk relief di dalamnya, dapat dipandang sebagai sebuah sistem tanda. Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barang kali suatu tanda yang lebih berkembang. Pada saat mengkaji objek seni sebagai tanda, sama artinya dengan menganggapnya sebagai bagian dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia. Dengan kata lain, mengkaji sebuah relief sebagai sistem tanda sama artinya dengan mempelajari kebudayaan tempat relief tersebut berada. Relief memunyai referensi pada fenomena kultural yang merupakan milik masyarakat tertentu, tradisi tertentu, dan cara berpikir tertentu. Dapat dikatakan bahwa relief menyatakan pertaliannya dengan sesuatu melalui bentuknya, sehingga untuk mengkajinya adalah dengan cara menemukan kode-kode yang mengatur pada suatu komunitas, kebudayaan, dan atau ruang tertentu (Restiyadi, 2006: 17).
C. Candi Padang Lawas (Biaro Bahal)
Daerah Padang Lawas yang merupakan dataran rendah yang kering, pada masa lampau mungkin tidak pernah menjadi pusat pemukiman, dan hanya berfungsi sebagai pusat upacara keagamaan. Meski daerah ini dapat dicapai melalui jalan sungai dan jalan darat, yang dapat berarti tidak terisolir, tetapi lingkungan Padang Lawas yang sering bertiup angin panas tidak memungkinkan untuk bercocok-tanam. Oleh karena itulah, diduga bahwa pemukiman masyarakat pendukung budaya biaro Padang Lawas seharusnya bermukim di daerah muara Sungai Pane dan Barumun, tidak di sekitar kompleks percandian.
Persebaran bangunan-bangunan candi di sepanjang daerah aliran Sungai Barumun mungkin sengaja dibangun pada jalan-jalan penting untuk perdagangan. Sungai Barumun pada masa lampau diduga sebagai jalur perdagangan lokal yang cukup ramai. Jalur perdagangan ini menghubungkan daerah pesisir timur Sumatra Utara dan daerah pedalaman di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Seharusnya, di daerah sepanjang tepian Sungai Barumun, terutama mulai dari Situs Si Pamutung hingga ke muara Sungai Barumun, terdapat sisa pemukiman kuno. Hingga kini belum ada laporan penelitian atau pun penemuan yang menyebutkan situs pemukiman di daerah-daerah tersebut. Mungkin situs-situs tersebut telah hilang sebagai akibat erosi dari Sungai Barumun.
Di dataran yang panas dan kering, yang hanya ditumbuhi ilalang dan beberapa pohon, di sekitar Batang Pane, Sungai Sirumambe, dan Sungai Barumun yang membelah dataran Padang Lawas, nampaklah pemandangan runtuhan berbagai biaro yang menjulang tinggi. Daerah luas yang sunyi dengan runtuhan biaronya, diperkirakan pernah menjadi pusat agama dalam Kerajaan Pannai, sebuah kerajaan yang kurang dikenal dalam percaturan sejarah kuno Indonesia. Sekarang daerah yang berupa padang ilalang ini yang dikelilingi oleh rangkaian perbukitan rendah, termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.
Untuk mencapai lokasi kompleks percandian di Padang Lawas kita dapat menggunakan kendaraan bermotor roda empat, kecuali untuk beberapa buah situs yang harus menyeberangi sungai seperti Bara dan Si Pamutung, dari Medan jaraknya sekitar 400 km ke arah baratdaya melalui Tebingtinggi, Kisaran, Rantauprapat, Gunungtua, dan Barumun, atau sekitar 100 km ke arah timur ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Sidimpuan. Pusat lokasi percandian Padang Lawas adalah di Barumun, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan.
1. Awal Penemuan
Daerah Padang Lawas yang secara geografis merupakan daerah aliran Sungai Barumun, banyak ditemukan tinggalan budaya masa lampau, terutama dari masa klasik Indonesia. Tinggalan-tinggalan tersebut ada yang berupa arca, baik yang utuh maupun fragmen atau yang ada dalam konteks bangunan maupun lepas; ada yang berupa prasasti, baik yang utuh maupun yang sudah rusak karena berbagai alasan; dan ada pula yang berupa bangunan atau runtuhan bangunan. Sebagian dari tinggalan-tinggalan tersebut sudah termuat dalam Oudheidkundig Verslag dan Laporan Dinas Purbakala, tetapi ada pula yang dibuat oleh perorangan seperti yang ditulis oleh Schnitger dalam beberapa bukunya mengenai kepurbakalaan di Sumatra; Bosch (1930); Suleiman (1954; 1976;1980); Rumbi Mulia (1980); dan Nik Hassan Shuhaimi (1992). Dari sekian banyak laporan dan tulisan mengenai Padang Lawas, tulisan yang dibuat oleh Schnitger yang terlengkap karena ia adalah seorang kurator di Museum Palembang dan pelopor ekspedisi arkeologi di Sumatra pada 1935 dan 1936.
Catatan tertua mengenai kapan ditemukan kompleks biaro di Padang Lawas diperoleh dari Franz Junghun, seorang ahli geologi dan Komisaris Hindia Timur pada 1846. Setelah Junghun, kemudian kompleks biaro berturut-turut dikunjungi oleh von Rosenberg pada 1854 dan Kerkhoff pada 1887. Von Rosenberg dari Padang Lawas membawa beberapa fragmen arca untuk ditempatkan di Museum Batavia. Arca yang dibawa antara lain sebuah arca Buddha. Kerkhoff, seorang Kontrolir di Tapanuli, dalam kitabnya berjudul "Aanteekeningen betreffende eenige der in de afdeeling Padang Lawas voorkomende Hindoe-oudheden" menyebutkan "biara", Si Pamutung, dan "kuburan di Gunung Tua". Selain itu ia juga mempublikasikan secara rinci mengenai temuan-temuan hasil pengumpulan Franz Junghun di Padang Lawas.
Padang Lawas semakin sering dikunjungi oleh para peneliti asing, dan semakin banyak runtuhan bangunan yang ditemukan. Pada 1920, seorang peneliti bangsa Belanda, van Stein Callenfels berkesempatan mengunjungi Padang Lawas. Ia menyebutkan beberapa peninggalan purbakala di Gunung Tua, yaitu Bahal 1, Bahal 2, Bahal 3, Si Topayan, Aek Biaro, dan Si Pamutung.
Krom, seorang peneliti Belanda, menulis tentang Padang Lawas pada 1923. Dalam tulisannya itu, ia menyebutkan bahwa peninggalan-peninggalan di Padang Lawas disebut "on Javaansch" yang berarti "gaya seni pahat bangunan-bangunan di Padang Lawas tidak mirip dengan gaya seni pada bangunan-bangunan di Jawa". Dalam telaahnya ia melihat banyak persamaan dengan pahatan di India Selatan atau Asia Tenggara daratan. Selanjutnya Krom menghubungkan peninggalan di Padang Lawas dengan Śrīwijaya.
Pada 1925, van Stein Callenfels kembali lagi ke Padang Lawas. Dalam laporannya ia memberi gambaran dari susunan bangunan di Si Topayan, Biaro Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3. Selanjutnya ia memberikan gambaran bahwa yang menyebabkan kerusakan pada bangunan biaro adalah banyaknya ternak (sapi) yang berkeliaran. Laporan ini kemudian mendapat tanggapan dari de Haan yang kemudian pada 1926 mengadakan sedikit perbaikan dan pengukuran pada biaro Si Topayan, Bahal 1 dan 2.
Pada 1930 Bosch menulis tentang Padang Lawas dan mengajukan suatu teori bahwa masyarakat pendukung biaro di Padang Lawas adalah pemeluk agama Buddha aliran Wajrayāna. Anggapannya ini didasarkan indikator artefak yang ditemukannya berupa arca, relief yang menggambarkan wajah-wajah yang menyeramkan dan prasasti singkat yang bertuliskan mantra-mantra aliran Tantris.
Seorang arkeolog amatir yang banyak berjasa atas pengenalan kepurbakalaan di Sumatra yang bernama Schnitger, sudah berkali-kali mengunjungi Padang Lawas. Menurut Schnitger, biaro-biaro di Padang Lawas dibangun bersamaan dengan stupa-stupa di Muara Takus, yaitu pada sekitar abad ke-12 M. Pendapat ini disetujui oleh Suleiman, tetapi lebih lanjut ia menambahkan bahwa biaro-biaro di Padang Lawas dibangun pada abad ke-11-14 M (Suleiman, 1985: 25). Pendapatnya ini didasarkan atas pembacaan dari pertulisan-pertulisan singkat yang ditemukan di situs.
Setelah sekian lama tidak diteliti, Situs Padang Lawas kemudian diteliti kembali pada 1953 oleh tim kecil dari Dinas Purbakala di bawah pimpinan Satyawati Suleiman. Hasil dari penelitiannya itu kemudian diterbitkan dalam majalah Amerta pada 1954. Dalam tulisannya itu, Suleiman menggunakan istilah "Hindu-Batak" untuk hasil budaya di Padang Lawas, karena ada istilah "Hindu-Jawa" untuk hasil budaya dari Jawa. Istilah ini tidak disetujui oleh Damais. Ia lebih suka menyebut dengan istilah "Sumatra Purbakala".
Penelitian berikutnya dilakukan pada 1973 dan 1975 oleh tim dari Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) bekerjasama dengan the University of Pennsylvania Museum. Namun pada penelitian ini, tim hanya mendeskripsikan beberapa bangunan yang mudah dijangkau. Hal ini disebabkan karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan untuk dilalui. Umumnya bangunan-bangunan yang dikunjungi pernah dilaporkan oleh peneliti terdahulu.
Penelitian yang mutakhir dilakukan pada tahun 1993 oleh tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hasil dari penelitian itu adalah bahwa Sungai Barumun dan Batang Pane telah mengalami perubahan yang cukup jauh. Hal ini disebabkan karena tingkat erosi yang tinggi. Kelompok-kelompok bangunan di Padang Lawas sebagian besar berlokasi dekat dengan aliran sungai pada jarak sekitar 200-500 meter dari tepi sungai.
Pada Maret 1994, sebuah tim kerjasama Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatra Utara dan Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sumatra Utara melakukan pendataan dan inventarisasi tinggalan budaya di daerah Padang Lawas. Benda budaya masa lampau yang didata keseluruhannya ada yang masih insitu di Padang Lawas (bangunan dan arca), dan ada pula yang ditempatkan di Museum Nasional Jakarta (arca dan prasasti).
Pada tahun yang sama, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengadakan penelitian di Padang Lawas. Penelitian tersebut meliputi survei di daerah aliran Sungai Barumun dan Pane serta ekskavasi di Situs Tandihet 2. Ekskavasi yang dilakukan di runtuhan bangunan Tandihet 2 berhasil menampakkan bentuk dan ukuran denah bangunan Tandihet 2. Bangunan ini menghadap ke arah timur dengan tangga naiknya dihias dengan sepasang makara. Sebuah arca singa yang dibuat dari batupasir (sandstone) ditemukan di antara runtuhan bangunan.
2. Kepurbakalaan
Sungai utama yang mengalir di daerah Padang Lawas adalah Barumun. Di sungai ini bermuara anak-anak sungai, misalnya Batang Pane dan Sirumambe. Kepurbakalaan yang ditemukan di Barumun mulai dari daerah hulu adalah Pageranbira, Sangkilon, Joreng Belangah (Tandihat 1 dan Tandihat 2), dan Si Pamutung. Agaknya tinggalan budaya yang terpenting di Sungai Barumun adalah kelompok Biaro Si Pamutung. Kelompok bangunan ini terletak di daerah pertemuan Sungai Barumun dan Batang Pane.
Batang Pane yang bermata-air di daerah Pegunungan Bukit Barisan, telah memiliki sejarah yang cukup panjang—setidak-tidaknya sejak zaman klasik Indonesia yang dipengaruhi oleh budaya India. Berbagai tinggalan budaya zaman itu yang berupa bangunan suci, banyak ditemukan di daerah tepiannya. Di beberapa tempat, di daerah hulunya, Batang Pane memunyai lembah yang cukup dalam. Beberapa kompleks candi nampak seperti di atas bukit. Perbedaan ketinggian antara permukaan air sungai dan kompleks candi sekitar 10-25 meter. Tinggalan budaya yang berupa kompleks biaro antara lain ditemukan di Situs Gunung Tua, Si Topayan, Aek Hayuara, Tanjung Bangun, Bara, Pulo, Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3. Kompleks Biaro ini letaknya tidak jauh dari tepian sungai dengan jarak sekitar 500 meter.
Sungai Sirumambe merupakan anak Sungai Pane yang menyabang di daerah Portibijulu, sedangkan Sungai Pane merupakan anak Sungai Barumun yang menyabang di daerah Binanga. Sungai Sirumambe merupakan sungai muda yang ditandai dengan lembahnya berbentuk V dan mengalir di antara lembah-lembah yang curam. Sungai ini bermata-air di daerah perbukitan di sekitar daerah Padang Lawas.
Survei arkeologi yang dilakukan di sekitar Sungai Sirumambe berhasil menemui beberapa lokasi yang mengandung tinggalan budaya zaman lampau di situs-situs Si Soldop, Aek Korsik, Aek Tolong Tonga, Lobu Dolok, Batu Gana, Padang Bujur, Torna Tambang, dan Naga Saribu. Sedangkan tinggalan arkeologi yang terdapat di tepian hulu Sungai Barumun adalah Si Sangkilon dan Pageran Bira/Makam Kramat Jiret.
Biaro-biaro itu, yang dahulu dicipta sebagai syair pujian dari batu dengan puncaknya menjulang ke langit, kini masih berceritera tentang kemegahan kerajaan itu, tentang agama yang pernah berkembang selama beberapa abad, tentang seni bangunan dan seni pahatnya. Semua itu merupakan bukti nyata dari sebuah hasil budaya yang bermutu tinggi. Situs-situs arkeologi di lembah Sungai Barumun dan Batang Pane ditemukan di sekitar Padang Lawas. Kawasan ini meliputi lembah-lembah Sungai Barumun, Batang Pane dan sungai-sungai lain yang luas arealnya sekitar 1.500 km persegi. Di lokasi ini terdapat sekurang-kurangnya 26 runtuhan biaro yang dibuat dari bata dan beberapa fragmen arca yang ditemukan di tepian Batang Pane, yaitu Gunung Tua, Si Topayan, Hayuara, Haloban, Rondaman, Bara, Pulo, Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3; di tepian Sungai Sirumambe, yaitu Batu Gana, Si Soldop, Padangbujur, Nagasaribu, dan Mangaledang; dan di tepian Sungai Barumun, yaitu Pageranbira, Pordak Dolok, Si Sangkilon, Si Joreng Belangah (Tandihat 1), Tandihat 2, dan Si Pamutung. Tidak semua lokasi yang disebutkan itu terdapat runtuhan bangunan, melainkan hanya terdapat artefak kecil seperti misalnya prasasti, arca, dan stambha (tiang batu).
Runtuhan bangunan candi di Padang Lawas disebut biaro (=vihara dalam bahasa Sansekerta), sebutan yang biasa dipakai masyarakat untuk menyebut bangunan candi Buddha atau Hindu di Sumatra. Tetapi di India, vihara adalah biara yang merupakan tempat tinggal para pendeta atau biksu. Padang Lawas dengan kompleks biaro-nya merupakan suatu dataran yang kering dan tandus. Bagi ilmu pengetahuan, khususnya arkeologi dan sejarah, tentu saja ini sangat menarik untuk diteliti.
D. Candi Biaro Bahal
Candi Bahal I yang berada di Desa Bahal, Kec. Padang Bolak, sekitar 450 kilometer barat daya Medan, ibukota Sumut, merupakan candi terbesar yang telah dipugar. Selain kawat berduri pemagar komplek candi seluas 2.744 meter persegi, di dalam masih ada pagar sepanjang 59 meter berupa susunan bata, mulai dari empat hingga 22 lapis. Dengan begitu, Bahal I merupakan candi terluas yang telah selesai dipugar bersama empat candi perwaranya, yakni candi kecil di samping kiri dan depannya berbentuk bujur sangkar, menyerupai altar.
Perwara pertama luasnya 4,9 x 4,9 m dengan tinggi 1,5 m, berada enam meter sebelah timur laut bangunan induk. Perwara kedua merupakan perwara terluas, berada enam meter sebelah tenggara atau berhadapan dengan candi induk. Ukurannya 9,5 x 9,5 m dengan tinggi dua meter. Perwara ketiga terletak 2,20 m sebelah barat daya perwara kedua. Ukurannya 4,65 x 4,65 m dengan tinggi dua meter. Sedangkan perwara keempat ada di barat daya perwara ketiga, tinggi 1,5 meter dengan ukuran paling kecil, yakni 4 x 4 m.
Sementara bangunan induk Candi Bahal I itu sendiri berdenah bujur sangkar. Di pintu masuk terdapat delapan anak selebar 2,25 meter. Sepasang arca singa terlihat mengapit tangga. Pada bagian tengah bangunan utama terdapat ruang kosong seluas 2,5 m x 2,5 m yang fungsi awalnya diperkirakan sebagai tempat pemujaan.
Berbeda dengan posisi menghadap barat pada candi-candi di Jawa Timur atau menghadap timur pada candi-candi di Jawa Tengah, Bahal I justru dibangun menghadap tenggara dengan sudut 135 derajat.
1. Relief Yaksha di Biaro Bahal I
Pada bagian luar pipi tangga terdapat 3 panil relief yang menggambarkan raksasa (makhluk kahyangan yang khusus menjaga kekayaan dan kesuburan alam) dalam posisi menari (Koestoro, 2001: 28; Susanto, 1998:7–11).
Deskripsi visual tiap panil relief dalam hal ini adalah pemaparan semua fenomena visual seperti yang tervisualisasi dalam relief secara urut dalam satu panil. Penamaan panil diurutkan dari Panil I sampai Panil VI. Arah pembacaan figur dalam relief akan dimulai dari figur yang terletak paling kiri ke kanan. Detil deskripsi disajikan dalam uraian berikut.
Relief raksasa terletak pada bagian luar pipi kanan dan kiri tangga masuk Batur Biaro. Keseluruhan relief terdiri dari enam panil. Pada masing-masing pipi tangga terdapat tiga panil relief yang berbentuk persegi panjang vertikal. Panil berbentuk persegi tersebut bagian atas dibatasi oleh pelipit. Ada pun pada sisi bawah panil terdapat jarak tiga susunan bata dengan pelipit bawah pipi tangga masuk. Ketiga panil, baik yang terletak di sebelah barat daya atau timur laut, digambarkan secara terpisah. Dalam hal ini antara satu panil dengan panil yang lain terdapat jarak berupa pilaster setinggi dan selebar panil relief.
E. Analisis Relief
Dalam hubungan antara relief dalam candi dengan analisis semiotika, hal yang paling prinsip adalah tanda (objek). Sesuatu yang disebut tanda utama apabila dijadikan bentuk verbal akan menjadi, (relief raksasa dalam posisi menari yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I). Untuk memudahkan analisis, tanda tersebut akan dirinci menjadi unit-unit tanda yang lebih kecil yaitu, tanda I (figur raksasa), tanda II (figur digambarkan dalam tiga panil dalam posisi menari dan mulut menganga); dan yang terakhir Tanda III (batur Biaro Bahal I).
1. Tanda I (relief raksasa)
Representasi adalah objek yang dapat diamati berfungsi sebagai tanda. Representasi atau tanda I di candi Biaro Bahal adalah figur raksasa, dalam hal ini diperlukan ground peneliti selaku interpreter pada masa sekarang. Ground nantinya akan menjadi penghubung antara referensi seniman dan referensi peneliti dalam menginterpretasi figur raksasa. Dalam hal ini karena figur raksasa dipahatkan pada dinding sebuah bangunan suci agama Buddha, maka ground dengan sendirinya akan berkaitan juga dengan konsep kepercayaan agama Buddha pada masa itu. Seperti yang dikatakan oleh Sairam (1982: 17–18) bahwa sebuah “seni religious” yang ideal menyiratkan titik penting ketika aspirasi kebebasan, pandangan dunia, dan pikiran jernih seniman, pada saat yang bersamaan dikendalikan oleh religiusitas.
Kembali pada ground, figur raksasa dikenal dalam agama Hindu, Buddha, atau pun Jain. Dalam mitologi India, penggambaran rakshasha dibedakan menjadi dua. Pertama, dalam mitologi Hindu, raksasa adalah makhluk jahat atau jiwa yang bersifat jahat. Dalam bahasa Sanskerta, kata raksasa berarti “kekejaman” dan merupakan lawan kata dari raksha (sentosa). Mereka adalah bangsa pemakan daging manusia atau kanibal. Menurut mitologi Hindu, beberapa raksasa merupakan reinkarnasi dari orang-orang berdosa pada kehidupannya yang lampau. Meski bersifat jahat dan suka bertikai dengan para dewa, namun mereka juga memohon kesaktian dengan menyembah dewa tertentu, misalnya Brahma. Dalam Hindu, tidak selamanya raksasa berwujud mengerikan, mukanya sangar, dan bertubuh besar. Beberapa orang lahir dengan tubuh dan rupa manusia namun memiliki jiwa jahat selayaknya raksasa, seperti misalnya: Kamsa, Duryodana, Dursasana, Jarasanda, Sisupala. Tokoh-tokoh tersebut muncul dalam kisah Mahabharata. Raksasa betina disebut rakshasi, sedangkan raksasa dalam wujud manusia disebut manushya raksasa. Kedua, yaksa atau yaksha (berasal dari bahasa Sanskerta) adalah sejenis makhluk dalam mitologi Hindu, setengah manusia, setengah dewa. Yaksa seringkali dihubungkan dengan raksasa.
Berdasarkan definisi keterangan tentang raksasa, kemungkinan raksasa yang digambarkan dalam Biaro Bahal 1 adalah yaksha. Dugaan ini didasarkan pada: pertama, figur raksasa digambarkan pada sebuah bangunan suci; kedua, figur digambarkan tanpa gambaran bidang latar belakang, sehingga yang menjadi pusat perhatian adalah figur itu sendiri tanpa gangguan dari bidang latar belakang. Figur yang menjadi pusat perhatian pembaca relief dan dipahatkan pada bangunan suci tidak lain adalah figur dewa atau yang dianggap sebagai dewa; tidak mungkin figur raksasa jahat dipahatkan pada sebuah bangunan suci tanpa adanya figur dewa atau pahlawan yang menyertainya.
Sebelum dewa-dewa Hindu dan Buddha muncul dalam sistem kepercayaan di India, yaksha merupakan makhluk gaib yang dipuja oleh orang India sebagai sumber kehidupan karena melindungi pertanian. Setelah panteonisme dewa muncul dalam sistem kepercayaan di India, yaksha dimasukkan ke dalam golongan setingkat di bawah dewa.
Pada perkembangan berikutnya, yaksha menjadi pendamping Sang Buddha. Makhluk ini menghiasi stupa bersama makhluk lain seperti yang terdapat di stupa Bharhut, India pada abad I Masehi. Di Sanchi, masih di India, yaksha seakan-akan melindungi dan menjaga bangunan suci di Puncak Torana. Tugas yaksha sebagai pelindung itulah yang kemudian berkembang di Indonesia menjadi dwarapala.
Di Tibet, yaksha disebut sebagai gnod sybin, yang termasuk ke dalam kelas roh halus. Disebutkan juga dalam salah satu teks Buddha bahwa yaksha adalah penjelmaan kekuatan supernatural dari alam. Mereka biasanya hidup terpencil dari manusia dan memiliki keistimewaan sebagai pemimpin kehidupan spiritual.
Sumber lain menyebutkan bahwa yaksha termasuk ke dalam kelas semidewa. Pada umumnya makhluk ini penuh dengan kebaikan, tetapi kadang-kadang juga jahat. Beberapa di antaranya digambarkan sebagai sosok dewa-dewa lokal, yang lainnya hidup di Gunung Semeru (Mahameru) untuk menjaga dunia para dewa. Yaksha juga dikenal sebagai dewa yang melimpahkan keberuntungan dan kekayaan (Jain & Daljeet, 2006: 10). Dalam agama Hindu, Kubera (Sansekerta: Kuvera; baca: Kuwera) adalah dewa pemimpin golongan bangsa yaksa atau raksasa. Meski demikian, ia lebih istimewa dan yang utama di antara kaumnya. Ia bergelar “bendahara para dewa”, sehingga ia disebu dewa (Hindu), sedangkan dalam agama Buddha disebut Jambhala yang merupakan Dewa Kekayaan.
Figur yaksha sering digambarkan dalam bentuk raksasa ataupun figur manusia biasa dengan perhiasan yang mencolok (Jain & Daljeet, 2006:10). Melalui uraian di atas, dapat diketahui bahwa tanda I (figur raksasa) memunyai indeks dengan representasinya. Hal ini berarti, tanda I (figur raksasa) mengindikasikan sebuah konsep bahwa figur tersebut adalah yaksha yang digambarkan sebagai raksasa.
2. Tanda II (relief menari dan mulut menganga)
Tanda II, yaitu figur yang digambarkan dalam tiga panel dalam posisi menari dan mulut menganga. Tanda II ini akan dirinci lagi menjadi dua tanda yang lebih kecil, yaitu tanda (b), figur digambarkan dalam tiga panil relief; dan tanda (b), figur digambarkan dalam posisi menari dengan mulut menganga. Masing-masing tanda akan dihubungkan dengan ground yang bersifat ikon dan indeks untuk selanjutnya ditentukan representasinya yang paling tepat.
Tanda (a) yaitu, figur digambarkan dalam tiga panil relief, apabila dihubungkan dengan ground yang bersifat ikonik, dapat berarti bahwa jumlah figur yang digambarkan dalam relief tersebut adalah tiga figur. Akan tetapi, apabila diamati lebih detil, tampak bahwa komponen-komponen ikonografi dan gambaran wajah yang dimiliki oleh tiga figur tersebut sama. Hal ini tentunya menjadi sebuah pertimbangan juga bahwa terdapat sebuah kemungkinan bahwa figur yang digambarkan sebenarnya berjumlah satu figur saja, tetapi digambarkan dalam tiga sekuen gerakan tari. Representasi yang terakhir sepertinya lebih tepat apabila diterapkan pada tanda (a). Dengan demikian, tanda (a) yaitu figur digambarkan dalam tiga panil relief, merupakan sebuah indikasi adanya sebuah konsep bahwa jumlah figur sebenarnya satu tetapi digambarkan dalam tiga panil relief karena figur tersebut bergerak dalam tiga sekuen gerakan. Hal ini berarti antara tanda (a) dan representasinya memiliki ground yang bersifat indeks.
Tanda (b), yaitu figur digambarkan dalam posisi menari dengan mulut menganga, representasi dihubungkan dengan konsep kepercayaan dalam agama Buddha. Satu hal yang perlu dicatat dalam hal ini adalah adanya aksesoris berupa sebilah pedang. Pedang, selain sebagai sarana mempertahankan diri, juga merupakan simbol dari adanya pengorbanan. Apabila konsep ini dihubungkan dengan aktivitas menari yang dilakukan oleh yaksha, terdapat kemungkinan bahwa yaksha dalam hal ini digambarkan dalam posisi melakukan aktivitas tarian pengorbanan. Seperti yang dikemukakan oleh Suleiman (1985:26), bahwa kompleks percandian Padang Lawas erat kaitannya dengan agama Buddha aliran Vajrayana.
Vajrayana memandang alam kosmos (alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk mencapai pembebasan. Apabila di Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh Buddha), maka dalam Vajrayana, Buddha bermanifestasi dan berada di mana-mana. Oleh karenanya, Buddha adalah wadah atau badan kosmik yang memiliki enam elemen, yakni: tanah, air, api, angin, angkasa, dan kesadaran. Dalam rangkaian yang tersusun sebagai sistem, Vajrayana selain memiliki pandangan filosofis, juga memiliki puja bakti ritual maupun sistem meditasi khusus yang disebut Sadhana, yaitu meditasi dengan cara memvisualisasikan dengan mata batin, menyatukan mudra, dharani (mantra), dan mandala.
Hal tersebut didasarkan pada beberapa temuan di tempat penelitian yang mengindikasikan keberadaan aliran tersebut di kompleks percandian Padang Lawas. Antara lain adalah penemuan Arca Bhairawa, Heruka dan Prasasti Tandihat yang berisi mantra dalam sekte Vajrayana. Upacara terpenting bagi penganut aliran Vajrayana adalah upacara Bhairawa yang pelaksanaannya berlangsung di sebuah ksetra, yakni tempat penimbunan mayat sebelum dibakar yang dianggap suci. Di sana mereka melakukan semadi, menari-nari, merapalkan mantra-mantra, membakar mayat, minum darah, tertawa-tawa, serta mengeluarkan bunyi seperti suara banteng (Suleiman, 1985: 26). Lebih jauh lagi, pisau atau pedang dalam hal ini sebagai simbol dari pengorbanan. Melalui uraian di atas, maka tanda (b) merupakan sebuah indikasi terdapatnya sebuah konsep bahwa yaksha di dalam relief tersebut digambarkan dalam suatu aktivitas ritual suci aliran Vajrayana.
Setelah dilakukan pembahasan terhadap tanda-tanda (a) dan (b), selanjutnya representasi dari Tanda II (figur digambarkan dalam tiga panel dalam posisi menari dan mulut menganga) dapat ditentukan dengan lebih mudah. Kata kunci untuk ground berdasarkan interpretasi dari tanda (a) dan (b), adalah figur melakukan tiga sekuen gerakan tari dan menari, pengorbanan dan tertawa merupakan ritual suci aliran Vajrayana. Jadi, representasi dari tanda II adalah figur digambarkan melakukan aktivitas ritual aliran Vajrayana.
Pembahasan berikutnya adalah tanda III yaitu, (batur Biaro Bahal I) yang akan dihubungkan dengan ground arsitektural bangunan candi secara umum, yang berarti hubungan antara tanda III dan representasinya akan bersifat indeks pula.
Menurut Soekmono (1977: 241) candi adalah kuil tempat pemujaan dewa. Di tempat itu orang berbakti kepada dewa, oleh karena itu benda terpenting untuk pemujaan adalah patung yang melukiskan dewa itu. Menurut kosmologi India, tempat bersemayam para dewa yang sesungguhnya adalah puncak Gunung Mahameru—gunung kosmis bangsa India. Dengan demikian candi merupakan pencerminan atau simbol tempat tinggal dewa-dewa itu atau merupakan replika Gunung Mahameru. Candi juga merupakan simbolisasi alam semesta.
Pembagian bangunan ke dalam tiga bagian yaitu kaki, tubuh, dan atap sesuai dengan lingkungan alam semesta yang terdiri atas bhurloka (lingkungan para makhluk yang masih bisa mati), bhuvarloka (lingkungan manusia yang sudah disucikan), dan svarloka (lingkungan para dewa) (Soekmono, 1972: 15). Sebagai replika Gunung Mahameru atau replika kosmos, candi harus didirikan di lingkungan yang suci. Oleh karena itu, suatu tempat yang akan dipakai untuk mendirikan candi harus disucikan lebih dahulu. Tempat itu kemudian diberi tanda dengan sembilan patok, satu di pusat lainnya pada keempat sudutnya serta pada tengah sisi-sisinya. Ketiga alam tersebut secara berturut-turut dalam agama Buddha disebut Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu (Fontein, 1972: 13). Selanjutnya di halaman itu didirikan candi. Halaman candi kemudian dinyatakan dengan tembok keliling (Soekmono, 1977: 232-235). Halaman dalam kompleks candi merupakan lingkungan yang suci, sedangkan pagar merupakan batas pemisah dengan dunia profan (Kempers, 1959: 20).
Ketiga bagian dari bangunan suci Candi Biaro Bahal I berada di atas sebuah batur yang berbentuk bujursangkar dengan ukuran 10 x 10m. Keberadaan batur candi ini mengindikasikan bahwa tiga bagian bangunan suci tidak didirikan di atas tanah, dan batur dalam hal ini adalah sebagai landasan tempat ketiga bangunan suci tersebut berada. Dalam bilik candi agama Buddha pada umumnya terdapat arca pemujaan yang tentunya merupakan figur dewa utama. Ada pun batur candi merupakan bangunan tempat dilaksanakannya pradaksinapatha. Pelaksanaan pradaksinapatha, yang tidak lain adalah ritual pemujaan berupa berjalan mengelilingi bangunan suci yang dilakukan di batur candi, mengindikasikan bahwa batur candi merupakan wahana pelaksanaan ritual, tempat penting dalam pelaksanaan ritual pemujaan. Melalui uraian ground indeks di atas, maka tanda III yang berupa (batur Biaro Bahal I) mengindikasikan sebuah konsep bahwa Batur Biaro merupakan wahana ritual dan landasan ketiga bagian bangunan suci tempat dewa-dewa yang dipuja berada.
Dalam proses semiotic, tanda-tanda di atas selanjutnya dapat dijadikan petunjuk untuk selanjutnya menentukan representasi dan interpretaasi dari tanda utama yang tertera di dalam permasalahan, yaitu relief raksasa dalam posisi menari yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I. Hal-hal yang perlu dicatat berdasarkan analisis tanda-tanda, berkaitan dengan inti permasalahan adalah figur yaksha; gerakan menari dalam tiga sekuen; ritual-ritual suci aliran Vajrayana; dan batur candi sebagai wahana ritual pemujaan dan landasan keberadaan bangunan suci tempat dewa-dewa utama dipuja. Dengan demikian, tanda (relief raksasa dalam posisi menari yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I)berdasarkan uraian dan pembahasan atas Tanda I, II, dan III, mengindikasikan sebuah konsep bahwa relief tersebut menggambarkan figur yaksha yang secara kontinyu melakukan ritual-ritual suci aliran Vajrayana dengan menari dan tertawa, tidak lain untuk melindungi, memakmurkan, dan menyucikan ketiga bagian suci dari Biaro Bahal I yaitu Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu tempat dewa-dewa utama dipuja.
Lebih jelas lagi, apabila dihubungkan dengan candi sebagai representasi dari Gunung Mahameru, maka tanda (relief raksasa dalam posisi menari yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I) memunyai relasi indeks dengan konsep representasi Biaro Bahal sebagai representasi dari Gunung Mahameru, dan yaksha sebagai penjaga alam dewa-dewa bertempat tinggal di kaki gunung Mahameru tersebut, melakukan ritual ritual aliran Vajrayana dengan menari dan tertawa untuk menyucikan dan memuja dewa-dewa yang bertempat tinggal di Gunung Meru. Melalui relasi tersebut tidak mengherankan apabila relief tersebut digambarkan pada batur candi.
Kepustakaan
Fontein, Jan. et. al. 1972. Kesenian Indonesia Purba. New York: Grapic Society Ltd.
Kempers, A. J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: P. J. Van der Peet.
Koestoro, Lucas Partanda. dkk. 2001. Biaro Bahal Selayang Pandang. Medan: Maparasu.
Restiyadi, Andri. 2006. “Analisis Sintaktik, Semantik, dan Kreativitas Seniman Jawa dalam Pembingkaian Tanda Visual-Naratif pada Relief Cerita Krsna di Candi Prambanan (Sebuah Pendekatan Semiotika Desain)”, dalam Skripsi untuk gelar Sarjana dalam Ilmu Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sairam, T. V. 1982. Indian Temple Forms and Foundations. New Delhi: Agam Kala Prakasham.
Internet
Sonesson, Göran. Lecture I: The Quadrature of The Hermeneutic Cicle, Historical And Systematic Introduction to Pitorial Semiotics. http://www.chass.utoronto.ca/epc/srb/cyber/ Sonesson1.pdf. tt (a).
http://balarmedan.wordpress.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Relief
Relasi Makna C.S Piercehttp://fahri99.wordpress.com/2007/06/20/relasi-makna-cs-pierce/
JudulMetodologi Penelitian FolklorPenulisSuwardi EndraswaraPenerbitMedia PressindoISBN9797880990, 9789797880996
http://echoarianto.wordpress.com/2010/02/28/candi-biaro-bahal-di-tapanuli-selatan/
http://www.budpar.go.id/filedata/790_1261-03Padang Lawas1.pdf
http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub20/Sub221/Art223/baca.php?com=1&id=223
http://bulletin.alambahasa.com/budaya-indonesia/52/riwayat-dvarapala/
http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
http://www.purbakala.jawatengah.go.id/detail_berita.php?act=view&idku=35
http://balarmedan.wordpress.com
Sumber : http://www.wacananusantara.org/content/view/category/2/id/647
Tidak ada komentar:
Posting Komentar