Kemungkinan besar adalah bahwa aksara Bali merupakan turunan dari aksara Jawa. Penggunaan aksara Bali ini sejalan dengan perkembangan sastra-sastra Hindu klasik seperti Ramayana dan Mahabharata yang telah berkembang dan dituliskan pada daun tal terlebih dahulu di Jawa. Syair agama dan sejarah hasil para pujangga Jawa pada kurun waktu abad ke-10 hingga ke-16, dibawa ke Bali untuk kemudian dikembangkan sesuai selera masyarakat Bali. Mulai abad ke-16, orang Bali menciptakan karya sastra mereka sendiri, yang khas. Sastra-sastra Jawa Kuno disalin dengan bahasa Jawa.
Ada perlakuan khusus terhadap bahasa Jawa Kuno ini. Karya-karya tulis yang berbahasa dan beraksara ini biasanya boleh dibaca oleh orang-orang tertentu, tidak sembarangan, karena banyak terdapat kata-kata rumit yang berasal dari Sansekerta. Isinya bias berupa agama, doa-doa, tatacara upacara ritual, silsilah, undang-undang, peraturan desa, perbintangan, penanggalan, ilmu gaib, hingga adu ayam dan tatacara memelihara kuda dan merpati. Sementara, teks yang dianggap lebih “rendah” ditulis dalam bahasa Jawa yang sederhana dan kadang dicampur dengan bahasa Bali. Dengan itu, pembacaannya pun agak longgar dan bersifat umum.
Sistem Aksara Bali
Aksara Bali banyak sekali kemiripan dengan aksara Jawa yang disebut aksara Hanacaraka. Setiap suku kata disebut dengan kata Sansekertanya, yaitu aksara-istilah aksara ini kemudian berarti huruf. Sebagai aksara silabis, aksara Bali memiliki aksara konsonan yang disebut Wianjana. Aksara Wianjana ini nama dan bentuknya mirip dengan ha-na-ca-ra-ka. Aksara Bali ditulis dari kiri ke kanan, ditorehkan pada kedua sisi daun tal.
Berikut tabel aksara Wianjana dan cara penulisannya:
Ada pun penanda vokal atau diakritik pada sistem aksara Bali disebut panggangge, di mana bunyi yang dihasilkan adalah u, e, I, o, dan e. Berikut tabel panggangge:
Seperti halnya aksara Jawa dan Sunda, sistem aksara Bali pun mengenal penulisan angka tersendiri. Berikut tabel sistem numerik Bali:
Naskah Lontar di Bali
Hingga kini di Bali pembacaan naskah lontar ini masih berlangsung. Sang pedanda brahmana membawakan bagian dari kitab Mahabharata, yakni Adiparwa, atau teks Jawa Kuno berjudul Putrupasaji, sebagai bagian dari proses pembersihan jiwa. Dan teks yang dibacakan harus dari lontar, karena membacakan teks dari kertas dianggap melanggar kekeramatan.
Berikut salah satu naskah lontar yang memakai aksara Bali
Bagi orang Bali, naskah memiliki dewi pelindung, bernama Dewi Saraswati. Ia adalah dewi kebijaksanaan, pembelajaran, dan music dari India, istri Dewa Brahma. Di hari peringatan namanya—pada Sabtu Manis, minggu Watugunung, sistem penanggalan Wuku—semua naskah dikeluarkan dan dipamerkan di bangsal. Naskah-naskah ini dimandikan dengan air suci oleh seorang pedanda dalam upacara Puja Saraswati itu. Orang tak boleh membacanya mulai Jumat malam hingga Sabtu saat air suci dipercikan, namun aturan ini kini diabaikan. Sebagai gantinya, para mahasiswa membicarakan kesusastraan suci di depan halaman pura/candi atau membacakan puisi modern. Kegiatan ini berlangsung sepanjang malam, berakhir dengan upacara mandi keagamaan di laut dini hari.
Kepustakaan
McGlynn, John H. dkk. 2002. Indonesian Heritage 10 (Bahasa dan Sastra). Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/2/636/aksara-bali
Ada perlakuan khusus terhadap bahasa Jawa Kuno ini. Karya-karya tulis yang berbahasa dan beraksara ini biasanya boleh dibaca oleh orang-orang tertentu, tidak sembarangan, karena banyak terdapat kata-kata rumit yang berasal dari Sansekerta. Isinya bias berupa agama, doa-doa, tatacara upacara ritual, silsilah, undang-undang, peraturan desa, perbintangan, penanggalan, ilmu gaib, hingga adu ayam dan tatacara memelihara kuda dan merpati. Sementara, teks yang dianggap lebih “rendah” ditulis dalam bahasa Jawa yang sederhana dan kadang dicampur dengan bahasa Bali. Dengan itu, pembacaannya pun agak longgar dan bersifat umum.
Sistem Aksara Bali
Aksara Bali banyak sekali kemiripan dengan aksara Jawa yang disebut aksara Hanacaraka. Setiap suku kata disebut dengan kata Sansekertanya, yaitu aksara-istilah aksara ini kemudian berarti huruf. Sebagai aksara silabis, aksara Bali memiliki aksara konsonan yang disebut Wianjana. Aksara Wianjana ini nama dan bentuknya mirip dengan ha-na-ca-ra-ka. Aksara Bali ditulis dari kiri ke kanan, ditorehkan pada kedua sisi daun tal.
Berikut tabel aksara Wianjana dan cara penulisannya:
Ada pun penanda vokal atau diakritik pada sistem aksara Bali disebut panggangge, di mana bunyi yang dihasilkan adalah u, e, I, o, dan e. Berikut tabel panggangge:
Seperti halnya aksara Jawa dan Sunda, sistem aksara Bali pun mengenal penulisan angka tersendiri. Berikut tabel sistem numerik Bali:
Naskah Lontar di Bali
Hingga kini di Bali pembacaan naskah lontar ini masih berlangsung. Sang pedanda brahmana membawakan bagian dari kitab Mahabharata, yakni Adiparwa, atau teks Jawa Kuno berjudul Putrupasaji, sebagai bagian dari proses pembersihan jiwa. Dan teks yang dibacakan harus dari lontar, karena membacakan teks dari kertas dianggap melanggar kekeramatan.
Berikut salah satu naskah lontar yang memakai aksara Bali
Bagi orang Bali, naskah memiliki dewi pelindung, bernama Dewi Saraswati. Ia adalah dewi kebijaksanaan, pembelajaran, dan music dari India, istri Dewa Brahma. Di hari peringatan namanya—pada Sabtu Manis, minggu Watugunung, sistem penanggalan Wuku—semua naskah dikeluarkan dan dipamerkan di bangsal. Naskah-naskah ini dimandikan dengan air suci oleh seorang pedanda dalam upacara Puja Saraswati itu. Orang tak boleh membacanya mulai Jumat malam hingga Sabtu saat air suci dipercikan, namun aturan ini kini diabaikan. Sebagai gantinya, para mahasiswa membicarakan kesusastraan suci di depan halaman pura/candi atau membacakan puisi modern. Kegiatan ini berlangsung sepanjang malam, berakhir dengan upacara mandi keagamaan di laut dini hari.
Kepustakaan
McGlynn, John H. dkk. 2002. Indonesian Heritage 10 (Bahasa dan Sastra). Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/2/636/aksara-bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar