Sejarah Awal
Harus diakui, sangat sedikit sumber yang memberitakan tentang sejarah awal berdirinya Kerajaan Badung. Meski begitu, ternyata sejumlah desa di wilayah Kerajaan Badung (kini termasuk Kabupaten Badung) sudah ada sebelum Kerajaan Badung berdiri, misalnya Desa Kuta, Kedonganan, Jimbaran, dan Seseh.
Eksistensi Kerajaan Badung mulai terlihat tatkala pusat Kerajaan Gelgel, yang merupakan lanjutan Kerajaan Majapahit di Bali, dipindahkan ke Klungkung pada 1700. Kerajaan-kerajaan bawahan Gelgel segera melepaskan diri, termasuk Badung salah satunya yang dipimpin oleh Kiai Jambe Pule yang bergelar Prabhu Bandhana.
Kendati telah lepas dari Kerajaan Klungkung, namun hingga 1700 Badung tak pernah disebut sebagai kerajaan, karena saat itu Badung masih di bawah kekuasaan Kerajaan Mengwi. Ketika Kerajaan Mengwi mengalami kemunduran karena terlibat peperangan yang begitu lama, pada 1779 mulailah Badung memerdekakan diri dan berkembang menjadi besar di Bali. Pada masa itu, muncul nama I Gusti Ngurah Pemecutan Sakti, yang punya kedudukan kuat sebagai penguasa di Badung.
Wilayah kekuasaan Badung meliputi Kota Denpasar dan Kabupaten Badung saat ini. Sebelum tahun 1992, sebelum dilakukan pemekaran berstatus kota, Denpasar merupakan ibukota Kabupaten Badung. Baru setelah itu, ibukota Kabupaten Badung terletak di Mengwi.
Nama Badung diprakarsai oleh I Gusti Ngurah Made Pemecutan pada akhir abad ke-18. Sebelumnya tempat ini bernama Nambangan. I Gusti Ngurah Made Pemecutan yang terkenal memiliki keris dan cemeti pusaka (pecut = cemeti), kemudian berhasil menundukkan wilayah Mengwi dan Jembrana hingga tahun 1810. Setelah itu, ia diganti oleh dua orang raja berikutnya.
Kematian I Gusti Ngurah Made Pemecutan rupanya telah direncanakan oleh penguasa Badung penerusnya, yakni Raja Kesiman. Raja Kesiman, yang memerintah tahun 1829-1863, rupanya dipengaruhi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu.
Kerjasama dengan Belanda
Setelah berkuasa, Raja Kesiman mengizinkan Belanda untuk mendirikan stasiunnya di Kuta pada 1826, sebagai balasan atas kerjasama sebelumnya di mana ia berhasil naik takhta.
Seorang pedagang berkebangsaan Denmark, Mads Johansen Lange (lahir 1806), yang datang ke Bali pada usia 18 tahun, memegang peranan sebagai mediator antara Pemerintah Belanda dengan raja-raja di Bali. Pada 1856, Mads Lange jatuh sakit dan mohon pensiun. Ia pun memutuskan untuk kembali ke Denmark. Namun, ia meninggal pada saat kapal yang akan ditumpangi akan berangkat, dan akhirnya dikubur di Kuta.
Perang Puputan
Pada 1904, sebuah kapal Cina berbendera Belanda bernama “Sri Komala” kandas di Pantai Sanur. Pihak pemerintah Hindia Belanda menuduh masyarakat setempat melucuti, merusak, dan merampas isi kapal Sri Komala tersebut; mereka menuntut raja setempat atas segala kerusakan itu sebesar 3.000 dolar perak dan agar menghukum orang-orang yang merusak kapal.
Raja Badung yang bertanggung jawab atas wilayah Sanur pun menolak tuduhan Belanda dan pembayaran kompensasi tersebut. Atas penolakan Raja Badung, pemerintah Belanda mempersiapkan ekspedisi militernya yang ke-6 ke Bali pada 20 September 1906. Mereka mendaratkan tiga batalyon infantri dan dua batalyon pasukan arteleri untuk menyerang Badung.
Setelah berhasil menyerang puri (keraton) Badung, militer Belanda lalu menyerbu kota Denpasar hingga mencapai pintu gerbang kota. Sampai di sini pasukan Belanda merasa belum mendapatkan perlawanan yang berarti dari pihak lawan. Namun, di hadapan mereka tiba-tiba segerombolan orang berpakaian serba putih, menyerang mereka. Orang-orang berpakaian putih itu siap melakukan “perang puputan”, yang berarti perang sampai titik darah penghabisan, dengan dipimpin oleh Raja Badung sendiri.
Orang-orang berpakaian putih tersebut terdiri atas para pendeta, pengawal, sanak saudara, laki-perempuan, hingga anak-anak kecil dalam gendongan ibu-ibu masing-masing. Mereka menghiasi diri dengan batu permata, keluar menuju tengah-tengah medan pertempuran. “kenekadan” ini dilakukan karena ajaran agama mereka yang mengajarkan bahwa mati di medan perang membuat arwah mereka dapat masuk langsung ke surga. Sebaliknya, menyerah dan mati dalam pengasingan/pembuangan adalah hal yang paling memalukan bagi mereka.
Raja Badung beserta rakyatnya yang loyal dan setia, pun tak sanggup menembus barisan tentara Belanda yang dilengkapi peluru bermesiu. Satu per satu mereka gugur diterjang senapan Belanda demi mempertahankan kedaulatan dan kehormatan negara mereka.
Usai menghabisi rakyat Badung, beberapa hari kemudian Belanda pun menyerang Tabanan. Tak berhenti sampai sana, pada tahun 1908 Belanda menyerang Kerajaan Klungkung di mana disambut oleh perang puputan pula. Jatuhnya Kerajaan Klungkung menyebabkan Belanda menguasai Bali seluruhnya. Delapan tahun setelah Perang Puputan, tahun 1914, Belanda mengganti pasukan tentara dengan kepolisian sambil melakukan reorganisasi pemerintahan di Bali. Beberapa raja dicabuti hak politiknya.
Sumber:
http://id.wikipedia.org
http://news.okezone.com
http://www.balipost.co.id
http://www.wacananusantara.org/6/376/badung
Harus diakui, sangat sedikit sumber yang memberitakan tentang sejarah awal berdirinya Kerajaan Badung. Meski begitu, ternyata sejumlah desa di wilayah Kerajaan Badung (kini termasuk Kabupaten Badung) sudah ada sebelum Kerajaan Badung berdiri, misalnya Desa Kuta, Kedonganan, Jimbaran, dan Seseh.
Eksistensi Kerajaan Badung mulai terlihat tatkala pusat Kerajaan Gelgel, yang merupakan lanjutan Kerajaan Majapahit di Bali, dipindahkan ke Klungkung pada 1700. Kerajaan-kerajaan bawahan Gelgel segera melepaskan diri, termasuk Badung salah satunya yang dipimpin oleh Kiai Jambe Pule yang bergelar Prabhu Bandhana.
Kendati telah lepas dari Kerajaan Klungkung, namun hingga 1700 Badung tak pernah disebut sebagai kerajaan, karena saat itu Badung masih di bawah kekuasaan Kerajaan Mengwi. Ketika Kerajaan Mengwi mengalami kemunduran karena terlibat peperangan yang begitu lama, pada 1779 mulailah Badung memerdekakan diri dan berkembang menjadi besar di Bali. Pada masa itu, muncul nama I Gusti Ngurah Pemecutan Sakti, yang punya kedudukan kuat sebagai penguasa di Badung.
Wilayah kekuasaan Badung meliputi Kota Denpasar dan Kabupaten Badung saat ini. Sebelum tahun 1992, sebelum dilakukan pemekaran berstatus kota, Denpasar merupakan ibukota Kabupaten Badung. Baru setelah itu, ibukota Kabupaten Badung terletak di Mengwi.
Nama Badung diprakarsai oleh I Gusti Ngurah Made Pemecutan pada akhir abad ke-18. Sebelumnya tempat ini bernama Nambangan. I Gusti Ngurah Made Pemecutan yang terkenal memiliki keris dan cemeti pusaka (pecut = cemeti), kemudian berhasil menundukkan wilayah Mengwi dan Jembrana hingga tahun 1810. Setelah itu, ia diganti oleh dua orang raja berikutnya.
Kematian I Gusti Ngurah Made Pemecutan rupanya telah direncanakan oleh penguasa Badung penerusnya, yakni Raja Kesiman. Raja Kesiman, yang memerintah tahun 1829-1863, rupanya dipengaruhi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu.
Kerjasama dengan Belanda
Setelah berkuasa, Raja Kesiman mengizinkan Belanda untuk mendirikan stasiunnya di Kuta pada 1826, sebagai balasan atas kerjasama sebelumnya di mana ia berhasil naik takhta.
Seorang pedagang berkebangsaan Denmark, Mads Johansen Lange (lahir 1806), yang datang ke Bali pada usia 18 tahun, memegang peranan sebagai mediator antara Pemerintah Belanda dengan raja-raja di Bali. Pada 1856, Mads Lange jatuh sakit dan mohon pensiun. Ia pun memutuskan untuk kembali ke Denmark. Namun, ia meninggal pada saat kapal yang akan ditumpangi akan berangkat, dan akhirnya dikubur di Kuta.
Perang Puputan
Pada 1904, sebuah kapal Cina berbendera Belanda bernama “Sri Komala” kandas di Pantai Sanur. Pihak pemerintah Hindia Belanda menuduh masyarakat setempat melucuti, merusak, dan merampas isi kapal Sri Komala tersebut; mereka menuntut raja setempat atas segala kerusakan itu sebesar 3.000 dolar perak dan agar menghukum orang-orang yang merusak kapal.
Raja Badung yang bertanggung jawab atas wilayah Sanur pun menolak tuduhan Belanda dan pembayaran kompensasi tersebut. Atas penolakan Raja Badung, pemerintah Belanda mempersiapkan ekspedisi militernya yang ke-6 ke Bali pada 20 September 1906. Mereka mendaratkan tiga batalyon infantri dan dua batalyon pasukan arteleri untuk menyerang Badung.
Setelah berhasil menyerang puri (keraton) Badung, militer Belanda lalu menyerbu kota Denpasar hingga mencapai pintu gerbang kota. Sampai di sini pasukan Belanda merasa belum mendapatkan perlawanan yang berarti dari pihak lawan. Namun, di hadapan mereka tiba-tiba segerombolan orang berpakaian serba putih, menyerang mereka. Orang-orang berpakaian putih itu siap melakukan “perang puputan”, yang berarti perang sampai titik darah penghabisan, dengan dipimpin oleh Raja Badung sendiri.
Orang-orang berpakaian putih tersebut terdiri atas para pendeta, pengawal, sanak saudara, laki-perempuan, hingga anak-anak kecil dalam gendongan ibu-ibu masing-masing. Mereka menghiasi diri dengan batu permata, keluar menuju tengah-tengah medan pertempuran. “kenekadan” ini dilakukan karena ajaran agama mereka yang mengajarkan bahwa mati di medan perang membuat arwah mereka dapat masuk langsung ke surga. Sebaliknya, menyerah dan mati dalam pengasingan/pembuangan adalah hal yang paling memalukan bagi mereka.
Raja Badung beserta rakyatnya yang loyal dan setia, pun tak sanggup menembus barisan tentara Belanda yang dilengkapi peluru bermesiu. Satu per satu mereka gugur diterjang senapan Belanda demi mempertahankan kedaulatan dan kehormatan negara mereka.
Usai menghabisi rakyat Badung, beberapa hari kemudian Belanda pun menyerang Tabanan. Tak berhenti sampai sana, pada tahun 1908 Belanda menyerang Kerajaan Klungkung di mana disambut oleh perang puputan pula. Jatuhnya Kerajaan Klungkung menyebabkan Belanda menguasai Bali seluruhnya. Delapan tahun setelah Perang Puputan, tahun 1914, Belanda mengganti pasukan tentara dengan kepolisian sambil melakukan reorganisasi pemerintahan di Bali. Beberapa raja dicabuti hak politiknya.
Sumber:
http://id.wikipedia.org
http://news.okezone.com
http://www.balipost.co.id
http://www.wacananusantara.org/6/376/badung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar