Jumat, 19 Maret 2010

Sejarah Jawadwipa

Oleh : Mas Kumitir

Kini dengarlah pula kisah silam Jawadwipa nan terkandung dalam karya pujangga, prasasti, dan ingatan bangsa.

Bait 01
Di tenggara Benua Asia, dalam kelompok Kepulauan Nusantara, Jawadwipa terletak anggun dan perkasa merekah gagah, pancarkan seni budaya pahlawan masa dan kesatria budi luhur. Pantai Utaranya terima deburan ombak Laut Jawa. Selat Sunda memisahkannya, dan Bumi Swarnadwipa di sebelah barat. Di sebelah timur berbaris memanjang Kepulauan Nusa Tenggara dan ombak Laut Selatan, Samudra Indonesia, ramaikan Jawadwipa. Tegak menjulang barisan pegunungan di bagian tengah pulau. Gunung Gede, Pangrango, Slamet, Merapi, Merbabu, Dieng, Bromo, Kelud, dan Semeru menjangkau awan putih, sinarkan wahyu semangat. Dari sana mata air alirkan sungai-sungai Citarum, Ciliwung, Bengawan Solo, dan Kali Brantas. Hidupkan lembah-lembah hijau Jawadwipa. Di kala mentari pagi beranjangsana ke atas dunia, tampak air kali coklat berbuih mengalir tenang, suburkan petak-petak sawah kuning padi merunduk melambai tertiup angin. Hijau segar nampak hutan-hutannya. Tatkala gelap malam naungi Bumi Jawadwipa, sinar perak rembulan memancar di atasnya lalu terdengar seruan jangkrik mendesing bertingkahan dengan paduan suara katak nan riuh rendah. Sungguh indah sang putri Nusantara, Jawadwipa. Dan amatlah tua sejarahnya.

Bait 02
Ratusan ribu tahun yang silam, manusia Jawa hidup di dataran rendah pulau. Ia dikenal dengan nama kera yang berdiri tegak atau Pithecantropus Erectus Mojokertoensis. Berkelompok mereka hidup, berkembang biak dan berburu, bersaingan dengan binatang-binatang hutan. Lalu ribuan tahun yang telah silam sebelum Kristus lahir, sebelum ada tarikh Saka dari Tanah Utara, di sekitar Cina Selatan, Yunnan, dan Tonkin nenek moyang bangsa Melayu tiba dengan ratusan perahu ke Nusantara sebagian tinggal menetap. Sebagian berlayar terus ke Filipina, Madagaskar, Irian, dan pulau-pulau Polynesia. Desa-desa terbentuk dengan wilayahnya tempat masyarakat, yang bersifat kerakyatan, menetap. Alat-alat senjata dari perunggu dan besi serta kepandaian tanah liat, menganyam dan menanam padi, memulai kebudayaan di Jawadwipa.

Bait 03
Dalam abad pertama tarikh Masehi, datanglah orang-orang Hindu dari India. Bersama mereka, para pedagang, pendeta, dan pangeran agama Hindu dan Buddha tibalah. Pangeran Aji Saka, yang mulia perkasa, membawa aksara Sansekerta dan Pallawa yang di Jawadwipa lalu menjadi abjad-abjad:

Ha Na Ca Ra Ka
Da Ta Sa Sa La
Pa Da Ja Ya Nya
Ma Ga Ba Tha Nga

Kala itulah sejarah agung dimulai pada permulaan tarikh Saka.

Bait 04
Di Jawadwipa, di masa yang telah silam, memerintah raja-raja agung yang ternama. Pertama dari para raja, Sri Baginda Punawarman. Bijaksana, adil, dan pelindung rakyatnya. Penegak utama kekuasaan Tarumanegara, dan junjungan bagian pulau sebelah barat. Dalam abad keempat tarikh Masehi, Ia membangun pengairan sawah dengan kanal-kanal panjang di daerah Karawang, karena mulianya digelari titisan Dewa Wisnu dalam prasasti kali Ciaruteun, Di bagian tengah Jawadwipa dalam tahun masehi 657, tersebutlah nama Kerajaan Kalingga dan ratunya, Sima, yang adil dan jujur Pada masa itu dibangun candi-candi Siwa di dataran tinggi Dieng. Terkenal pula waktu itu, nama Jnanabadhra guru besar agama Buddha yang tinggi ilmunya.

Bait 05
Tahun 732, Sanjaya memerintah Mataram. Di samping para raja wangsa Sailendra banyak didirikan candi suci sebagai baktipuja. Pawon, Mendut, dan Kalasan berdiri dan atas niat raja Samarottungga. Borobudur telah berdiri, pada tahun 772 bagi keluhuran budi sang Buddha. Sekitar masa itulah, yaitu dalam tahun 700, kitab nyanyian Syandracarana dituliskan. Kemudian berpindahlah kuasa Sailendrawangsa ke Swarnadwipa, di Kerajaan Sriwijaya.

Bait 06
Pada tahun 778 dibangunlah candi Siwa di Prambanan atas perintah raja Hindu, Daksa, yang terselesaikan tahun 822. Mulai tahun 742 hingga tahun 754 Dyah Balitung yang perkasa, raja Mataram di Medang Kamulan persatukan bagian timur dan tengah Jawadwipa. Lalu pada tahun 847, Baginda Mpu Sindok pindahkan pemerintahan ke timur Jawadwipa di Watu Galuh, dekat Jombang. Berdiri keratonnya. Pada masa pemerintahannya, Sri Sambhara Suryawarana menuliskan kitab Sang Hyang Kamahayanikan.

Bait 07
Pada akhir abad ke 10 tarikh Masehi, Dharmawangsa memerintah dari Watan di kaki Gunung Penanggungan. Ialah itu yang perintahkan agar disusun kitab undang-undang Siwasasana bagi negerinya. Namun, pada tahun 928, dalam pesta kawin di keraton Watan, Dharmawangsa tewas karena serangan Wurawari, raja Lor Arang. Keraton dibakar, keluarga raja binasa oleh pedang. Disebut oleh para pujangga peristiwa itu akhir dunia (pralaya).

Bait 08
Airlangga, menantu Dharmawangsa yang ibundanya cucu Mpu Sindok dan ayahnya raja Bali, selamat dari peristiwa sedih di malam itu. Lalu disusunnya kekuatan, dipanggilnya nama Wisnu dan dibalasnya dendam pada Sang Wurawari. Pada tahun 1037 ia memerintah di Kahuripan di kaki Gunung Penanggungan. Kemudian ia berpindah ke keraton di Daha. Gelar abhiseka sang Prabu ialah: Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Erlangga Anantawikrama Uttunggadewa. Pada masa bahagia itulah ditulis karya sastra Arjuna Wiwaha dan Bhagawadgita. Sang Prabu wafat pada tahun 971 dan dua putranya yang bermusuhan memerintah di Jenggala dan Kediri. Dari hidup merekalah kisah-kisah Panji dituliskan.

Bait 09
Sekitar masa Airlangga, yaitu tahun 1030, Jawadwipa bagian sebelah barat diperintah oleh raja Sri Jayabupati yang keratonnya terletak di Galuh Pakuan.

Bait 10
Pada tahun masehi 1135, dinobatkan di Kediri keturunan agung Airlangga dengan gelar abhiseka
Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudhanawatara Anindita Suhtrasingha Parakrama Uttunggadewa. Beliau raja yang keramat dan tajam pandangnya bagi masa-masa kemudian. Diucapkannya ramalan akan nasib Jawadwipa, akan nasib bangsanya dengan kalimat nan terselubung, arti tersembunyi. Pada tahun 1157, sebelum sang Prabu wafat. Mpu Sedah dan Mpu Panuluh menuliskan kita Bharatayudha.

Bait 11
Tahun 1107 saksikan penobatan raja di Kediri yang bergelar abhiseka Sri Maharaja Kamesware Triwikrama Awatara Aniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa. Permaisurinya adalah Kirana Ratu, putri Jenggala nan ayu jelita. Pujangga agung Mpu Dharmaja memandang raja dan ratunya, tatkala ditulisnya kisah Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih dalam karya sastra nan halus merasuk yang bernama Smaradahana.

Bait 12
Kejayaan dan keagungan Kediri hilang lenyap di kancah pertempuran Desa Ganter, pada tahun 1044. Sewaktu Kertajaya Dandang Gendis terkalahkan oleh barisan Tumapel dan dahsyat Ken Arok yang lalu menjadi yang dipertuan di Tanah Jawa dengan gelar abhiseka: Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Bersama permaisuri Ken Dedes, dipuja rakyat namanya dan dimuliakan masa pemerintahannya. Walau Ken Arok anak orang desa, para turunannya menjadi raja agung. Pada tahun 1127 wafatlah Ken Arok dan naik takhta putra tirinya, Anusapati putra Ken Dedes dari suami pertamanya, Tunggul Ametung. Semangkatnya Raja Anusapati; Tohjaya, putra Ken Arok dari Ken Umang, naik takhta di Kediri. Namun ia mati terbunuh oleh permufakatan antara Seminingrat, putra Anusapati, dan Narasingamurti, anak Mahisa Wong Ateleng, cucu Bhatara Parameswara, cicit Ken Arok dan Ken Dedes. Semingrat lalu memerintah di Kutaraja dengan permaisuri Waning Hyun, adik Narasingamurti. Narasinghamurti diangkat jadi Ratu Angabhaya. Sang Prabu, gelar abhiseka Wisnuwarhana, membangun pelabuhan Canggu di Sungai Brantas. Putranya, Sri Lokawijaya, dinobatkan tahun 1254 dengan gelar abhiseka Sri Kertanegara. Waktu itulah berganti nama Kutaraja menjadi Singasari. Ialah raja yang taat pada agama, pelindung rakyat yang perkasa, dan negarawan yang bijaksana. Pada tahun 1274 dikirimnya laskar Singasari dalam peristiwa Pamalayu ke Dharmasraya, di Jambi. Ditundukkannya Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dan padanya dianugerahkan arca Amoghapasa sebagai lambang persahabatan. Dijalinnya pula hubungan akrab dengan Jayasingawarman III, penguasa negeri Campa. Kala itu terdengar, niat maksud Kubilai Khan agar Jawadwipa sembah bakti padanya yang bahkan telah kirimkan duta besarnya tuk paksa Kertanegara terima kehendak sang kaisar. Dengan marah sang Prabu mengusir utusan Tatar dan canangkan kewibawaan Singasari. Tahun 1292 terjadi peristiwa hina yang menyedihkan karena Jayakatwang, raja bawahan di Gelang-gelang, berkhianat menghantam sang Prabu di keratonnya. Kertanegara gugur dan berpulang ke Jinalaya dimakamkan dengan gelar: Yang Mulia di alam Siwa-Buddha. Menantu sang prabu, Sanggramawijaya, disertai para hamba lari dikejar musuh, hingga tiba di Madura. Arya Wiraraja lindungi ia, dan dimintakan ampun pada Jayakatwang atas izinnya. Wijaya membangun Majapahit, dekat Majakerta, dan dihimpunnya tentara, tuk balaskan dendam Kertanegara.

Bait 13
Namun suatu peristiwa terjadi. Tanggal 1 Maret 1293, tahun Saka 1215, tentara bangsa Tatar berlabuh di Tuban dipimpin Shih Pi, Kau Hsing, dan Ike Mese. Berbaris berderap pasukannya masuki Jawadwipa, dan ratusan layari Sungai Serayu. Dengan penuh kedahsyatan, dibantu Sanggramawijaya, diserbu dan dihalaunya laskar Jayakatwang. Kemudian Sanggramawijaya berbalik menikam, menyerbu orang-orang Tatar, kala mereka mabuk kemenangan. Maka pada tanggal 24 April 1293, Saka 1215, berlayar pulanglah balatentara Tatar.

Bait 14
Sanggramawijaya, putra Dyah Lembu Tal, cucu Narasingamurti dan menantu Kertanegara. Dinobatkan pada Saka 15 kartika 1225, yaitu masehi 1303, dengan gelar Abiseka: Sri Kertarajasa Jayawardhana. Empat putri Kertanegara, semua istri sang Prabu: Tribhuwana, Mahadewi, Jayendradewi (Prajnyaparamita), dan Dyah Dewi Gayatri (Rajapatni), ibunda Tribhuwana Tunggadewi. Istri kelima sang Prabu, Dara Petak Dyah Indreswari yang datang dari Dharmasraya, beliaulah ibunda Jayanegara.

Bait 15
Semangkatnya Kertarajasa, naik takhta Jayanegara. Masa pemerintahannya amat penuh oleh kesedihan dan pertumpahan darah. Sang Prabu pun wafat pada tahun 1328 ditikam pisau tabib Tanca. Pada masa itulah Gajah Mada, anak desa, menanjak lekas, karena jasanya pada Sri Jayanegara.

Bait 16
Bulan Badhra çaka 1251 (1329), Tribhuwana Tunggadewi naik ke atas singgasana Majapahit. Gelar sang ratu:
Tribhuwana Tunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Masa pemerintahannya negeri aman sentosa. Dan sesudah gempa bumi di Pabanyu, pindah pada tahun kelahiran Hayam Wuruk, tahun 1334. Gajah Mada menjadi Patih Mangkubumi. Kala itu diujarkannya Sumpah Palapa, persatuan Nusantara. "Jika telah berhasil tundukkan Nusantara, saya baru akan beristirahat. Jika Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Dompo, Pahang, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah tunduk, saya baru akan beristirahat." Tahun itu juga, balatentara Majapahit dipersiapkan tuk menyatukan Kepulauan Nusantara. Dibantu oleh Laksamana Nala, Adityawarman, dan para menteri. Dua puluh tiga tahun lamanya Gajah Mada juangkan impiannya,

Bait 17
Tahun 1350 menjadi bikhu sang ibunda ratu. Dan dinobatkanlah Hayam wuruk, dengan gelar Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanegara. Masa itulah zaman keagungan bangsa, Nusantara bersatu, keadaan aman tenteram. Terdapat pula kitab undang-undang Kutara Manawa, yang ciptakan masyarakat adil di Majapahit. Sang Prabu, Apatih Mangkubumi, para Menteri, serta Dharmadyaksa ring Kasiawan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan dijunjung diluhurkan di pelosok negeri. Namun pada tahun 1357 terjadi peristiwa nista. Namanya Perang Bubat.

Bait 18
Di Tanah Pasundan bertakhta Prabu Maharaja. Putrinya Dyah Pitaloka amat rupawan tiada tara. Kebanggaan istana, kemuliaan Galuh Pakuan. Karena lamaran Dyah Hayam Wuruk, berangkat Sang Prabu sertai putrinya ke Majapahit. Diiring ratusan kesatria Sunda yang gagah dan cakap berperang. Di sana tinggal mereka di lapangan Bubat, tuk nantikan pinangan sang Prabu Hayam Wuruk. Namun Gajah Mada inginkan raja Sunda sembahkan putrinya. Sebagai tanda bakti dan laku setia. Amat marah terhina para kesatria Sunda. Ditolak permintaan, dilayani kesatria Majapahit. Hingga semua orang Sunda gugur, di tanah lapang Bubat.

Bait 19
Sesudah peristiwa Bubat yang amat hina itu, berhentilah perang perluasan wilayah. Masa bahagia negeri Majapahit berlangsung. Disertai dengan pembangunan candi-candi, dan pengembangan seni budaya. Utusan para raja di Nusantara, menghadap Sang Prabu membawa upeti. Para duta pun datang berkunjung, dari negeri-negeri sahabat: Sri Langka, Campa, dan Ayodhya. Pada tahun 1365 Prapanca menulis kitab Desawarnana,yaitu Negarakertagama. Tentang perjalanan sang Prabu meninjau negeri dan sejarah agung para leluhurnya.

Mahapatih Gajah Mada, kebanggaan negeri Majapahit, wafat pada tahun 1364. Menangis sang Prabu dan keluarganya, t erharu sedih seisi negeri. Tak diangkat mahapatih baru untuk mengganti. Tak ada yang cakap, yang perwira bagai dia.

Bait 20
Dyah Hayam Wuruk wafat pada tahun 1389. Dan naiklah Wikramawardhana ke atas takhta. Ialah putra ibunda Bhre Pajang, cucu Tribhuwana Tunggadewi dan menantu Dyah Hayam Wuruk. Setelah masa pemerintahannya, istrinya, Kusumawardhani, berganti memerintah. Kemudian pada tahun 1429 Suhita menjadi ratu. Dialah putri Kusumawardhani dan Wikramawardhana Kertawijaya, putra Wikramawardhana dari selirnya. Naik takhta pada tahun 1446 dan memerintah selama lima belas tahun. Kemudian kekuasaannya berpindahlah pada Wangsa Girindrawardhana.

Bait 21
Dyah Wijayakarana, raja pertama wangsa baru dinobatkan pada tahun 1451. Dua tahun lamanya sang Prabu memerintah. Lalu berkuasa di Majapahit selama 15 tahun raja-raja yang bukan berasal dari Girindrawardhanawangsa. Tahun 1468, naik ke atas takhta cucunda Dyah Wijayakarana, bernama Singawardhana Dyah Wijayakusuma. Pamanda Dyah Wijayakusuma, Bhre Kertabumi namanya, menjadi raja pada tahun 1474. Dan empat tahun sang Prabu memerintah. Tahun 1486 raja Majapahit terakhir dinobatkan. Namanya Prabu Nata Dyah Ranawijaya, putra Singawardhana Dyah Wijayakusuma; setelah berhasil merebut mahkota dari Bhre Kertabhumi. Pada tahun 1527 Sang Prabu gugur, bersama hancurnya Majapahit. Karena serangan Raden Patah dari Demak. Menjelang kebinasaan Majapahit, yang telah rapuh oleh perebutan kekuasaan dan iri hati, masih tampil karya agung budaya luhur. Berujud kitab-kitab Arjunawijaya, Sutasoma, Purusadasanta yang ditulis Mpu Tantular, serta Wretta Sancarya dan Siwaratrikalpa buah pikiran Mpu Tanakung.

Bait 22
Raden Patahlah raja Islam pertama di Jawadwipa. Putra Bhre Kertabhumi dari istrinya putri Cina. Di Palembang ia dibesarkan, di tempat Arya Damar, ayah tirinya. Berlayarlah ia ke Jawa setelah dewasa, dan di sana dipeluknya agama Islam yang baru tiba. Ditegakkannya panji-panji baru di Semak. Atas bimbingan para wali dan setelah kejatuhan Majapahit, disebarkannya ajaran Sang Rasul di Jawadwipa. Kini suara azan terdengar pada pagi dan senja hari. Bukan lagi dengung mantra para pedanda. Demikian Demak berdiri, pewaris tunggal Majapahit.

Bait 23
Kini dengarlah sejarah para raja Sunda, yang memerintah di Jawadwipa sebelah barat. Setelah Prabu Maharaja gugur di medan laga Bubat bersama dengan Dyah Pitaloka yang rupawan dan para ksatria Sunda pada tahun 1357, pada tahun 1371, setelah masa perwalian Hyang Bumi Sora, dinobatkan Prabu Niskala Wastu Kancana yang dalam usia muda memerintah di Galuh Pakuan. Ialah raja yang berbajik, setia dan taat pada hukum Manu. Aapabila tak hadir di keraton Surawisesa, beliau pergi untuk laku tapa brata. Rakyat bahagia tentram, lumbung desa penuh padi. 104 tahun lamanya Sang Prabu berkuasa. Lalu wafat ia di Nusalarang, di Telaga Panjalu, di bilangan Kawali Galuh. Sang Prabu diganti putranya Rahiyang Dewa Niskala, yang memerintah selama 7 tahun dan berpulang di Gunatiga. Pada tahun 1482 naik takhta Prabu Ratu Purana. Setelah diwastu bernama Prabu Guru Dewataprana.

Bait 24
Raja yang agung, perkasa dan termasyhur. Dipindahnya ibukota ke Pakuan Pajajaran. Pusat negeri yang diapit sungai-sungai Ciliwung dan Cisadane, dengan dermaga pelabuhannya. Kapal-kapal dagang masuk dari Sunda Kelapa, Tangerang, dan Merunda berlayar masuk hingga Pakuan Pajajaran. Lewat jalan darat para pedagang tiba; dari pelabuhan-pelabuhan Banten, Krawang, dan Pontang. Jalan-jalan gerobak lalu lintasi pedalaman pulau, dan sebuah jalan raya yang amat panjang terdapat. Bermula di pakuan Pajajaran, melalui Cileungsi, Warunggede, Tanjung Pura, Krawang, Cikao, Purwakarta, Segalaherang. Lalu liwati Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Raja Galuh, Talaga, Kawali, hingga ke pusat Galuh Pakuan. Amatlah berkuasa sang Prabu dari Ujung Kulon hingga Pasir Luhur. Namanya dipuja dan disanjung hormat.

Bait 25
Prabu Ratu Purana diwastu lagi dan bergelar Sri Baduga Maharaja, Ratu Raja di Pakuan Pajajaran. Dibangun atas perintahnya, sebuah istana megah dan indah, penuh ukiran dan hiasan. Pantas bagi Maharaja Sunda.

Di sanalah, di Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, raja mulia bersemayam. Dari jauh diterimanya upeti persembahan, tanda setia para raja Pasundan. Di pelbagai tempat asrama suci pandita didirikan. Di atas tanah hadiah Sri Baginda. Dibuat pula sebuah danau, bernama Sang Hyang Talagarena Mahawijaya. Yang airnya mengalir suburkan sawah penduduk. Di telaga itu para putri bersuka ria di atas perahu seraya mendengar cicit nyanyian burung dan menatap keindahan taman Milakancana dan Samida, hutan ciptaan Baginda. Bukankah terdengar pula pada nyanyian jurupantun Cipatahunan atau Sipatahunan yang ada di Talaga Rena Mahawijaya. Yang sekarang hanya tinggal bekasnya. Ujung hulunya pada Bantar Peuteuy, ujung kakinya pada Babakan Pilar. Di ketinggian ujung hulu telaga, tak jauh dari keraton Sang Prabu berdiri punden keramat, tempat upacara Kuwerabakti. Sekali dalam setahun di sana para raja Sunda berkumpul iringi para pandita memohon berkah kesuburan tanah.

Bait 26
Tinggi nian budaya rakyat Sunda di masa itu. Jadi kekaguman orang di masa kini. Seperti yang tertulis dalam kitab Siksa Kanda Karesian, yang disusun tahun 1518. Banyak pengetahuan dipelajari, jadi pembimbing seluruh negeri. Ilmu pemerintahan, ilmu perang, ilmu agama dan sanditapa; ilmu bahasa-bahasa, batik, tarian dan pewayangan; dan ilmu pelayaran dipelajari pula. Sungguh gemilang Pajajaran, kebanggaan seluruh Nusantara.

Bait 27
39 tahun lamanya Ratu Purana memerintah. Dan pada tahun 1521 dinobatkan putranya, Prabu Surawisesa Masa pemerintahan Sang Prabu ialah 14 tahun. Lalu diganti Prabu Ratu Dewata tahun 1535. Dialah yang mendirikan Prasasti Batutulis, di samping Sang Hyang Lingga pada tahun Saka Panca Pandawa Ngemban Bumi, tuk memuliakan kakeknya yang agung, Ratu Purana, atau Prabu Siliwangi. Kala itu Islam telah masuk ke Tanah Pasundan. Dan akhir kejayaan Pajajaran pun telah nampak. 22 Juni 1527, Saka 1449 Falatehan, panglima raja Demak, menaklukkan Pelabuhan Sunda Kelapa, yang berganti nama menjadi Jayakarta.

Bait 28
Tahun 1543 dinobatkanlah putra Ratu Dewata. Namanya Sang Ratu Saksi, dan 8 tahun ia memerintah. Hingga saat putranya, Prabu Ratu Carita, menjadi raja dalam tahun 1551. Tahun 1567 naiklah Nu Siya Mulya ke Singgasana tuk memerintah negeri yang kejayaannya telah lama pudar. Tak sanggup liwati pergantian masa, tak kuat hadapi lawannya. Nu Siya Mulya disebut pula Prabu Seda karena ia gugur dalam pertempuran di tahun 1579. Sewaktu balatentara Pangeran Yusuf dari Banten menyerbu dalam peristiwa burakna Pajajaran. Porak poranda seisi negeri, musnah sudah keagungan Watu Gigilang, warisan karuhun. Tempat penobatan raja dibawa pergi ke Tanah Banten. Tamat sudah sejarah kerajaan Pakuan Pajajaran. Namun, tak dilupakan orang zaman keemasan. Seperti masih disebut dalam pantun Bogor, "Kujang di Hanjuang Siang": Masih mending zaman Pajajaran / ketika masih ada Kuwerabakti / ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung umum isinya melimpah / tiada tani perlu ngijon, tiada tani gadaikan pekarangan/ tiada tani mati karena kesal, tiada tani mati karena lapar.

Bait 29
Bantenlah pewaris kekuasaan di Pasundan. Dan beberapa waktu namanya tersohor di Jawadwipa. Banyak pula raja muslimnya yang termasyhur, yang namanya terpatri dalam ingatan bangsanya. Sultan Hasanudin yang gagah perkasa, berwibawa dan dijunjung tinggi. Sultan Ageng yang tegas tak kenal takut, berani menantang keangkuhan bangsa Belanda di Batavia. Tapi pada akhirnya, kalahlah Banten bersama Kesultanan Cirebon Karena muslihat dan peperangan, dengan bangsa penjajah itu.

Bait 30
Ada pun bangsa Belanda, pertama datang untuk berdagang. Namun perlahan-lahan, ditegakkannya kuasa di Jawadwipa, dan seluruh Nusantara. Tanggal 30 Mei 1619, Saka 1541, Jayakarta jatuh ke tangan Jan Pieterzen Coen. Dan Juni tanggal 22 tahun 1621, Saka 1543, diberi nama Batavia pada kota pelabuhan itu. ZJaman para raja agung telah hampir selesai. Kejayaan dan kemuliaan Jawadwipa, perlahan meredup. Untuk akhirnya padam selama masa penjajahan. Namun, sebelum keagungan, keindahan, dan keperkasaan jiwa kebangsaan berangkat tidur, masih berdiri sebuah kerajaan tersohor. Namanya Mataram.

Bait 31
Seperti telah disebutkan dalam kata-kata yang terdahulu. Tentang berdirinya Kesultanan Demak. Yang bangkit penuh pesona di atas reruntuhan Majapahit dan memulai babak baru dengan ajaran baru. Kekuasaan inilah yang selama beberapa masa dipertuan di Jawadwipa, berpengaruh di Nusantara. Dari pelabuhannya armada andalan negeri berlayar perangi perompak dan amankan laut. Adipati Unus, putra Raden Patah adalah laksamana Demak yang tangkas dan ternama. Lalu Raden Trenggana, raja yang cakap, memerintah bijaksana beroleh wahyu hidayat. Walau pun tak lama masa jaya Demak, namanya bangkitkan juga semangat kepahlawanan.

Kemudian kalahlah Demak oleh Pajang. Kesultanan baru yang muncul sesudahnya. Memerintah di Pajang Sultan Adiwijaya. Dari tahun 1550 hingga 1582. Dialah yang anugerahkan daerah Mataram untuk diperintah Pada Ki Gede Pemanahan panglimanya. Ada pun Mataram di bagian tengah Jawadwipa. Meliputi Surakarta, Kalasan, Klaten, Yogyakarta, Kota Gede, Bantul, Imogiri, Sleman, hingga ke Pantai Selatan. Di sana, tempat raja-raja agung di masa Hindu yang telah silam kini bangkit kuasa tak tertandingi. Yang namanya getarkan kalbu Nusantara.

Bait 32
Putra Ki Gede Pemanahan, Sutawijaya, yang bergelar Pangeran Ngabehi Lor ing Pasar. Lalu menggantikan ayahandanya, memerintah negeri Mataram. Diteguhkannya kekuasaan, dikalahkan para lawannya. Dikibarkannya panji Mataram, diangkatnya senjata melawan Pajang. Semangkatnya Sultan Adiwijaya, di tahun 1582, naik takhta Sutawijaya dengan gelar Panembahan Senopati ing Ngalaga. Dari Kuto Gede, ibukota negeri, barisan-barisan Mataram menyerbu para adipati merdeka di sekitar Pantai Utara dan Surabaya. Nama Sang Prabu disegani di seluruh pulau, dihormati hingga sejauh Cirebon. Kemudian mangkatlah ia ditahun 1601dan dimakamkan di Kuto Gede.

Bait 33
Berganti memerintah Mas Jolang, putra Sang Prabu, dengan gelar Sunan Hadi Prabu Anyakrawati. Selama 12 tahun ia memerintah, lalu wafat di Desa Krapyak. Kabarnya terbunuh oleh pengkhianatan ketika sedang memimpin pasukannya untuk menyerbu dan menundukkan Pantai Utara. Ia dimakamkan di Kuto Gede, di dekat makam ayahandanya.

Bait 34
Putra Panembahan Seda Krapyak, dinobatkan tahun 1613. Namanya Sultan Agung Prabu Anyokrokusumo. Dialah raja Mataram yang termasyhur. Pada masanya Sabda Pandita Ratu sesungguhnya dijunjung, diabadikan, dan diamalkan. Sang Prabu semulia Airlangga dan Hayam Wuruk. Gagah berani bagai Wijaya Kertarajasa. Cakapnya pun seperti Mahapatih Gajah Mada. Sebagai raja, Sultan Agung adil dan jujur. Cita-citanya pun suci, ingin satukan Nusantara. Tahun 1624 tentara Mataram tundukkan Madura. Dan pada Sang Prabu, Panembahan Cakraningrat berikan janji setia. Lalu Adipati Pekik di Surabaya menyerah pula. Setelah bertempur berani dan dikepung berbulan-bulan, ia pun diampuni oleh kebesaran hati Sang Prabu. Malah dinikahkan dengan adinda raja agung. Kemudian Sang prabu kirimkan pasukannya ke Sukadana di Kalimantan Barat. Hingga negeri itu pun tunduk padanya. Ketika Sang Prabu sentuhkan kuasanya ke Tanah Banten. Kuatirlah bangsa Belanda di Batavia dan mereka coba halang niat Mataram. Pada tahun 1628 dan 1629, balatentara Mataram bertempur di Batavia untuk habisi kuasa asing di Jawadwipa. Ratusan adipati dan tumenggung berangkat diiring ribuan prajurit, berbaris gegap gempita. Para adipati di Tanah Pasundan turut berperang. Dan lumbung-lumbung padi di Krawang disiapkan untuk masa perang yang panjang. Lasykar Tumenggung Bahusasra, mendarat beramai di Merunda. Pasukan Adipati Ukur menggempur pintu benteng Batavia. Berbulan bangsa asing terkepung, hampir binasa seisi Batavia. Namun armada Belanda datang membantu dari Maluku. Dan pengkhianat membakar lumbung-lumbung padi. Hingga terpukullah tentara Mataram dalam pertempuran dan oleh kelaparan. Akhirnya mundurlah barisan Mataram, dengan kecewa karena gagal penuhi amanat Sang Prabu. Akan tetapi telah ditunjukkan pada penjajah, keampuhan bangsa dan keberanian kesatria-kesatria Nusantara. Dalam perang penaklukan terakhir di tahun 1639, tunduklah Blambangan di timur Jawadwipa. Besarlah kuasa Mataram yang meliputi seluruh Jawadwipa, kecuali Banten dan Batavia. Pengaruhnya pun terasa, sejauh Palembang, Jambi, dan Banjarmasin.

Bait 35
Sultan Agung negarawan yang bijaksana pula. Karena padat sudah tanah Mataram, dipindahkannya sebagian penduduk ke Krawang. Ia juga seorang sastrawan dan pujangga agung yang menuliskan kitab Sastra Gending.

Ditunjukkannya ajaran Nabi Muhammad dalam wadah budaya Jawa, nan tua dan indah. Penanggalan tarikh Saka, disesuaikan dengan tahun Hijriah. Hari Raya Garebek pun dirubah maknanya, menjadi Garebek Puasa dan Garebek Maulud. Pantaslah dikenang kejayaan Sultan Agung. Raja, pujangga, dan putra Nusantara sejati Tahun 1645 Sultan Agung yang mulia wafat. Di Imogiri, pemakaman para raja, ia dimakamkan.

Bait 36
Tahun 1645 naiklah ke atas takhta. Putra Sultan agung, Sunan Amangkurat I. Dari Kartasura ia memerintah Jawadwipa dengan keras hati dan sifat yang kejam. Dimusnahkannya para bangsawan yang membangkang dibinasakannya kaum ulama yang menentang. Maka meletus perlawanan di tahun 1674. Dipimpin oleh Trunojoyo dan Adipati Anom, putra mahkota. Dengan dukungan para bangsawan dan kaum ulama. Prajurit Sang Prabu dikalahkan dan akhirnya keraton pun diserbu. Sunan Amangkurat I lari ke arah barat. Kini Adipati Anom menyesal, lalu berbalik menyusul ayahandanya. Di Tegal arum, pada tahun 1677, wafatlah Sang prabu. Dan di sanalah ia dimakamkan.

Bait 37
Atas dukungan tentara Belanda, naiklah Adipati Anom ke atas takhta. Di Surakarta ia memerintah, dengan gelar Sunan Amangkurat II. Kini kekuasaan Belanda telah merasuk Jawadwipa. Yang telah sirna jayanya dan hilang keagungannya. Berdiri pula loji Belanda di Surakarta, untuk awasi setiap langkah Sang Prabu. Pada masa itulah budak dari Bali, Untung Surapati, lari ke arah timur dari Batavia, dengan pengiring-pengiringnya. Di Surakarta digemparkannya seisi negeri ketika ia berlaga dengan tentara Belanda. Lalu didirikannya kerajaan di Pasuruan yang musnah bersamanya, dalam dentuman meriam bedil tentara penjajah. Kerajaan Mataram pun akhirnya pecah jadi empat. Karena muslihat dan hasutan Belanda, yang panaskan persengketaan keluarga. Setelah Perjanjian Giyanti di tahun 1755, di Yogyakarta Hadiningrat, Mataram sebelah barat, memerintah Sultan Hamengkubuwono I. Sedang di Surakarta, tetap memerintah Susuhunan Pakubuwono. Pada Perjanjian Salatiga didirikan di Surakarta daerah merdeka. Di bawah Raden Mas Said, yang bergelar Mangkunegoro I. Kemudian berdiri pula kala Sir Stamford Raffles berkuasa di Nusantara. Daerah merdeka di Yogyakarta, di bawah pangeran Notokusumo, yang bergelar Sri Paku Alam I. Kini selesailah babak Mataram, sirna ditelan zaman penjajahan.

Bait 38
Dalam abad Masehi ke-19 hidup di Yogyakarta Hadiningrat, pangeran Diponegoro. Dialah putra sulung raja Hamengkubuwono III. Yang gagah berani dan taat beragama. Dengan muak dipandangnya seisi keraton mengikuti kemauan penjajah Belanda. Bermusuhan ia dengan Adipati Danurejo dan para pejabat bangsa Belanda. Karena hinaan bangsa penjajah, geramlah Diponegoro. Pada tahun 1825 diangkatnya senjata melawan tentara Belanda, hadapi laskar Danurejo. Lima tahun Jawadwipa dilanda perang, dan darah tertumpah di bumi tercinta. Kiai Maja, Sentot Alibasyah, dan banyak lagi, sertai Sang Pangeran memimpin rakyat perangi lawan. Tapi, pada tahun 1830, dengan dalih mengajak berunding. Penjajah yang licik tangkap Diponegoro Ke Menado ia dan keluarganya, diiring para pengikut diasingkan. Kemudian Belanda memindahkannya ke Makassar. Dan di sanalah ia, pahlawan Nusantara, wafat.

Bait 39
Di malam terang bulan, kala tak sejengkal awan pun bawakan curahan hujan. Berkumpul putra-putra tanah ini; di halaman keraton. Di depan rumah pak lurah atau di pesta perkawinan. Menyaksikan bayang-bayang di balik layar putih, yang samar-samar diterangi lampu blencong dan sinar purnama. Bayang-bayang wayang kulit yang dihidupkan Ki Dalang. Bawakan kisah cerita Mahabharata. Kelima Pandawa pembela kebenaran, berperang musnahkan kaum Kurawa dan para raksasa. Keempat tokoh dari Karang Tumaritis, hibur para penonton. dengan kata-kata jenaka dan gelak tawa. Nasihat-nasihat bertuah suci dari leluhur, tiba di hati penggemar wayang. Diiring bunyi merdu gamelan, nan ramaikan malam indah di Bumi Jawa. Terbit pula kekaguman akan masa lalu, tatkala, mereka saksikan gemulai lembut penari-penari Serimpi dan Bedoyo. Tidak, jiwa bangsa tidak mati dalam alam penjajahan. Di suatu hari kelak rasa kebanggaan dan cinta tanah air akan merdekakan negeri terkasih.

Sumber : http://alangalangkumitir.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar