Rabu, 21 April 2010

Artefak Batu Kendan


Oleh : Lutfi Yondri

Artefak Batu Kendan: Teknologi, Manusia Pendukung
dan Kronologinya dalam Kerangka Budaya Prasejarah
di Tepian Danau Bandung Purba

Abstracts
Subsistence of prehistoric man in the ancient of Bandung Basin ridge, can be estimated had taken since Paleolithic until Paleometalic era. During prehistoric era, the ideal as dwelling area can be proved by several of obsidian stone (Sundanese: kendan stone) as a prehistoric tools which have spread over in many locations. In this period, kendan stone tools are seems to be common used by prehistoric man who inhabited in the ancient of Bandung Basin ridge. This paper try to mention about how it makes, function in human being, chronology, and man who support it culture in the past period.

Kata kunci: batu kendan, obsidian, prasejarah, manusia, danau bandung purba

Pendahulan
Kendan, tidak ada pertanggalannya pasti kapan nama itu ada dalam lintas sejarah dan budaya di Jawa Barat, khususnya bagi masyarakat yang mendiami kawasan Danau Bandung Purba. Nama ini begitu popular ketika kita menyibak kembali masa klasik Sunda. Pada masa itu pernah berlangsung satu institusi kerajaan yang bernama Kerajaan Kendan. Konon wilayah ini dahulunya merupakan daerah yang diberikan oleh Sri Maharaja Suryawarman kepada Resi Guru Manikmaya dengan segala kelengkapannya. Di wilayah itulah Sang Resi kemudian diangkat sebagai pemegang kekuasaan “ratu” dan merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Tarumanagara. Akan tetapi dalam kaitannya dengan budaya prasejarah yang pernah berlangsung di kawasan tepian Danau Bandung Purba, nama kendan itu selalu menjadi objek bahasan karena mayoritas peralatan batu yang ditemukan di kawasan itu terbuat dari bahan batu obsidian yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Batu Kendan.

Tidak semua daerah di Indonesia menyebut bahan yang demikian dengan sebutan batu kendan, beberapa masyarakat ada yang menyebutnya dengan istilah batu kaca, batu kecubung, dan lain sebagainya. Artefak yang terbuat tersebut, di Indonesia umumnya ditemukan di lingkungan gua dan danau (Heekern, 1972: 181). Tempat-tempat penemuan artefak tersebut yang pernah di data oleh Adhi Surjana (1998) antara lain Gua Ulutiangko dan Tiangkopanjang (Jambi); danau Gadang (dekat Danau Kerinci); sekitar Danau Cangkuang (Garut), sekitar kawasan tepian Danau Bandung Purba (Bandung), Leuwiliang (Bogor), Gua Sodong (Besuki); danau Tondano (minahasa, serta Gua Rundung (Flores Barat) (Surjana. 1998: 8). Sementara itu data terakhir tentang temuan artefak tersebut yang juga didukung oleh temuan manusia pedukungnya ditemukan di Gua Pawon yang terletak di kawasan sebelah barat tepian Danau Bandung Purba (Yondri, 2003).

Artefak batu kendan di di tepian Danau Bandung Purba, antara lain pernah diteliti oleh A.C. de Jong dan G.H.R. von Koenigswald (1930 - 1935), J. Krebs (1932-1933), Stein Callenfels (1934), van der Hoop (1938), Erdbrink (1942), W. Rothpletz dan W. Mohler (1942-1945), von Heine Geldern (1945), J. Bandi (1951), van Heekeren (1972), dan tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (1978) yang melakukan penelitian di daerah Cililin dengan temuan berupa alat-alat serpih berbahan batu kendan dan beberapa alat serpih yang terbuat dari bahan lain seperti batukuarsa, batuapi, dan batugamping. Lokasi-lokasi temuan artefak batu kendan pada penelitian tersebut antara lain Padalarang, Dago, Lembang, Cicalengka, Banjaran, Soreang, dan Cililin (Heekeren, 1972, Pantjawati 1988). Sementara itu, dari hasil penelitian yang telah dilakukan terakhir, telah diperoleh beberapa lokasi-lokasi temuan baru yang sebelumnya belum terlacak, seperti Gua Pawon, kawasan perbukitan kawasan Ujung Berung, Cinunuk, dan Cileunyi (Yondri, 2003, 2004, Laili, 2005).

Luasnya daerah persebaran temuan artefak batu kendan di tepian Danau Bandung Purba dan adanya ketercampuran artefak tersebut dengan temuan budaya lain, kemudian sempat menjadi topik perdebatan di kalangan para ahli, dalam hal ini bayak permasalahan yang kemudian tidak dapat memberikan pemahaman yang memuaskan. Oleh kaena itu dengan adanya berbagai temuan baru, dan hasil analisis yang dilakukan kemudian, dalam dulisan ini akan dicoba uraikan tentang bagaimana pengolahannya, keberagaman bentuk dan fungsi, serta siapa manusia pendukungnya di masa lalu.

Pembahasan
Pengolahan Batu Kendan Menjadi Artefak
Batu kendan berdasarkan proses terbentuknya termasuk dalam kelompok batuan beku luar (extrusive igneuos rock), yaitu batuan yang terjadi karena pembekuan magma yang terjadi karena proses pendingan yang sangat cepat dari magma yang keluar kepermukaan bumi. Batu Kendan termasuk dalam kelompok batuan rhyolite yaitu batuan beku yang bersifat asam dengan kandungan silika lebih dari 66%, kandungan kuarsa minimal 10%, dan juga kandungan orthoclase (photasium feldspar) yang minimal berjumlah seperdelapan dari total feldspar. Kelompok batuan rhyolite ini merupakan batuan aliran dari granit yang bertekstur aphanitic yaitu memiliki butiran mineral yang sangat halus dan kenampakan mineral yang sejajar satudengan yang lainnya (Soetoto, 1986: 28-37).

Batu Kendan secara petrografi memiliki ciri pecahan gelombang yang melengkung di permukaan atau bersifat concodial, memiliki warna cerah dan berkilap kaca (vitreous luster), pada umumnya merupakan batuan masif, dan bertekstur gelas (galssy), dengan kekerasan berkisar antara 5-5.5 skala Mohs, dan termasuk batu mulia tanggung. Pada batu yang berwarna hitam terdapat kandungan magnetite (Fe2O4) dan mineral lain berwarna hitam. Sementara itu pada batuan batu Kendan berwarna kuning, merah, dan coklat terdapat kandungan magnetit dan hematit (Fe2O3), berwarna merah (Pearl, 1980: 67). Adanya kandungan silika yang besar itu menyebabkan batuan itu mempunyai sifat keras yang memudahkan penyerpihan, dan dapat menghasilkan sudut pecahan yang tajam (Oakley, 1968:28-29).

Sifat-sifat yang demikianlah yang tampaknya menjadikan batuan tersebut menjadi pilihan dan dianggap sangat baik untuk dijadikan peralatan hidup manusia di masa lalu. Dan bahkan merupakan batu favorit yang dipakai untuk membuat senjata dan sampai sekarang batu ini masih dijadikan sebagai alat alat bedah. Batu obsidian pertama kali ditemukan oleh obsidius maka dari itu nama batu ini berasal dari namanya. Batu obsidian dapat ditemukan di Jepang, Hawaii, Iceland, Mexico, Hungary, Guatemala, Ecuador, New Mexico dan Arizona. http://elevenmillion.blogspot.com/2009/08/batu-obsidian.html

Pengolahan bahan batu Kendan menjadi alat batu oleh manusia prasejarah penghuni tepian Danau Bandung Purba di masa lalu. Berdasarkan ukuran sisa pembuatan alat (batu inti) yang ditemukan, besar kemungkinan dapat memberikan pemahaman akan dekatnya lokasi pembuatan dengan sumber perolehan bahan. Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa setelah bahan diperoleh dari tempat penambangan, kemudian batu inti tersebut akan dibawa dan diolah mengikuti pergerakan dan penghunian yang mereka lakukan di tepian Danau Bandung Purba. Dalam hal ini semakin dekat lokasi temuan dengan sumber bahan maka sisa bahan atau batu inti yang tersisa dari hasil pengolahan alat masih dalam ukuran yang cukup besar, dan semakin jauh dari sumber bahan sisa bahan makin kecil.

Pengolahan batu kendan menjadi alat batu tidak terlepas dari dua teknik dasar pengolahan yaitu tehnik pukul (percussion technique) dan teknik tekan (pressure technique) (Crabtree et all., 1972). Dalam pelaksanaan pembuatan alat batu, teknik pukul biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu dilakukan secara langsung (direct percussion technique) yang secara langsung memukulkan alat pemukul ke batu inti yang akan dibuat menjadi alat batu. Pemukulan ini juga dapat dilakukan secara tidak langsung (indirect percussion technique) dengan cara tidak memukulkan langsung alat pukul ke batu inti. Biasanya dalam teknik tidak langsung ini digunakan benda lain seperti tulang atau kayu sebagai perantara antara alat pemukul dan batu inti. Seperti yang dikemukakan oleh Harrie Lsurise Inizan (1992), pada teknik pukul tersebut sebenarnya masih dapat dibedakan lagi berdasarkan kekerasan alat pukul yang digukan. Pertama disebutnya sebagai hard hammer percussion. Teknik ini biasanya menggunakan alat batu pukul yang memiliki kekerasan yang cukup tinggi. Dan kedua, disebut soft hammer percussion. Pada teknik ini perkakas yang digunakan tidak sekeras yang digunakan pada hard hammer percussion, yaitu tulang dan tanduk (Inizan, 1992: 37-38)

Berbagai Bentuk Temuan Peralatan dari Batu Kendan
Apa kegunaan dan bagaimana kaitan antara batu Kendan dalam kehidupan manusia prasejarah yang hidup di tepian Danau Bandung Purba?, ini merupakan satu pertanyaan yang umum dipertanyakan oleh para ahli prasejarah. Bila batu Kendan itu hanya terserak begitu saja tanpa memiliki korelasi dengan budaya, mungkin batu tidak akan menjadi perhatian dari para ahli, dan mungkin sampai sekarang tidak akan ada yang membicarakannya. Karena Batu Kendan yang banyak ditemukan di tepian kawasan Danau Bandung Purba tidak hanya berupa bongkahan, tetapi juga berupa serpih, dan banyak di antaranya memiliki ciri sebagai alat batu, maka muncullah berbagai perdebatan dan pembahasan dari para ahli. Beberapa peneliti yang pernah membahas Batu Kendan (obsidian) di antaranya A.C.de Jong dan G.H.R. von Koenigswald (1930 - 1935), J. Krebs (1932-1933), Stein Callenfels (1934), van der Hoop (1938), Erdbrink (1942), W. Rothpletz dan W. Mohler (1942-1945), von Heine Geldern (1945), J. Bandi (1951), van Heekeren (1972), Pantjawati (1988), dan Lutfi Yondri (2005).

Khususnya penelitian yang pernah dilakukan oleh Bandi (1950). Dia menyatakan bahwa kumpulan koleksi artefak batu Kendan yang berasal dari tepian Danau Bandung Purba tidak menunjukkan keseragaman. Sebagian besar batu Kendan tersebut berupa serpih dan sisa pembuatan (waste products). Temuan yang benar-benar meupakan bilah sangat jarang, beberapa diantara batu Kendan tersebut telah dikerjakan dengan baik dan serpih beretus sebanyak 291 dengan mata tajaman sebagai akibat dari pemakaian, dan 159 dengan tajaman marginal. Juga terdapat 239 tipe alat seperti mata panah berukuran kecil, serut samping, serut inti, alat tusuk, dan pisau-pisau berpunggung. Koleksi artefak batu Kendan yang dikerjakan oleh Bandi berjumlah 889 serpih, beberapa di antaranya sudah terbagi berdasarkan fungsinya, terdiri dari 49 mata panah, 46 alat serut berpunggung, 25 alat serut inti, 62 alat serut, 21 alat tusuk, 11 alat pelobang, 5 pisau, 10 bentuk khusus, 159 serpih beretus, dan 9 serut inti berpunggung (Heekeren, 1972). Klasifikasi yang dilakukan oleh Bandi tersebut, tampak jauh lebih beragam bila dibandingkan dengan hasil klasifikasi yang ditemukan oleh Koenigswal (1935) dengan klasifikasi artefak berupa serut dengan variasi serut dan serut cekung, mata panah, penusuk, gurdi, penyerut, dan pembelah (Sumiati, 2004: 48).

Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian Pancawati (1988) terhadap artefak-artefak batu Kendan Danau Bandung Purba yang tersimpan di Museum Nasional, Jakarta. Pengamatan terhadap beberapa variabel yang terkait dengan fungsi yang meliputi variabel berat, letak tajaman, bentuk, tingkat kerusakan tajaman, serta pola perimping atau catu pakai, Pantjawati mengelompokkan fungsi alat-alat batu Kendan Danau Bandung Purba ke dalam tujuh kelompok, diantara adalah alat yang dipakai untuk aktivitas menyerut atau memotong dengan besaran sudut tajaman antara 46 sampai 55 derajat, untuk pembuatan alat menggali dari kayu (digging stick) dengan besaran sudut tajaman alat antara 35 sampai 40 derajat, alat untuk menggaruk, pisau, alat tusuk, pelobang, dan alat yang bersifat multi fungsi.

Analisis terhadap batu kendan yang berasal dari tepian Danau Bandung Purba juga pernah dilakukan oleh Iis Sumiati (2003) dengan sampel temuan batu-batu kendan temuan dari situs Dago, yang sekarang menjadi koleksi Museum Geologi Bandung. Dari 2285 artefak batu kendan analisis tersebut berhasil dikelompokkan masing-masingnya ke dalam kelompok bahan baku, kelompok alat, perkakas, dan limbah. Data yang cukup menarik dari hasil analisis yang dilakukan oleh Iis Sumiati tersebut adalah adanya pengkayaan akan identifikasi tipe alat, perkakas dan sub tipe alat yang lebih banyak bila dibandingkan dengan hasil identifikasi baik yang dilakukan oleh Koenigswald (1935), Bandi (1950), maupun oleh Pantjawati. Bentuk-bentuk alat hasil analisis Sumiati, antara lain terdiri dari alat serpih dengan sub tipe alat serpih pakai, kemudian alat serut dengan sub tipe berupa alat serut samping, serut cekung, serut ujung, serut gerigi, dan serut berpunggung tinggi, kemudian lancipan, gurdi dengan sub bertipe dan non tipe, mata panah, pisau, serta limas. Sementara itu dari kelompok perkakas, didapatkan tipe batu pukul, batu inti, dan serpih (Sumiati, 2003:60).

Berkaitan dengan fungsi alat-alat berbahan batu Kendan yang ditemukan di kawasan tepian Danau Bandung Purba yang telah dianalisis oleh Koenigswald, Bandi, Pantjawati, dan Iis Sumiati tersebut, beberapa jenis alat yang sama juga ditemukan di Gua Pawon. Artafak-artefak batu Kendan yang ditemukan di gua tersebut selain berasosiasi dengan fragmen gerabah disamping fragmen tulang binatang dan sisa-sisa moluska pada kedalaman antara 0 hingga 60 cm dari permukaan tanah, juga ditemukan pada kedalaman antara 60 hingga 180 cm dari permukaan tanah dengan asosiasi temuan berupa alat tulang, sisa perhiasan dari gigi ikan dan binatang, fragmen tulang binatang, rangka manusia. Walaupun kegiatan ekskavasi di Gua Pawon belum selesai dilakukan, temuan batu Kendan yang ditemukan telah dapat memperlihatkan dua periode budaya pengguna artefak batu Kendan yaitu era mesolitik dan era neolitik yang ditandai oleh temuan serta berupa fragmen gerabah.

Temuan artefak batu Kendan di Gua Pawon umumnya lebih banyak berukuran kecil dan lebih cenderung pada sisa pembuatan (debris), dengan ditemukannya beberapa artefak batu Kendan yang berasosiasi dengan sisa-sisa makanan berupa fragmen tulang binatang, alat-alat tulang berupa lancipan tunggal dan lancipan ganda berbagai ukuran, sisa perhiasan dari gigi binatang, dapat disimpulkan bahwa alat-alat batu Kendan di Gua Pawon tersebut selain digunakan untuk keperluan untuk pengolahan bahan makanan, juga digunakan sebagai alat dalam membuat dan meruncingkan peralatan yang terbuat dari bahan tulang dan tanduk, serta dalam membuat perhiasan yang terbuat dari gigi hewan vertebrata dan ikan (Hiu).

Berdasarkan hasil analisis 1637 artefak batu kendan (obsidian) hasil ekskavasi di Gua Pawon, kotak S3T3, S3T4, S4T4, dan S4T5 yang dilakukan oleh Anton Ferdianto (2009) , tampak variasi alat yang dihasilkan sedikit lebih kaya bila dibandingkan dengan klasifikasi yang telah di hasilkan oleh peneliti terdahulu, baik yang dilakukan oleh Koenigswald (1935), Bandi (1950), Pantjawati (1988), dan Iis Sumiati (2004), karena di Gua Pawon ditemukan artefak batu kendan yang multi fungsi (multy tools). Disebutkan bahwa alat ini memiliki keunikan tersendiri, yaitu memiliki lebih dari satu fungsi atau karakteristik alat. Alat ini selain digunakan sebagai bilah untuk memotong pada bagian lateralnya, namun pada bagian sisi yang lain berguna sebagai alat penyerut (Ferdianto, 2008: 50). Tidak salah kalau alat-alat batu berbahan Batu Kendan yang ditemukan di Gua Pawon tersebut disimpulkan lebih bervariatif bila dibandingkan dengan temuan dari lokasi-lokasi yang lain di tepian Danau Bandung Purba.

Hasil analisis tentang klasifikasi temuan alat batu Kendan temuan dari sekitar Danau Bandung Purba yang berhasil dianalisis oleh masing-masing ahli tersebut dapat diperbandingkan dari tabel sebagai berikut.

Tabel. Perbandingan klasifikasi dan identifikasi fungsi artefak batu Kendan
Klasifikasi
Koenigswald
(1935)
Bandi
(1951)
Pantjawati (1988)
Sumiati
(2004)
Ferdianto
(2009)
Bahan baku
-
-
-
Bongkahan
Bongkahan
Kelompok Alat dan Variasinya
-
-
Fungsi 1
Kemungkinan variasi: Penampang lintang : segi empat. Sisi dorsal : trapesium dengan sisi terlebar di bagian belakang. Bentuk tajaman: cekung
Serpih Pakai
Serpih Pakai
Serut
1.Serut
2. Serut Cekung
Serut
Fungsi 2
Kemungkinan variasi: Bentuk : Mikrolit
Serut
1. Serut Samping
2. Serut Cekung
3. Serut ujung
4. Serut Gerigi
5. Serut berpung-gung tinggi
Serut
1. Serut Samping
2. Serut Cekung
3. Serut ujung
4. Serut Gerigi
5. Serut berpung-gung tinggi
Mata Panah
Lancipan
1.Mata Panah
2.Penusuk
Penusuk tengah
Penusuk bersisi
Penusuk bersudut
Fungsi 3
Kemungkinan variasi: Sisi dorsal : trapesium dengan sisi terlebar di bagian depan
Lancipan
Lancipan
Fungsi 4
Mata Panah
Mata Panah
Gurdi
Gurdi
Fungsi 5
Gurdi
1. Bertipe
2. Non Tipe
Gurdi
Penyerut
Penyerut
1.Penyerut tebal
2.Penyerut runcing
3.Penyerut runcing dan tebal
Fungsi 6
Kemungkinan variasi: Sisi dorsal : segi tiga sama kaki. Bentuk kerusakan tajaman : a. teratur, besar, dan dalam. b. teratur, besar, dan dangkal
Pisau
Pisau

Pembelah
Pembelah
Fungsi 7
Limas
Multy Tools
Perkakas


-
Batu Pukul
Batu Pukul
Limbah
-
-
Limbah
1.Serpihan
2.Serpih
1.Serpihan
2.Serpih
Sumber Bahan Batu Kendan

Dari mana perolehan bahan batu kendan untuk membuat alat batu oleh manusia prasejarah yang hidup di tepian Danau Bandung Purba, baik yang melangsungkan hidup di dalam gua maupun dalam bentuk hunian terbuka, juga merupakan satu permasalahan yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Dalam hal ini pertanyaan apakah batu-batu tersebut hanya berasal dari daerah Kendan saja, atau ada sumber bahan yang lain.

Berdasarkan hasil kajian terakhir yang dilakukan Tjia, dkk, melalui analisis Spektrometer di Universitas Ilmu Pengetahuan Malaysia, Penang dan electron microprobe di Universitas Malaya, Kuala Lumpur, ternyata peralatan berbahan batu kendan tersebut bukan berasal dari satu lokasi yang sama yakni Gunung Kendan, akan tetapi juga berasal dari sumber bahan yang lain. Hal ini antara lain dibuktikan dari hasil analisis beberapa sampel yang diambil dari beberapa situs yang ada di tepian Danau Bandung Purba seperti Gua Pawon, Bukit Karsamanik, dan Dago yang kemudian diperbandingkan dengan sampel yang diambil dari Gunung Kendan (Nagreg), Kampung Rejeng (Garut). Dari hasil analisis tersebut peroleh adanya kesamaan unsur kimia yang terkandung dalam masing-masing sampel. Kesamaan unusur inilah yang kemudian dijadikan sebagai data yang dapat memberikan gambaran tentang keterkaitan antara artefak dan sumber bahan. Dalam hal ini berbagai peralatan atau artefak batu kendang yang ditemukan di kawasan tepian Danau Bandung Purba tersebut di masa lalu selain berasal dari Kendan juga digunakan batu yang sama yang berasal dari Kampung Rejeng (Garut) (Tjia, dkk: 2007).

Oleh karena hasil analisis ini masih terbatas dari sampel yang berasal dari sumber baha sebenarnya kajian akan sumber bahan ini masih terbuka untuk diperdebatkan karena dari informasi yang berhasil dikumpulkan, di kawasan Jawa Barat masih terdapat lokasi yang lain yang juga mengandung bahan batu kendan (obsidian), seperti daerah Sukabumi. Dalam hal, bila jelajah manusia prasejarah pendukung artefak batu kendan tersebut mampu menjangkau wilayah Garut, besar kemungkinan manusia-manusia prasejarah yang menempati wilayah ini juga mampu menjangkau sumber bahan yang ada di daerah lain yang dapat mereka ekploitasi. Dalam hal ini manusia prasejarah yang hidup di kawasan bagian timur akan mencari bahan ke wilayah Nagrek dan Garut, sementara manusia prasejarah yang menempati kawasan bagian barat tepian Danau Bandung Purba mencari bahan dari daerah lain, yang tidak menutup kemungkinan bahan-bahan tersebut berasal dari daerah Sukabumi karena di daerah tersebut juga terdapat sumber bahan yang sama. Akan tetapi untuk membuktikan hal tersebut, perlu dilakukan analisis spesifik lebih lanjut.

Kelompok Manusia Tertua Pemakai Batu Kendan
Dapat disimpulkan bahwa hampir beberapa dekade lamanya, pengetahuan tentang manusia pendukung budaya batu Kendan yang ditemukan di tepian Danau Bandung Purba tidak dapat terungkap. Melihat data tentang persebaran situs pengandung artefak batu Kendan, keletakannya di tepian Danau Bandung Purba selama ini hanya baru dapat memperkirakan tentang bentuk pemukiman dari kehidupan manusia pendukung budaya batu Kendan. Sebaran situs umumnya menempati daerah terbuka di lereng-lereng perbukitan dengan ketinggian rata-rata sekitar 723 m diatas permukaan laut. Bentuk hunian terbuka ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh R.P Soejono yang manyatakan bahwa kecuali bertempat tinggal di gua-gua, ada juga kelompok manusia yang bertempat tinggal di tepi pantai (Soejono, 1984: 125).

Mungkin yang dimaksud di tepi pantai di sini tidak terbatas pada lokasi-lokasi yang bersisian dengan laut, dalam hal ini juga termasuk daerah-daerah yang dekat dengan lokasi sumber air seperti danau dan sungai. Hidup mereka pada saat itu masih sepenuhnya tergantung kepada alama lingkungannya. Mereka hidup berburu binatang di dalam hutan, menangkap ikan, mencari kerang dan siput, dan mengumpulkan makanan dari alam di sekitarnya, misalnya umbi-umbian seperti keladi. Kecenderungan memilih hidup di gua-gua atau di gua-gua payung pada masa itu diperkirakan dilakukan secar tidak tetap, demikian pula dengan cara hidup di tempat-tempat terbuka di pinggir-pinggir pantai. Tempat-tempat tersebut mereka tempat selama di daerah sekitarnya terdapat sumber-sumber hidup yang mencukupi kebutuhan mereka. Tempat tersebut kemudian akan ditinggalkan dan mereka akan berpindah ke tempat yang baru, apabila ditempat yang pertama tadi tidak memungkinkan karena bahan-bahan makanan sudah makin berkurang (Soejono, 1984:156).

Berdasarkan penafsiran pola kehidupan masyarakat pada tingkat budaya yang demikian, maka sebaran situs pengandung artefak batu Kendan di tepian Danau Bandung Purba dapat mencerminkan tetang dinamika penghidupan yang terjadi pada era tersebut. Kawasan pengandung artefak batu Kendan di tepian Danau Bandung Purba diantaranya ada yang memiliki frekuensi temuan yang cukup padat, ada pula dengan frekuensi temuan yang tidak padat. Hal ini mungkin juga terkait dengan lamanya intensitas penghunian di kawasan tersebut di masa lalu. Data tentang manusia tertua sebagai pendukung budaya batu Kendan di tepian Danau Bandung Purba baru terungkap dari hasil penggalian arkeologis yang dilakukan di Gua Pawon dengan ditemukannya 4 rangka manusia dalam kotak penggalian yang sama dengan temuan artefak batu Kendan. Perkiraan tentang jenis ras manusia manusia tersebut, Bass dalam tulisannya “Human Osteology, A Laboratory and Field Manual” (1989) menyebutkan bahwa bagian kepala (skull) merupakan satu-satunya area dari rangka yang akurat. Perkiraan ras yang berdasarkan amatan bagian kepala atau tengkorak tersebut dihasilkan dari pengamatan tulang muka yang dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu berdasarkan variasi struktur tulang secara morfologis dan anatomis, serta pengukuran anthropomorfik (Bass, 1989:83-85). Dalam amatan morfologis dapat dilihat bentuk muka yang datar (flat face atau orthognathous) dengan pemunduran tulang zygomatik,seperti yang umum dimiliki oleh ras Kaukasoid, prognatisme pada ras Negroid, dan pola gigitan edge to edge pada ras Mongoloid.

Berdasarkan pengamatan terhadap bagian kepala masing-masing individu yang ditemukan di Gua Pawon, menunjukan bentuk tengkorak yang cenderung membulat atau brachycephal. Ciri lain yang mengarah pada ras adalah bagian mulut yang menonjol sedikit, bersama dengan gigi muka dengan pola tautan gigi edge to edge, serta gigi seri sebagian besar berbentuk sekop (shovel sharped incisor) seperti yang umumnya dimiliki oleh manusia dari ras Mongoloid. Ciri lain dari ras ini adalah variasi tinggi badan tidak selebar pada ras Austromelanesid, dan rata-rata lebih kecil. Bentuk tengkorak bundar atau sedang, dengan isi tengkorak rata-rata lebih besar. Dahi lebih membulat dan rongga mata tinggi dan persegi, muka lebar dan datar (brachiocephaly) (dalam arah muka-belakang) dengan hidung yang sedang atau lebar; akar hidung dangkal. Hanya bagian mulut yang menonjol sedikit, bersama dengan gigi muka. Reduksi alat pengunyah relatif berlanjut; tempat pelekatan otot-otot lain mulai kurang nyata. Ciri lain adalah rahang atas berbentuk persegi (square jaws), tulang pipi (cheek bone) menonjol dan lebar, hidung lebar, akar hidung dangkal dan sebagian besar gigi seri berbentuk sekop
(shovel sharped incisor) (Beals dan Hoijer, 1965:209-211; Soejono, 1984:131-132).

Manusia ras mongoloid tersebut diperkirakan telah hidup dan berkembang di kawasan Nusantara sejak sekitar 10.000 tahun yang lalu, di samping manusia dari ras yang lain yaitu ras Australomelanesoid (Snell dan T. Jacob dalam Boedhi Sampurno dan Koeshardjono, 1983:1). Di bagian barat Indonesia, berkembang populasi yang merupakan campuran ras Australomelanesoid-Mongoloid dengan unsur Mongoloid yang menonjol, sedangkan di bagian timur Indonesia yang menonjol adalah unsur Australomelanesoid.

Kronologi Budaya
Pentarikhan temuan alat-alat obsidian yang ditemukan di tepian Danau Bandung Purba tersebut, sebelumnya pernah menjadi perdebatan para ahli. Dalam karangan yang berbeda, baik von Koenigswald maupun van der Hoop sama-sama berpendapat bahwa alat serpih obsidian itu lebih cenderung digolongkan sebagai alat mikrolit yang berasal dari masa bercocok tanam. Hal tersebut mereka dasarkan atas adanya temuan-serta berupa pecahan gerabah, fragmen beliung persegi, dan cetakan-cetakan logam (Callenfels, 1934, Koeningswald, 1935, Hoop, 1940, Soejono, 1984).

Pendapat lain dikemukakan oleh Geldern (Soejono, 1984), yang lebih cenderung menggolongkan alat-alat obsidian tersebut ke masa yang lebih tua dari masa bercocok tanam. Hal senada juga dikemukakan oleh H.G Bandi dan W. Rothpletz. Mereka lebih cenderung menggolongkan alat obsidian itu sebagai alat yang berasal dari masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Bahkan Rothpletz menduga bahwa Dago Pakar merupakan salah satu situs perbengkelan yang ada di sekitar dataran tinggi Bandung karena begitu banyaknya temuan yang ditemukan.

Dari hasil penelitian di Gua Pawon yang dilakukan melalui serangkaian kegiatan ekskavasi yang dilakukan pada tahun 2003 sampai 2004. Dari hasil penelitian di Gua Pawon, dapat diperoleh data yang dapat digunakan dalam penafsiran tentang pentarikhan artefak obsidian selama ini, karena dari ekskavasi yang dilakukan di gua tersebut berhasil ditemukan satu kompleks aktivitas budaya prasejarah yang memiliki konteks kuat dengan artefak obsidian. Artefak-artefak obsidian yang ditemukan di gua tersebut ditemukan di beberapa lapisan budaya, terdiri dari berbagai bentuk, jenis dan ukuran, dengan konteks berupa rangka manusia, alat-alat tulang, arang, perkutor, serta alat-alat serpih lainnya baik yang terbuat dari batu rijang, dan batu hijau (Yondri, 2003, 2004).

Analisis pertanggalan yang dilakukan melalui sampel tulang dan arang yang dianalisis melalui pertanggalan C-14 (carbon dating), diperoleh angka pertanggalan antara 5660+ 170 BP sampai 9525 + 200 BP (Yondri, 2005). Pada era yang demikian diperkirakan manusia yang tadinya hidup di alam terbuka kemudian mulai menetap di dalam gua/ceruk yang dilakukan dalam waktu sementara atau dalam kurun waktu yang cukup lama atau yang umum disebut dengan Masa budaya yang demikian menurut Soejono (1984) disebut juga dengan istilah mesolitik dan merupakan bagian dari lintasan budaya prasejarah di Indonesia secara berurut dari periode yang paling tua ke periode yang lebih muda terdiri atas: 1) masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, 2) masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, 3) masa bercocok-tanam, dan 4) masa perundagian. Sementara oleh Bellwood mesolitik disebutnya dengan istilah prekeramik (Bellwood, 1985), sedangkan oleh Simanjuntak disebutnya dengan istilah preneolitik (Simanjuntak, 2001). Bila angka pertanggalan tersebut dikorelasikan dengan keberlangsungan penggunaan Batu Kendan oleh manusia yang pernah hidup di Gua Pawon tersebut, dapat disimpulkan bahwa batu-batu Kendan tersebut telah dipergunakan sejak ribuan tahun yang lalu atau sejak masa prasejarah, jauh sebelum adanya Kerajaan Kendan yang diratui oleh Resi Guru Manikmaya.

Penutup
Alat-alat batu yang terbuat dari batu Kendan yang telah ditemukan selama ini di kawasan tepian Danau Bandung Purba dengan wilayah persebaran yang cukup padat pada ketinggian 723 m diatas permukaan laut, sampai sekarang masih merupakan satu topik yang sangat menarik untuk dibahas dalam kajian arkeologi. Seiring dengan ditemukannya artefak batu Kendan di Gua Pawon sebagai bagian dari tepian Danau Bandung Purba di masa prasejarah, dimana artefak-artefak batu Kendan yang ditemukan di antaranya ada yang berasosiasi dengan pecahan gerabah sebagai salah satu penanda dari budaya neolitik, dan berasosiasi dengan temuan alat tulang, serpih dari bahan batuan lainnya sabagai bagian adri ciri budaya mesolitik, maka dapat disimpulkan bahwa artefak batu Kendan yang pernah berfungsi sebagai alat batu yang paling dominan dan sebagai alat utama bagi masyarakat prasejarah di tepian Danau Bandung Purba di masa lalu. Dari konteks temuannya, tampaknya alat batu berbahan Batu Kendan tersebut tidak hanya dipakai dalam periode budaya neolitik, akan tepai jauh sebelumnya yaitu pada era mesolitik.

Berkaitan dengan lokasi temuan artefak batu Kendan yang ditemukan di dua lokasi yang berbeda yaitu di dalam gua dan di lokasi terbuka, juga dapat ditarik satu gambaran tentang pola kehidupan masyarakat pendukung budaya batu Kendan tersebut, yaitu selain tinggal dalam bentuk hunian terbuka di berbagai tempat yang cukup strategis untuk melangsungkan kehidupan yang dekat dengan sumber air, berada di lahan yang subur seperti kawasan Dago Pakar, juga hidup dalam bentuk hunian tertutup dengan memanfaatkan gua sebagai tempat hunian, seperti yang ditemukan di Gua Pawon.

Munculnya penamaan Batu Kendan di masa yang kemudian, mungkin disebabkan karena masyarakat melihat kesamaan antara serpih dan bongkahan batu obsidian yang banyak ditemukan di lahan garapan masyarakat yang berada di kawasan tepian Danau Bandung Purba sama dengan batu yang terdapat di kawasan Kendan (Nagreg). Sehinga bila ada yang menemukan batu yang demikian, maka akan langsung menyebutnya sebagai Batu Kendan.

Berkaitan dengan Kerajaan Kendan dan alat-alat batu (serpih) yang terbuat dari Batu Kendan yang sama-sama berada di sekitar tepian Danau Bandung Purba, perlu penulis sampaikan bahwa keduanya berada pada masa budaya yang berbeda. Kerajaan Kendan berada pada masa klasik Sunda, sementara keberadaan alat-alat serpih yang terbuat dari bahan Batu Kendan ada dalam lintas budaya yang ribuan tahun sebelumnya. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah “kenapa justru Kendan yang dipilih oleh Manikmaya untuk dijadikan sebagai lokasi keratuan (pusat pemerintahan), apakah daerah itu sudah ramai sejak prasejarah, dan terus berlanjut hingga kedatangan Manikmaya?. Tentunya hal ini perlu diteliti lebih lanjut.

Daftar Pustaka
Anggraeni, Nies dkk. 1986. “Survei di Daerah Cililin, Bandung”, dalam BPA No. 36 : Laporan Penelitian Arkeologi dan Geologi di Jawa Barat. Jakarta : Depdikbud
Bandi, H.G.1951. “Die Obsidian industrie der umgebung von Bandung in west Java”’ Sudseestudien, Bassel.
Bass, William M. 1989. Human Osteology, A Laboratory and Field Manual. Michael K. Trimble (ed.) Columbia: Missouri Archaeological Society
Callenfels, P.V van Stein. 1934. “Korte Gids voor de Prehistorische Verzameling”, Jaarboek KBG: 93.
Chia, Stephen, Lufti Yondri, dan Truman Simantunjak. 2008. “L’origine des artefacts d’obsidienne de Gua Pawon, Dogo et Bukit Karsamanik á Bandung, Indonésie”. Science Direct L’antropologie 112. Hal 448-456. Paris
Ferdianto, Anton. 2008. “Artefak Obsidian Dari Gua Pawon, Kabupaten Bandung, Jawa Barat”. Skripsi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Heekeren, HR. Van. 1972. The Stone Age of Indonesia. Rev. 2nd. The Hague-Martinus Nijhoff
Koenigswald, G.H.R von. 1935. “ Das Neolithicum der Umgebung von Bandung”, TBG, 75 (3): 394-419.
Laili, Nurul. 2006. “Jejak Pendukung Budaya Obsidian di Sekitar Danau Bandung “. Dalam Edi Sedyawati (ed.) Arkeologi Dari Lapangan ke Permasalahan: 18-29. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Pantjawati. 1988. Alat-Alat Obsidian: Media Adaptasi Manusia Terhadap Lingkungan di Sekitar Danau Bandung. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rotpletz, W. 1952. Alte siedlungsplatze beim Bandung (Jav
a) und die Entdeckung. Bronzezeitlicher Gussformen: Sudsee Studien, Basel 1951: 125
Simanjuntak, Harry Truman. 2001 “Prasejarah Indonesia Dalam Konteks Asia Tenggara di Sekitar Holosen Awal Data Baru dalam Penelitian Dasa Warsa Terakhir”. Dalam Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi (peny.) Arung SamudraPersembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian: 661-682. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Soejono, R.P. 1984. “Jaman Prasejarah di Indonesia”, Sejarah Nasional Indonesia I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : PN. Balai Pustaka.
Soetoto. 1986. “Geologi Sebagian Daerah Aliran Kali Grindulu, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur Berdasarkan Interpretasi Citra Landsat dan Foto Udara”, TesisI. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Universitas Indonesia
Sudjatmiko. 2004. “Sumber Alat-Alat Batu Prasejarah dari Situa Gua Pawon”. Dalam Budi Brahmantyo dan T. Bachtiar (peny.) Amanat Gua Pawon: 97-104. Bandung: Kelompok Riset Cekungan Bandung.
Sumiati, Iis, 2003. “Artefak Obsidian Dari Situs Dago, Bandung, Jawa Barat”. Skripsi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Surjana, Adhi, 1998. “Strategi Adaptasi Masa Prasejarah Di Kawasan Danau Bandung Purba: Tinjauan Berdasarkan Artefak”. Skripsi. Fakultas Sastra. Universitas Gajahmada.
Yondri, Lutfi. 2003 Laporan Kegiatan Ekskavasi di Situs Gua Pawon, Desa Gunung Masigit Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Bandung : Balai Arkeologi Bandung (tidak diterbitkan).
2004a Laporan Kegiatan Ekskavasi di Situs Gua Pawon, Desa Gunung Masigit Kabupaten Bandung – Jawa Barat. Bandung : Kerja sama Balai Arkeologi Bandung dan Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional - Jawa Barat (Tidak diterbitkan).
2004b Laporan Hasil Penelitian Prasejarah Gua-Gua Prasejarah Kawasan Bukit Gamping Lembar Cianjur, di Kecamatan Ciranjang dan Sekitarnya, Provinsi Jawa Barat. Bandung : Balai Arkeologi Bandung (Tidak diterbitkan)
2005 “Kubur Prasejarah Temuan dari Gua Pawon, Desa Gunung Masigit, KAbupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat: Sumbangan Data BAgi Kehidupan Prasejarah di Sekitar Tepian Danau Bandung Purba”. Tesis. Program Pascasarjana Arkeologi. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Penulis Merupakan Peneliti di Balai Arkeologi Bandung
lutfi_yondri@yahoo.co.id

Sumber :
http://www.wacananusantara.org/content/view/category/99/id/653

Tidak ada komentar:

Posting Komentar