Oleh : Wisnu Budiarso
Abstract
Traditional architecture in Bali originates from two sources. One is the great Hindu tradition brought to Bali from India via Java. The second is an indigenous architecture pre-dating the Hindu epic and in many ways reminiscent of Polynesian building. There is a developed Balinese science of geomancy written in the ancient palm leaf manuscripts. This is known as Kosala-kosali. The science of building is held to be a sacred knowledge and traditional Balinese architects who might also be rice farmers were known by the distinguished title of undagi. Using such natural materials as thatch roofing, bamboo poles, woven bamboo, coconut wood, mud and stone they are organic statements in complete harmony with the environment. Many of these are temporary such as the offering houses set up before harvest in the rice fields. Others use trees that will actually keep on growing as the bamboo rots and returns to the mother earth.
Pendahuluan
Manusia , Arsitektur, dan Alam Semesta
Manusia Bali dan alam semesta adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, begitu pula dengan arsitekturnya. Manusia Bali tradisional tinggal di sebuah perkampungan yang ditata dengan pola-pola tertentu mengikuti kaidah-kaidah tertentu yang mengacu pada alam semesta, yaitu kaidah arah angin kaja-kelod, kauh-kangin, dan kaidah Sumbu Utama Gunung Agung yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan leluhur suci mereka.
Makrokosmos dan Mikrokosmos
Masyarakat Bali sangat percaya bahwa dirinya hidup di dunia membawa misi hidup untuk membuat kebaikan di muka bumi, dan bila kebaikannya diterima oleh Sang Hyang Widi maka dirinya menyatu dengan alam semesta dan meninggalkan dunia yang fana untuk moksa menuju nirwana, alam semesta dan bersatu dengan dewanya untuk selamanya, itulah yang disebut dharma. Namun bila manusia Bali membuat suatu kesalahan maka ketika mati dia akan melakukan reinkarnasi untuk membersihkan dosanya kembali sampai kemudian diterima oleh Tuhannya. Inilah konsep kosmologi Bali yang juga dianut dalam arsitektur Bali yang mendasarkan arsitektur pada harmoni dan keselarasan kehidupan.
Kosmologi Bali merupakan suatu hierarki yang membagi hubungan manusia Bali dengan alam semesta dalam urutan seperti sebagai berikut:
1. Bhur, alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.
2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme.
3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.
Nawa Sanga
Nawa Sanga adalah konsep 9 mata angin yang menjadi pedoman bagi kehidupan keseharian masyarakat Bali. Seperti halnya dengan mata angin arah utara-selatan yang disebut kaja-kelod, dan timur-barat yang disebut kangin-kauh. Hal ini sangat penting karena orientasi orang Bali terhadap Gunung Agung dan arah terbit matahari menjadi pedoman bagi perletakan pola perumahan pada umumnya. Utara melambangkan Dewa Wisnu, selatan Dewa Brahma, timur Dewa Iswara, dan barat Dewa Mahadewa.
Metodologi Arsitektur Bali
Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari keberadaan asta kosala-kosali yang memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat pembuatan ibadah atau pura. Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan sebuah rumah harus mengikuti aturan-aturan anatomi tubuh sang empunya pemilik rumah dengan dibantu sang undagi sebagai pedande atau orang suci yang memunyai kewenangan membantu membangun rumah atau pura.
Dalam asta kosala-kosali terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah yang akan menempati rumah tersebut. Seperti Musti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas. Hasta untuk ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka. Depa untuk ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan.
Arsitektur dan Status Sosial
Arsitektur tradisonal Bali tidak dapat dilepaskan dari kondisi status sosial asyarakatnya. Hal ini terjadi karena masyarakat Bali sangat erat hubungan kekerabatannya terutama pada masyarakat Bali tradisional.
Masyarakat Bali sangat menghormati model hierarki kasta yang merupakan sikap hidup mereka sesuai dengan agama yang mereka anut. Dan hal ini berpengaruh pada pola ruang dan arsitektur tradisional Bali. Pembagian kasta sebagai tingkatan hierarki dalam status sosial masyarakat Bali dimulai dari yang paling bawah yaitu Sudra, sebagai masyarakat umum biasa yang kehidupan sehari-harinya bekerja sebagai petani, abdi, pembantu dan pekerjaan-pekerjaan lainnya dalam kemasyarakatan. Masyarakat sudra umumnya hidup sedehana karena mereka tidak memunyai pengetahuan yang cukup dalam ilmu pengetahuan, ilmu dagang, dan ilmu pemerintahan.
Kemudian Weisya yaitu orang-orang yang berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha. Masyarakat kelas ini cukup mapan karena usahanya dan pengetahuannya tentang perdagangan dan ilmu hitung, sehingga kehidupannya tercukupi.
Satria adalah strata yang cukup terhormat dengan profesi sebagai prajurit kerajaan atau pegawai pemerintahan. Mereka cukup berpendidikan karenanya mereka memunyai cukup ilmu keprajuritan atau pemerintahan, sehingga mereka juga termasuk kaum berpendidikan cukup, atau setidaknya dapat mempelajari tata kenegaraan. Kehidupan kaum satria cukup mapan karena posisinya dalam masyarakat yang cukup terhormat.
Kasta yang paling tinggi adalah Brahmana, sebuah penghormatan paling tinggi masyarakat Bali bagi seorang pemimpin agama atau orang yang dianggap mumpuni dalam agama, atau juga yang disebut Pedande.
Orang suci yang telah mencapai pencerahan Sang Hyang Widhi sehingga titahnya merupakan wahyu yang dibawa dari Mahadewa. Sistem hierarki ini bahkan tertranformasi dalam sistem pola ruang pada bangunan-bangunan rumah, umum mau pun pura. Seperti istilah jaba untuk bagian paling luar bangunan, kebudian jabajero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah. Dan kebudian jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal.
Teknik Konstruksi dan Material
Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional Bali mempertimbangkan konsep yang dinamakan tri angga, yaitu sebuah konsep hierarki dari mulai nista, madya, dan utama.
Nista menggambarkan suatu hierarki paling bawah suatu tingkatan, yang biasanya diwujudkan dengan pondasi bangunan atau bagian bawah sebuah bangunan sebagai penyangga bangunan di atasnya, atau dalam tiang kolom. Materialnya dapat terbuat dari batu bata atau batu gunung. Batu bata tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibuat pada permukaan batu bata atau batu gunung dibuat semacam penghalus sebagai elemen leveling yang rata. Atau plesteran akhir nista juga digambarkan sebagai alam bawah atau alam setan atau nafsu.
Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela, dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia.
Utama adalah simbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.
Sistem konstruksi yang lain adalah sistem kelipatan dari tiang penyangga atau kolom terutama bangunan rumah tinggal atau bangunan umum. Bale sakepat adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah empat buah, dengan konstruksi tiang kolom yang disatukan dalam satu puncak atap. Jadi tidak terdapat kuda-kuda. Bale sakenam adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah enam buah dalam deretan 2 x 3 kolom.
Bale tiang sanga adalah sebuah bale (balai: red.) dengan tiang penyangga berjumlah sembilan dan biasanya dalam formasi 3 x 3. Bale sakarolas atau bale gede adalah bale dengan tiang penyangga berjumlah dua belas dan biasanya dengan formasi 3 x 4. Sedangkan wantilan yang jumlah kolomnya berjajar dalam formasi 2 x 8 atau 2 x 12 sehingga bangunan memanjang mengikuti deretan kolomnya.
Hierarki Pola Ruang Rumah Tinggal
Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu Gunung Agung.
Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dengan tempat pemujaan keluarga. Untuk memahami hierarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini, haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara, selatan, timur, dan barat.
Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke Gunung Agung adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di Bali disebut pamerajan. Untuk mengetahui pola ruang rumah tradisional Bali maka sebaiknya kita mengenali bagian-bagian ruang pada rumah tinggal tradisional Bali.
1. Angkul-angkul, yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya terletak di kauh kelod.
2. Aling-aling, adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus ke dalam melainkan menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Aling-aling terletak di kauh kelod.
3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar.
4. Pamerajan, adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga memunyai pamerajan yang letaknya di kaja kangin pada sembilan petak pola ruang.
5. Umah meten, yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat yaitu di kaja.
6. Bale tiang, sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu yang diletakkan di lokasi kauh.
7. Bale sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih junior. Bale sakepat biasanya terletak di kelod.
8. Bale bangin, biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya. Bale dangin terletak di lokasi kangin.
9. Paon, yaitu tempat memasak bagi keluarga, posisinya berada pada kangin kelod.
10. Lumbung, sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi, dan hasil kebun lainnya.
Kesimpulan
Arsitektur tradisional Bali merupakan produk tatanan budaya dan tradisi masyarakat Bali yang sudah ada diyakini sejak kepindahan masyarakat Hindu Majapahit akibat desakan budaya Islam Kerajaan Demak. Pengaruh agama hindu yang menghormati semesta alam dan lingkungan membawa tradisi dan penghormatan pada arsitektur tradisional di mana material alam merupakan “zat hidup” yang harus diperlakukan dengan baik dan penuh penghormatan. Upacara untuk mengawali pemakaian material untuk membangun dan budaya keseimbangan antara arsitektur dengan alam sekitarnya merupakan tradisi kearifan yang akhirnya membawa arsitektur tradisional Bali bertahan hingga ratusan tahun, dan bersinergi dengan alam lingkungannya sehingga jarang didengar adanya bencana alam di Bali yang berhubungan dengan kesalahan tata ruang dan penataan arsitektur seperti yang sering kita jumpai di kota-kota besar mau pun di pedesaan di daerah lainnya di Indonesia, yang terjadi karena pembangunan yang memaksa daya dukung lahan dan alam lingkungan. Semoga kita dapat belajar dari kearifan tata laku dan budaya masyarakat Bali dalam membangun dan menata arsitektur dan lingkungannya.
Kepustakaan
Budihardjo, Eko. 1986. Architecture Conservation in Bali. Yogyakarta:Gadjah Mada University.
Covvarubbias, Miguel. 1937. The Island of Bali. London: Oxford University Press.
Eisemen, Fred. 1999. Bali Skala and Niskala. Hongkong: Periplus.
Sweellengrebel, J.L.1947. Een Vorstenwijding of Bali. Leiden.
http://jurnal.bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/06/skets%20wisnu%20mei%202007.pdf
Penulis adalah akademisi Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Budi Luhur
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/2/368/arsitektur-tradisional-bali
Abstract
Traditional architecture in Bali originates from two sources. One is the great Hindu tradition brought to Bali from India via Java. The second is an indigenous architecture pre-dating the Hindu epic and in many ways reminiscent of Polynesian building. There is a developed Balinese science of geomancy written in the ancient palm leaf manuscripts. This is known as Kosala-kosali. The science of building is held to be a sacred knowledge and traditional Balinese architects who might also be rice farmers were known by the distinguished title of undagi. Using such natural materials as thatch roofing, bamboo poles, woven bamboo, coconut wood, mud and stone they are organic statements in complete harmony with the environment. Many of these are temporary such as the offering houses set up before harvest in the rice fields. Others use trees that will actually keep on growing as the bamboo rots and returns to the mother earth.
Pendahuluan
Manusia , Arsitektur, dan Alam Semesta
Manusia Bali dan alam semesta adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, begitu pula dengan arsitekturnya. Manusia Bali tradisional tinggal di sebuah perkampungan yang ditata dengan pola-pola tertentu mengikuti kaidah-kaidah tertentu yang mengacu pada alam semesta, yaitu kaidah arah angin kaja-kelod, kauh-kangin, dan kaidah Sumbu Utama Gunung Agung yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan leluhur suci mereka.
Makrokosmos dan Mikrokosmos
Masyarakat Bali sangat percaya bahwa dirinya hidup di dunia membawa misi hidup untuk membuat kebaikan di muka bumi, dan bila kebaikannya diterima oleh Sang Hyang Widi maka dirinya menyatu dengan alam semesta dan meninggalkan dunia yang fana untuk moksa menuju nirwana, alam semesta dan bersatu dengan dewanya untuk selamanya, itulah yang disebut dharma. Namun bila manusia Bali membuat suatu kesalahan maka ketika mati dia akan melakukan reinkarnasi untuk membersihkan dosanya kembali sampai kemudian diterima oleh Tuhannya. Inilah konsep kosmologi Bali yang juga dianut dalam arsitektur Bali yang mendasarkan arsitektur pada harmoni dan keselarasan kehidupan.
Kosmologi Bali merupakan suatu hierarki yang membagi hubungan manusia Bali dengan alam semesta dalam urutan seperti sebagai berikut:
1. Bhur, alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.
2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme.
3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.
Nawa Sanga
Nawa Sanga adalah konsep 9 mata angin yang menjadi pedoman bagi kehidupan keseharian masyarakat Bali. Seperti halnya dengan mata angin arah utara-selatan yang disebut kaja-kelod, dan timur-barat yang disebut kangin-kauh. Hal ini sangat penting karena orientasi orang Bali terhadap Gunung Agung dan arah terbit matahari menjadi pedoman bagi perletakan pola perumahan pada umumnya. Utara melambangkan Dewa Wisnu, selatan Dewa Brahma, timur Dewa Iswara, dan barat Dewa Mahadewa.
Metodologi Arsitektur Bali
Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari keberadaan asta kosala-kosali yang memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat pembuatan ibadah atau pura. Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan sebuah rumah harus mengikuti aturan-aturan anatomi tubuh sang empunya pemilik rumah dengan dibantu sang undagi sebagai pedande atau orang suci yang memunyai kewenangan membantu membangun rumah atau pura.
Dalam asta kosala-kosali terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah yang akan menempati rumah tersebut. Seperti Musti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas. Hasta untuk ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka. Depa untuk ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan.
Arsitektur dan Status Sosial
Arsitektur tradisonal Bali tidak dapat dilepaskan dari kondisi status sosial asyarakatnya. Hal ini terjadi karena masyarakat Bali sangat erat hubungan kekerabatannya terutama pada masyarakat Bali tradisional.
Masyarakat Bali sangat menghormati model hierarki kasta yang merupakan sikap hidup mereka sesuai dengan agama yang mereka anut. Dan hal ini berpengaruh pada pola ruang dan arsitektur tradisional Bali. Pembagian kasta sebagai tingkatan hierarki dalam status sosial masyarakat Bali dimulai dari yang paling bawah yaitu Sudra, sebagai masyarakat umum biasa yang kehidupan sehari-harinya bekerja sebagai petani, abdi, pembantu dan pekerjaan-pekerjaan lainnya dalam kemasyarakatan. Masyarakat sudra umumnya hidup sedehana karena mereka tidak memunyai pengetahuan yang cukup dalam ilmu pengetahuan, ilmu dagang, dan ilmu pemerintahan.
Kemudian Weisya yaitu orang-orang yang berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha. Masyarakat kelas ini cukup mapan karena usahanya dan pengetahuannya tentang perdagangan dan ilmu hitung, sehingga kehidupannya tercukupi.
Satria adalah strata yang cukup terhormat dengan profesi sebagai prajurit kerajaan atau pegawai pemerintahan. Mereka cukup berpendidikan karenanya mereka memunyai cukup ilmu keprajuritan atau pemerintahan, sehingga mereka juga termasuk kaum berpendidikan cukup, atau setidaknya dapat mempelajari tata kenegaraan. Kehidupan kaum satria cukup mapan karena posisinya dalam masyarakat yang cukup terhormat.
Kasta yang paling tinggi adalah Brahmana, sebuah penghormatan paling tinggi masyarakat Bali bagi seorang pemimpin agama atau orang yang dianggap mumpuni dalam agama, atau juga yang disebut Pedande.
Orang suci yang telah mencapai pencerahan Sang Hyang Widhi sehingga titahnya merupakan wahyu yang dibawa dari Mahadewa. Sistem hierarki ini bahkan tertranformasi dalam sistem pola ruang pada bangunan-bangunan rumah, umum mau pun pura. Seperti istilah jaba untuk bagian paling luar bangunan, kebudian jabajero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah. Dan kebudian jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal.
Teknik Konstruksi dan Material
Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional Bali mempertimbangkan konsep yang dinamakan tri angga, yaitu sebuah konsep hierarki dari mulai nista, madya, dan utama.
Nista menggambarkan suatu hierarki paling bawah suatu tingkatan, yang biasanya diwujudkan dengan pondasi bangunan atau bagian bawah sebuah bangunan sebagai penyangga bangunan di atasnya, atau dalam tiang kolom. Materialnya dapat terbuat dari batu bata atau batu gunung. Batu bata tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibuat pada permukaan batu bata atau batu gunung dibuat semacam penghalus sebagai elemen leveling yang rata. Atau plesteran akhir nista juga digambarkan sebagai alam bawah atau alam setan atau nafsu.
Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela, dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia.
Utama adalah simbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.
Sistem konstruksi yang lain adalah sistem kelipatan dari tiang penyangga atau kolom terutama bangunan rumah tinggal atau bangunan umum. Bale sakepat adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah empat buah, dengan konstruksi tiang kolom yang disatukan dalam satu puncak atap. Jadi tidak terdapat kuda-kuda. Bale sakenam adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah enam buah dalam deretan 2 x 3 kolom.
Bale tiang sanga adalah sebuah bale (balai: red.) dengan tiang penyangga berjumlah sembilan dan biasanya dalam formasi 3 x 3. Bale sakarolas atau bale gede adalah bale dengan tiang penyangga berjumlah dua belas dan biasanya dengan formasi 3 x 4. Sedangkan wantilan yang jumlah kolomnya berjajar dalam formasi 2 x 8 atau 2 x 12 sehingga bangunan memanjang mengikuti deretan kolomnya.
Hierarki Pola Ruang Rumah Tinggal
Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu Gunung Agung.
Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dengan tempat pemujaan keluarga. Untuk memahami hierarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini, haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara, selatan, timur, dan barat.
Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke Gunung Agung adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di Bali disebut pamerajan. Untuk mengetahui pola ruang rumah tradisional Bali maka sebaiknya kita mengenali bagian-bagian ruang pada rumah tinggal tradisional Bali.
1. Angkul-angkul, yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya terletak di kauh kelod.
2. Aling-aling, adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus ke dalam melainkan menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Aling-aling terletak di kauh kelod.
3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar.
4. Pamerajan, adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga memunyai pamerajan yang letaknya di kaja kangin pada sembilan petak pola ruang.
5. Umah meten, yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat yaitu di kaja.
6. Bale tiang, sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu yang diletakkan di lokasi kauh.
7. Bale sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih junior. Bale sakepat biasanya terletak di kelod.
8. Bale bangin, biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya. Bale dangin terletak di lokasi kangin.
9. Paon, yaitu tempat memasak bagi keluarga, posisinya berada pada kangin kelod.
10. Lumbung, sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi, dan hasil kebun lainnya.
Kesimpulan
Arsitektur tradisional Bali merupakan produk tatanan budaya dan tradisi masyarakat Bali yang sudah ada diyakini sejak kepindahan masyarakat Hindu Majapahit akibat desakan budaya Islam Kerajaan Demak. Pengaruh agama hindu yang menghormati semesta alam dan lingkungan membawa tradisi dan penghormatan pada arsitektur tradisional di mana material alam merupakan “zat hidup” yang harus diperlakukan dengan baik dan penuh penghormatan. Upacara untuk mengawali pemakaian material untuk membangun dan budaya keseimbangan antara arsitektur dengan alam sekitarnya merupakan tradisi kearifan yang akhirnya membawa arsitektur tradisional Bali bertahan hingga ratusan tahun, dan bersinergi dengan alam lingkungannya sehingga jarang didengar adanya bencana alam di Bali yang berhubungan dengan kesalahan tata ruang dan penataan arsitektur seperti yang sering kita jumpai di kota-kota besar mau pun di pedesaan di daerah lainnya di Indonesia, yang terjadi karena pembangunan yang memaksa daya dukung lahan dan alam lingkungan. Semoga kita dapat belajar dari kearifan tata laku dan budaya masyarakat Bali dalam membangun dan menata arsitektur dan lingkungannya.
Kepustakaan
Budihardjo, Eko. 1986. Architecture Conservation in Bali. Yogyakarta:Gadjah Mada University.
Covvarubbias, Miguel. 1937. The Island of Bali. London: Oxford University Press.
Eisemen, Fred. 1999. Bali Skala and Niskala. Hongkong: Periplus.
Sweellengrebel, J.L.1947. Een Vorstenwijding of Bali. Leiden.
http://jurnal.bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/06/skets%20wisnu%20mei%202007.pdf
Penulis adalah akademisi Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Budi Luhur
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/2/368/arsitektur-tradisional-bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar