Gamelan Sekati merupakan alat musik tabuh yang memiliki nilai sejarah panjang dan sarat akan makna. Dari masa ke masa gamelan ini setia mengiringi jejak langkah para raja di tanah Jawa. Menjadi saksi kejayaan dan keruntuhan kerajaan demi kerajaan. Menghibur manusia dari generasi terdahulu hingga kini dengan nada-nada.
Gamelan Sekati terdiri dari:
* Satu bonang (10-14 pencon) dimainkan oleh tiga perawit (pemusik).
* Satu atau dua pasang demung (sejenis saron bernada rendah).
* Empat saron panerus (saron kecil bernada tinggi), dimainkan oleh dua pengrawit.
* Satu bedug untuk tanda perubahan tempo.
* Satu set kempyang (beberapa pasang pencon).
Latar belakang permulaan Sekaten berasal dari tradisi ciptaan para raja di jaman Jawa – Hindu. Tradisi yang berupa upacara selamatan tersebut terdiri dari dua macam, yaitu: Acmavedha dan Smaradahana. Pada saat upacara Acvamedha-lah gamelan Sekati dibunyikan.
Menurut etimologi, kata ‘Sekati’ berasal dari kata ‘Sukati’ yang berarti senang hati atau bahagia. Sekati juga dapat diartikan ‘satu kati’ yaitu ukuran berat satu wilahan saron gamelan sama dengan 680 gram. Perayaan pada saat gamelan Sekati dibunyikan dinamakan Sekaten. Perayaan upacara tradisi tersebut lamanya enam hari. Pada hari ke tujuh disambung dengan upacara Sramadahana.
Pada masa Majapahit, Sekati merupakan nama dari sebuah gamelan pusaka keraton. Pada masa itu, Sekati berasal dari kata ‘sesek’ dan ‘ati’ yang berarti hati yang sedang susah. Hal ini didasarkan pada situasi kerajaan pada masa R. Angkawijaya yang bergelar Prabu Brawijaya V sebagai raja terakhir Majapahit yang sedang resah hatinya dikarenakan salah satu puteranya yang akan meruntuhkan kerajaan Majapahit yang bertujuan mendirikan kerajan Islam.
Nama putra tersebut adalah R. Praba atau R. Kasan yang setelah merapat ke Demak kemudian dikenal dengan julukan R. Yusuf atau R. Fatah. Setelah dinobatkan sebagai raja Demak, kemudian R. Fatah diberi gelar Sultan Syah Alam Akbar Sirrollah Kalifatullah Amirilmukmin Tajuddin Abdul Hamid, atau disebut Sultan Adil Surya Alam.
Kekeras-kepalaan anaknya ini membuat Prabu Brawijaya V menjadi sedih dan bimbang karena harus menghadapi anaknya sendiri sebagai lawan perang, melawan darah daging sendiri. Walaupun telah diajak berunding, R. Fatah tetap bersikeras dengan pendiriannya. Prabu Brawiaya V kemudian bertapa selama 12 hari untuk memohon petunjuk Sang Pencipta agar anaknya tidak melawan kepada bapaknya dan agar dia dapat bersama-sama menjaga situasi Negara yang sedang dilanda banyak cobaan.
Kegelisahan hati Sang Prabu diketahui oleh pejabat kerajaan. Pejabat kerajaan kemudian menyuruh para Pujangga Keraton untuk menghibur Sang Prabu dengan memainkan gamelan. Setelah dimainkan ternyata kegelisahan hati Sang Prabu kian bertambah. Oleh karena itu, Pejabat kerajaan menyuruh para pujangga untuk memukul gamelan dengan lebih keras dan iramanya lebih dinamis sehingga dapat menggugah hati Sang Prabu.Oleh karena itu, seperti yang dapat dilihat dan didengar saat ini, gamelan sekati seringkali ditabuh dengan keras dan kadang-kadang menurun merdu.
Setelah pasukan Islam Demak menyerang dan meruntuhkan Majapahit pada tahun 1478 M atau pada perhitungan candra sengkala “sirna ilang kertaning bhumi’ yang berarti sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4, bhumi = 1, dibaca dari belakang yang menunjukkan angka tahun 1400, gamelan Sekati pun ikut dirampas sebagai pusaka kerajaan Islam Demak oleh R. Fatah.
Tradisi sekaten kemudian dilanjutkan pada masa kerajaan Islam Demak. Perbedaannya adalah jika pada masa Majapahit dan sebelumnya, gamelan Sekati dimainkan pada upacara Hindu, maka pada masa kerajaan Islam Demak dimainkan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad dan juga untuk syiar Islam di tanah Jawa.
Setelah Demak runtuh, gamelan Sekati jatuh pada Sultan Agung Hanyakrakusuma di Mataram. Lalu diberi nama Kyai Guntur Madu yang artinya jatuhnya anugerah, (Guntur = jatuh, Madu = anugerah). Selanjutnya, ketika gamelan Sekati berada di tangan Hamengku Buwana I di Yogyakarta, sang Sultan membuat tiruan gamelan Sekati (dipun puterani) yang diberi nama Kyai Naga Wilaga yang berarti kemenangan abadi, (Naga = abadi, Wilaga = unggul dalam perang).
Pada masa ini, Sekati diartikan sebagai “syahadatain” yang artinya dua kalimat syahadat. Alur perjalanan panjang sejarah gamelan Sekati naik turun seiring situasi. Masing-masing masa diekspresikan dalam bahasa nada. Gamelan Sekati, penghibur hati para raja dan manusia-manusia Nusantara.
Kepustakaan
Yudoyono, Bambang. 1984. Gamelan Jawa: Awal Mula Makna Masa Depannya. PT.Karya Unipress: Jakarta.
Soebadyo, Haryati dkk. 2002. Indonesian Heritage: Seni Pertunjukkan. Buku Antar Bangsa: Jakarta
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/2/538/gamelan-sekati-dari-masa-ke-masa
Gamelan Sekati terdiri dari:
* Satu bonang (10-14 pencon) dimainkan oleh tiga perawit (pemusik).
* Satu atau dua pasang demung (sejenis saron bernada rendah).
* Empat saron panerus (saron kecil bernada tinggi), dimainkan oleh dua pengrawit.
* Satu bedug untuk tanda perubahan tempo.
* Satu set kempyang (beberapa pasang pencon).
Latar belakang permulaan Sekaten berasal dari tradisi ciptaan para raja di jaman Jawa – Hindu. Tradisi yang berupa upacara selamatan tersebut terdiri dari dua macam, yaitu: Acmavedha dan Smaradahana. Pada saat upacara Acvamedha-lah gamelan Sekati dibunyikan.
Menurut etimologi, kata ‘Sekati’ berasal dari kata ‘Sukati’ yang berarti senang hati atau bahagia. Sekati juga dapat diartikan ‘satu kati’ yaitu ukuran berat satu wilahan saron gamelan sama dengan 680 gram. Perayaan pada saat gamelan Sekati dibunyikan dinamakan Sekaten. Perayaan upacara tradisi tersebut lamanya enam hari. Pada hari ke tujuh disambung dengan upacara Sramadahana.
Pada masa Majapahit, Sekati merupakan nama dari sebuah gamelan pusaka keraton. Pada masa itu, Sekati berasal dari kata ‘sesek’ dan ‘ati’ yang berarti hati yang sedang susah. Hal ini didasarkan pada situasi kerajaan pada masa R. Angkawijaya yang bergelar Prabu Brawijaya V sebagai raja terakhir Majapahit yang sedang resah hatinya dikarenakan salah satu puteranya yang akan meruntuhkan kerajaan Majapahit yang bertujuan mendirikan kerajan Islam.
Nama putra tersebut adalah R. Praba atau R. Kasan yang setelah merapat ke Demak kemudian dikenal dengan julukan R. Yusuf atau R. Fatah. Setelah dinobatkan sebagai raja Demak, kemudian R. Fatah diberi gelar Sultan Syah Alam Akbar Sirrollah Kalifatullah Amirilmukmin Tajuddin Abdul Hamid, atau disebut Sultan Adil Surya Alam.
Kekeras-kepalaan anaknya ini membuat Prabu Brawijaya V menjadi sedih dan bimbang karena harus menghadapi anaknya sendiri sebagai lawan perang, melawan darah daging sendiri. Walaupun telah diajak berunding, R. Fatah tetap bersikeras dengan pendiriannya. Prabu Brawiaya V kemudian bertapa selama 12 hari untuk memohon petunjuk Sang Pencipta agar anaknya tidak melawan kepada bapaknya dan agar dia dapat bersama-sama menjaga situasi Negara yang sedang dilanda banyak cobaan.
Kegelisahan hati Sang Prabu diketahui oleh pejabat kerajaan. Pejabat kerajaan kemudian menyuruh para Pujangga Keraton untuk menghibur Sang Prabu dengan memainkan gamelan. Setelah dimainkan ternyata kegelisahan hati Sang Prabu kian bertambah. Oleh karena itu, Pejabat kerajaan menyuruh para pujangga untuk memukul gamelan dengan lebih keras dan iramanya lebih dinamis sehingga dapat menggugah hati Sang Prabu.Oleh karena itu, seperti yang dapat dilihat dan didengar saat ini, gamelan sekati seringkali ditabuh dengan keras dan kadang-kadang menurun merdu.
Setelah pasukan Islam Demak menyerang dan meruntuhkan Majapahit pada tahun 1478 M atau pada perhitungan candra sengkala “sirna ilang kertaning bhumi’ yang berarti sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4, bhumi = 1, dibaca dari belakang yang menunjukkan angka tahun 1400, gamelan Sekati pun ikut dirampas sebagai pusaka kerajaan Islam Demak oleh R. Fatah.
Tradisi sekaten kemudian dilanjutkan pada masa kerajaan Islam Demak. Perbedaannya adalah jika pada masa Majapahit dan sebelumnya, gamelan Sekati dimainkan pada upacara Hindu, maka pada masa kerajaan Islam Demak dimainkan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad dan juga untuk syiar Islam di tanah Jawa.
Setelah Demak runtuh, gamelan Sekati jatuh pada Sultan Agung Hanyakrakusuma di Mataram. Lalu diberi nama Kyai Guntur Madu yang artinya jatuhnya anugerah, (Guntur = jatuh, Madu = anugerah). Selanjutnya, ketika gamelan Sekati berada di tangan Hamengku Buwana I di Yogyakarta, sang Sultan membuat tiruan gamelan Sekati (dipun puterani) yang diberi nama Kyai Naga Wilaga yang berarti kemenangan abadi, (Naga = abadi, Wilaga = unggul dalam perang).
Pada masa ini, Sekati diartikan sebagai “syahadatain” yang artinya dua kalimat syahadat. Alur perjalanan panjang sejarah gamelan Sekati naik turun seiring situasi. Masing-masing masa diekspresikan dalam bahasa nada. Gamelan Sekati, penghibur hati para raja dan manusia-manusia Nusantara.
Kepustakaan
Yudoyono, Bambang. 1984. Gamelan Jawa: Awal Mula Makna Masa Depannya. PT.Karya Unipress: Jakarta.
Soebadyo, Haryati dkk. 2002. Indonesian Heritage: Seni Pertunjukkan. Buku Antar Bangsa: Jakarta
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/2/538/gamelan-sekati-dari-masa-ke-masa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar