Minggu, 28 Maret 2010

Filsafat Dayak

Oleh : Yohanes Supriyadi

Sesungguhnya berbicara tentang Dayak merupakan sesuatu yang misteri, perlu banyak waktu untuk mengenalinya dengan teliti sehingga paham secara benar. Istilah Dayak baru dikenal dunia setelah penemuan Dr. August Kanderland, seorang sosiolog Belanda ditahun 1803. Dalam penemuannya, August menjelaskan bahwa penduduk yang ia temui di pedalaman Borneo mengaku diri sebagai “orang daya”, koloni manusia yang tinggal dikawasan perhuluan dan non muslim. Tulisan-tulisan Dr. August ini memancing rasa ingin tahu banyak ahli dunia, khususnya tentang “The Head Hunter”. Katanya, orang Daya itu masih primitif, kanibal, sebagaimana koloni manusia yang banyak terdapat di hutan Amazon Amerika Latin. Umum dikatakan bahwa orang Dayak berasal dari Yunan, Cina Selatan, bagian hulu sungai Mekong.

Namun, saya menyangsikan teori ini ! dalam berbagai analisis, saya lebih percaya bahwa Dayak adalah manusia asli Kalimantan, bukan migran dari dunia lain. Secara ilmiah, kita dapat membaca dari Wijowarsito;1957. Menurutnya jauh sebelum bangsa Austronesia (sebuah bangsa hasil perkawinan silang antar ras mongol dengan ras asli Kalimantan) datang di kepulauan Kalimantan, di kepulauan ini telah hidup dua bangsa besar, bangsa Weddoide dan bangsa Negrito (Wijowarsito, 1957). Pada konteks Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang, dalam batas tertentu, Dayak yang tersebar diwilayah ini merupakan klan besar dari apa yang dikenal sebagai Klemantan atau Land Dayak. Ada sekitar 4 rumpun Dayak diwilayah ini; Kanayatn, Salako, Bidayuh, dan Punan dengan beragam bahasa dan variannya. Di terminal Singkawang kita dengan mudah menemui orang-orang Dayak yang berdialek bajare, badameo/damea , bakati’, banyadu’ , bajanya, bainyam, dll.

World View dan Praktik Religius Dayak
Orang Dayak adalah orang alam. Mereka hidup ditengah-tengah alam yang maha luas dan ganas. Oleh karena itu, untuk eksistensi diri, mereka selalu melakukan percobaan. Hasil percobaan-percobaan yang dianggap praktek terbaik akan diikuti, untuk warisan anak-cucu. Praktek terbaik inilah yang kini dikenal sebagai ADAT. Adat diyakini sebagai solusi menciptakan keseimbangan kehidupan, antar sesama manusia, antara mereka dengan alam sekitar dan antara mereka dengan sang penguasa alam semesta. Melanggar adat berarti mengancam kehidupan.

Orang Dayak mengenal Allah, zat tertinggi. Allah-lah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Untuk mengungkapkan apa yang disebut “Allah” , agar dapat dimengerti dan dipahami secara jelas bukanlah merpakan yang sederhana dan perlu waktu yang cukup banyak, karena tidak dapat dipisahkan dan sangat erat sekali kaitannya dengan adat, mithe-mithe tentang kejadian alam semesta dan manusia dan mithe-mithe lainya yang memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan antara manusia dengan makhluk-makhluk lain serta alam lingkungan sekitarnya.

Secara ringkas, Orang Dayak yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam kehidupan, yaitu kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya. Yang berada di alam kehidupan nyata ialah makhluk tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan yang berada di alam kehidupan maya antara lain: Ibalis, bunyi’an, antu, sumangat urakng mati, dan Jubata (Tuhan Allah). Kedua alam kehidupan ini dpat saling pengaruh-mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh seseorang adalah salah satu contoh dari akibat tersebut di atas. Untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan alam nyatan dan kehidupan alam maya, serta untuk menata seluruh aspek kehidupan warganya, hubungan timbal-balik sesama warganya, hubungan warganya dengan alam lingkungannya, serta penciptanya/Jubata agar tetap serasi dan harmonis, nenek moyang para leluhur mereka telah menyusun secara arif dan bijaksana ketentuan-ketentuan, aturan-aturan yang harus ditaati dan dijadikan pengangan hidup bagi seluruh warganya dan warga keturunannya dari generasi ke generasi sampai kini, yang terangkum dalam apa yang disebut ADAT.

Orang Dayak yang hidup berpencar-pencar di desa mereka masing-masing secara umum dikategorikan dalam masyarakat horticultural (Kottak : 1974). Sebuah masyarakat yang menanam tanaman pangan guna memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga dalam jangka waktu satu tahun. Bentuk subsistensi yang demikian itu bukan untuk mengkasilkan produk yang surplus (pasar oriented), namun hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja. Orang Dayak dalam menjalani rutinitas kehidupannya tidak lepas dari praktek religius tradisionalnya – Religi Neolitikum – yang diwarisi oleh para leluhurnya, terutama dala interaksinya dengan alam lingkungan hidupnya (Hofes: 1983). mereka percaya bahwa dalam usaha mendapatkan rejeki, kesehatan dan keselamatan dalam kehidupan ini tidak hanya bertumpu pada usaha kerja keras saja, tetapi juga pada harapan adanya campur tangan dari “apa” yang mereka yakini. Dengan kata lain, religi tradisionalnya mengajarkan bahwa segala sesuatu yang mereka dapatkan dalam kehidupan mereka – baik dan jahat – selalu ada campur tangan dari unur-unsur lain di luar manusia. Dunselman dalam artikelnya di tahun 1950-an pernah menggunakan istilah agama-agama Dayak untu menyebut praktek religius seperti ini. Istilah religi dalam konteks ini menyangkut pengertian yang menyangkut semua praktek religius yang masih hidup dan dilaksanakan namun sudah tidak sepenuhnya- oleh kelompok masyarakat hortikultur Dayak dalam kehidupannya. Karena religi ini merupakan kebiasaan yang diwariskan oleh para leluhur secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat non- literate ini, selanjutnya disebut Religi Tradisional yang dalam bahasa Dayak disebut adat. Hal ini dapat dilihat dari doa dalam setiap acara ritual yang disampaikan oleh penyangohotn (imam):

“Bukotnnyo unang i-mantabok i-marompokng adat aturan anyian, io inurunan ampet i ne’ Unte’ i kaimantotn, ne’ ancino i Tanyukng Bungo, ne’ Sarukng i sampuro, ne’ Rapek i sampero’, ne’ Sai i sabako’, ne’ ramotn i saa’u, ne’ ranyoh i gantekng siokng. Angkowolah angkenyo kami anak parucu’e make io dah tingor-kamaningor, dah pahiyak dah goehotn kami ihane.” (terjeahan bebas: bukanlah adat dan aturan ini hasil rekayasa semata-mata, namun dia diturunkan oleh mereka (para leluhur) yang bernama Nek Unte’ yang tingggal di kaimantotn, Nek Bancino (leluhur dari etnis cina) di Tanyukng Bungo, Nek Sarukng di bukit sampuro, Nek Rapek di sungai Sapero’, Nek Sai di bukit Sabako’, Nek Ramotn di bukit saba’u Nek Ranyoh di Gantekng Siokng. Karena itu generasinya menggunakannya yang diwarisi dari generasi yang menjadi tuntutan kehidupan kami).

Dalam adat (religi tradisional) ini terkandung segala aturan, norma dan etika yang mengatur korelasi manusia dengan manusia, manusia dengan unsur-unsur yang non-manusia (nature and supranature) dalam sistem kehidupan ini. Religi tradisional ini merupakan suprastruktur dalam sistem sosiokultural masyarakat hortikultural Dayak Selako yang prakteknya selalu disesuaikan dengan lingkungan tempat tinggal mereka (Sanderson : 1981). Penyesuaian ini berimplikasi terhadap perbedaan kecil dalam bentuk-bentuk doa, kurban persembahan (bahasa Dayak Selako: buis bantotn) – misalnya posisi ayam kurban, jenis daun ritual – dan tempat-tempat mitis dari setiap desa. Sesuai dengan namanya, religi tradisional atau adat ini bersifat non proselytizing, artinya tidak mencari penganut di luar komunitas, hanya untuk kalangan sendiri (Spier : 1981). Ajaran tentang adat (etika) lingkungan hidup yang mengatur korelasi antara manusia dengan alam ini didasarkan pada pandangan dunia (world-view) masyarakt holtikultural Dayak Selako itu sendiri yang termuat dalam religi Tradisionalnya dan terpelihara dalam mitos-mitosnya.

World-view (pandangan dunia) Orang Dayak memahami alam semesta (kosmos) ini sebagai suatu bentuk kehidupan bersama antara manusia dan yang non-manusia, diluar alam para Jubato (dewa) dan Awo Pamo (arwah para leluhur) yang berada di Subayotn. Bentuk kehidupan itu merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya terdiri dari unsur alam manusia dan alam non-manusia (organisme dan no-organisme) yang saling berkolerasi. Sistem kehidupan itu sendiri merupakan lingkungan hidup manusia dimana manusia hidup dan berkolerasi secara harmonis dan seimbang dengan para “tetangganya” unsur-unsur lain yang non- manusia. Hubungan yang harmonis dan seimbang dalam sistem khidupan ini harus dibangun oleh manusia melalui praktik-praktik religi mereka.

Manusia sebagai bagian dari alam memiliki unsur-unsur alam, misalnya, udara, air, dan zat lainnya dalam dirinya (Sudarminta : 2006). Manusia merupakan mikrokosmos (bagian dari dalam sistem kehidupan (kosmos) ini (Priyono : 1993). Setiap unsur dalam sistem itu masing-masing memiliki nilai dan fungsinya yang saling mendukung dalam satu kesatuan untuk mencapai suau tujuan,kehidupan yang harmonis dan seimbang. Sikap manusia dalam korelasinya bersama unsur-unsur lain dalam sistem kehidupan itu menentukan kehidupan manusia bersama lingkungannya, baik secara individu maupun komunitas. Sikap manusia yang mau menghargai, menghormati dan bersahabt dengan alam akan memberikan permusuhan dan kesengsaraan bagi manusia memisahkan diri dan beroposisi dengan alam.

Pemahaman masyarakat Dayak Salako terhadap manusia sebagai bagian dari alam didasarkan atas adanya korelasi tersebut. Korelasi ini dipahami sebagai bentuk komunikasi yang dijelaskan oleh mitos-mitos yang berkembang ditengah kehidupan masyarakat ini (van Baal : 1987). Alam berkomunikasi dengan manusia antara lain melalui tanda-tanda yang diberikan. Sebaliknya bentuk komunikasi manusia dengan alam melalui praksis (tindakan nyata dan disadari) dan praktik religiusnya. Beberapa contoh bentuk pemahaman manusia sebagai bagian dari alam yangberkolerasi dalam sistem itu diuraikan disini. Pertama, kematian dipahami sebagai peristiwa kembalinya dan menyatunya jasad manusia dengan alam dunia (taino) serta sengat atau ayu (jiwa) dengan Subayotn. Saat manusia akan meninggalkan dunia, alam mengkomunikasikannya pada mnusia berupa tanda dalam bentuk suara dari sejenis mahluk alam yang disebut Tirantokng. Suara itu menyerupai bunyi sebuah parang besar beradu dengan alas kayu terjadi pada malam hari antara pukul 10.00 hingga 12.00. Tanda ini diartikan bahwa hantu telah memotong-motong badan orang itu hingga meninggal. Orang segera tahu bahwa dalam beberapa hari akan ada yang meninggal dunia di desanya atau desa sekitarnya.

Saat orang itu akan menghembuskan nafasnya yang terakhir (ngooh), pada malam sebelumnya suara riuh rendah dari mahluk malam di rimba terdengar tidak seperti biasanya. Peristiwa ini bisa dialami oleh mereka yang menunggu durian atau berburu pada malam hari (nereng). Orang menafsirkannya bahwa alam bersorak-sorai menyambut kedatangan manusia yang akan menyatu kembali dengannya. Tidak ada kebiasaan membersihkan dan menyembahyangi dalam kehidupanmasyarakat Dayak. Pohon-pohon dan semak dibiarkan tumbuh lebat disekitar kuburan. Masyarakat takut untuk membersihkannya karena arwah manusia yang dikubur itu akan marah dan menyakitinya. Ketika jenasah itu dikubur atau dibakar (dikremasi), selanjutnya orang tidak pernah mengenali dimana letak kuburan manusia yang meninggal itu. Dia dikubur tanpa nisan. Rangkaian peristiwa kematian yang dialami dalam kehidupannya membuat masyarakat Dayak berkesimpulan bahwa manusia itu betul-betul telah kembali danmenyatu dengan alam karena dia sesungguhnya berasal dri alam. Religi tradisionalnya mengatakan manusia yang sudah momo’ (meninggal dunia) itu sesungguhnya telah kembali ke binuo (tempat) asalnya.

Sejalan dengan itu, dalam tataran evolusi kehidupan, manusia secara bertahap berkembang dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah (Darwin : 2002). Kedua, manusia dalam melaksanakan aktivitasnya akan terhindar dari marabahaya ketika suara mahluk tertentu (rasi) berbunyi pada situasi yang tidak biasa. Tanda ini dipahami sebagai “alam” (bhs. Dayak Salako: palangkahan) bagi manusia agar memilih waktu (jam, hari) yang tepat dalam melaksanakan kegiatan diluar rumah. Pemahaman ini dijelaskan dalam kasus Kulikng Langit, tokoh dalam mitos manusia mendapatkan pelangkahan dari para rasi akan nek Baruang kulup. kasus lain sebagai contoh yaitu sebuah mitos maniamas yang melanggar suara rasi dari kijokng (kijang) – sebuah rasi keras, rasi orang mati berdarah.

“Ketika maniamas hendak menebang pohon besar diladangnya, tiba-tiba terdengar suara kijang dari semak disekitar rumahnya. Walaupun dia tahu rasi itu, ia tidak perduli dan tetap melanggarnya. Dia keluar dari rumah dan pergi ke ladang. Begitu dia selesai menebang pohon itu, di sebelahnya telah menanti musuhnya, Leo Baja, dari kampung Barangan, Leo Baja langsung melemparkan boekng (tombak)-nya ke arah maniamas, Maniamas Nyingkubokng (melompat) tiga kali melengakannya. Begiru Maniamas berdiri kembali ketanah, Leo Baja langsung menyerangnya dengan tangkitn (sejenis parang khusus untuk menganyau). Maniamaspun langsung menghunus tangkitnnya. Mereka saling memyerang, memotong, menebas. Keduanya sama-sama kuat. Tiba-tiba kaki Maniamas terikat oleh kayu dan terjatuh. Saat itu juga tangkitn Leo Baja menyambar batang lehernya. Darah menyucur dan kepala terlepas. Leo Baja puas. Dia pulang dengan menintng kepala Manianas. Bagaimana cara kamang pulang bakayo, begitu juga adat yang diikutinya. Ini akibat melanggar rasi keras, rasi orang mati berdarah.”

Selanjutnya, kesuburan semua mahluk dalam kosmos ini tidak luput dari campur tangan burung Tingkakok dan burung Bungkikik. Kedua burung Jubato ini dengan suaranya yang khas menimang agar semua mahluk hidup timbuh subur, berbuah, berkembang biak dan berketurunan. Manusia mendapatkan kebaikan dari kedia burung ini. Berkat timangan burung ini manusia dapat berketurunan, segala ternak di rumah, Hewan disungai dan dihutan berkembang biak, dan tanaman padi dan pohon buah-buahan mengeluarkan buah yang lebat. Pada acara ritual kedua burung ini disapa dan di beri sesajian dalam bentuk Patek.

Doanya sebagai berikut.
(patek diambil dari dalam cangkir dan ditaruh dalam genggaman sambil berdoa) “Au’ unang nyian patek tampi paribaso si ane’ (sebut nama pemilik kurnan) mirikngi’ kito’am badamo Tingkakok burukng Jawo, Bungkikik, burukng matan. Kito’ an dingaso’an dingarap, ingampioh am batimang. Ame kito’ batimang jawi’, batimang jaji ka manosio, jaji ka piarootn,jaji padi ka umo ka tahutn, jaji ka banir buoh. Kurrra’ patek tampi (pada sat itu patek dilambungkan keatas dengan posisi di atas kurban)” (Terjemahan bebas: inilah sesajian patek, yang pertama datang sebagai adat dari si Anu (sebut nama si pemilik kurban) yang mengirimi kalian bernama Tingkakok burung jawa. Bungkikik burung matan. Kalian yang diharapkan untuk menimang segala mahluk hidup agar tumbuh subur, berbuah, berkembang biak dan berketurunan. Janganlah menimang tidak berhasil. Bertimanglah yang berhasil, manusia beranak pinak, hewan dihutan dan ternak dirumah berkembang biak, tanaman padi dan pohon buah-buahan lainnya berbuah lebat. Terima kasih atas itu bersama patek tampi ini).

Beberapa contoh pernyataan nyata manusia sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap alam terlihat dalam hal-hal yang berikut. Pertama, ketika alam mengalami musibah misalnya, tanoh rantak (tanah longsor), pembangunan berskala besar, perbuatan berjinah dan pembunuhan manusia-manusia membuat upacara ritual besar dan lengkap. Upacara ritual seperti ini disebut ngadati ai’ tanoh, paayo paansar, tumpuk tampat kediaman (mengadati air dan tanah, wilayah kerja untuk mendapatkan rejeki, tempat tinggal) ritual ini merupakan tanda komunikasi dari manusia agar hubungan antara manusia dan alam yang telah rusak itu dipulihkan kembali. Tanah yang longsor, tanah yang rusak, tanah yang kotor karena perbuatan manusia dipahami sebagai alam yang “sakit”. Kondisi alam seperti itu merupakan tanggungjawab manusia sebagai “tetangga alam” untuk memulihkannya. Ini semua dilakukan agar kekotoran dan kerusakan alam tidak berlarit-larut sehingga menyiksa dan menyengsarakan manusia. Sebagai sebuah sistem, ketika salah satu unsur mengalami kerusakan, maka unsur-unsur yang lain secara otomatis tidak dapat berfunfsi dengan baik.

Selanjutnya lahan yang digarap untuk bercocok tanam harus “diobati” karena lahan tersebut dianggapmenderita. Melalui persembahan yang disebut petak (kamoh di dalam cangkir manusia “mengobati alam”, yakni dengan menyampaikan penghargaan, sikap hormat dan bersahabat atas pengorbanan lahan yang telah digunakan mereka untuk mendapatkan rejeki kehidupan sehingga korelasi itu kembali normal, dan kelak kemudian hari manusia dengan mudah mendapatkan rezeki dari setiap lahan yang digarapnya. Dalam upacara ritual itu lahan ladang dan sawah yang meliputi tanah, mahluk hidup yang ada di atasnya, dan semua jenis tumbuh-tumbuhan seperti rumput (rumput ratai), pohon besar dan kecil (kayu kayan), serta rotan dan tumbuhan merambat (ui bararotn) lainnya, yang ditebas, ditebang dan kemudian dibakar-disapa melalui doa dan diberi sesajian oleh manusia agar jangan sampai “mereka” marah berkepanjangan, dan dendam sehingga “mereka” menyiksa dan menyengsarakan manusia yang hidup dari berladang dan bercocok tanam.

Petikan doanya adalah sebagai berikut:
(cara memberikan sesajian patek tengah (tangoh) ini sama dengan patek tampi). “Au’ anyian patek tangoh mirikngio’ tanoh, rumput ratai, kayu kayan, ui bararotn an dimangas, dinabokng, dinunu, dimumputn, ame sampe kito’ bero, ngaapat, ngaraju’, antas nyikso nyangsaro manusio am baumo batahutn, bacocok tanam. Au’ kito bujokng Pabaras, Manyang Pabawar, kito’ an dingarap, ingaso’, ingampioh, urokng an jajokng pantas painyuokng, ngantato’ pirikng si Anu (sebut nama yang melaksanakan ritual) mirikngi’ kito’. Ampar bide, tutukng pulito’ pao’ canang babagi baongko’ ka paranak ucu’ kito’. (Lambungkan patek itu di atas kurban sambil berkata: Kurrra’ patek tangoh).”

Adanya korelasi dalam sistem ini masyarakat Dayak Salako memahami bahwa alam selalu siap membantu kehidupan ”teman”-nya manusia disetiap saat. Bahkan alam akan memberikan bantuannya ketika manusia menghadapi kesulitan yang paling berbahaya, misalnya perang suku. Manusia Dayak selalu meminta alam melalui upacara ritualnya memberikan kebaikannya agar membantu dan melindunginya dalam menghadapi lawannya.

Praktik Religius
Praktik religius dalam upacara ritual suku ini merupakan bentuk usaha manusia dalam membangun relasi yang baik dengan unsur-unsur yang non-manusia agar keseimbangan dan keharmonisan dalam sistem kehidupan tetap berlangsung. Usaha itu dapat kita saksikan dalam bentuk doa dan kurban yang tidak hanya ditujukan kepada para Jubato (dewa), awo pama (arwah para leluhur) dan roh-roh lainnya (hantu, setan, iblis), namun juga terhadap segala bentuk organisme (hewan, tumbuhan) dan non-organisme (misalnya besi, karat besi/tagar, petir, dan sebagainya yang dianggap memiliki spirit) dalam kehidupannya.

Seperti agama mototheis – agama kristen katolik Roma – upacara ritual dalam religi tradisional ini (politheis) memiliki dua unsur yang nyata dalam prakteknya, yaitu doa (bhs. Dayak Salako: sampado, sampokng, bamang) dan kurban persembahan (buis bantotn). Doa merupakan bentuk komunikasi nyata dari manusia dengan unsur-unsur lain yang dianggap memiliki kekuatan seperti manusia, bahkan lebih, dalam sistem kehidupan ini. Kurban persembahan – dari hasil karya yang terbaik – merupakan bentuk paribaso (sikap hormat dan bersahabat) dari manusia terhadap unsur-unsur lain dalam sistem kehidupannya. Melalui kurban ini manusia tidak hanya menanamkan budi baiknya, tetapi juga untuk memenangkan unsur-unsur non-manusia yang marah atas perbuatan manusia yang salah sehingga hubungan yang rusak dapat dinarmalkan kembali.

Berkomunikasi (doa) dengan alam yang tidak disertai dengan paribaso dalam religi tradisional masyarakat Dayak Salako adalah sengko’ (timpang), dan ini amai’ (tabu) dilaksanakan. Mengapa alam sebagai sahabat harus ada paribaso, sebagai wujud nyata dari rasa hormat dan tali persahabatan yang dinginkan oleh manusia. Berkomunikasi tanpa adanya hormat dan tali persahabatan yang dinginkan oleh manusia. Berkomunikasi tanpa adanya sesuatu yang melengkapi komunikasi itu (sesuatu yang diberikan) dikatakan berkomunikasi dengan ai’ iur bari’ (air liur basi), artinya hanya omong kosong saja. Bentuk paribaso yang paling sederhana sebagai pelengkap komunikasi itu adalah antek (selembar sirih yang sudah diolesi kapur, irisan pinang dan gambir serta rokok daun dan tembakau). Perilaku ini terbawa dalam interaksi antar manusia Dayak dalam kehidupannya ketika mengunjungi kerabat atau temannya. Seseorang biasanya akan membawa oleh-oleh berupa kueh – walaupun sederhana namun bermakna – untuk anak-anak keluarga yang dikunjunginya dengan tujuan untuk menbina ikatan ekosional yang kuat antara kedua belah pihak.

Melalui upacara ritualnya (doa dan kurba) manusia mengundang semua unsur-unsur non-manusia itu untuk hadir, mendengarkan permohonan manusia, dan menikmati kurban persembahan yang telah disiapkan untuk mereka. ”Mereka” – menurut pemahaman masyarakat Dayak Selako menikmati persembahan kurban itu dari aroma (sau)-nya saja. Sebaliknya, manusia menerima berkat berupa rejeki, kesehatan dan keselamatan dari ”mereka” dengan menikmati kuran persembahan itu. Manusia meakan ”sisa” makanan yang mengandung berkat ”mereka”. Manusia mendahulukan ”mereka” menikmati kurban persembahan yang masih utuh dan sebalikny manusia memakan ”sisa” dari ”mereka” dalam upacara ritual itu menandakan bahwa manusia bersikap hormat dan bersahabat dengan alam. Hal itu dapat dilihat dari petikan doa penutup ritual (ngangkat buis) yang diucapkan oleh panyangohotn (imam):

”Au’ nyian unang buke’nyo barapat, baraju’. Maabotn dan rinso, sampo’ dah masak, kito’pun dah ako makotn sau’e, makotn kukuse, makotn baue. Nyian unang si Ane’ (sebut nama keluarga pemilik kurban persembahan) dah makatnno’ siso’, makatnno’ labih, katepokng sampo’, kaimpapu kito’. Kade’nyo se makotn, jaji daging, jaji amak, jaji manse , jaji sajuk, jaji dingin, jaji sedo,jaji sanang, jaji baruntukng batuoh barajaki ka manusio, ka piarootn, ka padi baras ka lawokng karamigi, ka umo k pathunan. Io ngangkat buis bntatn ne nyian ampo ngangkat sumangat padi, sumangat uang, sumangat taro, sumangat amas perak. Angkat ka pucuk, angkat ka atas, angkat untuknge angkat tuhe.So, duo, tau, ampat, imo, anam, tujuh, Kurrra’ sumangat buis bantotn lowokng karamigi si Ane’ (sebut nama sipemilik kurban, dan upacara ritual selesai).” (terjemahan bebas: Ini bukanlah kami marah ataupun merajuk. Segala-galanya sudah sempurna dan kalian sudah selesai bersantap. Kini saatnya bagi si Anu (sebut nama pemilik kurban) akan menerima berkat kalian dari sisa-sisa santapan kalian. Semoga sisa santapan ini menjadi berkat rejeki, kesehatan dan kesehatan bagi keluarga yang menyamtapnya).

Dalam ritual ini secara kohesi manusia alam diikat dan dipererat. Kohesi itu selalu diperbaharui dan dipertegas dalam setiap upacara ritual – misalnya, dalam, upacara ritual padi Nurutni’ dan Ngabayotn.

Peranan Religi dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Adat merupakan produk budaya manusia yang berasal dari akumulasi pengalaman dari adaptive strategy manusia itu sendiri terhadap lingkungan hidupnya agar supaya tetap survive (bertahan hidup) dan diwariskan secara turun-temurun pada generasinya sehingga menjadi pedoman hidup mereka (human being), alam (nature) dan roh (supernature) dalam suatu bentuk sistem kehidupan ditengah masyarakat horticultural dan egaliter Dayak Salako.

Adat mempengaruhi dan membentuk sikap serta perilaku masyarakat Dayak itu sendiri dalam berinteraksi dengan sasama manusianya, dengan alam yang supernatural. Sikap dan perilaku masyarakat Dayak yang kehidupannya dipengaruhi dan dibentuk oleh adat itu berimplikasi pada pandangan mereka terhadap alam. Mereka memandang manusia sebagai bagian dari alam dimana mitos-mitos meeka berperan dalam memperjelas pandangan itu. Pandangan itu selanjutnya membuat masyarakat Dayak Selako itu bersikap menghargai, menghormati, dan bersahabat dengan alam. Dengan sikap dan perilaku masyarakat yang demikian konsep etika lingkungan hidup telah dibangun sehingga kehidupan berkelanjutan (sustainable life) terealisasi. Dengan kata lain, adat memainkan peranannya dalam usaha mencegah kemerosotan kualitas lingkungan hidup.

Adat sebagai aturan yang berfungsi mengontrol sikap dan perilaku manusia dalam sistim kehidupannya memiliki kekuatan memaksa (coersive power) baik secara spritual maupun sosial. Ketika manusia melakukan suatu perbuatan yang baik terhadap sesamanya – manusia dan alam dalam lingkungan hidupnya, manusia itu akan mendapatkan sanksi spritual dan sanksi sosial. Perbuatan manusia yang salah itu telah merusak hubungan yang harmonis dan seimbang dalam sistem kehidupan masyarakat itu. Sanksi spiritual adalah sanksi yang (akan) didapatkan oleh manusia baik dari ala sendiri maupun supernatural karena perbuatannya. Jika kehidupan manusia itu baik-hidup yang beradat – manusia akan mendapatkan rejeki yang mudah dan berlimpah serta kesehatan dan keselamatan di sepanjang hidupnya. Sebaliknya, manusia akan mendapatkan tuoh (tulah) dan papo (papa, sengsara)karena perbuatannya yang tidak baik hidup yang tidak beradat. Ini biasanya disebut dengan hukum karma. Masyarakat percaya bahwa manusia yang hidupnya tulah dan papa sulit untuk mendapatkan rejeki kehidupan walaupun sudah bekerja keras. Pengalaman kehidupan masyarakat itu menunjukan bahwa walaupun seseorang dalam kehidupannya mendapat rejeki yang melimpah, namun salah satu anggota keluarga tidak mendapat kesehatan – sakit yang saling silih berganti mengakibatkan rejeki yang diperoleh itu akan habis juga.

Sanksi sosial mengacu pada sanksi yang diatur oleh adat dan dikenakan oleh kelompok masyarakat yang memiliki adat tersebut – melaluipengurus adatnya – kepada anggota masyarakat yang perbuatannya melanggar adat. Sanksi sosial itu berupa pembebnan beaya untuk menyiapkan materialkurban persembahan dan beaya-beaya lain (kalau ada) kepada yang bersalah. Ukuran sanksi sosial yang dikenakan pada manusa yang bersalah itu disesuaitka dengan jenis kasus yang diperbuatnya. Selain itu, manusia yang bersalah itu mendapatkan cap kehidupan ”si pelanggar adat” di sepanjang kehidupan generasinya dalam komunitasnya. Dia menjadi buah bibir dan contoh perbuatan yang salah bagi generasi lain dalam komunitasnya.

Kelompok masyarakat menjatuhkan sanksi adat pada anggotanya yang bersalah baik terhadap manusia maupun alam bertujuan untuk memulihkan kehidupan yang telah rusak karena perbuatannya agar menjadi normal kembali, dan merehabilitasi manusia yang bersalah itu agar hidup beradat lagi. Pelaksanaan sanksi adat itu selalu disertai dengan upacara ritual. Upacara ritual itu selain merupakan ujud nyata dari bentuk pelaksanan adat itu sendiri (sanksi sosial), juga merupakan wujud nyata untuk menghapus sanksi spiritual. Pelaksanaan sanksi adat – sanksi spritual dan saksi sosial – akan syah di depan masyarakat (manusia), alam dan supernatural ketika upacara ritual selesai dilaksanakan. Dengan demikian, melalui upacara ritualnya manusia memberikan sikap hormat dan bersahabat terhadap alam agar apa yang dilakukannya di waktu mendatang sawokng (tanpa halangan) dan manusia itu sendiri – baik individu maupun komunitas – sunio (selamat). Tanpa pelaksanaan upacara ritual komunitas akan terus merasa khawartir akan sanksi spritual itu. Mereka percaya bahwa sanksi pritual itu akan berjangkit pada kehidupan mereka. Sanksi sritual atas suatu kesalahan yang belum “ditebus” secara adat akan ba bangkawo’-ba bangkawar dan ba badi ba idab. Keadaan ini akan berdampak pada kehidupan komunitas dalam hal rejeki, kesehatan, keselamatan. Apa pun yang mereka lakukan demi kehidupan mereka tidak akan sawokng (tanpa halangan) dan tidak akan Sunio (selamat).

Adanya pandangan kosmologi dan adat yang dimiliki oleh masyarakat. Dayak Salako dalam kehidupan membuat masyarakat ini tidak dapat mengeksploitasi alam dengan semau-maunya demi kepentingan ekonominya. Adat (etika) mengajarkan bahwa amai’ (tabu). kalau manusia bersikap bongko’ karongo, oso dan piroro terhadap alam. karena itu manusia harus menyadari bahwa dia merupakan bagian dari alam dan dapat survive (bertahan hidup) karena dia mendapat dukungan kehidupan dari alam itu sendiri. Alam lingkungan hidup Dayak Salako sesungguhnya telah dilindungi dan dilestarikan oleh etika lingkungan hidup yang mereka miliki yang terdapat dalam pandangan kosmologi dan adatnya. Adat religi, norma, etika mereka itu memiliki peranan yang signifikan dalam melestarikan lingkungan hidup mereka. Hal ini sudah teruji dalam ruang dan waktu dan dipraktekkan disepanjang sejarah kehidupan masyarakat ini yang hidup dari berladang (shifting cultivation) dan merambvah hasil alam. Etika lingkungan hidup yang termuat dari adat yang selanjutnya dipertegas oleh bentuk pandangan kosmologi dan mitos-mitos masyarakat ini telah menciptakan suatu bentuk kehidupan berkelanjutan (sustainable life) yang membuat hubungan manusia dan bumi harmonis dan seimbang. Alhasil, alam lingkungan hidup ini (dulunya) tetap terpelihara dan lestari.

Ada 5 pokok-pokok adat terpenting:
(1) Penekng Unyit Mata Baras. Asalnya dari Nek Unte’ Pamuka’ Kalimantatn, Nek Bancina dari Tanyukng Bunga (Kawasan Pasir Panjang), Sali dari Sabakal, Onton dari Babao, Sarukng dari Sampuro.
(2) Baras Banyu Banyang. Asalnya dari Nek Pangingu dan Nek Pangorok.
(3) Baras Ijo. Asalnya dari Bujakng Nyangko dari bukit Samabue dan Kamang Muda’ (Bungsu) dari Santulangan serta Ngantapm Barangan Raja Jajawe di Capkala. (
4) Baras Sasah. Asalnya dari Gira’ Giro Sisi Langit, Beta’ Beto Tampus Tanah dan Raja Naga Pusat Ai’.
(5) Langir Binyak. Asalnya dari Bunga Putih Oncok Bawakng, Nek Nyala’ Raja Pajaji, Nek Lopo Panungkakng Bawakng, Sudu’ Nu’ Alang Ngalulu’ Balah, Dayakng Nu’ Dandang Bagago’ Jiba Sumangat, Bayu Rinsamang harta muda dunia.

Dalam mitologinya, orang Dayak mengenal 4 tingkatan dewa-dewa sebagai kekuatan alam yang tinggi. Mereka adalah:
(1) Nek Panitah. Nek Panitah adalah dewa tertinggi. Ia hidup bersama istrinya yang bernama Nek Duniang. Anak Nek Panitah dengan Ne’ Duniang bernama Baruakng Kulub. Panitah = perintah.
(2) Jubata. Jubata adalah roh-roh yang baik. Jumlah mereka banyak. Tiap sungai, gunung, hutan, bukit mempunyai jubata. Yang terpenting adalah jubata dari bukit bawakng. Apa’ Manto Ari adalah raja dari bukit bawakng.
(3) Kamang. Kamang adalah roh-roh leluhur dari orang dayak. Ia berpakaian cawat dan kain kepala warna merah dan putih diputar bersama ( tangkulas ). Ini juga pakaian dari pengayau kalau mereka pulang dengan membawa hasil. Kamang pandai melihat, mencium bau dan makanannya darah. Ini terlihat dari upacara-upacara adat. Darah untuk kamang dan beras kuning untuk jubata. Kamang tariu dan kamang 7 bersaudara. Kamang tariu adalah adalah Kamang Nyado dan Kamang Lejak. Sedangkan kamang 7 bersaudara adalah Bujakng Nyangko ( yang tertua ) tinggal dibukit samabue, Bujakng Pabaras, Saikng Sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh, Buluh Layu’ dan Kamang Bungsu ( dari Santulangan ). Bujakng Nyangko adalah kamang yang baik. Sedangkan yang lain terkadang baik dan terkadang jahat. Saikng sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh dan Buluh Layu’ adalah kamang yang sering tidak senang dan menyebabkan pada waktu itu penyakit dan kematian. Kamang Tariu dengan 7 bersaudara itu adalah pelindung dari para pengayau.
(4) Antu. Jumlah antu ( hantu ) banyak sekali. Dalam arti tertentu, mereka kurang lebih jiwa orang mati. Antu selalu menyebabkan penyakit pada manusia, binatang maupun tumbuhan. Antu cacar menyebabkan penyakit pada manusia. Antu apat menyebabkan penyakit padi dan antu serah menyebabkan banyak tikus makan padi diladang.

Kepercayaan pada 4 tingkatan ilmu theogoni (ilmu dewa-dewa) inilah yang melahirkan asas-asas kehidupan mereka, yakni: (1) Pama. Pama artinya berkat, yaitu satu kekuatan yang membawa keuntungan. Pama hanya dimiliki oleh orang besar dan juga pengayau yang berhasil. Mereka mempunyai pama karena dianggap mereka mempunyai hubungan keatas, dengan jubata. Kalau orang yang mempunyai pama meninggal, pama pindah kepantak yang pada akhirnya ditempatkan dipadagi. Kata pama sendiri berasal dari bahasa sanskrit = umpama, berarti gambaran. Pantak adalah gambaran seseorang yang mempunyai pama pada waktu dia hidup. (2) Jiwa. Orang Dayak mengenal ada 7 jiwa. Yaitu : Nyawa. Hanya manusia dan binatang yang mempunyai nyawa. Nyawa hilang waktu meninggal. Sumangat. Bukan hanya manusia mempunyai sumangat, tetapi juga binatang, tanaman dan benda-benda. Ini dapat dilihat dari doa-doa persembahan yang selalu diakhir dengan memanggil kembali sumangat manusia, padi, babi, ayam, beras, emas, perak dan semua milik rumah. Sumangat dengan mudah keluar dari tempatnya. Kalau terkejut, sesudah suatu perbuatan yang berbahaya yang didampingi oleh ketakutan, sesudah memandikan anak kecil ( bahaya sumangat anak hilang bersama dengan air ). Sesudah melahirkan juga diadakan upacara nyaru’ sumangat. Cara sederhana untuk memanggil sumangat kembali : kurrr….a’ sumangat. Mimpi disebabkan oleh sumangat, karena itu sumangat berjalan. Kalau kita sebut nama seseorang, sumangatnya pasti datang dengan kita dan kita akan bertemu dengan semangat orang itu dalam mimpi. Tempat sumangat ada dalam badan. Sumangat dikembalikan dalam badan oleh dukun baliatn lewat telinga kiri. Sesudah manusia meninggal, sumangatnya tidak menjadi pidara, tetapi pergi ke subayatn. Sumangat dari orang yang dibuatkan pantak pergi ketempat pantak itu dan bergabung dengan kamang. Ayu. Tempat ayu ada dibelakang badan. Kalau ayu pergi, ayu dikembalikan dipermulaan punggung ( ka’ pungka’ balikakng ), dibawah leher. Ayu melindungi manusia dari belakang. Penyakit yang disebabkan oleh kehilangan/kepergian ayu jauh lebih parah daripada penyakit yang disebebkan oleh kepergian sumangat. Dikatakan “ lapas ayu “ atau rongko’ ( sakit ayu ). Sesudah orang meninggal, ayu menjadi pidara dan tetap tinggal bersama dengan badan.

Ada hubungan erat antara ayu dengan hantu. Ayu juga disebut hantu. Sukat. Dalam doa selalu dikatakan “ sukat nang panyakng satingi diri’ “ artinya sukat yang panjang setinggi kami sendiri. Pertama sukat menunjuk kepada satu bagian dari badan manusia, mulai dari atas kepala lewat otak ke sumsum belakang. Penyakit bisa disebabkan oleh kekurangan sukat. Bohol. Bohol bersifat anatomis yakni garis perut dari tulang dada ke pusat atau lebih khusus tempat dibawah tulang dada yang berdenyut. Kurang bohol atau bohol yang tidak lurus adalah sala satu sebab penyakit. “ kakurangan sukat nang manyak, kakurangan bohol nang jarakng “ demikian dukun menyebutkan sebab penyakit pasiennya. Penyakit karena kekurangan bohol terutama dialami oleh anak kecil. Dari wnaita yang sulit beranak dikatakan “ mereng bohol anak “ artinya bohol anak bayi miring. Dukun baliatn pandai mencari bohol yang hilang.Leo Bangkule. Leo Bangkule berarti jantung, hati, paru-paru atau semua organ dalam perut manusia. Dalam doa, leo bangkule sering diundang kembali. Bersama dengan leo bangkule selalu dikatakan : tali nyawa atau tali danatn atau tali dane. Untuk manusia, tali nyawa berarti saluran pencernaan. Nenet Sanjadi. Nenet Sanjadi disebut juga saluran pernafasan ( tali sengat ), permulaan dari tali mulai dari karukok ( kerongkongan ).

Dalam legenda Ria Sinir dan Dara Itapm, kita mengenal 5 prinisip kehidupan yang ditetapkan berdasarkan adat, yaitu: Hidup harus tolong menolong, Harus hidup mempertahankan keamanan rakyat dan desa, Tidak boleh hidup tipu-menipu, Harus jujur dan adil, dan Harus hidup setali sedarah. Bagi pelanggar 5 sumpah adat ini, maka akan diberlakukan Hukuman adat bagi manusia yang terdiri dari 2 pokok: Hukum Adat Darah Putih (Perdata) dan Hukum Adat Pati Nyawa (Pidana).

Orang Dayak mengenal 4 tingkatan Hukum Adat, yaitu:
(1) Siam. Hukuman siam adalah satu hukuman yang harus membayar adat. Dengan membayar adat berarti telah membereskan segala urusan. Dengan demikian telah menghilangkan rasa dendam dan rasa rugi dari orang yang dirugikan. Bilaman telah membayar adat ini, telah pula memulihkan keadaan alam. Harga satu siam adalah 7 buah piring, 20 buah mangkuk dan seekor babi.
(2) Buat Tangah. Hukuman ini adalah hukuman atas perbuatan ringan ( tindak pidana ringan) dan yang ditimpakan kepada pelanggaran yang dapat berdamai dengan lawannya tanpa campur tangan orang ketiga.
(3) Baras Banyu Banyang. Hukuman ini termasuk hukuman ringan. Suatu persoalan yang mudah diselesaikan tapi memerlukan 2 orang saksi. Untuk menyelesaikan persoalan, cukup dan harus menyediakan baras banyu ( beras putih dicampur dengan minyak tengkawang ). Beras banyu dicurahkan kesebuah piring dan diletakkan kehadapan saksi dan kepada si penuntut. Perbuatan ini menyatakan telah membayar adat dan segala persoalan dianggap selesai. Dan
(4) Darah Ampa’. Hukuman jenis ini menyatakan bahwa seseorang yang tidak sanggup membayar adat karena sangat miskin walaupun sebenarnya ia mau dihukum. Suatu hukuman hina dan sangat terhina bagi pelaku. Biayanya kalau si pelaku tidak mampu, dapat dengan cicilan sampai turunan ke lima. Sipelaku dituntut menyediakan sirih pinang dan kelengkapannya makan sirih. Semua kelengkapan itu dikunyahnya( pelaku ) sampai air ludah menjadi merah seperti darah. Ludah merah ini dikumpul dalam satu piring dan diserahkan kehadapan Pasirah dan Pangaraga ( Hakim kampung ). Pelaku kemudian mengucapkan ; “ karena saya telah bersalah dan tak snaggup membayar adat, karena saya seorang miskin maka inilah darah penggantinya “. darah Ampa’ segera diambil oleh hakim dan dicontengkan ke dahi pelaku. Perbuatan ini disaksikan oleh seluruh rakyat. Karena itu hukuman jenis ini paling dihindari oleh warga. Mengakhiri acara peradilan, diiringi upal dengan upacara adat untuk berdoa agar Jubata tidak menghukum warga kampung secara umum.

Sejarah Dan Perkembangan Penting Di Tanah Kalimantan
Ada 3 tahap perkembangan penting di Kalimantan; (1) memberadabkan Dayak melalui misi agama (Hindu, Islam dan Kristen) dan politik identitas (Dayak dan Melayu), (2) Kapitalisasi Tanah. Ini terjadi sejak tahun 1960-an sampai sekarang ini. Serta (3) Demokratisasi. Memperkenalkan konsep universalitas-demokrasi-pluralisme, dll dikalangan Dayak.

Memberadabkan Dayak
Sejak awal abad 1, pedagang India membawa ajaran Hindu di tanah Kalimantan. Terjadi barter barang pedagang dengan penduduk. Peralatan Besi dan logam diperkenalkan.
Awal abad 4, pedagang Cina dan Siam masuk. Terjadi barter barang lagi. Diperkenalkan keramik-keramik, guci, manik-manik, dll.

Pada abad 14, pedagang Cina (dipimpin Laksamana Cheng Ho) masuk dengan membawa ajaran Islam di Sambas. Penduduk yang tidak mau masuk Islam menyingkir ke hulu sungai dan pedalaman. Beberapa Raja berhasil masuk Islam setelah pedagang Arab dan Bugis masuk dan melakukan perkawinan dengan gadis setempat. Pan Islam semakin masif di pedalaman. Orang yang tidak mau masuk islam di angkat jadi pegawai kerajaan, dan yang masuk islam diberi identitas baru;”Laut, Senganan, dll”.

Pada masa ini, Pan Chinese masuk melalui Sultan-Sultan yang dikirim dari Brunei untuk menambang emas, khususnya di Monterado (Kabupaten Bengkayang, pen) dan Mandor (Kabupaten Landak, pen). Awalnya koloni ini sedikit, seiring perkembangan perdagangan emas yang semakin baik, Cina dari daratan didatangkan. Mereka mendirikan perusahaan yang dikenal dengan nama Kongsi. Ratusan kongsi bersekutu, sehingga membentuk semacam negara “republik” yakni Lan Fang di Mandor dan Hae Sun di Monterado. Republik ini beberapa kali berperang dengan Sultan dan Orang-Orang Dayak, untuk memperoleh akses sumber daya alam yang melimpah.

Pada abad 16, Kristen masuk melalui pegawai-pegawai kolonial Belanda yang dikirim dari Batavia (Jakarta sekarang, pen). Belanda diundang Sultan yang terdesak dalam peperangan melawan “Republik” Lan Fang dan Hae Sun. Terjadi perjanjian antara keduanya. Hasilnya, Belanda berhasil membubarkan Kongsi-kongsi. Para penambang dan pedagang emas beralih profesi menjadi petani, pekebun dan peternak. Yang tidak mau tunduk pada Belandak, sebagian diantaranya melarikan diri ke Sarawak dan Singapura. Sebagian kecil pulang ke Cina daratan. Pemerintah Belanda memperbolehkan misionaris dan zending masuk pada awal abad 19, didorong oleh masifnya gerakan pan islamisme di perhuluan dan pusat-pusat perdagangan penting. Untuk mempermudah kontrol penduduk, Belanda memberlakukan politik identitas; muslim di sebut Melayu dan non Muslim disebutnya Dayak. Dalam prakteknya, Melayu dikenal sebagai pegawai pemerintah dan Dayak sebagai pembayar pajak setia. Untuk masuk menjadi pegawai, Dayak harus merubah dirinya menjadi Melayu. Dayak yang masuk Melayu dikenal sebagai Senganan, Urakng Laut, dll dan tidak mau mengaku diri sebagai Dayak. Menjelang akhir abad 19, Dayak berusaha melakukan kooptasi, dan berhasil melalui jalur politik; Partai Persatuan Daya. Dayak mulai percaya diri, dan dengan identitas baru; kami orang DAYAK. Tapi situasi ini tak berlangsung lama, kira-kira hanya dua puluh tahun (1941-1966).

Kapitalisasi Tanah. Proses ini mulai terjadi awal tahun 1960-an, ditandai dengan masuknya perusahaan-perusahaan yang mengelola kayu dan membangun perkebunan skala besar. Sertifikasi masal tanah terjadi melalui Jakarta. Undang-Undang dibuat untuk “menaklukan” tanah adat menjadi tanah negara. Jadilah 2,8 juta hektar tanah terkapling oleh ratusan perusahaan negara dan swasta asing. Perubahan besar terjadi pada Orang Dayak. Penduduk dari berbagai pulau berdatangan dan hidup bersama Orang Dayak. Terjadi dinamika sosial yang hebat; asli vs pendatang, untung vs rugi. Ekonomi menjadi jargon utama dalam pembangunan Dayak. Sebuah peradaban baru yang sarat perubahan yang sulit mereka ikuti dengan menguntungkan.

Demokratisasi. Perubahan besar yang terjadi sejak 1960 menyebabkan Orang Dayak mulai diambang kebingungan. Terjadi krisis identitas, krisis kepercayaan diri, dan berbagai krisis lainnya. Tanah dan Hutan semakin menyempit, penduduk mulai heterogen dengan komposisi yang relatif seimbang dan arus gerakan global; demokrasi-universalitas-teknologi. Orang Dayak mengalami kekhawatiran, menjadi asing ditanah sendiri atau mengikat diri untuk ambil bagian dalam perubahan.

Menurut pastor asal Belanda yang sudah menjadi warga Negara RI ini, sebelum Jepang masuk, propaganda mengenai Indonesia cukup kuat masuk didaerah Kalbar (pasti juga termasuk dikampungku). Aktivis Indonesia, katanya, juga keluar masuk kampong, membentuk pengurus dan mencari anggota. Banyak diantara orang kampong yang menjadi pengurus dan anggota. Dari sekian banyak Indonesianis, yang cukup aktiv dan didukung orang sekampung adalah Parindra dan P.A.B (Persatuan Anak Borneo). Pada waktu itu, orang kampong berbicara mengenai agama Katolik, agama Parindra dan agama P.A.B.

Dalam Majalah Battaki, edisi khusus Januari-Maret 1997, Pater yang sudah 49 tahun hidup ditengah orang dayak ini menulis, bahwa keadaan ini berubah drastic sesudah Jepang. Segala-galanya berubah. Orang Dayak, juga mengalami dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan caranya sendiri. Penjajahan Belanda dengan perantara Sultan dan Panembahan telah berakhir.

Orang Dayak (saya “merasa” bagaimana orang dayak ketika itu, ketika membaca buku ini) merasa diri sungguh-sungguh dihargai. Gubernur pertama dan 4 Bupati orang Dayak. Mereka adalah pejabat P.D (partai politik peserta pemilihan umum pertama di Indonesia tahun 1955, yang dibentuk oleh intelektual dayak untuk memperjuangkan orang dayak secara politik). Pembesar-pembesar ini semua beragama Katolik, alumni persekolahan Nyarumkop. Beberapa penyelidikan yang sudah pernah dilsayakan, menyebutkan bahwa mereka dapat diangkat karena mereka memperoleh suatu pendidikan yang baik di seminari menengah, sebelum Jepang.

Sepanjang sejarah Indonesia, Orang dayak (dan juga di kampungku), tidak pernah menuntut republic sendiri. Mereka dengan senang bergabung dalam Republik Indonesia. Aspirasi politik mereka, disalurkan lewat P.D. (Partai Dayak). Pada waktu itu juga, mulai muncul penyadaran bahwa sangat diperlukan suatu penyesuaian dengan zaman modern. Mereka mulai ingin ke sekolah-sekolah.

Mereka juga mulai menganut agama, Katolik. Banyak hal yang mendorong mereka untuk memilih agama ini, mereka sudah kenal dengan pastor-pastor dan suster-suster, yang melayani mereka dengan sungguh, secara khusus di bidang pendidikan dan kesehatan. Rumah-rumah sakit (dan RS Bersalin, pen) yang ada semua dari Gereja Katolik. Sekolah-sekolah kebanyakan sekolah Katolik. Satu hal yang terpenting, Gereja Katolik, menghargai adat, lebih dari agama lain.

Pendeknya, dunia orang dayak mulai terbuka. Dunia luar masuk dan mereka masuk dunia luar. Dan ini terjadi tanpa konflik yang berarti. Belum banyak jalan raya, perubahan terjadi tidak terlalu cepat. Identitas cultural tidak terancam. Dan…..sekitar tahun 1993, terjadi suatu perubahan besar….Ekonomi makro mulai berkembang, infrastruktur pedesaan membaik. Tetapi, keberadaan (kami) sebagai suku dengan identitas sendiri dan tanah sendiri mulai terancam.

Kampungku, yang sebelumnya dilihat sebagai suatu daerah yang kurang berguna, dengan tanah yang kurang subur, mulai dilihat sebagai suatu daerah yang potensial. Tanah ternyata cocok untuk banyak jenis tanaman, persediaan tambang banyak dan bermacam-macam. Sebuah perusahaan perkebunan swasta besar masuk, Rokan Group. Memiliki beberapa anak perusahaan, diantaranya PT Agrina (membuka lahan perkebunan kelapa hibrida seluas ±12.000 Ha di Desa Menjalin dan Desa Raba) serta PT Purna Kahuripan (membuka lahan perkebunan kelapa hibrida dan coklat seluas ±10.000 Ha di Desa Nangka dan Desa Rees).

Sejak itu, kampungku mulai terbuka…..Tetapi, akibat dari cara yang dipakai untuk membuka daerah, mengeksploitasi dan memproduktifkan sumber daya alam, lambat laun, orang di kampungku mulai hilang dari pusat perkembangan itu. Mereka hilang dari tempat dimana diambil keputusan mengenai masa depan tanah leluhurnya. Mereka masuk dalam bahaya besar menjadi orang pinggiran. Dan ini, terjadi karena dorongan dari luar, tetapi juga kelemahan diri mereka sendiri.

Secara umum, Orang dayak (dan juga dikampungku), hamper tidak ada lagi suara di pemerintahan, tidak ada orang dalam militer yang menempati jabatan strategis. Mereka juga tidak memiliki modal. Memang, mereka mempunyai tanah. Tetapi ini mulai diambil dari mereka (demi pembangunan) dengan bermacam-macam cara. Ekonomi dan kepentingan orang tertentu dalam praktek pembangunan menjadi lebih penting daripada keberadaan dan masa depan mereka sendiri. Mereka sering disepelekan dan disisihkan.

Di Borneo Barat, masih ada banyak guru orang dayak. Tetapi situasi inipun akan berubah drastic dalam 20 tahun mendatang. Dengan dihapusnya SGA tahun 1980-an, SPG tahun 1990-an, dan PGSD tahun 2000, kemungkinan untuk orang dayak menjadi guru sangat berkurang. Kalaupun sekarang ada FKIP di universitas negeri, orang dayak sulit masuk. Hanya ada peluang jika pemuda dayak mendaftar di STKIP swasta, tetapi berbiaya mahal. Sekolah-sekolah swasta yang dikelola Gereja Katolik diperkotaan, siswa dan mahasiswa umumnya bukan orang dayak. Sekali lagi, mereka kesulitan.

Orang luar memang pintar. Dengan kekuasaan ditangan, mereka memusatkan dan memperhatikan fasilitas pendidikan, ekonomi, pemerintahan di kota-kota besar, kemungkinan bagi orang dayak, menikmati itu dalam praktek cukup berkurang. Mereka tidak bisa mempergunakan nepotisme, dan juga tidak ada koneksi, tak bias kolusi dan tak punya uang upeti. Dalam praktek, semua bidang, dipusatkan di kota dan diurus oleh orang bukan dayak.

Sejak tahun 1981, berpuluh-puluh orang datang dari kota, keluar masuk kampong. Mereka ini utusan dari berbagai proyek besar pemerintah pusat di Jakarta. Ada proyek P2KP, P3DT, PPK, dll. Ada juga dari berbagai utusan LSM, yang kantornya di kota besar. Hamper setiap bulan, petugas-petugas khusus ini datang ke kampong dan menggurui orang kampong, memperlsayakan mereka sebagai anak yang masih bodoh, sampai orang kampong merasa diri lagi dalam keadaan zaman dulu: sultan atau panembahan dan mereka (dayak) sebagai bawahan.

Selama ini, saya juga menyaksikan langsung pergumulan dikampungku dan kampong-kampung sekitarnya. Dalam pembagian subsidi untuk bidang agama, misalnya, pemerintah memegang “teguh” distribusi uang/proyek untuk bangun rumah Tuhan dengan prosentase 90% islam dan 10% non islam, walaupun di Kalbar menurut statistic pemerintah tahun 1990, 41% Dayak dan 13% Cina. Ini berarti bahwa pasti 54% non-islam. Kelompok-kelompok non dayak mampu dengan bantuan pemerintah membangun rumah ibadat yang bagus, tetapi orang dayak (dan juga dikampungku) sering tidak mampu. Dan ini, sangat mengganggu perasaan keadilan dan kejujuran yang dimiliki oleh orang dayak.

Dan apa yang paling dirasakan oleh orang dayak adalah transmigrasi. Proyek ini telah berlangsung secara resmi sejak tahun 1960, 1970, 1980, 1990, 2000, dan sekarang. Yang tidak resmi (dengan bantuan pemerintah), saya rasakan justru paling besar. Untuk proyek transmigrasi itu, pemerintah menyiapkan tanah (dibebaskan) 2 hektar per keluarga, diberi sertifikat, rumah, jalan raya, puskesmas, rumah ibadat, biaya hidup selama dua tahun, dan lain-lain.

Para transmigran umumnya beragama islam. Mereka ditempatkan disatu tempat dan diisolir mula-mula (cukup lama) dari orang setempat. Dilain pihak, orang dayak disekitar lokasi pemukiman proyek transmigrasi kurang diperhatikan. Tetap dalam kondisi yang sengaja diciptakan sebagai yang tersisih.

Saya juga pernah merasakan sebagai anak transmigrasi. Selama 7 tahun (1982-1989), saya hidup dipemukiman transmigrasi ini. Namanya, proyek transmigrasi local. Tetapi dalam proyek-proyek itu, menurut cerita bapakku, korupsi pelaksana proyek sering begitu merajalela bahkan hamper tidak punya arti lagi bagi warga transmigrasi seperti bapakku. Warga transmigrasi local tidak diberi tanah 2 hektar, tidak ada sertifikat, tidak ada rumah ibadat, tidak ada puskesmas. Yang disediakan hanya rumah, dan biaya hidup selama dua tahun. Setelahnya, warga dituntut untuk mandiri. Akibatnya, mereka menjadi buruh tani (sewa lahan penduduk setempat untuk membuka sawah dan lading), buruh pada perkebunan karet. Lagi-lagi, mimpi untuk keluar dari kemiskinan pupus diera ini.

Saat ini, saya baru dapat mengerti bahwa ketidakpuasan orang dayak dengan situasi, bersama dengan suatu ketakutan besar bahwa terancam hilang dipulau sendiri, dan frustasi karena system dan kekuasaan, menyebabkan mereka terluka yang teramat dalam. Akibatnya, mereka keluar atau meledak dalam kemarahan besar terhadap suku lain, yang dianggap ancaman terdekat (fisik), dan terkadang terjadi berulang-ulang selama puluhan tahun lalu. Saya melihat dan mengalami sendiri ledakan amarah orang dayak ini ditahun 1984, 1987, 1996, 1997 dan 1999.

Kalau dikaji lagi lebih jauh, dari berbagai kerusuhan itu, kenapa umumnya generasi muda (usia SD-perguruan tinggi) banyak terlibat ? menurutku, hal teramat penting adalah karena mereka kecewa dan frustasi dengan situasi yang ada. Sekolah dan tidak sekolah sama-sama sulit untuk mendapat pekerjaan, meskipun proyek-proyek besar ada dikampung mereka.

Kesimpulan
Adat yang mencakup pengertian religi (world-view), norma, dan etika yang selanjutnya diperjelas oleh mitos merupakan pandangan hidup (way of life) bagi masyarakat holtikultural Dayak Salako dalam kehidupannya. Adat bersama mitosnya mempengaruhi dan membentuk sikap serta perilaku individu maupun komunitas terhadap alam dalam sistem kehidupan ini.

Berdasarkan world-view (pandangan dunia)-nya, masyarakat dayak salako mamahami manusia itu sebagai bagian dari alam dalam suatu bentuk sistem kehidupan. Bentuk sistem kehidupan ini merupakan lingkungan hidup bersama dari unsur manusia dan unsur-unsur lain yang non-manusia (organisme dan non-organisme). Kesemua unsur dalam sistem itu memiliki nilai dan fungsinya masing-masing.

Pandangan kosmologi tersebut telah berdampak pada pemahaman mereka terhadap hubungan manusia dengan alam yang bersifat antropocosmic, yang berarti manusia dan alam menyatu, tidak terpisahkan, hal ini berimplikasi terhadap korelasi dari unsur-unsur dalam sistem kehidupan itu dimana manusia sebagai salah satu unsurnya tidak pernah memanifestasikan diri mereka sebagai raja penguasa atas alam. Pandangan kosmologi yang demikian itu melahirkan suatu etika lingkungan hidup yang tercakup dalam adat sehingga membuat masyarakat Dayak Salako mempunyai sikap menghargai, menghormati dan bersahabat terhadap alam.

Dengan demikian, manusia tidak dapat bertindak semau-maunya terhadap alam, mengeksploitasi alam sehabis-habisnya demi kepentingan ekonominya. Bagaimanapun juga kesejahteraan hidup manusia secara keseluruhan- termasuk kesejahteraan hidup generasi yang akan datang- tetap akan tergantung dari kesehatan dan kelestarian alam yang menjadi sumber penghidupan dan satu-satunya lingkungan hidupnya. Religi yang telah diwariskan para leluhur dan telah diuji dan dipraktekkan sepanjang sejarah kehidupan mereka sebagai peladang berpindah dan perambah hutan- telah berhasil melestarikan lingkungan hidupnya. Mereka melalui religinya telah berhasil membuat suatu bentuk kehidupan berkelanjutan (sustainable life) dalam kehidupan mereka.

Adat sebagai produk akumulasi dari pengalaman manusia-produk adaptive strategy dalam interaksinya dengan alam agar supaya mereka mampu bertahan hidup (survive)- telah berkembang menjadi budaya disepanjang kehidupan manusia tersebut. melestarikan budaya berarti melestarikan lingkungan hidup karena di dalamnya terdapat etika lingkungan hidup. Mencela budaya karena sifatnya lokal (ketinggalan jaman) berarti mencela para leluhur yang telah mewariskannya yang sekaligus menolak untuk melestarikan lingkungan hidup. Dengan melestarikan budaya maka berarti kita semua – kehidupan manusia dan bumi-akan tetap SUNIO (lestari).

Akhirnya, saya ingin mengingatkan kita semua bahwa contoh-contoh di atas dipilih untuk memberi gambaran bahwa praktek keagamaan yang dilandasi kepercayaan agama asli di kalangan penganut agama-agama besar dunia dan disayai negara Indonesia masih marak. Sekalipun agama asli tidak memiliki hak legalitas tentang keberadaannya namun elemen-elemen tertentu dari agama asli ini masih dipelihara dan dipraktekkan oleh penganut agama dunia ini. Untuk mencari jawab sekitar daya tahan agama asli ini tidaklah terlalu gampang. Secara teori agama asli bisa meresap dan tetap dipelihara di balik agama dunia sebab sejak awal dalam para pewarta agama dunia itu memberi toleransi besar kepada praktek-praktek agama asli itu. Kasus inilah sinkretisme terang-terangan. Bahwa bagaimanapun, agama asli haruslah tetap dihargai sebagai bagian yang takterpisahkan dari peradaban dunia. Untuk mencari jawab sekitar daya tahan agama asli ini tidaklah terlalu gampang.

Secara teori agama asli bisa meresap dan tetap dipelihara di balik agama dunia sebab sejak awal dalam para pewarta agama dunia itu memberi toleransi besar kepada praktek-praktek agama asli itu. Kasus inilah sinkretisme terang-terangan. Bahwa bagaimanapun, agama asli haruslah tetap dihargai sebagai bagian yang takterpisahkan dari peradaban dunia. Tulisan ini sekaligus juga menyanggah bahwa adat Orang Dayak adalah agama, yang dalam ilmu sosiologis dan antropologis digolongkan sebagai agama asli. Dengan demikian, saya boleh katakan bahwa praktek adat bukanlah praktek animisme, sebagaimana yang dikatakan orang luar seperti sekarang ini. Untuk itu, saya menyarankan kiranya diperlukan dialog-dialog antar peradaban, baik penganut agama asli, evangelis protestan maupun katolik pada level komunitas.

Untuk menghindari konflik dikomunitas, saran saya bagi penginjil atau apapun namanya, yang mau menyebarkan agama dikampung ini ada baiknya terlebih dahulu mempelajari dan mendalami mitos-mitos dan upacara-upacara adat serta keagamaan mereka. Kemudian mereka (penginjil,dll) juga harus sanggup merumuskan ajaran-ajaran agamanya sesuai dengan sikap dan pandangan hidup mereka tanpa perlu mengorbankan nilai-nilai hakiki agama yang disebarkannya itu. Dengan demikian agama betul-betul bisa berakar dalam kehidupan masyarakat.

Tantangan
Bagaimanapun juga pengaruh mentalitas pencerahan yang mengglobal ini telah merasuki kehidupan kita, mengubah pandangan kita untuk menjadi tuan dalam segala hal. Masihkan adat, pandangan kosmologi dan mitos-mitos survive (bertahan hidup) ditengah kehidupan generasi muda suku Dayak Salako di era globalisasi sekarang ini? Pertanyaan ini merupakan bahan renungan untuk kita semua, khususnya generasi suku Dayak Salako, mengingat Indonesia tercatat sebagai “Rekot dunia” dalam hal penghancur hutan tercepat di dunia pada tahun 2000 – 2005 (Kompas, Jum’at 4 Mei 2007, silahkan baca lampiran di halaman sebelah).

Daftar Pustaka
Child, Alice B., et.al. Religion ang Magic in the Life of Traditional People. New Yeysey: Prentice-Hall, 1993.
Darwin, Charles. The Origin of Spicies. Diterjemahkan oleh F. susiloharjo & Basuki Harwono. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.
Dunselman, Donatus, OFM Cap. Bijdrage Tot de Kennis van de Taal en Adat der Kanayatn Dayaks van West Borneo, 1950.
Hofes, M. Lewis. Religion of the World. New york: Macmillan Publishing Co., Inc.: 1983.
Johnstones, R.L. relogion and Society in interaction. New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1975.
Kottak, Conrad Phillip. Anthopology. The Ekploration of Human Diversity. New York: Mcgraw-Hill, Inc. 1974.
Nugroho, Alois A. Fungsi rasio Alfred North Whitehead. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Otto, Rudolf. The Idea of the Holy. Translated by John W. Harvey. London: Pelican Books, 1959
Priyono, Herry. Nilai Budaya Barat dan Timur Menuju Tata Hubungan Baru. Dalam Jelajah hakikat Pemikiran Timur. Jakarta: PT. gramedia, 1993.
Sanderson, Stephen K. Macrosociology. An Introduction to Human Societies. New York: Harper Collins Purblishers, 1991.
Schleiermacher, Friedrich. On Religin. Translated by John Oman. New York: Frederick Ungar Publishing Co. 1995.
Skolimowski, Henryk. Eco-Philosophy: Designing New Tactics for Living. London: Marion Noyars Publishers Ltd., 1981.


Sumber : http://yohanessupriyadi.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar