Sabtu, 24 April 2010

Bajau: Senjata dan Tradisi Pelaut Nomadik

Sebagian besar anggota Suku Bajau di Sulawesi hidup diatas perahu dan sebagaian lagi menetap di pesisir pantai. Suku Bajau di Sulawesi memiliki komplesitas asal, persebaran, dan hubungan dengan Bajau yang berada wilayah lain di Indonesia. Bahkan nama Bajau ini sendiri menyimpan berlapis makna konotatif. Orang-orang Jawa mengenal Suku Bajau sebagai wong kambang, atau “orang-orang yang mengambang”;orang-orang Bugis menyebut mereka dengan waju, atau “orang-orang yang berpindah secara berkelompok,” orang-orang Makasar mengenal mereka dengan nama Turijene, yang berarti “orang air.”

Diceritakan oleh tradisi tertentu, Tempat asal Suku Bajau di Sulawesi adalah di barat-daya semenanjung Sulawesi, sebuah kemungkinan yang diperkuat oleh fakta bahwa Suku Bajau dapat ditemukan didalam atau disekitar pemukiman Bugis atau Makassar. Kebanyakan Suku Bajau yang tinggal diatas perahu ditemukan di pantai terpencil di timur semenanjung Sulawesi. Disana, di kuldesak yang jarang penghuni dan pernah dikuasai suku-suku pemburu kepala, suku pengembara Bajau berhasil menjelajahi perairan lepas pantai dan berhasil mendirikan perkampungan pantai. Perahu-perahu Bajau berkumpul disepanjang Teluk Bone yang menyambung dengan Selat Tiara dan Butung, menuju Pulau Wowoni dan Teluk Kendari, dan juga ke arah utara Kepulauan Sabalangka dan melewati Teluk Tomori. Teluk Kendari menjadi sebuah titik perdagangan untuk Sulawesi barat-daya dimana pedagang Bugis dan Makassar akan berlabuh di pantai yang aman dan berdagang dengan Suku Bajau. Pada tahun 1820, pangeran Bone mencoba untuk mendirikan sebuah koloni di Kendari, akan tetapi permusuhan antar suku di Toraja mengusir suku Bugis; begitu juga dengan Suku Bajau yang menetap. Hanya Suku Bajau nomadik yang dapat bertahan dari ancaman-ancaman itu. Keadaan itu menunjukan bahwa Suku Bajau Nomadik memiliki kemampuan bela diri dan hubungan diplomatis dengan suku pedalaman.

Di daerah pesisir utara Sulawesi, selain di wilayah dekat manado, Suku Bajau tinggal di bagian barat Pantai Kuandang dan tepi timur Pantai Dondo. Di wilayah itu mereka memiliki kesepakatan dengan Bugis yang mengontrol area itu. kemampuan Suku Bajau dalam mengatasi ekspansi Muslim Maluku dibawah kesultanan Halmahera menguatkan fakta bahwa mereka memiliki kemampuan bela diri yang sangat efektif. Mereka sama seperti Suku Bajau di Maluku yang merupakan pionir di pantai utara Kepulauan Obi dan secara konstan menjadi sasasaran serangan perompak dari luar Tobelo dan Galela, atau Suku Bajau di pantai timur-laut Kalimantan yang selalu berhadapan dengan perompak dari Kepulauan Sulu (Filipina), juga merupakan petarung yang tidak mengenal rasa takut.

Laporan yang ditulis oleh J.N. Vosmaer pada tahun 1839 yang menjelaskan Suku Bajau sebagai “… orang-orang yang tekun dan jujur…Suku Bajau nomadic dibedakan dari sifat mereka yang baik, dan juga pemalu…,” tidak menegaskan bahwa mereka tidak dapat bertarung. Hal itu merupakan bagian alami dari tingkah laku orang nomadik yang pada umumnya pemalu karena mereka memang memilih untuk menjadi seperti itu. Seperti orang-orang Tartar di Asia yang memindahkan tenda mereka secara terus-menerus untuk menikmati cuaca yang baik, orang-orang Bajau terus bergerak dengan perahu mereka untuk mendapatkan cuaca yang baik.

Suku Bajau yang menetap dapat ditemukan di sepanjang Sunda Kecil, di Kepulauan Lombok yang pernah menjadi daerah kekuasaan Gowa dari Makassar. Setelah Bugis, dengan dominasi politik dan ekonomi mereka menggantikan Makassar sebagai penguasa, Suku Bajau tetap bertahan di daerah itu. Perkampungan Bajau mungkin dapat kita lihat di sepanjang daerah Bugis, tepatnya di Sumbawa, Flores, dan Adonara. Namun tidak ada Suku Bajau di Sumba dan Timor. Peran yang dimainkan oleh suku Bajau ini dalam perpindahan sistem senjata dan pertarungan hanya dapat dispekulasikan dan dibuktikan oleh investigasi lebih dalam.

Diantara orang-orang Madura yang merupakan pelaut, E.F. Jochim belajar bahwa Suku Bajau dihormati sebagai perenang dan penyelam yang dapat menjelajahi laut dalam. Orang-orang Madura ini bersikeras bahwa Suku Bajau memiliki semacam insang. Menurut bibliografi R. Kennedy, anak-anak Bajau, segera setelah kelahiran mereka, dilempar ke laut dan dapat belajar berenang seperti ikan. Anak-anak itu juga diajarkan cara untuk mengendalikan perahu pada usia dini. Seperti yang diamati Vosmaer, mereka dilatih untuk beradaptasi ke kehidupan air pada usia yang sangat muda dan juga diajari cara melempar tombak dan seruit (harpoon) dalam konteks permainan.

Tombak dan seruit untuk menagkap ikan adalah peralatan yang umum bagi semua pengembara lautan. Sopher dalam Sea Nomads menulis:

Kegunaan tombak penangkap ikan mengurangi pentingnya margin pada daerah kebudayaan Indonesia, dimana lembing merupakan karakteristik senjata perang. Bentuk senjata untuk berburu yang digunakan oleh pengembara lautan untuk menangkap ikan dibandingkan dengan senjata yang digunakan oleh kebudayaan disebagian wilayah Indonesia menunjukan bahwa dalam urusan ini pengembara lautan memliki salah satu karakteristik Kebudayaan Aborigin Indonesia.

Orang-orang Bajau ahli dalam menggunakan tombak. Bentuk-bentuk dari senjata itu bervariasi mulai dari bentuk tombak dengan bermata satu, baik yang berkait atau tidak, tombak trisula, dan seruit trisula. Ujung dari trisula ini umumnya sedikit melengkung kedalam, dimana dua mata trisula memiliki kait dibagian dalamnya. Batang tombak biasanya terbuat dari bambu atau kayu nibong. Mata tombak dapat terbuat dari kayu atau besi. Ketika berburu ikan pari raksasa, panjang mata tombak adalah sekitar 15 inchi dan biasanya dipasangkan dengan batang bambu yang panjang. Kadang-kadang duri ikan pari yang mereka buru digunakan sebagai mata untuk tombak atau belati.

Jelas, peralihan penggunaan tombak dan seruit dalam kehidupan pengembara lautan didasarkan oleh fakta bahwa tombak pernah mereka gunakan sebagai alat utama untuk berburu dan membela diri di daratan. Padtbrugge mengemukakan:

Dahulu Suku Bajau tidak mengenal senjata kecuali tombak dari kayu; tapi kebutuhan mengajarkan mereka untuk melengkapi diri dengan perisai, pedang, dan lembing. Baik ketika menggunakan senjata sederhana yang menyerupai Saligi dari Malaya, bambu atau kayu tajam, atau model tombak dan seruit yang lebih rumit, orang-orang Bajau dapat menggunakan mereka dengan akurat.

Suku Bajau hampir tidak pernah terlibat dalam perompakan karena kurangnya teknologi dan sistem organisasi yang mendukung untuk dapat menjadi perompak yang berhasil. Memang ada beberapa waktu dimana mereka melakukan perampasan dan hal itu dibesar-besarkan oleh penulis Eropa. Sebagai contoh, F.H. van Verschuer menulis “… pada suatu ketika di awal abad 19 ketika sultan Bulungan dan Berau di pantai asia timur-laut Kalimantan bersekutu dengan Sulu, orang-orang Bajau bekerjasama untuk merompak orang-orang Sulu (mungkin Samal) sampai pada akhirnya perwira-perwira angkatan laut Belanda menggunakan istilah Bajau dan bajak (sebutan bahasa Jawa untuk perompak) sebagai padanan yang sama.

Dalam ilmu bela diri, Suku Bajau menggunakan pencak silat gaya Kendari, yang diambil dari nama kota tempat berkembangnya gaya silat itu. Ciri pencak silat ini terletak pada penggunaan kuda-kuda kaki yang menyilang untuk berputar atau menghindar dengan cepat, dan perpindahan titik berat tubuh yang efektif. Gaya silat ini merupakan sebuah sistem gerakan yang cocok digunakan di tempat yang sempit, seperti di perahu. Selain menggunakan senjata-senjata standar pencak silat, pencak silat kendari memakai parau Bajau dan tombak (seruit).

Sumber tulisan:
DIterjemahkan dari “Bajau,” subjudul dari bab ke-6 “Celebes,” dari buku the “Weapons and Fighting Arts of Indonesia” yang ditulis oleh Don F. Dreager.

http://www.wacananusantara.org/content/view/category/99/id/593

Pariwisata dan Pergeseran Sosial Budaya

Oleh : klik-galamedia

Negara jiran Malaysia mengancam akan mengklaim bahasa nasional Indonesia sebagai bahasa Melayu (bahasa Malaysia). “Pemerintah Malaysia akan mengklaim bahasa Indonesia sebagai bahasa Melayu. Karena bahasa Melayu adalah bahasa Malaysia,” ujar Wakil Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Datuk Abdul Azis Harun kepada wartawan di sela-sela helaran “Kemilau Nusantara 2007″ di Gedung Sate Bandung, Minggu (25/11).

Ancaman tersebut, katanya, akan dilaksanakan apabila masyarakat dan pemerintah Indonesia masih mempermasalahkan klaim Malaysia terhadap kesenian reog Ponorogo dan lagu “Rasa Sayange”. Menurutnya, lagu “Rasa Sayange” dibuat pada 1907 dan reog Ponorogo jauh lebih tua karena muncul saat bangsa Indonesia belum lahir. Yang ada pada waktu itu, baik Indonesia maupun Malaysia satu rumpun, dan disebut Nusantara.

“Masyarakat dan pemerintah Malaysia menganggap Indonesia dengan Malaysia adalah bagian dari Nusantara. Munculnya permasalahan ini, karena bangsa Indonesia mempersempit arti Nusantara tersebut,” tambahnya.

Sedangkan negara-negara yang masuk ke dalam Nusantara itu, ujarnya, selain Indonesia dan Malaysia, ada Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand bagian selatan. Jadi, apabila ada kesenian lagu tradisional Indonesia yang berkembang di Malaysia, hal itu merupakan sesuatu yang wajar, karena kesenian itu dibawa oleh suku-suku di Indonesia ke Malaysia sejak ratusan tahun lalu.

“Suku-suku di Indonesia datang bersama seni dan budaya tradisional dan dikembangkan di Malaysia. Kami tidak mungkin memisahkan mereka dengan seni budayanya,” ujarnya.

Abdul Azis pun menyebutkan, pemerintah Indonesia dan Malaysia telah membicarakan masalah yang saat ini ramai diperbincangkan, seperti seni reog Ponorogo dan lagu “Rasa Sayange”. Dalam pembicaraan tersebut, katanya, pemerintah Malaysia lebih mengedepankan persatuan Nusantara. “Namun secara detailnya, saya tidak tahu hasil dari pembicaraan antara Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI dan Menteri Kebudayaan Malaysia,” paparnya.

Dia pun menyebutkan, kasus kesenian tradisional reog Ponorogo dan lagu “Rasa Sayange” ini menjadi ramai lebih karena pers Indonesia. Sedangkan pers Malaysia sendiri, tambahnya, tidak terlalu membesar-besarkan masalah tersebut. “Pasalnya, kedua kesenian tersebut sudah ada di Malaysia sejak ratusan tahun lalu, yang dibawa orang Indonesia dan kemudian menetap di Malaysia,” paparnya. (B.81)**

Sumber: http://www.klik-galamedia.comRata Penuh

Austronesia Kuno dan Subkelompok Utama Austronesia

Oleh : Darrell Tryon

Referensi
Penemuan dari keberadaan rumpun bahasa Austronesia pada abad ke tujuh belas, ketika anggota dari ekspedisi Schouten and Lemaire mengumpulkan kosa kata dari Futuna barat (Wallis dan Futuna) di Pasifik Selatan, yang kemudian diantaranya ditemukan kesamaan dengan bahasa Melayu. Tidak sampai abad ke sembilan belas, studi mengenai Austronesia menjadi citarasa sistematis, terutama karena hasil kerja para ahli bahasa Belanda pada Indonesia saat ini, dengan beberapa misionaris di Pasifik Selatan. Sebuah diskusi tentang sejarah penelitian linguistik Austronesia tidak terdapat disini. Cukup dikatakan bahwa kemajuan utama dalam studi Austronesia terjadi pada abad ini, dimulai dengan karya perbandingan sistematis oleh ahli bahasa seperti Stresemann (1927) dan Dempwolff (1934-38). Sejak saat itu ada sebagian besar penelitian sistematis yang dibawa ke sepanjang wilayah yang luas, dimana bahasa Austronesia dipakai.

Kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu, terdapat sejumlah sub pengelompokan hipotesa yang dilanjutkan oleh para ahli bahasa Austronesia. Hanya yang paling baru yang akan dipertimbangkan dalam rincian pembahasan ini, tujuan utama dari buku ini adalah untuk memberikan sub pengelompokan hipotesa rumpun bahasa Austronesia yang paling baru, melihat apa yang dianggap aman, dan subjek penginggalan dari penelitian yang berlanjut. Sebelum melakukan pembahasan, diperlukan untuk memasukkan beberapa pendahuluan keterangan, pertama pada susunan rumpun bahasa Austronesia, yang lain pada pertimbangan metodologi, khususnya pada metodologi sub pengelompokan linguistik.

Rumpun Austronesia
Rumpun bahasa Austronesia kemungkinan adalah rumpun bahasa terbesar di dunia, dengan 1.200 bahasa dan rata-rata 270 juta penutur. Berdasarkan pada studi terbaru (Tryon, ed. 1994) rumpun bahasa Austronesia terdiri dari bahasa yang memiliki puluhan juta penutur (Bahasa Melayu/ Indonesia, bahasa Jawa, dan Tagalog) secara mengejutkan, dengan sejumlah besar bahasa dengan hanya ratusan penutur. Hal ini belakangan menyebar di Oseania, yang mana penyebabnya diteliti lebih lanjut pada buku ini oleh Dutton. Jangkauan geografis dari rumpun Austronesia terlihat pada Peta 1. Dengan melihat sekilas pada peta akan terlihat bahwa bahasa Austronesia dipakai dari Madagaskar Barat sampai Pulau Paskah Timur. Bahasa tersebut dipakai hampir secara universal di Indonesia dan Filipina, di Singapura dan Malaysia, oleh penduduk pribumi di Taiwan, dan golongan kecil penduduk di Vietnam, Kamboja, dan busur Kepulauan Mergui di luar pesisir Birma (saat ini Myanmar). Lebih jauh ke timur, bahasa Austronesia dipakai hampir di seluruh Kepulauan Oseania dengan pengecualian pada daerah pedalaman dan kawasan pantai dari biduk Pulau Papua (Irian jaya dan Papua Nugini).

Metodologi
Metode pokok yang telah digunakan dalam subkelompok bahasa Austronesia adalah metode perbandingan-sejarah tradisional, yang dikembangkan secara besar pada abad yang lalu, dalam hubungannya dengan studi perbandingan pada bahasa Indo-Eropa. Singkatnya, metode ini secara sistematis membandingkan suara korespondensi tetap antarbahasa yang dibandingkan sebagai langkah pertama menuju rekonstruksi bahasa kuno yang diturunkan dari bahasa inang. Pada saat rekonstruksi dari bahasa kuno tercapai, bahasa individu dan satuan bahasa diuji untuk menentukan perubahan-perubahan (secara fonologi, morfosintatik, dan leksikal) yang menyatakan adanya hubungan keluarga dengan bahasa kuno. Di dalam perubahan-perubahan inilah subpengelompokan bergantung dan berjalan.

Ross (1994) telah membuat dua pengamatan yang sangat berkaitan, bagaimana perubahan-perubahan ini terbagi lintas bahasa. Ross mencatat pola perubahan lintas bahasa dalam dua cara yang berbeda, mencerminkan dua rangkaian pembangunan yang berbeda. Yang pertama, kelompok bahasa membagi ikatan diskret dari perubahan. Sebagai contoh, bahasa A ke bahasa Z, anggota dari rumpun bahasa kuno atau bahasa nenek moyang yang dikenal adalah *AZ, bahasa A-P akan membagi satu ikatan dari perubahan yang tidak terbagi oleh bahasa Q-Z dan sebaliknya. Bahasa ini kemudian akan terbagi dalam dua sub kelompok yang berbeda, AP dan QZ. Ini adalah penyebaran dari perubahan yang terjadi ketika bahasa telah terbagi oleh pemisahan, yaitu ketika dua atau lebih komunitas berbicara bahasa yang sama kemudian terpisah secara geografis. Bagaimanapun juga., ini bukanlah satu-satunya cara bahasa tervariasi. Bahasa dapat tervariasi tanpa pemisahan fisik melalui diferensiasi dialek dalam wilayah mereka sendiri. Dalam hal ini, sebagai ganti dari ikatan diskret perubahan, terdapat ikatan tumpang tindih yang membentuk sebuah rantai. Kedua fenomena distribusi ini dapat dilihat pada rumpun bahasa Austronesia, dan akan mempunyai akibat yang penting dari sub pengelompokan Austronesia saat ini. Walaupun metode perbandingan adalah alat yang sangat kuat, metode tersebut mempunyai beberapa keterbatasan, terutama dalam mengenali perubahan bahasa induksi - kontak (lihat bab oleh Tom Dutton dalam buku ini)

Metode yang lain yang digunakan pada sub kelompok bahasa adalah leksikostatistik, sebuah metode yang berdasar pada angka pengganti dari kosakata dasar sebuah bahasa dari waktu ke waktu. Metode ini dipakai oleh Dyen (1965) dalam klasifikasi leksikostatistiknya yang terkenal pada rumpun bahasa Austronesia. Walaupun metode ini berguna sebagai hampiran pertama, namun metode ini paling bermanfaat untuk bahasa yang berhubungan cukup dekat. Masalah utama metode ini, betapapun metode ini berdasar pada alasan bahwa semua bahasa berganti kosa kata secara terus menerus, yang dinyatakan sebagai kesalahan yang dapat dibuktikan. Dengan alasan ini, sub pengelompokan hipotesis yang dibicarakan dalam buku ini, semua berdasarkan pada teknik perbandingan sejarah komparatip.

Sub pengelompokan Hipotesis Terbaru
Rumpun bahasa Austronesia Inti, adalah bahasa nenek-moyang, asal dari bahasa Austronesia yang lain, diperkirakan oleh kebanyakan ahli, telah digunakan di pulau Taiwan pada lima ribu tahun yang lalu. Bahasa nenek moyang ini diperkirakan telah berubah dari waktu ke waktu menjadi empat sub kelompok utama.

Dengan kata lain, banyak ahli yang memperkirakan bahwa tiga dari keempat sub kelompok tingkatan tertinggi dari rumpun bahasa Austronesia telah dipakai di Taiwan sejak perkembangan rumpun bahasa Austronesia Inti. Seperti yang telah di bicarakan sebelumnya, bahasa terdiri dari dua proses yang berbeda - diferensiasi dialek secara bertahap, dan pemisahan. Kemungkinan besar bahwa bahasa dari sub kelompok Atayalic, Tsouic and Paiwanic timbul dari diferensiasi dialek secara bertahap dari rumpun bahasa Austronesia Inti, atau dari dialek keturunan sebelumnya yang dituturkan oleh penduduk yang tinggal dibalik bahasa tersebut, yang menjadi milik sub kelompok Melayu-Polinesia yang meninggalkan pulau. Perbedaan dalam proses pembangunan ini, akan lebih baik apabila ditandai dengan diagram dibawah ini.

Berdasarkan klasifikasi ini, semua rumpun bahasa Austronesia yang dituturkan di luar Taiwan berasal dari bahasa Melayu-Polinesia Inti.

Dengan ini, akan lebih berguna untuk mempertimbangkan gambaran Blust dari semua sub kelompok utama rumpun bahasa Austronesia dan lalu kembali dan mempertimbangkan bukti-bukti dari mana mereka berasal, bersama dengan beberapa sub kelompok alternatip, yang baru-baru ini ada dalam pembahasan oleh para Austronesianis.

Dalam posisi ini, akan lebih berguna bila mempertimbangkan gambaran Blust dari semua sub kelompok utama rumpun bahasa Austronesia lalu kembali mempertimbangkan bukti-bukti dari mana mereka berasal, bersama dengan beberapa sub kelompok alternatip, yang baru-baru ini dibahas oleh para Austronesianis. Asal usul dari Rumpun Austronesia yang lengkap ditunjukan oleh Blust.

Boleh jadi, awal yang tepat adalah memeriksa potongan utama dari bukti-bukti yang mengarahkan para ahli untuk membuat kesimpulan bahwa semua bahasa Austronesia diluar Taiwan, membuat sebuah sub kelompok tingkat pertama dari rumpun bahasa Austronesia. Blust (1977, 1982) mengemukakan sebagai berikut:

1. Kata ganti Austronesia Inti terbagi dalam dua kumpulan parsial yang berbeda, bentuk panjang (aktor/pasien) dan bentuk pendek (agen/pemilik). Bentuk pendek secara khas terdiri dari huruf vokal terakhir, ditambah huruf konsonan terdahulu yang berasal dari bentuk panjang bersesuaian (contohnya; *aku: ku, ‘bentuk tunggal pertama’). Perbandingan Formosa bagian dalam menunjukan sebuah sistem keturunan leluhur yang mana korespondensi resminya adalah teratur. Tetapi, disemua wilayah diluar Formosa kita menemukan bahwa bentuk pendek dari kata ganti bersesuaian pada *kamu ‘bentuk jamak kedua’ adalah khas, meskipun tidak secara eksklusif digunakan sebagai kata ganti tunggal, dijelaskan sebagai “ingsut kesopanan”. Blust beranggapan bahwa sokongan simetris dan kesederhanaan menyebabkan pemakaian kata ganti tersebut sebagai sebuah perubahan, dan juga sebuah potongan yang bernilai dari sub pengelompokan fakta. Memberikan ketidakwajaran pada perubahan dari bentuk jamak ke bentuk tunggal yang mempengaruhi bentuk pendek dari kata ganti dan bukan dalam bentuk panjang yang sama, yang mana secara sederhana menghubungkan pengunaan bentuk tunggal sari *-mu ke dalam sebuah perubahan dibandingkan kedalam rentetan perubahan yang memusat. Blust menyimpulkan bahwa perubahan *-mu ‘bentuk jamak ke-dua’ > -mu ‘bentuk tunggal ke-dua’kemudian diambil sebagai bukti untuk sub kelompok non-Formosa (bahasa Melayu-Polinesia) dari bahasa Austronesia (1982:235).

2. Pada buku sebelumnya, Blust (1977:11-12) menyebutkan bahwa potongan lebih lanjut dari bukti kata ganti mendukung pernyataannya. Mengenai bentuk panjang atau bentuk lengkap. Blust mengatakan bahwa Dahl telah merekonstruksi sebuah bentukan *a(N)ken ‘bentuk lengkap kata tunggal pertama’ sebagai tambahan untuk *aku. Blust menyatakan bahwa didalam bahasa yang berada diluar Taiwan, akhiran *-e menyatakan fokus tujuan, sedangkan pada tingkat Bahasa Austronesia Inti, satu-satunya makna yang dapat melekat dengan aman pada *a(N)ken adalah kepemilikan absolut, mengutip pada bahasa Austronesia Inti *iten v *kita ‘bentuk pertama kata tunggal’, and *amen v *kami ‘bentuk pertama kata jamak’

3. Bukti-bukti fonologi dari sub pengelompokan bahasa Austronesia diluar Taiwan kedalam sebuah sub kelompok urutan atas adalah sebagai berikut: Prekonsonan bahasa Austronesia Inti dan *S akhiran menghilang, hasil akhirnya adalah gabungan *a dari seluruh bahasa Melayu-Polinesia. Sebagai contoh:

PAn *kuSkuS > PMP *kuku ‘nail (of finger, toe)’,
PAn *tuqaS > PMP *tuqa ‘old’,
PAn *CumeS > PMP *tuma ‘clothes louse’.

4. Pada saat yang bersamaan, perubahan lainnya yang dicerminkan pada sepanjang wilayah Malayo-Polinesia adalah penggunaan dari kata awalan verbal Melayu-Polinesia Inti *paŋ-, and *maŋ- untuk membentuk kata kerja yang mana perantaranya adalah subjek dari kata kerja, yaitu pasien adalah sebagai subjek (Ross 1994; Reid, pers.comm.).

5. Sebagai tambahan fakta diatas, terdapat sejumlah perubahan fonologi yang lain dari sub kelompok Melayu-Polinesia Inti berasal. Termasuk penggabungan dari bahasa Austronesia Inti *t and *ts sebagai Melayu-Polinesia Inti t*. Bagaimanapun juga harus diingat bahwa bahasa Taiwan baik Amis dan Bunun sama-sama ikut andil dalam penggabungan fonologi ini. Betapapun mereka turut dibedakan dari cakupan area Melayu-Polinesia Inti 1-4 diatas.

Dyen (1990) tidak sepaham dengan pandangan bahwa semua bahasa Austronesia diluar Taiwan adalah anggota dari sub kelompok tunggal bahasa Melayu-Polinesia. Melibatkan metode leksikal yang disebut “klasifikasi leksikal homomerik” untuk “kumpulan rumpun berbeda yang tersebar persis pada kelompok bahasa yang sama yang dikatakan homomerus" (1990:212) Dyen mengklaim bahwa "Semua klasifikasi yang lain memisahkan bahasa Filipina dari Formosa pada tingkat yang tinggi, sedangkan fakta yang di tunjukan disini menurut bahasa Filipina sebagai keluarga terdekat dari rumpun bahasa Formosa, yang kemudian diperkirakan membentuk sebuah sub kelompok tunggal” (1990:224).

Dalam pembahasannya mengenai masalah sub pengelompokan rumpun bahasa Austronesia, Ross (1994)memperkirakan bahwa di Taiwan terdapat cakupan yang cukup baik tentang perjanjian sub kelompok urutan bawah. Li (1980, 1981, 1985) telah melakukan perbandingan kerja pada sub kelompok Atayalik, dan Tsuchida (1976) yang menghasilkan sebuah rekonstruksi yang kuat pada Tsouic kuno. Juga terdapat penjanjian publik pada anggota inti sub kelompok Paiwanik. Diluar ini, terdapat pertentangan dalam keanggotaan sub kelompok, terutama mengenai letak Rukai.

Sebagai contoh, kita bandingkan diagram asal-usul yang dihasilkan di Tsuchida (1976) dan Li (1985). Li (1985) mengemukakan tiga sub kelompok utama didalam Taiwan; kelompok utara, yang terdiri dari beberapa bahasa yang dihubungkan dengan bahasa lainnya dengan Paiwanic, Tsouic dan kelompok Paiwanic yang tereduksi. Disamping masalah dalam pengelompokan dengan bahasa Austronesia di Taiwan, terlihat jelas bahwa bahasa Austronesia Inti terbagi kedalam pertalian dialek dan bahasa sebelum penutur yang kemudian menjadi Melayu-Polinesia Inti meninggalkan Taiwan.

Ross (1994) mengusulkan bahwa kemungkinan pre- Melayu-Polinesia Inti telah berpindah dari pesisir tenggara Taiwan, wilayah bahasa Amis, sejak bahasa ini muncul dari bahasa Austronesia Inti *qamis ‘utara. Adalah hal yang mungkin apabila Amist memberikan nama ini pada penutur bahasa Melayu-Polinesia ke selatan yang mungkin mengingat mereka sebagai saudara mereka. Tentu saja pada kisaran linguistik, Reid (1982) mengingat bahwa cabang Amis - Ekstra Formosa diperlukan dalam diagram silsilah rumpun bahasa Austronesia.

Kita akan kembali pada perkiraan Reid akan sub kelompok Austronesia tingkat atas dibawah ini. Pertama, marilah kita kembali pada sub kelompok Melayu-Polinesia perkiraan Blust dan sub kelompok penyusun utamanya.

Disetiap cabang kanan dalam diagram pohon yang berada diatas, mewakili tuturan dari setiap daerah yang penduduknya telah berpindah tempat dari daera yang mapan, maka sebuah bahasa yang baru muncul dikarenakan perbedaan, hasil dari pemisahan. Tangkai sebelah kanan juga mewakili jalur perpindahan utama rumpun bahasa Austronesia, dari Taiwan ke Oseania. Telah tercatat, bahwa kebanyakan dari cabang sebelah kiri tidak mewakili bahasa Inti tersendiri, karena mereka mewakili “seseorang yang lebih suka tinggal di rumah” (Ross 1994). Pendapat Ross selanjutnya, terlihat seolah-olah bahasa Inti tetap telah terbagi dalam sebuah hubungan lokal sebelum permisahan terjadi. Dalam hal ini, dialek atau bahasa dari “mereka yang lebih suka tinggal dirumah” tidak mempunyai leluhur yang ekslusif. Malahan, mereka hanya membagi satu leluhur pada tangkai diatas, dengan bahasa dari mendiang para pendatang.

Bahasa Melayu-Polinesia Barat termasuk dari bahasa penduduk Filipina dan Indonesia barat, termasuk Chamorro, Palauan, Chamic dan Malagasi. Kita mengetahui sedikit tentang sub pengelompokan dari bahasa Melayu-Polinesia Barat, dan sebagai mana yang Blust (1985) nyatakan, tidak ada bukti yang jelas bahwa bahasa-bahasa ini membentuk sebuah sub kelompok rumpun bahasa Austronesia. Blust tidak sendiri dalam pemikiran ini.

Buktinya, tidak terdapat persetujuan yang nyata seperti bagaimana sub kelompok bahasa Melayu-Polinesia Barat among themselves. Ruhlen (1987), mendasarkan dirinya pada hasil kerja Blust, menetapkan anggota dari sub kelompok bahasa Melayu-Polinesia Barat kedalam sebelas bagian, seperti berikut:

1. Chamorro
2. Palauan
3. Yapese
4. Filipina Utara
5. Filipina Selatan
6. Meso-Philippine
7. Mindanao selatan
8. Sulawesi
9. Borneo
10. Sama-Bajau
11. Sundic

Ruhlen tidak memberikan pembenaran untuk sub-sub kelompok diatas, selain dari geografis saja. Harus dicatat bahwa Chamorro, Palauan dan Yapese dituturkan di Mikronesia sampai ke Filipina timur. Walaupun Chamorro dan Palauan jelas bukan Oseanik, kedudukan dari Yapese belum lah jelas.

Bahasa dari busur kepulauan Filipina (termasuk Kepulauan Batan antara Taiwan dan Filipina) dan beberapa kelompok bahasa yang dipakai di daerak utara kekuasaan Sulawesi telah dipercaya secara umum kedalam sub kelompok Filipina utama yang dianggap telah diturunkan dari Filipina kuno (Zorc 1977, 1986). Sub pengelompokan ini belum pasti bagaimanapun juga, Reid (1982:202) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang Charles (1974) tuliskan, dibagi oleh bahasa dari sub kelompok berdasarkan bilangan dari perbedaan fonemik untuk bahasa Austronesia Inti yang dikemukakan oleh Dyen and Dempwolff yang mana “tidak berdiri pada penelitian yang cermat dan kemungkinan hasil dari pinjaman yang tidak dikenal atau proses fonologi yang tidak jelas didalam sejarah bahasa yang terlibat”.

Reid (1982:212) juga tidak merasa senang tentang bahasa Mindanao Selatan, Blaan and Tboli (yang membuat Reid terus memikirkannya sampai saat ini, lihat dibawah), cukup terpisah dari sub kelompok urutan tertinggi yang menghubungkan bahasa Taiwan dan Filipina. Reid menemukan bahwa bahasa Mindanao Selatan tidak mencerminkan satu pun ciri-ciri dari perubahan bahasa Melayu-Polinesia, dan kemungkinan diturunkan dari “ Penutur Austronesia yang bermigrasi secara dini ke Formosa selatan”. Kita akan kembali pada pokok ini segera, dengan pembaharuan dari pemikiran Reid.

Zorc (1986)menantang sub pengelompokan Reid dan membela dugaan akan pengelompokan Filipina tunggal. Pernyataannya ini berdasarkan jumlah besar perubahan leksikal yang terbagi secara luas oleh bahasa dari busur kepulauan Filipina.

Para komentator telah berkata bahwa sulit untuk menilai kedudukan Zorc, karena tidak jelas apakah perubahan leksikal tidak berada dalam fakta materi kosa kata yang dipakai dari Melayu-Polinesia Inti tetapi hilang dalam bahasa tambahan Filipina. Reid sendiri berpendapat (1982:212):

“ketika seseorang berpindah ke Filipina Selatan…derajat pengaruh dari satu atau lebih bahasa Filipina tengah menjadi semakin meresap, sehingga menjadi semakin sulit untuk memisahkan lapisan didalam bahasa”.

Pemikiran Reid saat ini telah sedikit berubah, namun tetap berpusat pada sekitar masalah yang disebabkan oleh bahasa dari Filipina tengah, yang membagi beberapa perubahan dengan bahasa Melayu-Javanic, termasuk bentukan dari sebuah kelompok pengikat yang secara ekslusif dibagi oleh kedua kelompok ini. Posisi Reid saat ini (pers.comm) dapat dilihat dalam diagram.

Reid tidak begitu terkait dengan sub kelompok tingkatan lebih atas dalam diagram pohon sebagai usaha tingkat bawah untuk memecahkan masalah yang disebabkan oleh bahasa dari Filipina tengah dan hubungan mereka yang nyata dengan bahasa Melayu-Javanic, yang kebanyakan melalui migrasi ke arah selatan atau serangkaian migrasi.

Terdapat beberapa bentukan sub kelompok lainnya di daerah. Bahasa Melayu-Polinesia Barat. Blust (pers.comm. to Ross)memberikan contohnya sebagai berikut:

1. Moklen (di kepulauan mulai dari pesisir barat Thailand dan Birma)
2. Lampung (Sumatra bagian Tenggara)
3. Daratan Dayak (Pedalaman Borneo Barat-Daya)
4. Filipina Selatan/Sangir/Minahasan (Mindanao, N.Sulawesi)
5. Meso Philippine/Mongondow-Gorontalo (Filipina Tengah, Sulawesi Utara)
6. Sama-Bajau
7. Sumatra Barat Laut/Kepulauan Barrier (Gayo, Batak, Mentawi, Enggano)
8. Borneo Barat Laut
9. Sulawesi Tengah
10. Sulawesi Selatan
11. Tamanic (Borneo tengah)
12. Muna-Buton (Sulawesi Tenggara)
13. Malayu-Chamic (Acehnese, Chamic, Malayan, Sundanese)
14. Java-Bali-Sasak
15. Barito (Borneo selatan, Madagaskar).


Terdapat kemajuan yang dibuat oleh beberapa sub kelompok tingkat bawah pada masa sekarang, seperti:

1. Sub kelompok bahasa Melayu-Chamic, mencakup daerah substansial covering dari Indonesia bagian barat (Blust 1985) secara jelas berhubungan erat dengan sub kelompok Filipina tengah-Melayu-Jawa milik Reid, lihat juga Adelaar (1985), Cowan (1948, 1974) dan Durie (1989). Untuk Melayu-Javanic lihat Nothofer (1986, 1991, 1994). Dalam konteks ini hubungan yang lebih luas dari bahasa sub kelompok Jawa-Bali-Sasak dipakai oleh Esser (1938) tetap berkembang. Selagi hubungan Bali-Sasak terjalin dengan baik, hubungan dari kedua bahasa ini dengan bahasa Jawa belum dipertunjukan secara formal.

2. Sub kelompok Tamanic telah ditetapkan oleh Adelaar (1994)dalam edisi ini), menghubungkan bahasa Tamanic dari Borneo tengah dan bahasa dari Sulawesi selatan. sebelumnya telah diperlihatkan untuk membentuk sebuah sub kelompok oleh Mills (1975).

3. Sub kelompok Barito, di Borneo selatan, terkenal akan salah satu anggotanya, Malagasi. Sampai saat ini Malagasi dipercaya telah berada di Madagaskar sejak abad keempat-kelima. Adelaar menyatakan bahwa penanggalan tersebut setidaknya dua abad terlalu awal.

Nothofer (1990, 1994) telah membuat beberapa usulan baru mengenai Melayu-Polinesia Barat. Usulannya tersebut kebanyakan dari wilayah WMP pernah ditempati oleh penutur dari bahasa milik sebuah kelompok yang dia sebut “Paleo-Hesperonesia” dan kemudian kebanyakan dari wilayah tersebut ditempati oleh para penutur bahasa “Hesperonia”, yang kemudian menjadi budaya yang berpengaruh di Indonesia bagian barat, menggantikan bahasa Paleo-Hesperonesia. Beberapa dari bahasa ini bertahan sampai saat ini disekitar batas luar wilayah bahasa Melayu-Polinesia Barat. Dalam istilah Nothofer, bahasa dari Sulawesi utara dan Filipina tengah dan selatan, bersama dengan Sumatra barat laut dan Kepulauan Barrier, Borneo barat laut, Sulawesi tengah dan selatan adalah Paleo-Hesperonesia, sedangkan kelompok Melayu-Chamic, Jawa-Bali-Sasak dan Baritoadalah Hesperonesia. Ross (1994) menyatakan, betapapun banyaknya fakta yang Nothofer gunakan adalah leksikal dan juga mengalami kesulitan yang sama seperti fakta yang Zorc gunakan untuk Filipina. Lagi pula hipotesa milik Nothofer harus dianggap serius.

Sub kelompok sentral Melayu-Polinesia Barat dari rumpun bahasa Austronesia jauh lebih besar. Pertamakali dikemukakan oleh Blust (1974), kemudian mengangkat kembali bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur.oleh ahli yang sama (Blust 1978). Bahasa yang mendasari sub kelompok bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur. meluas ke Bahasa Bima, pulau Sumbawa, kearah timur melalui rantai Sunda Lesser Indonesia sejauh Kepulauan Aru, dan kearah barat laut Maluku tengah, termasuk busur kepulauan Sula. Sebagai tambahan, beberapa bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur yang masil kurang dikenal terlihat tersebar sepanjang pesisir selatan Irian. bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur dan urutan sub kelompoknya yang lebih bawah

Blust (1990:2) menyatakan bahwa “fakta-fakta untuk bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur dan untuk beberapa sub kelompok yang tidak dikenali sebelumnya, didalam bahasa Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur. sangatlah kuat bila dibandingkan dengan fakta-fakta untuk bahasa Malayo-Polinesia Tengah sendiri”. Seperti yang dapat kita lihat, bahasa Malayo-Polinesia Tengah "dibentuk" oleh sejumlah perubahan yang tumpang tindih yang mencakup kebanyakan baha.sa yang di permasalahkan. Distribusi dari perubahan yang tidak bersamaan ini memberikan ide pada Blust bahwa pada langkah awal dalam pendudukan rumpun bahasa Austronesia di Indonesia bagian Timur, bahasa tersebut saat ini ditunjuk untuk bahasa Malayo-Polinesia Tengah membentuk rantai dialek yang terpisah, yang mana masih digunakan sekitar 90 persen dari kosa kata dasar dengan bahasa yang bukan merupakan bagian dari rantai.

Dalam kaitan implikasi sejarah-budaya, setelah pemisahannya dengan from Melayu-Polinesia Barat Dalam (PWMP), Bahasa Malayu-Polinesia Tengah-Timur-Inti (PECMP) berkembang selama beberapa waktu dalam daerah yang relatip padat secara geografis, sebelum terpisah kedalam Bahasa Malayu-Polinesia Tengah Inti dan Bahasa Malayu-Polinesia-Timur-Inti (PEMP). Bahasa Malayu-Polinesia-Timur-Inti (PEMP) dan keturunan langsungnya, Oseanik Inti masing-masing berkembang dalam daerah yang relatip padat secara geografis sebelum terpisah kedalam bahasa keturunan. Sebagai pembanding, bahasa Irian Barat-Halmahera Selatan-Inti(PSHWNG) dan Malayu-Polinesia Tengah Inti (PCMP) tersebar dengan luas dalam jarak yang cukup, sebelum diferensiasi dialek ada. Jumlah yang besar dari perubahan linguistic timbul dan tersebar melalui rantai dialek Malayu-Polinesia Tengah dalam arah yang berlawanan, seperti yang mereka juga lakukan pada bahasa Irian Barat-Halmahera Selatan (SHWNG). Perubahan ini gagal menjangkau perubahan besar secara geografis yang paling jauh dari masing-masing pusat asal mereka, menghasilkan perbedaan dalam pengaturan pembenahan dalam koridor penyebaran pusat (Blust 1978). Hasilnya adalah pembagian yang tidak sempurna dari perubahan yang tersebar secara luas. Disisi yang lain, Blust menegakan bahwa beberapa perubahan yang berulang didalam bahasa Malayo-Polinesia Tengah kemungkinan berhubungan secara independen, karena merupakan hasil dari penyimpangan. Akhirnya setelah pembedaan pada rantai Malayo-Polinesia Tengah kedalam bahasa yang berbeda, terdapat migrasi yang terbatas dari sedikit penduduk di Maluku Selatan, Indonesia kearah pesisir selatan Semenanjung Kepala Burung di Pulau Irian.

Fakta akan keberadaan sub kelompok Malayo-Polinesia Tengah-Timur yang dikemukakan oleh Blust cukup substansial. Yaitu terdiri dari:

1. Pengurangan dari kelompok konsonan dalam reflex penggandaan kata bersuku satu
2. Perubahan fonologi tak beraturan dalam lima leksikal, 33 perubahan leksikal yang yang Nampak, dua persetujuan yang berstruktur besar yang mendukung perubahan, perubahan morfologi tak beraturan dalam empat leksikal pokok dan tujuh perubahan semantik

Blust menjelaskan bahwa hanya ada sedikit perbedaan dari Bahasa Melayu-Polinesia Inti dan Bahasa Malayo-Polinesia Tengah-Timur-Inti secara fonologikal. Bahasa Melayu-Polinesia Inti *c and *s digabungkan menjadi *s. Tetapi kesamaan gabungan terjadi pada kebanyakan bahasa Malayo-Polinesia Barat (WMP) dan pada semua bahasa Formosa. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, terdapat penurunan dari kelompok konsonan hetero-organik di dalam refleks dari pengulangan kata bersuku satu (kecuali jika kelompok tersebut terdiri dari nasal yang diikuti oleh jeda atau frikatip, yang mana nasal terasimilasi ketempat artikulasi dari jeda tersebut, tetapi tidak hilang).

Contoh:
PMP *bukbuk > PCEMP *bubuk
‘ampas kayu’
PMP *ñamñam > PCEMP *ñañam
‘enak, lezat’
PMP *mekmek > PCEMP *memek
‘remah-remah’

Beberapa bahasa WMP, sebagai contoh Bahasa Melayu mempunyai penyederhanaan kata yang sama, akan tetapi dalam pemikiran Blust,keseluruhan dari perubahan Malayo-Polinesia Tengah-Timur lebih tepat disebut sebagai hasil dari perubahan tunggal dalam bahasa turunan kedalama seluruh kelompok

Bukti lebih lanjut untuk sub kelompok Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur yang disebutkan oleh Blust (1990) sebgai berikut:

1. Perubahan fonologi tak beraturan dalam lima leksikal pokok:
PMP *uliq
PCEMP *oliq
‘kembali’
PMP *i-sai
PCEMP *i-sei
‘siapa?’
PMP *ma-qitem
PCEMP *ma-qet əm
‘hitam’
PMP *maRi
PCEMP *mai
‘datang’
PMP *tudan
PCEMP *todan
‘duduk’

2. Perubahan leksikal yang tampak dalam PCEMP
PMP *ka-labaw
PCEMP *kanzupay
‘tikus’
PCEMP *liqə
‘suara’
PCEMP *malu
‘cawat’
PMP *dilaq
PCEMP *maya
‘lidah’
PMP *surat
PCEMP *tusi
‘menggambar sebuah garis’
PMP *tawa
PCEMP *malip
‘tertawa’
PCEMP *saRa
‘menyapu, sapu’
PCEMP *kandoRa
‘kuskus’
PCEMP *mansar/mansər
‘marsupial’
PCEMP *keRa(nŋ)
‘kura-kura hawksbill ’
PMP *amuR
PCEMP *au
‘embun’
PCEMP *bai
‘membuat’
PMP *paen
PCEMP *bayan/payan
‘umpan’
PMP *hazani
PCEMP *da ŋi
‘dekat’
PCEMP *kese
‘berbeda’
PMP *dalem
PCEMP *laman
‘dalam’
PMP *paen
PCEMP *pani(n ŋ)
‘umpan’
PMP *muRmuR
PCEMP *pupuR
‘berkumur-kumur’
PMP *kapal
PCEMP *t əlu
‘tebal’
PCEMP *qumun
‘tungku bumi’
PMP *lakaw/panaw
PCEMP *ba
‘pergi’
PCEMP *balaŋ
‘sisi, bagian’
PMP *qa-lima
PCEMP *baRa
‘tangan’
PCEMP *lama
‘menutupi’
PCEMP *ŋaRa
‘bebek liar’
PCEMP *papaR
‘pipi’
PCEMP *paRa-
‘awalan timbal balik’
PMP *palihi
PCEMP *tambu
‘melarang’
PMP *hiup
PCEMP *upi
‘meniup’
PCEMP *waŋka
‘kano’
PCEMP *wari
‘menyanyi,lagu’
PMP *ma-esak
PCEMP *madar
‘matang, terlalu matang’
PMP *bahu
PCEMP *mapu
‘bau tidak sedap’

3. Perjanjian secara struktur:
Blust (1990) menegaskan bahwa terdapat dua sarana yang secara luas tersebar dalam Indonesia bagian barat dan Oseania, yaitu;

1. Penggunanan dari subjek penanda subjek proklitik pada kata kerja.
2. sebuah perbedaa secara analisis antara kepemilikan yang dapat/tidak dapat dicabut

Akan tetapi terdapat hubungan darah yang kurang kuat didalam morfem yang digunakan untuk menyatakan secara formal sistem yang sama – Dengan demikian sebuah hipotesa dari perkembangan yang memusat antara Melayu-Polinesia Tengah dan proklitik Oceanik tidak dapat dengan mudah disisihkan. Tentu saja Ross (1988:96ff.) juga menanyakan apakah terdapat bukti yang meyakinkan untuk nenek moyang langsung dari sub kelompok Melayu-Polinesia-Tengah, Irian Barat-Halmahera Selatan (SHWNG) dan Oseanik

4. Perubahan morfologi tak beraturan:

PMP *apa
PCEMP *sapa
‘apa?’
PMP *hepat
PCEMP *pat, *pati
‘empat’
PMP *ma-huab
PCEMP *mawab
‘menguap’
PMP *ma-hiaq
PCEMP *mayaq
‘malu’

Blust (1990) berpendapat bahwa fakta-fakta akan keberadaan sub kelompok bahasa Malayo-Polinesi Tengah-Timur-Inti (PCEMP) cukup kuat, sebagai potongan individu dari bukti yang kebanyakan tidak tergantung satu sama lainnya.Grimes (1990) telah membuat sebuah penilaian independen dari fakta bahasa Melayu-Polinesia Tengah-Timur (CEMP) dan menemukan bahwa Blust mempunyai bukti yang bagus, meskipun hanya sedikit dari perubahan leksikal yang merupakan perubahan pengganti.

Berkenaan pada sub kelompok Malayo-Polinesia-Tengah (CMP), Blust dan peneliti lainnya kurang merasa yakin. Ini adalah bahasa dari Sunda Lesser timur dari kelompok Bima-Sumba, dan dari Maluku Selatan dan tengah. Masalah yang dialami oleh sub kelompok ini tidak mengejutkan, lagi-lagi “seseorang yang lebih suka tinggal di rumah” bukannya kelompok pendatang. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, bentuk yang paling nyata dari sejarah fonologi dari bahasa CMP adalah tingkat yang mana ditemukan perubahan-perubahan yang sama pada kebanyakan bahasa. Pola dari perubahan ini mengusulkan bahwa PCMP melalui periode dari perkembangan yang terpisah dari masa bahasa Austronesia yang lain, sebelum bahasa tersebut tersebar dari Maluku ke Lesser Sunda. Banyak dari perbedaan ini yang saat ini tersebar luas dalam bahasa Maluku dan Lesser Sunda setelah pemisahan geografis dan merupakan hasil dari penyebaran dan di beberapa kasus penyimpangan.

Perubahan yang membedakan bahasa CMP menurut Blust (1990) adalah sebagai berikut:

1. Hilangnya huruf vokal awal kedua dari akhir hV- or *qV-. PMP tiga suku kata yang dimulai dengan sebuah huruf vocal atau huruf vocal yang diproses si pangkal tenggorokan *h- or *q- (e.g. *qateluR ‘egg’) tidak digunakan dalam bahasa Oseanik Inti (POc), tetapi bentuk yang sama dalam bahasa Melayu-Polinesia Timur (CMP) menyatakan bahwa suku kata pertama hilang dalam Malayo-Polinesia Tengah Inti (PCMP). Bagaimanapun, Blust mengakui bahwa bentuk-bentuk seperti Watubela /katlu/ membuat pernyataan ini semakin tidak meyakinkan.
2. Glide Truncation: monophthongisasi dari diphthong melalui truncantion of glides, seperti *-ay > -a; *-aw > -a; *-uy > -u adalah karakteristik yang paling khusus didalam sejarah fonologi dalam bahasa CMP. Perubahan ini tidak terlihat diluar Indonesia bagian barat. Akan tetapi, Blust mengakui bahwa kita memaksakan untuk membuat kesimpulan bahwa ini adalah hasil dari perubahan independen dalam beberapa bahasa. Truncation hanya muncul secara sporadic di Leti, Kisar dan Erai dan tidak dikenal di Pulau Timor, Roti, Savu or Sumba.
3. Penuturan postnasal: dalam kebanyakan bahasa CMP, jeda telah menjadi bersuara sesudah nasal. Adalah benar bahwa kedua gugus konsonan ini berada didalam sebuah morfem dan diluar gugus intermorphemik yang dibuat oleh penyingkatan ucapan.Seperti contoh:

PMP *ma-putiq > Kemak (Pulau Timor tengah), Bonfia (Seram timur) buti, Buru boti, ‘putih’.
Demikian halnya dengan dua perubahan yang telah dibahas sebelumnya, yang bagaimanapun terlihat bahwa penuturan postnasal juga merupakan perubahan rangkap.

4. Perubahan suara tak beraturan menggolongkan beberapa bahasa CMP:
1. PMP *pandan PCMP *pendan ‘pandanus’

Bagaimanapun, ketika contoh dari perkembangan tak beraturan ini dikenal dari Flores ke busur kepulauan Leti-Moa, nampaknya mereka tidak ditemukan di Maluku selatan atau utara

PMP *baqeRu PCMP *beqeRu ‘baru’

Perubahan Leksikal:

Blust menuliskan perubahan-perubahan berikut ini, yang menurutnya secara ekslusif terjadi pada bahasa Lesser Sunda dan Maluku

PCMP *balabu
‘samar-samar’
PCMP *balik
‘mencampur’
PCMP *beta
‘kayu potong’
PCMP *dada
‘rintangan’
PCMP *dodok
‘menusuk’
PCMP *letay
‘dibawah’
PMP *kawit
PCMP *gae
‘kait’
PCMP *kati
‘memanggil anjing’
PCMP *ketu
‘menarik,
PCMP *lemba
‘menggalah’
PCMP *lesi
‘melimpah-limpah’
PCMP *lesu
‘keluar’
PCMP *letay
‘jembatan’
PCMP *leu
‘belokan’
PCMP *liRi
‘suara’
PCMP *lolan
‘sepotong’
PCMP *lunu
‘bertumpuk’
PMP *i-nu
PCMP *mpae
‘dimana?’
PCMP *peu
‘terikat’
PMP *qasu
PCMP *masu
‘asap’
PCMP *silu
‘naik’
PMP *tahiq, *zaqit
PCMP *sora
‘menjahit’
PCMP *sula
‘tanduk’
PCMP *ta
‘tidak, bukan’
PMP *taliŋ a
PCMP *tilu
‘telinga’

Masalah utama dengan perubahan leksikal, sebagai mana yang dikemukakan disini adalah lagi-lagi mereka bukan merupakan perubahan penggantian.

Blust (1990) juga mengusulkan beberapa perubahan morphosintatik dan semantic untuk sub kelompok CMP, tetapi lagi-lagi masalahnya adalah perubahan tersebut tidak diberikan melalui sub kelompok yang diusulkan. Kenyataannya Blust membuat pokok yang sama. Blust bertanya-tanya apakah kita harus berasumsi bahwa perubahan yang ia dokumentasikan adalah hasil dari perubahan independen sepenuhnya, yang berasal dari penyimpangan. Bila demikian, ujar Blust, adalah sesuatu yang membingungkan mengapa perubahan dalam masalah harus berpusat pada bahasa Lesser Sunda dan Maluku Selatan dan Utara.

Menurut Blust, difusi adalah penjelasan yang paling masuk akal untuk distribusi yang dia kemukakan. Telah diketahui bahwa perubahan dapat terjadi melewati batasan-batasan sub kelompok utama. Dengan demikian perubahan fonologi yang secara luas dibagi antara bahasa Lesser sunda, Maluku selatan dan utara dan bagian selatan dari Semenanjung Vogelkop bisa dipastikan menjadi hasil dari hubungan antara bahasa Austronesia yang tidak memberikan afinitas genetik yang dekat.

Sub kelompok bahasa Melayu-Polinesia Tengah dari rumpun bahasa Austronesia, menghadapi permasalahan yang sama seperti kelompok Austronesia, dan yaitu sub kelompok rumpun bahasa Austronesia “ seseorang yang lebih suka tinggal dirumah” dan keberadaan pada tahap ini tidak dapat dianggap sebagai bukti dari sub kelompok Melayu-Polinesia-Tengah. Tidak seorangpun melihat pada keseluruhan hubungan dari bahasa Nusatenggara dan Timur timur dengan bahasa Maluku. Dengan demikian kita tidak mempunya gagasan yang nyata pada cabang urutan pertama didalam bahasa Melayu-Polinesia Tengah (CMP).

Kedua keturunan dari sub kelompok Melayu-Polinesia Timur adalah sub kelompok Halmahera selatan – Pulau Irian barat dan Oseanik. Kelompok ini terdiri dari semua bahasa Austronesia Halmahera dan berada dekat satelit dan beragam bahasa disepanjang pesisir utara semenanjung Volgekop dan Teluk Cendrawasih, Waropen dan semua bahasa Austronesia dari pulau Yapen dan satelit. Data yang tersedia untuk kebanyakan dari bahasa tidak cukup memadai, membuat sub pengelompokan menjadi sulit dan menimbulkan keraguan. Satu masalah penting yang harus dipecahkan mengenai batas antara bahasa CMP dan Halmahera selatan – Pulau Irian barat (SHWNG).

Blust (1978) membuat kriteria untuk sub kelompok Halmahera selatan – Pulau Irian barat (SHWNG) dan (Oseanik) Oc dari rumpun bahasa Austronesia dan tidak perlu diulang disini. Ringkasnya, Blust beranggapan bahwa beberapa hal dibawah ini adalah yang perubahan yang paling berguna untuk sub kelompok Halmahera Selatan – Pulau Papua Barat:

1. Penyingkaan kata postnasal (kehilangan sebuah vocal antara nasal dan jeda berikut, contoh: PMP *mata > PSHWNG *mta ‘mata’).
2. Perubahan dari *e > PSHWNG *o dalam suku kata kedua dari belakang.
3. Penggantian dari PMP *anak > PEMP *natu ‘anak’

Dalam cakupan sub kelompok Oseanik, Ross (1988:30) membuat daftar dari sepuluh perubahan fonologi yang membedakan bahasa Oseanik Inti POc dari bahasa Austronesia Inti (PAn). Akan tetapi, separuh dari perubahan fonologi ini juga berada di sub kelompok Halmahera selatan – Pulau Irian barat (SHWNG) yang juga terhubung dengan Melayu-Polinesia Timur Inti (PEMP). Bagaimanapun juga, lima perubahan ini terbagi secara ekslusif antara Melayu-Polinesia Timur Inti (PEMP) dan Oseanik Inti (POc) sebagai berikut:

PEMP
POc
(m)p
(m)b
(m)p, ŋp
(n)s
(n)z
(n)s
e
aw
O
ay
ey
E
m
m, ŋm

Dalam kaitan dengan perubahan fonologi antara PEMP dan Oseania kuno, kemudian kita berhubungan dengan empat penggabungan dan dua perpecahan, bukti yang memenuhi standar. Juga terdapat bukti leksikal dan morpho-sintaksis akan keberadaan sub kelompok Oseanik yang berada di Pawley (1972:2-3). Perkembangan dan pemisahan dari sub kelompok Oseanik dari Austronesia dibahas dalam bab berikutnya oleh Pawley dan Ross.

Implikasi Budaya-Sejarah
Penduduk Austronesia yang pertama dipercaya berasal dari daerah Cina selatan sebelum mereka berpindah dari daratan Asia untuk menetap disekitar Taiwan sekitar 5000-6000 tahun yang lalu. Mereka hidup relatip tanpa gangguan sebelum salah satu komunitas Taiwan-Austronesia, kemungkinan berasal dari tenggara, bergerak kearah Filipina selatan. Dengan cepat mereka bergerak secara bertahap ke semua daerah busur kepulauan Filipina. Dari sana, satu kelompok bergerak kearah barat daya , melalui Borneo dan menyusul Sumatra dan Jawa, dan menembus Semenanjung Malaya, Vietnam bagian timur dan Kamboja. Dari sana, mereka dipercaya mengikuti dua jalur utama, salah satu melalui Sulawesi dan kedalam daerah Seram-Ambon dan Timur-timur, dan yang lain kearah Halmahera dan Irian Jaya. Dari sanalah penduduk Austronesia dipercaya telah bergerak kearah timur sepanjang pesisir utara Papua Nugini, berakhir di busur kepulauan Bismarck (Britania baru dan Irlandia baru), dimana komunitas Pra sejarah Oseanik diperkirakan hidup tanpa ada gangguan sampai mereka siap untuk berpindah ke Pasifik

Kepustakaan
Adelaar, K.A. 1981. "Reconstruction of Proto-Batak Phonology". NUSA: Linguistic Studies in Indonesian and Languages in Indonesia, 10:1-20.
_____. 1985. "Proto-Malayic: The Reconstruction of Its Phonology and Parts of Its :exicon and Morphology". Disertasi PhD, University of Leiden.
_____. 1994. "The Classification of the Tamanic Languages". Dalam Tom Dutton and Darrell Tryon (ed.). Contact-induced change in Austronesian languages, pp.1-41. Berlin: Mouton de Gruyter.
Blust, Robert A. 1974. "Eastern Austronesian: a note". Working Papers in Linguistics, University of Hawaii, 6(4):101-107.
_____. 1977. "The Proto-Austronesian pronouns and Austronesian subgrouping". Working Papers in Linguistics, University of Hawaii, 9(2):1-15.
_____. 1978. "Eastern Malayo-Polynesian: a subgrouping argument". Dalam S.A. Wurm and Lois Carrington (ed.). Second international conference on Austronesian linguistics proceedings, Fascicle 1, Pacific Linguistics Series C No. 61, pp.181-234. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
_____. 1982. "The linguistic value of the Wallace line". Bijdragen tot de Taal-, Lande- en Volkenkunde, 138(2-3): 231-250.
_____. 1983-84. "More on the position of the languages of eastern Indonesia". Oceanic Linguistics, 22-23:1-28.
_____. 1985. "The Austronesian homeland: a linguistic perspective". Asian Perspectives, 26(1):45-67.
_____. 1990. "Central and Central-Eastern Malayo-Polynesian". Makalah di Conference on Maluku linguistics, University of Hawaii, March 1990.
Charles, M. 1974. "Problems in the reconstruction of Proto-Philippine phonology and the subgrouping of the Philippine languages". Oceanic Linguistics, 13:457-509.
Cowan, H.J.K. 1948. "Aanteekeningen betreffende de verhouding van het Atjehsch tot de Mon-Khmer-talen". Bijdragen tot de Taal, Lande- en Volkenkunde, 104:429-514.
_____. 1974. "Evidence of long vowels in early Acehnese". Oceanic Linguistics, 13:187-212.
Dempwolff, Otto. 1934-38. Vergleichende Lautlehre des austronesischen Wortschatzes. 3 vols. Berlin: Reimer.
Durie, Mark.
_____. 1989. "Proto-Chamic and Acehnese mid vowels: towards Proto-Aceh-Chamic". Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 53:100-114.
Dyen, Isidore. 1965. "A lexicostatistical classification of the Austronesian languages". Bloomington: Indiana University Publications in Anthropology and Linguistics, Memoir 19; supplement to International Journal of American Linguistics 25.
_____. 1990. "Homomeric lexical classification". Dalam Philip Baldi (ed.) Linguistic change and reconstruction methodology (Trends in Linguistics. Studies and Monographs 45), pp. 211-229. Berlin/New York: Mouton de Gruyter.
Esser, S.J. 1938. "Talen". Dalam Atlas van tropisch Nederland, 9-9b. Amsterdam: Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap.
Grimes, C.E. 1990. "Notes on Blust 1990". (Mimeo.)
Li, Paul Jen-kuei. 1980. "The phonological rules of Atayal dialects". Bulletin of the Institute of History and Philology, 51:349-405. Taipei: Academia Sinica.
_____. 1981. "Reconstruction of Proto-Atayalic phonology". Bulletin of the Institute of History and Philology, 52:235-301. Taipei: Academia Sinica.
_____. 1985. "The position of Atayal in the Austronesian family". Dalam Andrew Pawley and Lois Carrington (ed.). Austronesian linguistics at the 15th Pacific science congress, pp.257-280. Pacific Linguistics Series C No. 88. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
Mills, Roger F. 1975. "Proto-South Sulawesi and Proto-Austronesian phonology". PhD dissertation, University of Michigan. Ann Arbor: University Microfilms International.
Nothofer, B. 1986. "The Barrier Island languages in the Austronesian language family". Dalam Paul Geraghty, Lois Carrington dan S.A. Wurm (ed.). FOCAL II: Papers from the fourth international conference on Austronesian linguistics. Pacific Linguistics Series C No. 94, pp.87-109. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
_____. 1991. "Current interpretations of Western Malayo-Polynesian linguistic prehistory". Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association, 12:388-397.
_____. 1994. "The relationship between the languages of the Barrier Islands and the Sulawesi-Philippine languages". Dalam Tom Dutton and Darrell Tryon (ed.). Contact-induced change in Austronesian languages, pp.389-409. Berlin: Mouton de Gruyter.
Pawley, A.K. 1972. "On the internal relationships of Eastern Oceanic languages". Dalam R.C. Green and M. Kelly (ed.). Studies in Oceanic culture history, Vol. 3. Honolulu: Pacific Anthropological Records No. 13, Bernice P. Bishop Museum.
Reid, Lawrence A. 1982. "The demise of Proto-Philippines". Makalah dari the third international conference on Austronesian linguistics, Vol. 2, pp.201-216. Pacific Linguistics Series C No. 75. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
Ross, Malcolm D. 1988. "Proto Oceanic and the Austronesian languages of western Melanesia". Pacific Linguistics Series C No. 98. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
_____. 1994. "Some current issues in Austronesian linguistics". Dalam Darrell T. Tryon (ed.). Comparative Austronesian dictionary, pp.45-120. Berlin: Mouton de Gruyter.
Ruhlen, Merritt. 1987. A guide to the world’s languages. Stanford, California: Stanford University Press.
Stresemann, E. 1927. "Die Lautentsprechungen in den ambonischen Sprachen". Zeitschrift fur Eingeborenen-Sprachen, Supplement 10, Berlin.
Tryon, Darrell T. (ed.). 1994. Comparative Austronesian dictionary. Berlin: Mouton de Gruyter.
Tsuchida, S. 1976. Reconstruction of Proto-Tsouic phonology: Study of languages and cultures of Asia and Africa. Monograph Series 5, Tokyo: Institute for the Study of Languages and Cultures of Asia and Africa.
Zorc, R. David. 1977. "The Bisayan dialects of the Philippines: subgrouping and reconstruction". Pacific Linguistics Series C No. 44. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
_____. 1986. "The genetic relationships of Philippine languages". Dalam Paul Geraghty, Lois Carrington and S.A. Wurm (ed.). FOCAL II: Papers from the fourth international conference on Austronesian linguistics, pp.147-173. Pacific Linguistics Series C No. 94. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.

Sumber : http://www.wacananusantara.org/content/view/category/0/id/557

Atlantis : Mitos, Pengetahuan dan Ilmu

Oleh : Oki Oktariadi

”Peradaban Atlantis yang hilang” hingga kini barangkali hanyalah sebuah mitos mengingat belum ditemukannya bukti-bukti yang kuat tentang keberadaannya. Mitos itu pertama kali dicetuskan oleh seorang akhli filsafat terkenal dari Yunani, Plato (427 - 347 SM), dalam bukunya ”Critias dan Timaeus”. Disebutkan oleh Plato bahwa terdapat awal peradaban yang disebut Benua Atlantis; para penduduknya dianggap sebagai dewa, makhluk luar angkasa, atau bangsa superior; benua itu kemudian hilang, tenggelam secara perlahan-lahan karena serangkaian bencana, termasuk gempa bumi.

Selama lebih dari 2000 tahun, Atlantis yang hilang telah menjadi cerita populer di dunia Barat. Banyak ilmuwan barat telah meyakini kemungkinan keberadaannya. Di antara para ilmuwan itu banyak yang menganggap bahwa Atlantis terletak di Samudra Atlantis, bahkan ada yang menganggap Atlantis terletak di Benua Amerika sampai Timur Tengah. Penelitian pun dilakukan di wilayah-wilayah tersebut. Akan tetapi, kebanyakan peneliti itu tidak memberikan bukti atau telaah yang cukup. Sebagian besar dari mereka hanya mengira-ngira tanpa alur berfikir ilmiah yang jelas dan benar.

Para peneliti masa kini malahan menunjuk Sundaland (Indonesia bagian barat hingga ke semenanjung Malaysia dan Thailand) sebagai Benua Atlantis yang hilang dan awal peradaban manusia karena wilayah Indonesia memiliki begitu banyak gunung api aktif dan berada di jalur khatulistiwa yang memungkinkan manusia hidup nyaman dibandingkan wilayah dunia lainnya yang sebagian besar tertutup es.

Peluang bagi Indonesia adalah mengembangkan wisata ilmiah berdasarkan kontroversi ada tidaknya Atlantis dan kemungkinannya berada di wilayah Indonesia seperti yang dinikmati oleh Ciprus, Spanyol, Amerika Tengah (segitiga bermuda), dll.

Fenomen Atlantis dan awal peradaban selalu merupakan impian para peneliti di dunia untuk membuktikan dan menjadikannya penemuan ilmiah sepanjang masa. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.

Rata PenuhMitos Atlantis
Atlantis sebagai suatu gambaran Benua Yang Hilang sebenarnya muncul dalam buku Plato yang diungkapkan dengan format dialog yaitu trilogi “Timaeus” dan “Critias” yang ditulisnya pada tahun 370 SM. Kisah Atlantis diungkapkannya di dialog Timaeus dan Critia meskipun, nampaknya Atlantis merupakan suatu penjelasan tentang Republic sebagai dialog yang menguraikan gagasannya tentang sistem sosial kemasyarakatan yang disebut Republic yang kelak mempengaruhi bentuk-bentuk sistem sosial kenegaraan di masa depan.

Salah satunya yang kontroversial dan mengundang pertanyaan banyak orang dan para arkeolog adalah hipotesis metaforisnya tentang Atlantis sebagai Benua Yang Tenggelam, yang konon digambarkan Plato sebagai suatu pulau atau anak benua “Nesos” atau “Continent” dimana peradaban manusia masa kini berasal.

Gagasan, dialog, dan karakter adalah suatu ciri khas yang muncul dalam tulisan-tulisan Plato untuk menggambarkan suatu realitas yang terpikirkan oleh manusia. Semikian nyatanya dialog tersebut orang pun kemudian sangat dipengaruhi secara sugestif bahwa apa yang diungkapkan Plato mungkin ada benarnya bahwa ada suatu Benua yang saat ini tenggelam ke dasar laut entah dimana, yang disebutnya sebagai Atlantis dimana pengetahuan manusia saat itu sedemikian majunya sampai-sampai kesombongan menyergap penduduk Atlantis dan negara benua Atlantis pun tenggelam ke dalam lautan. Apakah kisah Plato ini suatu realitas sejarah atau sekedar suatu ungkapan metaforis sampai sejauh ini orang masih memperdebatkannya. Bagi yang demikian yakin, kemudian terjadi perburuan benua Atlantis dengan seabrek bukti dan juga seabrek kisah yang menceritakan romantika Benua Atlantis yang misterius itu.

Ilmuwan barat berspekulasi tentang keberadaan benua Atlantis yang hilang dengan mengasumsikan bahwa lokasinya terdapat di belahan bumi Barat, di sekitar laut Atlantik, atau paling jauh di sekitar Timur Tengah sekarang. Penelitian untuk menemukan sisa Atlantis pun banyak dilakukan di kawasan-kawasan tersebut.

Namun sampai saat ini tidak ada bukti-bukti kuat yang mendukung keberadaan atlantis di wilayah tersebut dan menganggap Atlantis hanya sekedar dongeng atau ilustrasi dari sebuah arti dan makna kehidupan manusia. Sementara itu sebagian peneliti mulai mengarahkan pencariannya ke wilayah lainya seperti wilayah Asia Barat dan Asia Timur termasuk wilayah Asia Tenggara.

Pada dasawarsa 1980 an, dua orang peneliti, yaitu: Oppenheimer (1998) dan Santos (2005) berspekulasi bahwa benua atlantis yang hilang berada di wilayah Sundaland atau dikenal sekarang sebagai wilayah Asia Tenggara bagian Barat.

Pendapat kedua peneliti tersebut menimbulkan kontroversi bagi peneliti yang keukeuh bahwa Atlantis harus berada di dunia barat. Hal tersebut dapat dilihat hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan ‘pinggiran’. Kawasan yang kebudayaannya dapat subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat di Mesir, Cina, maupun India. Pemahaman tersebut mengacu pada teori yang dianut saat ini yang mengemukakan bahwa pada Jaman Es paling akhir yang dialami bumi terjadi sekitar 10.000 sampai 8.000 tahun yang lalu mempengaruhi migrasi spesies manusia.

Pengetahuan Atlantis
Hipotesisi Aryso Santos
Aryso Santos, Profesor asal Brazil ini menegaskan bahwa Atlantis yang hilang sebagaimana cerita Plato itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Pendapat itu muncul setelah ia melakukan penelitian selama 30 tahun yang menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos dalam bukunya tersebut menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, cara bertani, dan lain sebaginya yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Sundaland (Indonesia bagian Barat).

Menurut Santos, pulau-pulau di Indonesia yang mencapai ribuan itu merupakan puncak-puncak gunung dan dataran-dataran tinggi benua Atlantis yang dulu tenggelam. Satu hal yang ditekankan Santos adalah banyak peneliti selama ini terkecoh dengan nama Atlantis. Mereka melihat kedekatan nama Atlantis dengan Samudera Atlantik yang terletak di antara Eropa, Amerika dan Afrika. Padahal pada masa kuno hingga era Christoper Columbus atau sebelum ditemukannya Benua Amerika, Samudra Atlantik yang dimaksud adalah terusan Samudra Pasifik dan Hindia.

Santos menetapkan bahwa pada masa lalu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Langka, dan Indonesia bagian Barat meliputi Sumatra, Kalimantan, Jawa dan terus ke arah timur. Wilayah Indonesia bagian barat sekarang sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Argumen Santos tersebut didukung banyak arkeolog Amerika Serikat bahkan mereka meyakini bahwa benua Atlantis adalah sebuah pulau besar bernama Sundaland, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman es.

Menurut Plato, Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus dan mencairnya Lapisan Es yang pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi oleh Lapisan-lapisan Es. Maka tenggelamlah sebagian benua tersebut. Santos beranggapan gunung api yang dimaksud adalah Gunung Krakatau Purba yang (induk Gunung Krakatau Purba yang meletus pada 416 M menurut Pustaka Raja Purwa) yang konon letusannya sanggup menggelapkan seluruh dunia. Letusan gunung berapi yang terjadi ini menimbulkan gempa, pencairan es, banjir, serta gelombang tsunami sangat besar. Saat gunung berapi itu meletus, ledakannya membuka Selat Sunda. Peristiwa itu juga mengakibatkan tenggelamnya sebagian daratan Sundaland dan yang tersisa adalah Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, dan pulau-pulai kecil lainnya. Santos, dengan mengutip teori para geolog, menamakannya sebagai Heinrich Events, bencana katastrop yang berdampak global.

Bencana maha dahsyat ini juga mengakibatkan punahnya hampir 70 persen spesies mamalia yang hidup pada masa itu, termasuk manusia. Mereka yang selamat kemudian berpencar ke berbagai penjuru dunia dengan membawa peradaban mereka di wilayah baru. “Kemungkinan besar dua atau tiga spesies manusia seperti ‘hobbit’ yang baru-baru ini ditemukan di Pulau Flores musnah dalam waktu yang hampir sama.

Plato beranggapan bahwa Atlantis merupakan negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu. Dasar inilah yang menjadi salah satu teori Santos mengenai keberadaan Atlantis di Indonesia. Perlu dicatat bahwa Atlantis berjaya saat sebagian besar dunia masih diselimuti es di mana temperatur bumi kala itu diperkirakan lebih dingin 15 derajat Celsius daripada sekarang.

Wilayah yang bermandi sinar matahari sepanjang waktu pastilah berada di garis khatulistiwa dan Indonesia memiliki prasyarat untuk itu. Dalam cerita yang dituturkan Plato, Atlantis juga digambarkan menjadi pusat peradaban dunia dari budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, bahasa, dan lain-lain.

Plato juga menceritakan negara Atlantis yang kaya dengan bahan mineral serta memiliki sistem bercocok tanam yang sangat maju. Merujuk cerita Plato, wilayah Atlantis haruslah berada di daerah yang diyakini beriklim tropis yang memungkinkan adanya banyak bahan mineral dan pertanian yang maju karena sistem bercocok tanam yang maju hanya akan tumbuh di daerah yang didukung iklim yang tepat seperti iklim tropis.

Kekayaan Indonesia termasuk rempah-rempah menjadi kemungkinan lain akan keberadaan Atlantis di wilayah Nusantara ini. Kemasyhuran Indonesia sebagai surga rempah dan mineral bahkan kemudian dicari-cari Dunia Barat.

Jika terdapat begitu banyak kemungkinan Indonesia menjadi lokasi sesungguhnya Atlantis lalu, mengapa selama ini nama Indonesia jarang disebut-sebut dalam referensi Atlantis? Santos menilai keengganan Dunia Barat melakukan ekspedisi ataupun mengakui Indonesia sebagai wilayah Atlantis adalah karena hal itu akan mengubah catatan sejarah tentang asal muasal peradaban, maka teori yang mengatakan Barat sebagai penemu dan pusat peradaban dunia akan hancur.

Rekontruksi Oppenheimer
Hipotesis Aryo Santos seolah dikuatkan oleh pendapat Oppenheimer sejak diterbitkannya buku Eden The East (1999). Oppenheimer adalah seorang dokter ahli genetik yang banyak mempelajari sejarah peradaban. Ia berpendapat bahwa Paparan Sunda (Sundaland) adalah merupakan cikal bakal peradaban kuno atau dalam bahasa agama sebagai Taman Eden. Istilah ini diserap dari kata dalam bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus yang diserap dari kata Persia "Pairidaeza" yang arti sebenarnya adalah Taman.

Menurut Oppenheimer, munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara. Landasan argumennya adalah etnografi, arkeologi, osenografi, mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia mengemukakan bahwa di wilayah Sundaland sudah ada peradaban yang menjadi leluhur peradaban Timur Tengah 6.000 tahun silam. Suatu ketika datang banjir besar yang menyebabkan penduduk Sundaland berimigrasi ke barat yaitu ke daratan Asia, dan sebagian ke timur menuju China, dan melalui lautan menuju Taiwan, Jepang, serta Pasifik.

Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es (Last Glacial Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu, muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang. Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia menjadi dataran luas yang dikenal sebagai Sundaland. Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia.Teori Oppenheimer ini bertentangan dengan teori Bulst (1985) dan teori Bellwood (1995) yang dibangun berdasarkan gabungan antara data linguistic historis dan arkeologi. Teori yang diajukan mereka disebut juga model Out of Taiwan atau Express Train from Taiwan to Polynesia yang intinya bahwa masyarakat penutur bahasa Austronesia berekspansi dari Taiwan sejak 5.000 tahun yang lalu menuju Asia Tenggara Kepulauan, Melanesia Kepulauan, Micronesia hingga Polynesia, dengan cepat selama satu millennium berikutnya via Filipina.

Suatu sanggahan datang dari Wim van Binsbergen (2007) seorang ahli mitologi dari Belanda yang diutarakan dalam sebuah Konferensi Internasional Association for Comparative Mythology yang berlangsung di Edinburgh 28-30 Agustus 2007. Makalahnya menunjukkan keberatan-keberatan atas tesis Oppenheimer bahwa orang-orang Sundaland sebagai nenek moyang orang-orang Asia Barat. Menurutnya Oppenheimer terlalu mendasarkan skenario Sundaland-nya berdasarkan mitologi Asia Barat (Taman Firdaus, Adam dan Hawa, kejatuhan manusia dalam dosa, Kain dan Habil, Banjir Besar, Menara Babel) yang dihipotesiskan sebagai prototip mitologi Asia Tenggara/Oseania, khususnya Sundaland.

Tidak lama kemudian tahun 2008 dukungan atas hipotesis Oppenheimer (1998), datang dari sekelompok peneliti arkeogenetika yang sebagian merupakan rekan sejawat Oppenheimer. Kelompok peneliti dari University of Oxford dan University of Leeds ini mengumumkan hasil penelitiannya dalam jurnal “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008 dalam makalah berjudul “Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia” (Soares et al., 2008) dan “New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia” (Richards et al., 2008).

Richards et al. (2008) berdasarkan penelitian DNA juga menantang teori konvensional saat ini bahwa penduduk Asia Tenggara saat ini (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 (Neolithikum) tahun yang lalu. Tim peneliti menunjukkan justru yang terjadi adalah sebaliknya dan lebih awal, bahwa penduduk Taiwan berasal dari penduduk Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland. Pemecahan garis-garis mitochondrial DNA (yang diwarisi para perempuan) telah berevolusi cukup lama di Asia Tenggara sejak manusia modern pertama kali dating ke wilayah ini sekitar 50.000 tahun yang lalu. Ciri garis-garis DNA menunjukkan penyebaran populasi pada saat yang bersamaan dengan naiknya mukalaut di wilayah ini dan juga menunjukkan migrasi ke Taiwan, ke timur ke New Guinea dan Pasifik, dan ke barat ke daratan utama Asia Tenggara – dalam 10.000 tahun.

Sementara itu Soares et al. (2008) menunjukkan bahwa haplogroup E, suatu komponen penting dalam keanekaragaman mtDNA (DNA mitokondria), berevolusi in situ selama 35.000 tahun terakhir, dan secara dramatik tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara pada periode sekitar awal Holosen, pada saat yang bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland menjadi laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya. Lalu komponen ini mencapai Taiwan dan Oseania lebih baru, sekitar 8000 tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa global warming dan sea-level rises pada ujung Zaman Es 15.000–7.000 tahun yang lalu, sebagai penggerak utama human diversity di wilayah ini.

Data geologi dan oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir besar yang terjadi yaitu pada sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun yang lalu. Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan muka air laut hingga 5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Wilayah yang paling parah dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan. Sundaland malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara lain Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera. Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup padat dihuni manusia prasejarah yang berpenghidupan sebagai petani dan nelayan.

Bagi Oppenheimer, kisah ‘Banjir Nuh’ atau ‘Benua Atlantis yang hilang’ tidak lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam dahsyat ini. Di kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini juga masih tersebar luas di antara masyarakat tradisional, namun belum ada yang meneliti keterkaitan legenda dengan fenomena Taman Eden.

Fenomena Geologi Dan Mitos Atlantis
Pendekatan ilmu geologi untuk mengungkap fenomena hilangnya Benua Atlantis dan awal peradaban kuno, dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu pendekatan tektonik lempeng, letusan gunung api, dan berakhirnya Zaman Es.

Tektonik Lempeng
Wilayah Indonesia dihasilkan oleh evolusi dan pemusatan lempeng kontinental Eurasia, lempeng lautan Pasifik, dan lempeng Australia Lautan Hindia (Hamilton, 1979). umumnya disepakati bahwa pengaturan fisiografi kepulauan Indonesia dikuasai oleh daerah paparan kontinen, letak daerah Sundaland di barat, daerah paparan Sahul atau Arafura di timur. Intervensi area meliputi suatu daerah kompleks secara geologi dari busur kepulauan, dan cekungan laut dalam (van Bemmelen, 1949).

Kedua area paparan memberikan beberapa persamaan dari inti-inti kontinen yang stabil ke separuh barat dan timur kepulauan. Sundaland menunjukkan perkembangan bagian tenggara di bawah permukaan air dari lempeng kontinen Eurasia dan terdiri dari Semenanjung Malaya, hampir seluruh Sumatra, Jawa dan Kalimantan, Laut Jawa dan bagian selatan Laut China Selatan.

Tatanan tektonik Indonesia bagian Barat merupakan bagian dari sistim kepulauan vulkanik akibat interaksi penyusupan Lempeng Hindia- Australia di Selatan Indonesia. Interaksi lempeng yang berupa jalur tumbukan (subduction zone) tersebut memanjang mulai dari kepulauan Tanimbar sebelah barat Sumatera, Jawa sampai ke kepulauan Nusa Tenggara di sebelah Timur. Hasilnya adalah terbentuknya busur gunung api (magmatic arc).

Sumber Daya Mineral
Akhirnya rekontruksi tektonik lempeng dapat menerangkan pelbagai gejala geologi yang mengilhami pendapat Santos dan menyakininya bahwa Wilayah Indonesia memiliki korelasi dengan anggapan Plato yang menyatakan bahwa tembok Atlantis terbungkus emas, perak, perunggu, timah dan tembaga. Hingga saat ini, hanya beberapa tempat di dunia yang merupakan produsen timah utama, salah satunya disebut Kepulauan Timah dan Logam, bernama Tashish, Tartessos menurut Santos (2005) tidak lain adalah Indonesia. Jika Plato benar, maka Atlantis sesungguhnya adalah Indonesia.

Bahaya Geologi
Selain menghasilkan sumberdaya mineral, pergerakan tektonik lempeng juga menimbulkan titik-titik gempabumi di sepanjang Busur Sunda, barisan gunung api aktif (bagian dari Ring of Fire dunia), dan banyaknya komplek patahan (sesar) besar di sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Indonesia bagian timur. Salah satu contohnya adalah sesar Semangko (Great Semangko Fault membujur dari Aceh sampai teluk Semangko di Lampung). Menurut Kertapati (2006) karakteristik gempabumi di daerah Busur Sunda pada umumnya memiliki potensi terjadinya tsunami seperti yang dialami Aceh pada tahun 2004.

Para peneliti masa kini terutama Santos (2005) dan sebagian peneliti Amerika Serikat memiliki kenyakinan bahwa gejala kerawanan bencana geologi wilayah Indonesia adalah sesuai dengan anggapan Plato yang menyatakan bahwa Benua Atlantis telah hilang akibat letusan gunung api yang bersamaan.

Mencermati hipotesis Santos yang menyatakan bahwa letusan Gunung Krakatau sebagai biang keladi mencairnya es, sampai saat ini ahli geologi belum dapat membuktikannya. Memang letusan gunung api menghasilkan karbon dioksida dan abu gunung api yang dapat menyerap panas matahari sehingga keduanya bisa menambah pemanasan global. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pada tahun 11.600 SM Gunung Krakatau telah terbentuk dan mengalami letusan yang dapat mengakhiri zaman es. Atau gunung api apa yang meletus antara tahun 12000 – 11.000 SM.

Fakta geologi yang berkaitan dengan letusan Gunung Krakatau terjadi sebanyak lima kali. Pada mulanya Pulau Krakatau besar yang biasa kita sebut dengan nama Gunung Krakatau adalah sebuah gunung (Gunung Krakatau purba) yang memiliki ketinggian sekitar 2000 mdpl dengan lingkaran pantainya sekitar 11 km dan radius sekitar 9 km2. Letusan dahsyat yang mempengaruhi suhu bumi terjadi tahun 1883 M dan diduga terjadi juga pada tahun 416 M yang tercata dalam Pustaka Raja Purwa. Ssementara letusan lainnya terjadi pada tahun 1927, dan letusan tahun 1680.

Perulangan letusan Gunung Krakatau tersebut membuat Santos berani berspekulasi (hipotesis) yaitu di masa 11.600 SM terjadi juga letusan Gunung Krakatau yang dahsyat dan mengakhiri zaman es. Namun hanya sekedar menghipotesiskan Gunung Krakatau sebagai penyebab berakhirnya zaman es, akan menjadi perdebatan panjang, walaupun banyak material gunung api ditemukan diberbagai belahan dunia. Apalagi Indonesia khususnya Sumatera dan Jawa banyak memiliki gunung api aktif dan banyak legenda tentang letusan dashyat gunung api lainnya yang belum terungkap dan harus terus di telusuri secara ilmiah seperti keberadaan Gunung Maninjau, Gunung Sunda, Gunung Merapi, Gunung Bromo, dan lain-lain.

Fakta atau catatan bencana letusan gunungapi dahsyat seperti yang tercatat di Siria, dan Cina terjadi di abad 5 atau 6 M serta hasil penelitian terbaru yaitu ditemukannya jejak-jejak ion belerang yang berasal dari asam belerang vulkanik di lapisan es Antarktika dan Greenland yang berumur 535-540 M perlu di lakukan penelitian lebih lanjut keterkaitannya dengan gunung api di Indonesia. Penelitian tersebut penting agar mendapatkan sebuah tren kejadian letusan untuk mengklarifikasi hipotesis-hipotesis yang terus bermunculan.

Zaman Es
Pendekatan lain terhadap keberadaan Benua Atlantis dan awal peradaban manusia adalah kejadian Zaman Es terakhir pada 20.000 tahun yang lalu. Pada zaman Es tersebut suhu atau iklim bumi turun dahsyat dan menyebabkan peningkatan pembentukan es di kutub dan gletser gunung sehingga perkiraan temperatur di seluruh benua Amerika Utara dan Eropa mencapai -15 derajat).

Dugaan penyebab terjadinya Zaman Es, antara lain terjadinya proses pendinginan aerosol yang sering menimpa planet bumi dan letusan gunung api dahsyat yang dapat menghalangi sinar matahari berbulan-bulan. Contohnya adalah peristiwa letusan Gunung Toba Purba pada tahun 74.000 SM dan letusan Gunung Tambora Modern pada tahun 1815.

Pada Zaman Es, pemukaan air laut jauh lebih rendah daripada sekarang, karena banyak air yang tersedot karena membeku di daerah kutub. Kala itu Laut China Selatan kering, sehingga kepulauan Nusantara Barat tergabung dengan daratan Asia Tenggara yang dikenal sebagai Sundaland. Sementara itu pulau Papua juga tergabung dengan benua Australia yang dikenal sebagai Sahulland. Oleh karena itu klaim bahwa awal peradaban manusia berada di wilayah Mediterian patut dipertanyakan. Sebab pada masa itu kondisi iklim sangat dingin dan beku, lapisan salju di wilayah Eropa dapat menjangkau hingga 1 km tebalnya dari permukaan bumi. Keadaan di Eropa dan Mesir pada masa itu adalah sama seperti apa yang ada di kawasan Artik dan Antartika sekarang ini. Dengan kondisi tersebut tidak berlebihan Oppenheimer beranggapan Taman Eden berada di wilayah Sundaland yang tidak lain adalah Indonesia bagian barat.

Akhir Zaman Es dimulai kira-kira 10.000 tahun lalu atau pada awal kala Holocene (akhir Pleistocene). Proses pelelehan Es di zaman ini berlangsung relatif lama dan beberapa ahli membuktikan proses ini berakhir sekitar 6.000 tahun yang lalu.

Jadi pendapat Oppenheimer memiliki kemiripan dengan akhir Zaman Es yang menenggelamkan sebagian daratan Sundaland, yang menyatakan bahwa Taman Eden hancur akibat air bah yang memporak-porandakan dan mengubur sebagian besar hutan-hutan maupun taman-taman sebelumnya. Bahkan sebagian besar dari permukaan bumi ini telah tenggelam dan berada dibawah permukaan laut.

Pengetahuan Peradaban Maju Sundaland.
Kemungkinan Pusat Peradaban
Pada masa itu Sundaland adalah satu daratan benua yang menyatu dengan Asia yang membentuk kawasan amat luas dan datar. Kemungkinan pusat peradaban awal di duga berada di wilayah Sundaland diantaranya berada antara Semenanjung Malaysia dan Kalimantan, tepatnya sekitar Kepulauan Natuna (sekitar laut China Selatan) yaitu sekitar muara Sungai yang sangat besar yang mengalir di Selat Malaka menuju laut China Selatan sekarang. Anak-anak sungai dari sungai besar tersebut adalah sungai-sungai yang berada di Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan bagian Barat dan Utara.

Kemungkinan kedua adalah Muara Sungai Sunda yang mengalir di Laut Jawa menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Hulu dan anak-anak sungai terutama berasal dari Sumatera bagian Selatan, seluruh Pulau Jawa, dan Pulau kalimantan bagian Selatan.

Ketrampilan dasar pengolahan logam
Fakta yang tercatat diantaranya adalah sekitar abad ke-5 SM, penduduk dari daerah Dongson, yang sekarang termasuk dalam wilayah Vietnam, telah mampu menguasai keterampilan dasar pengolahan logam. Hasil kebudayaan logam mereka adalah yang paling tua yang telah ditemukan oleh para arkeolog di Asia Tenggara. Sedangkan masyarakat terawal yang diketahui di Thailand - yaitu sekitar tahun 3,000 SM - berlokasi di daerah Ban Chiang. Pada sekitar tahun 2,500 SM, bangsa Melayu mulai menyebar di wilayah semenanjung dan memperkenalkan teknologi primitif pengerjaan logam yang telah mereka kuasai di wilayah ini. Sekitar tahun 1,500 SM, bangsa Mon mulai memasuki wilayah Burma, sedangkan bangsa Tai datang lebih belakangan dari daerah selatan Tiongkok ke daratan Asia Tenggara untuk kemudian menempatinya pada sekitar milenium pertama Masehi.

Berkembangnya teknologi bercocok tanam.
Pada zaman es, Sundaland berada di sekitar garis khatulistiwa sehingga temperaturnya lebih hangat dan mengalami musim kering yang lebih panjang. Kondisi ini menguntungkan bagi perkembangan tanaman semusim, yang dalam waktu relatif singkat memberikan hasil dan biji atau umbinya dapat disimpan. Ketersediaan biji-bijian dan polong-polongan dalam jumlah memadai memunculkan perkampungan untuk pertama kalinya, karena kegiatan perburuan dan peramuan tidak perlu dilakukan setiap saat. Contoh budaya semacam ini masih terlihat pada masyarakat yang menerapkan sistem perladangan berpindah (slash and burn) di Kalimantan dan Papua.

Berdasarkan analisis DNA oleh Oppenheimer, drr (1999) telah memutarbalikan asal usul budaya bercocok tanam padi yang semula dibawa oleh para migran dari Asia Tenggara bagian utara yang dulunya mendiami daerah sekitar pulau Formosa dan kepulauan Filipina bagian barat. (Bellwood, 1985) menjadi lebih relevan dimulai di wilayah Sundaland, apalagi iklim di Sundaland paling ideal untuk bercocok tanam padi. Kemudian pada saat zaman es berakhir teknologi bercocok tanam padi dibawa bermigrasi ke wilayah daratan asia dan menyebarkannya serta mempengaruhi teknologi bercocok tanam wilayah setempat seperti di wilayah Mesopotamia (8000 tahun yang lalu) yaitu berkembangnya teknologi bercocok tanam gandum.

Pemukiman pasca zaman es
Di sisi lain kenyamanan iklim dan potensi sumberdaya alam yang dimiliki wilayah Sundaland, juga dibayangi oleh kerawanan bencana geologi yang begitu besar akibat pergerakan lempeng benua seperti yang dirasakan saat ini. Kejadian gempabumi, letusan gunung api, tanah longsor dan tsunami yang terjadi di masa kini juga terjadi di masa lampau dengan intensitas yang lebih tinggi seperti letusan Gunung Toba, Gunung Sunda dan gunung api lainnya yang belum terungkap dalam penelitian geologi.

Ketika terjadi peristiwa pelelehan Es, maka terjadi penenggelaman daratan yang luas, namun sebagian daratan Sundaland tidak tenggelam menyisakan pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan pulau lebih kecil lainnya. Walaupun suhu bumi lebih panas, namun wilayah-wilayah yang tidak tenggelam justru memiliki suhu ideal yang nyaman untuk didiami dan tetap subur untuk bercocok tanam padi.

Tempat-tempat itu dapat dianggap sebagai awal pemukiman pantai di Indonesia. Seiring naiknya paras muka laut, yang mencapai puncaknya pada zaman Holosen ± 6.000 tahun dengan kondisi muka laut ± 3 m lebih tinggi dari muka laut sekarang, lokasi-lokasi tersebut juga bergeser ke tempat yang lebih tinggi masuk ke hulu sungai.

Penjelajah Bahari Nusantara
Berlimpahnya sumber daya alam yang dihasilkan bumi Indonesia menyebabkan dibutuhkan pasar untuk menyerapnya, sehingga dibutuhkan kemampuan berlayar dan penguasaan navigasi samudera yang baik. Serangkaian penelitian mutakhir yang dilakukan Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008), memperlihatkan fenomena mengagumkan. Afrikanis dari London University ini, antara lain, menyoroti bagaimana peran pelaut-pelaut nomaden dari wilayah berbahasa Austronesia, yang kini bernama Indonesia, meninggalkan jejak peradaban yang cukup signifikan di sejumlah tempat di Afrika. Buku ini bercerita tentang pelaut-pelaut Nusantara yang berlayar sampai ke Afrika pada masa lampau, jauh sebelum bangsa Eropa mengenal Afrika selain gurun Saharanya, dan jauh sebelum bangsa Arab dan Shirazi menemukan kota kota-kota eksotis di pantai timur Afrika seperti Kilwa,Lamu dan Zanzibar.

Diantara bukti tersebut adalah banyaknya kesamaan alat-alat musik, teknologi perahu, bahan makanan, budaya dan bahasa bangsa Zanj (ras Afro-Indonesia) dengan yang ada di Nusantara. Di sana, ditemukan sebuah alat musik sejenis Xilophon atau yang kita kenal sebagai Gambang dan beberapa jenis alat musik dari bambu yang merupakan alat musik khas Nusantara. Ada juga kesamaan pada seni pahat patung milik suku Ife, Nigeria dengan patung dan relief perahu yang ada di Borobudur.

Catatan hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut-pelaut Indonesia pada masa lampau. Bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan pelaut Indonesia pada abad ke-5 yang dibentangkan Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun lampau nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati. Keterkaitan dengan Atlantis perlu penelitian lebih lanjut.

Peluang Pengembangan Ilmu
Pendapat Oppenheimer (1999) dan Santos (2005) bagi sebagian peneliti adalah kontroversial dan mengada-ada. Tentu kritik ini adalah hal yang wajar dalam pengembangan ilmu untuk mendapatkan kebenaran karena beberapa tahun ke belakang pendapat yang paling banyak diterima adalah seperti yang dikemukakan oleh Kircher (1669) bahwa Atlantis itu berada di tengah-tengah Samudera Atlantik sendiri, dan tempat yang paling meyakinkan adalah Pulau Thera di Laut Aegea, sebelah timur Laut Tengah.

Pulau Thera yang dikenal pula sebagai Santorini adalah pulau gunung api yang terletak di sebelah utara Pulau Kreta. Sekira 1.500 SM, sebuah letusan gunung api yang dahsyat mengubur dan menenggelamkan kebudayaan Minoan. Hasil galian arkeologis menunjukkan bahwa kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yang sangat maju di Eropa pada zaman itu, namun demikian sampai saat ini belum ada kesepakatan di mana lokasi Atlantis yang sebenarnya. Setiap teori memiliki pendukung masing-masing yang biasanya sangat fanatik dan bahkan bisa saja Atlantis hanya ada dalam pemikiran Plato.

Perlu diketahui pula bahwa kandidat lokasi Atlantis bukan hanya Indonesia, banyak kandidat lainnya antara lain : Andalusia, Pulau Kreta, Santorini, Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia, Troy, Tantali, Antartika, Kepulauan Azores, Karibia, Bolivia, Meksiko, Laut Hitam, Kepulauan Britania, India, Srilanka, Irlandia, Kuba, Finlandia, Laut Utara, Laut Azov, Estremadura dan hasil penelitian terbaru oleh Kimura's (2007) yaitu menemukan beberapa monument batu dibawah perairan Yonaguni, Jepang yang diduga sisa-sisa dari peradaban Atlantis atau Lemuria.

Kepanasaran para pemburu misteri Atlantis di dunia barat terus berlanjut dan saat ini teknologi pengideraan jarak jauh (remote sansing) ikut berperan. Salah satunya adalah memanfaatkan Google Ocean yang merupakan temuan para ilmuan Mountain View (kota markas Google) yang kini mencoba mengeplorasi ke dalam laut. Bukan hanya laut, tetapi juga dasar lautnya. Format Peta dari Google Ocean ini, memungkinkan penggunanya untuk melihat-lihat isi lautan dengan tombol navigasi.

Hasil penelitian Google Ocean berkaitan atlantis yang hilang yaitu berhasil menangkap gambaran guratan-guratan tekstur di dasar laut. Guratan-guratan yang menjadi dasar perkiraan kota Atlantis tersebut merupakan guratan-guratan yang berada pada jarak 620 mil dari bagian pantai Barat Laut Afrika dekat dengan kepulauan Canary pada bagian dasar Samudera Atlantik.

Tidak hanya itu, Google Ocean juga memiliki data-data penting seputar dasar laut, seperti; kondisi cuaca di sekitar laut tersebut, jenis koral yang hidup di dasar lautan itu, bangkai kapal terkenal yang ada di dasar lautan itu, dan tak ketinggalan arus lautan itu.

Berdasarkan gambar yang berhasil ditangkap satelit Google Ocean, tampak bentuk persegi panjang yang kira-kira berukuran sama dengan kota Wales, Inggris dan gambar tersebut diperkirakan sebuah fosil kota bawah laut. Hal ini juga tergambar pada alat eksplorasi seorang ahli aeronautical yang juga mengklaim bahwa gambar tersebut juga gambar sebuah kota.

Hingga saat ini, letak dari Atlantis dan Taman Eden masih menjadi sebuah kontroversi, namun berdasarkan bukti arkeologis dan beberapa teori yang dikemukakan oleh para peneliti, menunjukkan kemungkinan peradaban tersebut berlokasi di Samudera Pasifik (disekitar Indonesia sekarang). Ini menjadi tantangan para peneliti Indonesia untuk menggali lebih jauh, walaupun banyak juga yang skeptis, beranggapan bahwa Atlantis dan Taman Eden tidak pernah ada di muka bumi ini. Namun yang penting pro dan kontra tentang keberadaan Atlantis di Sundaland perlu dilakukan melalui pendekatan keilmuan yang benar, artinya thesis maupun anti thesis selalu diterbitkan melalui jurnal ilmiah atau proseding ilmiah yang diakui masing-masing bidang keilmuaanya.

Hipotesis rumpun Austronesia sebagai penduduk asli Atlantis.
Pengembangan keilmuan yang terkait dengan Benua Atlantis dan asal usul peradaban yang di lakukan para peneliti di Indonesia, pernah dilakukan oleh LIPI melalui gelaran 'International Symposium on The Dispersal of Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago, 28-30 Juni 2005. Salah satu tema dalam gelaran tersebut menyangkut banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul manusia dalam dua dekade terakhir. Salah satu makalah penting hasil penelitian yang dipresentasikan dalam simposium tersebut adalah hipotesis adanya sebuah pulau yang sangat besar terletak di Laut Cina Selatan yang kemudian tenggelam setelah Zaman Es.

Menurut Jenny (2005), hipotesis itu berdasarkan pada kajian ilmiah seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologi molekuler. Salah satu pulau penting yang tersisa dari benua Atlantis jika memang benar, adalah Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler, penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa Austronesia tertua. Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut-sebut dalam mitos Plato.

Salah satu teori, menurut Harry Truman, mengatakan penutur bahasa Austronesia berasal dari Sundaland yang tenggelam di akhir zaman es. Populasi yang sudah maju, proto-Austronesia, menyebar hingga ke Asia daratan hingga ke Mesopotamia, mempengaruhi penduduk lokal dan menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya. Dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau kebudayaan ini telah menyebar. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.

Kerajaan Kandis “Atlantis Nusantara” Antara Cerita dan Fakta
Hamidi P.M.A., drr(2009) seorang peneliti dari Jambi mengatakan bahwa kerajaan tertua di Pulau Jawa berdasarkan bukti arkeologis adalah kerajaan Salakanegara dibangun abad ke-2 Masehi yang terletak di Pantai Teluk Lada, Pandeglang Banten. Diduga kuat mereka berimigrasi dari Sumatra. Sedangkan Kerajaan tertua di Sumatra adalah kerajaan Melayu Jambi (Chu-po), yaitu Koying (abad 2 M), Tupo (abad ke 3 M), dan Kuntala/Kantoli (abad ke 5 M). Menurut cerita/tombo adat Lubuk Jambi yang diwarisi dari leluhur mengatakan bahwa disinilah lubuk (asal) orang Jambi, oleh karena itu daerah ini bernama Lubuk Jambi. Dalam tombo juga disebutkan di daerah ini terdapat sebuah istana kerajaan Kandis yang sudah lama hilang. Istana itu dinamakan istana Dhamna, berada di puncak bukit yang dikelilingi oleh sungai yang jernih. Penelusuran peninggalan kerajaan ini telah dilakukan selama 7 bulan (September 2008-April 2009), dan telah menemukan lokasi, artefak, dan puing-puing yang diduga kuat sebagai peninggalan Kandis dengan ciri-ciri lokasi mirip dengan sketsa Plato (347 SM) tentangAtlantis. Namun penemuan ini perlu dilakukan penelitian arkeologis lebih lanjut.

Mitologi Minangkabau
Orang Minangkabau mengakui bahwa mereka merupakan keturunan Raja Iskandar Zulqarnaen (Alexandre the Great) Raja Macedonia yang hidup 354-323 SM. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan barat dengan kebudayaan timur. Pertanyaannya apakah mitologi Minangkabau ini ada hubungannnya dengan Atlantis ? Perlu penelitian lebih lanjut.

Menangkap Peluang Wisata Ilmiah
Adalah fakta bahwa saat ini berkembang pendapat yang menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang dianggap ahli waris Atlantis yang hilang. Untuk itu kita harus bersyukur dan membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya adalah merupakan pusat peradaban dunia yang misterius. Bagi para arkeolog atau oceanografer moderen, Atlantis merupakan obyek menarik terutama soal teka-teki di mana sebetulnya lokasi benua tersebut dan karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.

Perkembangan fenomena ini menyebabkan Indonesia menjadi lebih dikenal di dunia internasional khususnya di antara para peneliti di berbagai bidang yang terkait. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia perlu menangkap peluang ini dalam rangka meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peluang ini penting dan jangan sampai diambil oleh pihak lain.

Kondisi ini mengingatkan pada Sarmast (2003), seorang arsitek Amerika keturunan Persia yang mengklaim telah menemukan Atlantis dan menyebutkan bahwa Atlantis dan Taman Firdaus adalah sama. Sarmast menunjukkan bahwa Laut Mediteranian adalah lokasi Atlantis, tepatnya sebelah tenggara Cyprus dan terkubur sedalam 1500 meter di dalam air. ‘Penemuan’ Sarmast, menjadikan kunjungan wisatawan ke Cyprus melonjak tajam. Para penyandang hibah dana penelitian Sarmast, seperti editor, produser film, agen media dll mendapat keuntungan besar. Mereka seolah berkeyakinan bahwa jika Sarmast benar, maka mereka akan terkenal; dan jika tidak, mereka telah mengantungi uang yang sangat besar dari para sponsor.

Santos (2005) dan seorang arkeolog Cyprus sendiri yaitu Flurentzos dalam artikel berjudul : ”Statement on the alleged discovery of atlantis off Cyprus” (Santos, 2003) memang menolak penemuan Sarmast. Mereka sependapat dengan Plato dan menyatakan secara tegas bahwa Atlantis berada di luar Laut Mediterania. Pernyataan ini didukung oleh Morisseau (2003) seorang ahli geologis Perancis yang tinggal di pulau Cyprus. Ia menyatakan tidak berhubungan sama sekali dengan fakta geologis. Bahkan Morisseau menantang Sarmast untuk melakukan debat terbuka. Namun demikian, usaha Sarmast untuk membuktikan bahwa Atlantis yang hilang itu terletak di Cyprus telah menjadikan kawasan Cyprus dan sekitarnya pada suatu waktu tertentu dibanjiri oleh wisatawan ilmiah dan mampu mendatangkan kapital cukup berasal dari para sponsor dan wisatawan ilmiah tersebut.

Demikian juga dengan letak Taman Eden, sudah banyak yang melakukan penelitian mulai dari agamawan sampai para ahli sejarah maupun ahli geologi jaman sekarang. Ada yang menduga letak Taman Eden berada di Mesir, di Mongolia, di Turki, di India, di Irak dsb-nya, tetapi tidak ada yang bisa memastikannya.

Penelitian yang cukup konprehensif berkenaan dengan Taman Eden diantaranya dilakukan oleh Zarins (1983) dari Southwest Missouri State University di Springfield. Ia telah mengadakan penelitian lebih dari 10 tahun untuk mengungkapkan rahasia di mana letaknya Taman Eden. Ia menyelidiki foto-foto dari satelit dan berdasarkan hasil penelitiannya ternyata Taman Eden itu telah tenggelam dan sekarang berada di bawah permukaan laut di teluk Persia.

Peluang penulusuran Atlantis di Indonesia menjadi sangat terbuka dan ini dapat dimanfaatkan oleh para peneliti Indonesia baik secara mandiri maupun bersama-sama yang dilakukan secara holistik, terintegrasi dan sistematik. Peranan pemerintah dalam hal ini sangat diharapkan untuk mendorong dan memfalitasi dalam menangkap peluang mengungkap fenomena Sundaland sebagai Benua Atlantis yang hilang maupun sebagai Taman Eden. Paling tidak peranan instansi tersebut dapat memperoleh temuan-temuan awal (hipothesis) yang mampu mengundang minat penelitian dunia untuk melakukan riset yang komprehensif dan berkesinambungan.

Keberhasilan langkah upaya mengungkap suatu fenomena alam akan membuka peluang pengembangan wisata ilmiah bagi sektor pariwisata. Kemampuan manajemen kepariwisataan yang baik diharapkan dapat menangkap peluang kontroversi keberadaan Benua Atlatis yang Hilang di Indonesia.

Desain terhadap hipotesis penelitian Atlantis yang telah dikembangkan pihak luar dan berbagai mitos atau temuan-temuan prasejarah di Indonesia menjadi peluang penelitian baru bagi para peneliti Indonesia maupun luar negeri melalui wadah wisata ilmiah. Hasilnya diharapakan selain Indonesia lebih dikenal di dunia luar juga dapat menghasilkan devisa negara dan basis ekonomi baru bagi masyarakat Indonesia seperti yang telah dinikmati oleh berbagai negara sepertri Mesir, Yunani, Cyprus, Amerika Tengah, dll.

Penutup
Kisah Atlantis, bagi saya memang suatu kisah yang menarik. Mitos dan legenda yang menghibur yang telah saya kenal ketika saya masih suka sekali membaca komik. Dalam gambaran yang lebih komikal, dulu manusia Atlantis sedemikian pandainya sampai-sampai ia dapat mengubah manusia menjadi berbentuk seperti binatang dengan suatu mesin rekayasa genetis dengan seketika. Ketika saya mengenal filsafat ilmu saya berpendapat bahwa kisah Plato tentang Atlantis menunjukkan dualisme pemikiran; “apakah kisah atlantis ini suatu realitas sejarah atau sekedar suatu ungkapan metaforis ?”.

Metafora Plato yang diungkit dari gagasan idealnya bukanlah suatu metafora tanpa konsep maupun tanpa fakta. Metafora Plato tentang Benua Atlantis menggambarkan kesempurnaan sebuah benua, kesuburan, keadilan, kesempurnaan tata kota, dst. Dengan hal tersebut Plato mengungkapkan Dunia Idea-nya yang menjadi tema dualitasnya. Ia menggambarkan seperti apa dunia ideal yang menjadi dunia real sesungguhnya.

Sebenarnya setiap manusia mempunyai harapan sebagai cita-cita ideal dalam kehidupan, bermasyarakat dan bernegara. Plato ingin mewujudkan itu dengan menggambarkannya dalam dunia idealnya. Mengapa harus Atlantis? Pemikiran Plato, seperti yang dijelaskan di dalam Filsafat Yunani, mempunyai kekurangan yaitu pemikirannya masih menggunakan Mitologi sebagai penggambaran. Jadi, penamaan Atlantis itu berasal dari Dewa Atlas.

Anggapan “Benua Atlantis yang Hilang” sebagai realitas sejarah telah mendorong para peneliti masa lalu yang menyakininya terus melakukan pencarian, eksplorasi, ekploitasi yang berujung kolonialisme dan terjadinya ketidak seimbangan peradaban di dunia. Di masa kini hal ini tidak boleh terjadi sesuai harapan metofora Plato.

Atlantis memang misterius, dan karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi di dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.

Bahan Tulisan
Hamidi, P.M.A., drr., 2009. Kerajaan Kandis “Atlantis Nusantara” Antara Cerita dan Fakta. Jambi.
Muzir, Ridwan I., 2008. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer. Yogjakarta: Ar-Ruzz
Oppenheimer, S., 2004. Out of Eden : the Peopling of the World, Hardback : Weidenfeld & Nicholson Ltd, London.
Olthof, W.L. 2008. Babad Tanah Jawi. Penerbit Narasi. Yogyakarta.
Kristy, R (Ed). 2007. Alexander the Great. Gramedia. Jakarta.
Robert Dick-Read, 2008. Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008.
Richards et al., 2008. New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia”
Santos, A., 2005, Atlantis the Lost Continents Finally Found.
Soares et al., 2008. Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/102006/02/0902.htm
http://ahmadsamantho.files.wordpress.com/2009/05/benua-sunda-land.jpg
http://www.nias.knaw.nl/en/oudfellows/research_group_1994_1995/summaries_94_95/wim_van_binsbergen/naam/W.M.J.+van+Binsbergen.jpg.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWQ_5lJOKQYWFqrbTc9XqpgHLMV437qlt4Vlr4sdafbATHNWye_gEHsxb1j7isyjJ2JnG7b42hVptTvdLorvfpBOaXAxwst6ZW0g9NzrQgqFj6c2NCybYsDTOQJ2L3L-GFtVTgllHSias/s400/Sundaland.jpg.
http://apakabardunia.com/post/arkeologi/mungkinkah-atlantis-yang-hilang-itu-adalah-indonesia.
http://edukasi.kompasiana.com/2010/02/22/temuan-riset-dna-bangsa-atlantis/


Catatan :
Mohon izin dan keridhoannya apabila terdapat cuplikan pendapat yang tidak disertai nama dan tahun penulisnya.

Penulis merupakan Pemerhati Geologi Lingkungan
(okigtl@yahoo.com)

Makalah ini disampaikan pada diskusi panel “Indonesia Asal Peradaban Dunia”.
Yayasan Suluh Nusantara Bakti. Hotel Sultan Jakarta, Tanggal 27 Maret 2010

Sumber : http://www.wacananusantara.org/content/view/category/99/id/646