Senin, 29 Maret 2010

Harmonisasi Bahasa dalam Kebudayaan Jawa

Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Semua unsur diatur secara harmonis dan berdampingan, baik itu hidup dengan mati, alam dengan makhluk hidup. Semua hal yang tidak cocok mengharuskan untuk dihindari; setiap yang bisa mengganggu keseimbangan itu cepat diperbaiki agar semua kembali harmoni.

Umumnya yang mengganggu keseimbangan manusia adalah pola manusianya, baik masalah manusia dengan manusia atau manusia dengan dengan alam. Untuk mengatur semua itu agar kembali benar adalah perlunya kepimpinan dan tanggung jawab pimpinan masyarakat. Kesulitan dalam masyarakat Jawa adalah setiap keseimbangan itu diganggu oleh pola manusia dengan manusia yang umumnya bisa menimbulkan konflik (harmoni terganggu). Untuk menghindari konflik, umumnya masyarakat Jawa mengutarakan ketidakcocokan itu dengan memendamnya.

Di masyarakat Jawa umumnya ada golongan sosial, misalnya golongan priyayi (bangsawan) dengan rakyat biasa. Ada lagi golongan santri dengan golongan abangan (masyarakat yang kurang peduli dengan syariat agama). Dalam bahasa Jawa ada kelas atau tingkatan tingkatan yang bisa menggambarkan pengaturan pengucapan dalam golongan sosial.

Tingkatan Sosial Bahasa Jawa
1. Ngoko
Bahasa ngoko adalah suatu tatanan bahasa yang paling bawah, digunakan dalam percakapan sehari-hari antara yang lebih tua dengan yang muda, orang sederajat atau teman sejawat, atasan keapada pegawainya (bawahannya).
Contoh: Lho, koen mau wes mangan a? (Lho, kamu tadi sudah makan?)

2. Ngoko andhap
Ngoko andhap digunakan kepada siapa saja yang sudah akrab akan tetapi masih menghormati satu sama lain. Ngoko andhap itu dibagi menjadi dua: antya basa dan basa antya. Ngoko andhap antya sampai sekarang masih digunakan, akan tetapi ngoko andhap antya sudah lama tak digunakan bahkan sudah tak lagi dilestarikan dan dianggap sirna.
Contoh: Lho, samean mau wes maem a? (Lho, kamu tadi sudah makan?)

3. Madhya
Madya adalah bahasa yang sering digunakan dalam masyarakat pedesaan atau masyarakat gunung.
Madhya dibagi menjadi dua: madhya ngoko dan madhya krama. Madhya ngoko adalah sebuah bahasa yang dikalobarasi dengan bahasa ngoko tetapi lebih lekat kedaerahan; bisa dibilang bahasa daerah setempat yang tak semua orang Jawa mengerti. Ciri-cirinya:

* Saya diganti menjadi kula.
* Anda menjadi dika.
* Awalan tak- diganti menjadi kula.
* Awalan ko- diganti menjadi dika.
* Awalan di- tidak berubah.

Contoh: Lho, dika wes maem a? (Lho, kamu sudah makan?)
Sedangkan madhya krama biasa digunakan masyarakat desa berbicara dengan orang yang baru kenal atau orang yang dihormati. Bisa dikatakan hampir sama dengan ngoko andhap tetapi memunyai batasan: orang muda kepada yang lebih tua atau dihormati.
Ciri-cirinya:

* Saya, diganti menjadi kula.
* Anda, diganti menjadi sampeyan, samang.
* Awalan tak- diganti menjadi kula.
* Awalan ko- diganti menjadi samang, mang.
* Akhiran -ku diganti menjadi kula.
* Akhiran -mu diganti menjadi sampéyan, samang.
* Akhiran -e tetap tidak berubah.

Contoh: Lho, samang sampun maem? (Lho, kamu sudah makan?)

4. Madhyantara
Bahasa madhyantara terbentuk dari madya krama akan tetapi kalimat-kalimat yang ditujukan adalah kepada orang yang diajak bicara ditambahi dengan bahasa krama inggil. Bahasa madhyantara dulu biasa digunakan priyayi kecil atau anak bangsawan kepada utusannya. Akan tetapi, bahasa ini sekarang sudah jarang dipergunakan.
Ciri-cirinya hampir sama dengan bahasa madya
Contoh: Lho, samang sampun dahar? (Lho, kamu sudah makan?)

5. Kromo
Bahasa kromo atau krama adalah tingkatan tengah dalam bahasa Jawa sebelum kromo inggil di mana tidak semua kosakata yang diucapkan diganti dengan bahasa alus. Kromo digunakan kepada orang yang baru kenal atau sejawat yang lebih dihormati.
Contoh: Lho, samean sampun nedo? (Lho, kamu sudah makan?)

6. Kromo Inggil
Bahasa kromo Inggil adalah bahasa di mana pengucapanan krama dicampur dengan krama inggil. Bahasa krama biasa digunakan priyayi kecil (anak bangsawan) dengan priyayi yang lebih tua, anak muda kepada orang yang lebih tua.
Ciri-cirinya:

* Saya diganti menjadi kawula, abdidalem kawula, atau dalem.
* Anda diganti menjadi panjenengan dalem atau disingkat nandalem.

Contoh: Panjenengan dalem sampun dahar? (Kamu sudah makan?)

7. Bagongan
Bahasa bagongan mulai dikembangkan pada masa pemerintahan Sultan Agung. Basa ini biasa digunakan di lingkungan kraton Mataram dengan tujuan untuk menghilangkan kesenjangan antara pejabat istana dengan keluarga raja. Seiring dengan perkembangan, bahasa bagongan sekrang sudah jarang digunakan dan bisa dikatakan hampir punah kecuali oleh orangtua yang dulu pernah mengenal bahasa ini
Ciri-ciri:

* Saya diganti menjadi manira.
* Anda diganti menjadi pakenira
* Ya diganti menjadi enggeh.
* Tidak diganti menjadi mboya.
* Bukan diganti menjadi seyos.
* Saja diganti menjadi mbesaos.
* Ini diganti menjadi puniki.
* Itu diganti menjadi puniku.
* Apa diganti menjadi punapi.
* Ada diganti menjadi wenten.

Contoh: Pakeniro pilih puniku mbesaos. (Kamu pilih itu saja).

8. Kedhaton
Basa kedhaton dipergunakan dalam area kedhaton/keraton. Bahasa ini juga hampir hilang dan perlu pelestarian.Ciri bahasa ini adalah penyampaian yang halus dan kosakata yang digunakan tergolong tinggi dan sastrawi.
Contoh: Kawula mirsani panjenenganipun ing dalem jawi. (Saya melihat kamu di luar).

Tidak ada gambaran dalam bahasa yang lebih pantas untuk dilihat dari segi perbedaan dialek dan bahasa sehari hari. Dalam masyarakat Jawa terdapat penuturan penggunaan bahasa; dalam penerapannya masyarakat jawa sering menyebutnya dengan unggah-ungguh. Seiring dengan perkembangan zaman semakin kritis kondisi bahasa Jawa. Tatanan penggunaan bahasa dan unggah-ungguh telah berkurang. Hampir lebih dari masyarakat muda Jawa sekarang tidak mengerti bahasa tata krama. Ini disebabkanya pendidikan orang tua yang kurang kepada anaknya dan penggunaan bahasa yang lebih sering didengar (umum) adalah bahasa sehari-hari tidak lagi digunakan tingkatan sosial dalam bahasa pengucapan yang dipergunakan. Faktor lain karena pendidikan bahasa Jawa dalam sekolah tak lagi optimal dan bahkan dalam sejumlah sekolah modern telah ditiadakan pelajaran bahasa Jawa. Jika ditelaah kembali dalam bahasa Jawa itu terdapat sebuah tatanan penghormatan kepada orang yang diajak bicara dan budi pekerti yang luhur bagi orang yang berbicara.

Kepustakaan
Febyardini, Dian P.R., S.S. et al. Pepak lan Wasis Basa Jawa. Indonesiatera: Yogyakarta.
Purwadi, M.Hum.,et al. Tata Bahasa Jawa. Yogyakarta: Media Abadi, Cethakan Pertama Agustus.
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.
Margono, S.Pd., M.Acc. 2009. "Telaah Sehari Berbahasa Jawa Di Kabupaten Purworejo". [online] http://riyadi.purworejo.asia/2009/06/telaah-sehari-berbahasa-jawa-di.htmll. Diakses pada tanggal 13-11-2009.
Setyanto, Aryo Bimo. Parama Sastra Bahasa Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka, Cethakan Pertama Oktober _____ Budaya Jawa [online] http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Budaya_Jawa.. Diakses pada tanggal 11-11-2009.

Sumber :
http://www.wacananusantara.org/2/544/harmonisasi-bahasa-dalam-kebudayaan-jawa

1 komentar: