Sabtu, 20 Maret 2010

Bahasa dan Aksara Batak

Menurut kepercayaan rakyat Batak, awalnya nenek moyang mereka, bernama Siraja Batak, mengukir aksara Batak untuk dapat menulis bahasa Batak. Siraja Batak ini tak tahu bahwa masih ada bahasa-bahasa yang lain selain bahasa ibunya. Barulah setelah rakyat Batak menyebar ke desa na uwalu, mereka tahu bahwa masih ada bahasa daerah selain bahasa Batak. Kenyataan ini mereka ketahui setelah datangnya sibontar mata (bangsa asing), kemudian disusul Perang Batak dan Perang Padri. Terbukalah mereka bahwa sebetulnya masih banyak bahasa yang mereka temui di luar Tano Batak.

Banyak ahli berpendapat bahwa aksara Batak berasal dari aksara Semit Kuno, lalu menurun ke Semit Utara, Aramea, masuk ke Brahmi (India Selatan), lalu Pallawa, kemudian Sumatra. Dasar penulisan Batak sendiri terdiri dari dua perangkat huruf, Ina Ni Surat dan Anak Ni Surat. Sistem tulisan seperti ini biasanya dipakai di India. Tradisi penulisan aksara Batak Toba diduga telah ada sejak abad ke-13.

Di ranah Batak, ada dua bahasa daerah yang berbeda dialeknya: Batak Karo (di utara) dan Batak Toba (di selatan). Selaian Batak Karo, bahasa yang dipakai oleh masyarakat di utara ini adalah dialek Alas (kelompok non-Batak), dialek Batak Pakpak-Dairi, serta pelbagai dialek turunannya. Ada pun kelompok selatan meliputi Batak-Toba dan Angkola-Mandailing. Sementara itu, dialek Batak Simalungun berbeda dengan dialek utara maupun selatan; dan kemungkinan besar usianya lebih tua dari cabang wilayah selatan.

Sebagai akibat dari penjajahan Belanda pada abad ke-19—setelah sebelumnya berkobar perang antara rakyat Batak dengan pihak kolonial—banyak orang Batak Toba pindah ke Dairi, Simalungun, dan Alas. Kini, bahasa Toba banyak digunakan di wilayah Pematangsiantar dan Sidikalang.

Bahasa Batak


Suku Batak memiliki bahasa yang satu sama lain mempunyai banyak persamaan. Namun demikian, para ahli bahasa membedakan sedikitnya dua cabang bahasa-bahasa Batak yang perbedaannya begitu besar sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua kelompok tersebut.

Bahasa Angkola, Mandailing, dan Toba membentuk rumpun selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak-Dairi termasuk rumpun utara. Bahasa Simalungun sering digolongkan sebagai kelomok bahasa yang berdiri diantara rumpun utara dan rumpun selatan, namun secara historis bahasa simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari cabang Batak Selatan sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk.

Semua dialek bahasa Batak berasal dari suatu bahasa purba (proto language) yang dianggap telah menurunkan beberapa bahasa yang sekarang ada. Sebagian kosakatanya melalui linguistic historis komparatif sampai sekarang diwariskan oleh rumpun batak Utara. Dalam hal ini rumpun utara yang melesarikan bentuk aslinya bahwa misalnya kata untuk bilangan tiga dalam bahasa Batak Purba adalah tělu. Bentuk ini sampai sekarang diwariskan oleh rumpun Batak Utara, sedangkan rumpun Batak Selatan mengalami pergeseran dari [ě] menjadi [o] sehingga tělu berubah menjadi tolu. Namun banyak contoh lainya pula di mana bentuk aslinya dipertahankan oleh rumpun selatan.


Rumpun Bahasa Batak
Bahasa Karo dan Simalungun sering disebut sebagai dua bahasa yang begitu berbeda sehingga sulit berkomunikasi satu sama lain. Akan tetapi, di daerah-daerah perbatasan Karo-Simalungun tidak ada maslah komunikasi karena di situ masing-msaing bahasa memiliki banyak kata dipinjam dari sebrang pembatas mereka. Hal demikian terjadi bukan bukan saja dari segi bahasa, dari segi budaya pula tidak ada perbedaan yang begitu mencolok di antara kampung-kampung Simalungun dan karo di daerah perbatasan. Demikian juga halnya di daerah perbatasan antara bahasa atau budaya Karo dan Pakpak atu Pakpak dan Toba sekalipun.

Bahasa Toba, Angkola, dan Mandaling tidak banyak berbeda. Jika ditelaah lebih jauh, bahasa Angkola dan Mandaling merupakan dua bahsa yang mempunyai sedemikian banyak persamaan sehingga pada umunya disebut bahasa Angkola-Mandaling saja. Dengan adanya kesinambungan linguistic antara suku-suku Batak, tidak mengherankan bahwa tiada juga perbedaan-perbedaan yang jelas antara varian-varian surat Batak. Secara umum dapat dikatakan bahwa ada lima varian surat Batak. Secara umum dapat dikatakan bahwa ada lima varian surat Batak, ialah Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Angkola-Mandaling. Namun, kita harus mengingat bahwa baik dari segi bahasa, budaya maupun tulisan tidak selalu ada garis pemisah yang jelas antara kelima suku Batak tersebut karena kelima suku Batak itu mempunyai induk yang sama.

Sistem Aksara Batak
Pada seminar bertanggal 17 Juli 1988, sejumlah tokoh Batak, dari mulai Batak Angkola, Sipirok, Padang Lawas, Mandailing, Toba, Dairi, Simalungun, dan Batak Karo, mencoba mengembangkan aksara Batak, dari 19 induk huruf menjadi 29 induk huruf. Dengan begitu, bahasa Indonesia dapat dituliskan dengan aksara Batak.

Aksara Batak ini memiliki kesamaan dengan aksara Kaganga yang meliputi aksara Rencong (disebut pula aksara Kerinci), aksara Rejang, aksara Lampung. Kemungkinan besar, aksara Batak dengan aksara Kaganga bernenek moyang sama. Akan tetapi, aksara Batak belum pernah digunakan pada tulisan-tulisan permanen seperti pada batu (prasasti) atau pun lempengan—atau mungkin belum ditemukan? Kebanyakan, aksara Batak ditorehkan pada tabung bamboo, kulit kayu, dan kertas.

Ada pun aksara Batak adalah aksara semisilabis yang terdiri atas 19 huruf (induk huruf)dan, tergantung pada dialeknya, 5 sampai 7 tanda diakritik untuk menandai vokal dan beberapa konsonan akhir (anak huruf). Silabis adalah tanda untuk menggambarkan satu suku kata/silaba atau silabis.

Berikut bagan aksara-aksara vokal dan konsonan Batak dari berbagai daerah (Toba, mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak) yang berjumlah 19.



Selain aksara vokal dan konsonan, dalam sistem aksara Batak dikenal adanya tanda baca yang disebut pangolat dan saringar. Pangolat adalah tanda yang digunakan untuk mematikan aksara konsonan, sedangkan saringar berfungsi untuk membuat membuat bunyi vokal dan bindeng (-ng) pada huruf konsonan seperti i, o, e, u, ng, ing, dan ong.

Berikut bagan pangolat dan saringar beserta contoh penggunaannya.


Pustaha, “Buku” Orang Batak
Pustaha merupakan naskah yang terbuat dari kulit kayu alim (Aquilaria malaccencis) yang biasa dipakai oleh masyarakat Batak untuk menuliskan hal-hal penting. Kulit kayu ini dibeset dalam carikan panjang, kemudian dilipat seperti alat musik akordion, lalu ditempelkan pada dua sisi sampul kayu yang berfungsi sebagai pengikat. Kadang-kadang jalinan rotan digunakan untuk mengikat pustaha ini, dan tangkai kecil untuk memberi tinta dari jelaga damar dan getah pohon.

Aksara Batak yang diukir pada tabung bambu yang dibuat oleh Raja Bunto Pane kepada John Anderson di Penang pada tahun 1832.

Dahulu, pustaha ditulis oleh datu atau guru dan tukang sihir (dukun). Biasanya mereka menulis tentang pelaksanaan ritual keagamaan, bagaimana menafsirkan sebuah pertanda alam, resep meracik obat tradisional. Hanya masalah administrasi tak dimuat dalam pustaha ini. Pun, tak ada karya sastra seperti ledenda dan mite yang diabadikan melalui pustaha ini; mereka lebih suka memakai tradisi lisan (disebut turi-turian).

Selain kulit kayu, masyarakat Batak, terutama yang bukan golongan pendeta/dukun, mempergunakan bahan-bahan dari bambu untuk menuliskan aksara Batak. Mereka mengukir aksara Batak dengan memakai pisau tajam bagian atas ke dalam lapisan ari bambu tersebut. Ada pula media seperti kotak kapur-sirih, sekoci tenun, dan suling bambu yang dipergunakan.

Kepustakaan
McGlynn, John H. dkk. 2002. Indonesian Heritage 10 (Bahasa dan Sastra). Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Kozok, Uli. 1999. Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak. Jakarta: KPG
Supriadi Wawan. 2010. Mengenal Aksara Batak. [online] http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/02/mengenal-aksara-batak/, februari 2010.
Ager, Simon. 1998. Batak alphabet. [online] http://www.omniglot.com/writing/batak.htm. februari 2010

Sumber :
http://www.wacananusantara.org/2/618/bahasa-dan-aksara-batak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar