Minggu, 21 Maret 2010

Candi Kidal


Peninggalan sejarah Nusantara memang sangat kaya, dari mulai prasasti, patung, sampai candi. Salah satu peninggalan sejarah yang bercorak Hindu adalah Candi Kidal, peninggalan masa Kerajaan Singasari. Candi Kidal dipercayai sebagai bangunan penghormatan atas jasa besar Anusapati, raja kedua Singasari, yang memerintah selama 20 tahun, 1227 - 1248 M. Selama menjalankan pemerintahanya, Anusapati tidak banyak diketahui sepak terjangnya dalam menjalankan kedudukan sebagai Raja. Kematian Anusapati tidak terlepas dari yang namanya perebutan takhta kekuasaan sesama anggota keluarga. Anusapati meninggal oleh Panji Tohjaya dengan ditusuk oleh Keris Empu Gandring. Mengenai pembunuhan Anusapati, tidak sedikit orang mengaitkannya dengan kutukan dari Empu Gandring. Anusapati dengan Panji Tohjaya sebenarnya satu keluarga, adik-kakak tetapi berbeda ayah dan ibu.

Dilihat gaya atau model arsitektunya, Candi Kidal sangat kental dengan budaya yang berkembang di Jawa Timur. Candi Kidal sendiri pernah mengalami pemugaran pada 1990. Candi Kidal memiliki nilai-nilai filosofi dalam kehidupan masyarakat. Relief candi menceritakan cerita Garudeya, mitologi yang berisikan pesan moral pembebasan dari perbudakan. Dengan adanya cerita yang ditulis dalam candi ini, kita dapat mengetahui bahwa masyarakat atau penguasa pada masa itu sudah menyadari pentingnya membebaskan manusia dari yang namanya perbudakan

Lokasi Candi Kidal
Candi Kidal terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur Kota Malang, Jawa Timur. Candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya kekuasaan atau pemerintahan Anusapati yang meninggal pada tahun tersebut. Pembangunan candi dilakukan setelah berakhirnya upacara pemakaman, yang disebut Cradha (tahun ke-12), dengan tujuan untuk menghormati Raja Anusapati yang telah wafat.

Keistimewaan Candi Kidal
Setiap candi tentu memiliki kelebihan masing-masing. Candi Kidal memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi lainnya. Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk ke atas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin ke atas semakin kecil dengan bagian paling atas memunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Buddha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian kecil.

Hal lain yang paling dari Candi Kidal adalah kepala Kala yang dipahatkan di atas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala Kala di Candi Kidal bila dipandang sesaat nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Namun, apabila dilihat lebih dalam akan nampak sebagai sebuah karya seni yang besar. Adanya taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Penggambaran yang ada semua ini merupakan sebuah bentuk keyakinan dan keamanan dalam tempat beribadah. Dengan adanya gambaran semua ini maka orang-orang berkeyakinan bahwa tempat ini dijaga oleh para dewa dari segala bentuk perbuatan jahat.

Relief Candi Kidal
Pada bagian kaki candi terpahatkan 3 buah relief indah yang menggambarkan cerita legenda Garudeya (Garuda). Cerita ini sangat popular dikalangan masyarakat Jawa saat itu sebagai cerita moral tentang pembebasan atau ruwatan. Kesusastraan Jawa kuno berbentuk kakawin tersebut mengisahkan tentang perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta.

Makna yang tertulis dalam cerita ini tentunya membuat kita bangga terhadap kebudayaan nasional, karena pada masa-masa tersebut di belahan dunia banyak terjadi yang namanya perbudakan bahkan terjadi penjualan budak. Namun bangsa Indonesia (sekarang) justru sudah sadar dan mengenal pentingya sebuah kebebasan manusia dari yang namanya perbudakan.

Cerita ini juga ada pada candi Jawa Timur yang lain yakni di Candi Sukuh di lereng utara G. Lawu. Cerita Garuda sangat dikenal masyarakat pada waktu berkembang pesat agama Hindu aliran Waisnawa (Wisnu) terutama pada periode Kerajaan Kahuripan dan Kediri. Sampai-sampai Airlangga, raja Kahuripan, setelah meninggal, diwujudkan sebagai Dewa Wisnu pada Candi Belahan dan Jolotundo; dan patung Wisnu di atas Garuda paling indah sekarang masih tersimpan di museum Trowulan dan diduga berasal dari Candi Belahan.

Narasi Garudeya pada Candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief, masing-masing terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi--kecuali pintu masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda di bawah 3 ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Di antara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.

Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah dua bersaudara istri Resi Kasiapa. Kadru memunyai anak angkat tiga ekor ular dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah harus mengurusi tiga anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang di antara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih Uraiswara yang sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala perintah pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut (relief pertama)

Ketika Garuda tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus menjaga tiga saudara angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada tiga ekor ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular, "Bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan berasal dari lautan susu." Garuda menyanggupi dan segera mohon izin ibunya untuk berangkat ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda sehingga terjadilah perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda, para dewa dapat dikalahkan. Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga harus mau menjadi tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu seperti nampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya duduk di atas Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta (relief kedua).

Dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga di mana Garuda dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan (relief ketiga).

Selain memiliki makna kedewaan, simbol Garuda diyakini oleh pendiri bangsa kita sebagai sebagai bagian dari simbol pembebasan dari perbudakan penjajah asing. Garuda sekarang ini dipakai sebagai simbol Negara Indonesia. Ini menandakan bahwa bangsa Indonesia harus terbebas dari yang namanya segala bentuk perbudakan.

Candi Kidal dalam Sejarah
Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengahan, candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan) raja, sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam Negarakretagama bahwa Raja Wisnuwardhana didarmakan di candi Jago, Kertanegara di Candi Jawi dan Singosari, dan Hayam Wuruk di Candi Ngetos.

Dalam filosofi Jawa, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep "Dewa-Raja" yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki candi, seperti pada candi Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi, dan lain lain. Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan Nagarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan sebagai Siwa. Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih tersimpan di museum Leiden-Belanda diduga kuat berasal dari Candi Kidal. Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief Garudeya? Apa hubungannya dengan Anusapati?.

Pembuatan relief Garudeya kemungkinan merupakan sebuah pesan dari Anusapati sendiri. Pesanan Anusapati ini diperkirakan merupakan sebuah bentuk kecintaanya kepada Ibundanya Ken Dedes. Anusapati melihat bahwa Ken Dedes merupakan salah satu contoh perbudakan pada masa itu. Ken Dedes menjadi istri dari Tunggul Ametung karena diculik dari keluarganya, kemudian dia menjadi istri Ken Arok karena dipaksa setelah suaminya, Tunggul Ametung, dibunuh. Hal inilah perkiraan munculnya ide pembuatan Candi Kidal dengan relief Garudeya.

Dalam Prasati Mula Malurung, dikisahkan bahwa Ken Dedes adalah putri Mpu Purwa dari pedepokan di daerah Kepanjen–Malang yang cantik jelita tiada tara. Kecantikan Ken Dedes begitu tersohor hingga Akuwu Tunggul Ametung, terpaksa menggunakan kekerasan untuk dapat menjadikan dia sebagai istrinya prameswari. Setelah menjadi istri Tunggul Ametung, ternyata Ken Dedes juga menjadi penyebab kematian suaminya yang sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Hal ini terjadi karena Ken Arok, yang secara tak sengaja di Taman Boboji di istana Tumapel melihat sinar kemilau keluar dari aurat Ken Dedes. Setelah diberitahu oleh pendeta Lohgawe, bahwa wanita yang mengeluarkan sinar demikian adalah wanita ardanareswari, yakni wanita yang mampu melahirkan raja-raja besar di Jawa. Sesuai dengan ambisinya maka Ken Arok membunuh Tunggul Ametung serta memaksa kawin Ken Dedes. Sementara itu setelah mengawini Ken Dedes, Ken Arok masih juga mengawini Ken Umang. Dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi istri keduanya dari pada Ken Dedes sehingga Ken Dedes diabaikan.

Berlandaskan keterangan yang sudah disampaikan di atas, pemberian relief Garudeya pada Candi Kidal oleh Anusapati bertujuan untuk meruwat ibunya Ken Dedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya. Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali sebagai wanita sempurna lepas dari penderitaan dan nestapa. Anusapati melihat apa yang terjadi pada ibunya merupakan sebuah kejahatan perbudakan dan semua itu harus dihentikan. Relief merupakan sebuah teguran dan pelajaran bagi generasi selanjutnya bahwa kita tidak boleh melakukan semunya itu, yang hanya akan membuat orang lain menderita.

Pemugaran Candi Kidal
Untuk mengungkap berbagai cerita sejarah, tentunya harus ada kemauan dan kerja keras dari berbagai kalangan, termasuk dalam hal ini pemerintah dan ahli dalam bidangnya. Berdasarkan hasil pemugaran pada 1990-an, di sekeliling candi terdapat sisa-sisa pondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran. Terdapat tangga masuk menuju kompleks candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit dipastikan apakah memang demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah sekeliling dengan dataran kompleks candi, nampak candi kompleks Kidal agak menjorok ke dalam sekitar 1 meter dari permukaan sekarang ini. Apakah dataran candi merupakan permukaan tanah sesungguhnya akibat dari bencana alam seperti banjir atau gunung meletus, tidak dapat diketahui dengan pasti.

Apabila dilihat dari usianya, Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi yang ada pada masa Jawa Timur, pasca Jawa Tengah (abad ke-5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (abad X M), Airlangga (abad XI M), dan Kediri (abad XII M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan (Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan petirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua, yakni Candi Kagenengan yang menurut versi Nagarakretagama merupakan tempat didarmakannya Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan.

Kepustakaan
Abas, H.M.S., dkk. 2001. Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan di Jawa Timur. Jawa Timur: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Agus Sunyoto. 2000. Petunjuk Wisata Sejarah Kabupaten Malang. Malang: Lingkaran Studi Kebudayaan Malang.
"Anusapati", Kompas, Maret 1983
Dinas Pariwisata Daerah Tk. I Jawa Timur. 1992. 700 Tahun Majapahit. Archipelago, Monthly Tourism Magazine, First Edition, 1995.
Jan Fontein, R. Soekmono, Edi Sedyawati. 1990. Sculptured of Indonesia. National Gallery of Art.
Moelyono, S. 1979. Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Djambatan.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Sumber Foto
http://www.acicis.murdoch.edu.au

Sumber :
http://www.wacananusantara.org/2/509/candi-kidal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar