Sabtu, 24 April 2010

Bajau: Senjata dan Tradisi Pelaut Nomadik

Sebagian besar anggota Suku Bajau di Sulawesi hidup diatas perahu dan sebagaian lagi menetap di pesisir pantai. Suku Bajau di Sulawesi memiliki komplesitas asal, persebaran, dan hubungan dengan Bajau yang berada wilayah lain di Indonesia. Bahkan nama Bajau ini sendiri menyimpan berlapis makna konotatif. Orang-orang Jawa mengenal Suku Bajau sebagai wong kambang, atau “orang-orang yang mengambang”;orang-orang Bugis menyebut mereka dengan waju, atau “orang-orang yang berpindah secara berkelompok,” orang-orang Makasar mengenal mereka dengan nama Turijene, yang berarti “orang air.”

Diceritakan oleh tradisi tertentu, Tempat asal Suku Bajau di Sulawesi adalah di barat-daya semenanjung Sulawesi, sebuah kemungkinan yang diperkuat oleh fakta bahwa Suku Bajau dapat ditemukan didalam atau disekitar pemukiman Bugis atau Makassar. Kebanyakan Suku Bajau yang tinggal diatas perahu ditemukan di pantai terpencil di timur semenanjung Sulawesi. Disana, di kuldesak yang jarang penghuni dan pernah dikuasai suku-suku pemburu kepala, suku pengembara Bajau berhasil menjelajahi perairan lepas pantai dan berhasil mendirikan perkampungan pantai. Perahu-perahu Bajau berkumpul disepanjang Teluk Bone yang menyambung dengan Selat Tiara dan Butung, menuju Pulau Wowoni dan Teluk Kendari, dan juga ke arah utara Kepulauan Sabalangka dan melewati Teluk Tomori. Teluk Kendari menjadi sebuah titik perdagangan untuk Sulawesi barat-daya dimana pedagang Bugis dan Makassar akan berlabuh di pantai yang aman dan berdagang dengan Suku Bajau. Pada tahun 1820, pangeran Bone mencoba untuk mendirikan sebuah koloni di Kendari, akan tetapi permusuhan antar suku di Toraja mengusir suku Bugis; begitu juga dengan Suku Bajau yang menetap. Hanya Suku Bajau nomadik yang dapat bertahan dari ancaman-ancaman itu. Keadaan itu menunjukan bahwa Suku Bajau Nomadik memiliki kemampuan bela diri dan hubungan diplomatis dengan suku pedalaman.

Di daerah pesisir utara Sulawesi, selain di wilayah dekat manado, Suku Bajau tinggal di bagian barat Pantai Kuandang dan tepi timur Pantai Dondo. Di wilayah itu mereka memiliki kesepakatan dengan Bugis yang mengontrol area itu. kemampuan Suku Bajau dalam mengatasi ekspansi Muslim Maluku dibawah kesultanan Halmahera menguatkan fakta bahwa mereka memiliki kemampuan bela diri yang sangat efektif. Mereka sama seperti Suku Bajau di Maluku yang merupakan pionir di pantai utara Kepulauan Obi dan secara konstan menjadi sasasaran serangan perompak dari luar Tobelo dan Galela, atau Suku Bajau di pantai timur-laut Kalimantan yang selalu berhadapan dengan perompak dari Kepulauan Sulu (Filipina), juga merupakan petarung yang tidak mengenal rasa takut.

Laporan yang ditulis oleh J.N. Vosmaer pada tahun 1839 yang menjelaskan Suku Bajau sebagai “… orang-orang yang tekun dan jujur…Suku Bajau nomadic dibedakan dari sifat mereka yang baik, dan juga pemalu…,” tidak menegaskan bahwa mereka tidak dapat bertarung. Hal itu merupakan bagian alami dari tingkah laku orang nomadik yang pada umumnya pemalu karena mereka memang memilih untuk menjadi seperti itu. Seperti orang-orang Tartar di Asia yang memindahkan tenda mereka secara terus-menerus untuk menikmati cuaca yang baik, orang-orang Bajau terus bergerak dengan perahu mereka untuk mendapatkan cuaca yang baik.

Suku Bajau yang menetap dapat ditemukan di sepanjang Sunda Kecil, di Kepulauan Lombok yang pernah menjadi daerah kekuasaan Gowa dari Makassar. Setelah Bugis, dengan dominasi politik dan ekonomi mereka menggantikan Makassar sebagai penguasa, Suku Bajau tetap bertahan di daerah itu. Perkampungan Bajau mungkin dapat kita lihat di sepanjang daerah Bugis, tepatnya di Sumbawa, Flores, dan Adonara. Namun tidak ada Suku Bajau di Sumba dan Timor. Peran yang dimainkan oleh suku Bajau ini dalam perpindahan sistem senjata dan pertarungan hanya dapat dispekulasikan dan dibuktikan oleh investigasi lebih dalam.

Diantara orang-orang Madura yang merupakan pelaut, E.F. Jochim belajar bahwa Suku Bajau dihormati sebagai perenang dan penyelam yang dapat menjelajahi laut dalam. Orang-orang Madura ini bersikeras bahwa Suku Bajau memiliki semacam insang. Menurut bibliografi R. Kennedy, anak-anak Bajau, segera setelah kelahiran mereka, dilempar ke laut dan dapat belajar berenang seperti ikan. Anak-anak itu juga diajarkan cara untuk mengendalikan perahu pada usia dini. Seperti yang diamati Vosmaer, mereka dilatih untuk beradaptasi ke kehidupan air pada usia yang sangat muda dan juga diajari cara melempar tombak dan seruit (harpoon) dalam konteks permainan.

Tombak dan seruit untuk menagkap ikan adalah peralatan yang umum bagi semua pengembara lautan. Sopher dalam Sea Nomads menulis:

Kegunaan tombak penangkap ikan mengurangi pentingnya margin pada daerah kebudayaan Indonesia, dimana lembing merupakan karakteristik senjata perang. Bentuk senjata untuk berburu yang digunakan oleh pengembara lautan untuk menangkap ikan dibandingkan dengan senjata yang digunakan oleh kebudayaan disebagian wilayah Indonesia menunjukan bahwa dalam urusan ini pengembara lautan memliki salah satu karakteristik Kebudayaan Aborigin Indonesia.

Orang-orang Bajau ahli dalam menggunakan tombak. Bentuk-bentuk dari senjata itu bervariasi mulai dari bentuk tombak dengan bermata satu, baik yang berkait atau tidak, tombak trisula, dan seruit trisula. Ujung dari trisula ini umumnya sedikit melengkung kedalam, dimana dua mata trisula memiliki kait dibagian dalamnya. Batang tombak biasanya terbuat dari bambu atau kayu nibong. Mata tombak dapat terbuat dari kayu atau besi. Ketika berburu ikan pari raksasa, panjang mata tombak adalah sekitar 15 inchi dan biasanya dipasangkan dengan batang bambu yang panjang. Kadang-kadang duri ikan pari yang mereka buru digunakan sebagai mata untuk tombak atau belati.

Jelas, peralihan penggunaan tombak dan seruit dalam kehidupan pengembara lautan didasarkan oleh fakta bahwa tombak pernah mereka gunakan sebagai alat utama untuk berburu dan membela diri di daratan. Padtbrugge mengemukakan:

Dahulu Suku Bajau tidak mengenal senjata kecuali tombak dari kayu; tapi kebutuhan mengajarkan mereka untuk melengkapi diri dengan perisai, pedang, dan lembing. Baik ketika menggunakan senjata sederhana yang menyerupai Saligi dari Malaya, bambu atau kayu tajam, atau model tombak dan seruit yang lebih rumit, orang-orang Bajau dapat menggunakan mereka dengan akurat.

Suku Bajau hampir tidak pernah terlibat dalam perompakan karena kurangnya teknologi dan sistem organisasi yang mendukung untuk dapat menjadi perompak yang berhasil. Memang ada beberapa waktu dimana mereka melakukan perampasan dan hal itu dibesar-besarkan oleh penulis Eropa. Sebagai contoh, F.H. van Verschuer menulis “… pada suatu ketika di awal abad 19 ketika sultan Bulungan dan Berau di pantai asia timur-laut Kalimantan bersekutu dengan Sulu, orang-orang Bajau bekerjasama untuk merompak orang-orang Sulu (mungkin Samal) sampai pada akhirnya perwira-perwira angkatan laut Belanda menggunakan istilah Bajau dan bajak (sebutan bahasa Jawa untuk perompak) sebagai padanan yang sama.

Dalam ilmu bela diri, Suku Bajau menggunakan pencak silat gaya Kendari, yang diambil dari nama kota tempat berkembangnya gaya silat itu. Ciri pencak silat ini terletak pada penggunaan kuda-kuda kaki yang menyilang untuk berputar atau menghindar dengan cepat, dan perpindahan titik berat tubuh yang efektif. Gaya silat ini merupakan sebuah sistem gerakan yang cocok digunakan di tempat yang sempit, seperti di perahu. Selain menggunakan senjata-senjata standar pencak silat, pencak silat kendari memakai parau Bajau dan tombak (seruit).

Sumber tulisan:
DIterjemahkan dari “Bajau,” subjudul dari bab ke-6 “Celebes,” dari buku the “Weapons and Fighting Arts of Indonesia” yang ditulis oleh Don F. Dreager.

http://www.wacananusantara.org/content/view/category/99/id/593

Tidak ada komentar:

Posting Komentar