Sabtu, 20 Maret 2010

Astadusta dalam Perundang-undangan Majapahit

Pengantar
Majapahit merupakan sebuah kerajaan besar dan diakui keberadaannya. tidak hanya itu, peninggalan-peninggalan kerajaan tersebutpun hingga samapai saat ini masih bisa terlihat oleh kita. sebuah kerajaan besar ummumnya merupakan gambaran ideal dari sebuah tatanan kenegaraan dan ketatamasyarakatan salahsatunya adalah adanya Astadusta sebagai sebuah kitab perundangan yang didalamnya mengatur kehidupan pada saat itu. Di dalam Kitab Perundang-undangan Majapahit yang disebut Kutara Manawa terdapat 19 macam masalah (bab) yang terbagi dalam 275 pasal. Salah satu di antara kesembilan belas masalah atau bab tersebut adalah astadusta (delapan dusta). Masalah lainnya ialah: kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur, masalah budak, astacorah (delapan pencurian), sahasa (pemaksaan), jual-beli-gadai, utang-piutang, titipan, tukon (mahar/mas kawin), perkawinan, paradara (mengganggu isteri orang lain), warisan, parusya (perusakan) dan daparusya (penyiksaan fisik), kelalaian, perkelahian, tanah, dan fitnah.

Sebagai catatan, kitab perundang-undangan yang dipergunakan di kerajaan Majapahit dalam abad XIV-XV Masehi ini pernah dijadikan disertasi oleh J.C.G. Jonker dengan judul Een Oud-Javaansche Wetboek vergeleken met Indische bronnen pada 1885 Masehi, kemudian diterjemahkan dan disusun berdasarkan kelompok isi oleh Slamet Muljana (Perundang-undangan Madjapahit), diterbitkan oleh Bhatara tahun 1967.

Astadusta
Istilah astadusta diartikan sebagai delapan macam kejahatan yang harus dihukum berat. Kedelapan tindak kejahatan yang termasuk dalam golongan astadusta tersebut adalah: (1) membunuh orang yang tidak berdosa; (2) menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa; (3) melukai orang yang tidak berdosa; (4) makan bersama dengan seorang pembunuh; (5) mengikuti jejak pembunuh; (6) bersahabat dengan pembunuh; (7) memberi tempat kepada pembunuh; dan (8) memberi pertolongan kepada pembunuh.

Seluruh tindak kejahatan yang termasuk dalam kelompok astadusta ini diatur dalam kitab Kutara Manawa pasal 3 dan 4 (versi Slamet Muljana). Pasal 3 kitab perundang-undangan Kutara Manawa menyebutkan bahwa membunuh orang yang tidak berdosa, menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa, dan melukai orang yang tidak berdosa, jika terbukti, tebusannya adalah hukuman mati. Ketiga dusta itu disebut dengan “dusta bertaruh jiwa”. Namun, apabila yang bersangkutan ingin mengajukan permohonan hidup kepada raja yang sedang berkuasa, ia dapat menggantinya dengan membayar denda sebanyak empat laksa untuk setiap satu tindakan. Pembayaran denda tersebut adalah sebagai syarat bagi penghapusan dosa yang telah dilakukannya.

Sedangkan, pasal 4 dalam kitab tersebut menyebutkan bahwa orang yang makan bersama pembunuh, bersahabat dengan pembunuh, mengikuti jejak pembunuh, memberi tempat kepada pembunuh dan memberi pertolongan kepada pembunuh, jika terbukti, maka hukumannya adalah denda berupa uang sejumlah dua laksa untuk setiap satu tindakan.

Selain pasal 3 dan 4, dalam Kitab Kutara Manawa juga memuat sebuah pasal lagi yang mengatur tentang tindakan yang digolongkan sebagai suatu kejahatan, yaitu pasal 23. Bunyi pasal 23 tersebut adalah sebagai berikut:

“Kejahatan seperti mencuri, menyamun, membegal, menculik, mengawini wanita larangan (perempuan yang masih dalam status kawin), membunuh orang yang tidak bersalah, meracuni, menenung, itu semua disebut sebagai perusuh. Jika perbuatannya itu terbukti, maka hukumannya adalah mati. Demikianlah ujar para sarjana yang telah putus dalam kitab hukum Kutara Manawa. Mereka paham membedakan yang jahat dan yang baik; tahu mana jalan yang menuju duka-nestapa dan menuju surga. Barang siapa memihak perusuh, merintangi dan menghalangi tindakan raja hanya dengan ucapan, supaya didenda dua laksa oleh raja yang berkuasa. Perbuatan menghalangi tindakan raja dengan ucapan itu disebut “meletakkan bahagia pada bangkai”.

Uraian di atas disadur dari beebrapa artikel yang membaerikan informasi mengenai kitab perundang-undangan Kutara Manawa uraian singkat di atas setidakanya memeberikan sebuah pandangan akan keteraturan serta hubungan antara sebuah masyarakat dengan negaranya dan juga sebaliknya demi terciptanya sebuah tatanan yang melambangkan ketercapaian dalam keteraturan hidup.

Referensi
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumber :
http://www.wacananusantara.org/4/153/astadusta-dalam-perundang-undangan-majapahit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar