Pendahuluan
Pasuruan adalah sebuah kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di daerah ini ada sebuah peninggalan sejarah (masa lalu) yang berupa candi, yaitu Candi Jawi. Candi ini tepatnya terletak di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Untuk dapat mencapai lokasi tersebut (dari Kota Surabaya) dapat menggunakan jasa angkutan umum yang berupa bus jurusan Surabaya-Malang, kemudian turun di kilometer 45 (kota Kecamatan Pandaan) dan diteruskan dengan kendaraan lain (jurusan Tretes) dengan jarak kurang lebih 1 kilometer melewati Taman Candra Wilwatikta. Tidak seperti candi lain yang umumnya sudah berubah nama menurut tempat, keadaan, atau selera yang memberi nama (misal: Prambanan, Burbrah, Bima dan lain-lain), Candi Jawi termasuk salah satu diantara sedikit candi yang namanya boleh dikata tidak berubah, walau ada pula perubahan ucapan. Dalam Negarakertagama candi ini disebut Jawa-jawa atau Jajawi.
Paparan bahan serta struktur bangunan menyatakan bahwa candi ini dibangun pada 2 masa pemerintahan dan kerajaan, yaitu masa pemerintahan krtanagara, kerajaan Singasari (singosari), serta masa Kerajaan Majapahit, namun tidak jelas dalam kepemimpinan siapa candi ini di bangun/dipercantik. candi Jawi yang diperkirakan dibangun untuk tujuan penghormatan dan pengagungan Krtanagara sedikit lebih beruntung di bandingkan dengan candi lain sesama candi-candi peninggalan Majapahit. Candi Jawi mendapatkan limpahan pemugaran yang lumayan besar dari pemerintah Indonesa sehingga saat ini dapat berdiri megah dan anggun, meskipun ada kejanggalan disana-sini pada struktur candi hasil rekonstruksi tersebut.
Krtanagara dikenal sebagai seorang tokoh yang memiliki visi jauh kedepan dalam jajaran raja-raja wangsa Rajasa, wangsa yang dibangun oleh Ken Arok. Dalam bidang pemerintahan beliaulah yang memperkenalkan pertama kali sistem otonomi luas terhadap daerah bawahannya, dimana putra-putra daerah yang bersangkutan yang diangkat menjadi penguasa daerah dan didampingi oleh seorang pejabat pusat yang ditempatkan sebagai penghubung didaerah tersebut, sementara dalam bidang kepemimpinan, ambisi krtanagara tidak dapat dibatasi oleh lautan, Ekspedisi Pamalayu membuktikan hal tersebut. Armada-armada laut dibangun dan dikirim ke luar nusantara, menggalang kekuatan kerajaan-kerajaan bawahan dan kerajaan tetangga untuk bersama-sama menolak hegemoni mongol terhadap nusantara yang berkeinginan menguasai jalur perdagangan di Nusantara yang terkenal dengan jalur rempah-rempahnya. Yang paling menarik dari kiprah seorang krtanagara dan sekaligus menjadi tolak ukur kualitas dari seorang pemimpin adalah kemampuan menciptakan kehidupan yang damai dalam bidang keagamaan pada masa pemerintahannya. Candi jawi dapat dijadikan bukti dalam hal ini. Perpaduan antara syiwa dan budha tercermin dalam bentuk megah dan anggun candi ini, sakti-sakti sang syiwa berdampingan dengan guru-guru bodhi dalam sebuah keselarasan dan harmoni yang membangun sebuah cerita utuh, setidaknya dalam struktur arsitektur candi.
Struktur Candi
Candi jawi dipercaya pertama kali dibangun pada masa kerajaan Singosari sebagai bentuk pencitraan krtanagara sebagai dewa, kemudian dilanjutkan pada masa kerajaan Majapahit dengan menambahkan struktur benteng serta kolam/parit yang mengelilingi areal candi.
Candi jawi merupakan satu dari dua candi yang letak dan posisinya agak diluar kebiasaan candi-candi peninggalan Majapahit yang tersebar di daerah Jawa Timur. Candi ini tidak menghadap kearah barat, melainkan kearah sebaliknya, yaitu kearah timur.
Dalam perspektif keyakinan Hindu saat ini di Indonesia, arah yang “diperbolehkan” memang hanya 2 arah matahari terbit dan tenggelam yaitu timur dan barat dalam konteks pembangunan candi sebagai tempat pemujaan. Matahari terbit sebagai perlambang kehidupan, dan matahari tenggelam sebagai pemberi makna sekaligus tempat kembali semua kehidupan.
Dengan tinggi kurang lebih 24,50 m, lebar 9,55 m, candi Jawi dibangun diatas teras tinggi yang dikelilingi oleh parit selebar 2,50 meter. Pintu masuk candi menghadap ke timur sedangkan bangunan lainnya yang ada dikompleks ini menghadap ke barat.
Bangunan candi terdiri atas batur, kaki, badan dan atap candi dalam keadaan utuh sebagai hasil dari pemugaran yang pernah dilakukan. Batur dihias oleh relief-relief yang agak “nyeleneh”, diluar keumuman candi-candi pada umumnya, kalau biasanya relief-relief pada candi menggambarkan kisah mengenai salah satu ajaran atau epik dalam kitab/keyakinan tertentu maka pada candi Jawi relief-reliefnya malah menceritakan keadaan disekitar candi jawi. Diatas batur terdapat selasar yang mengelilingi candi, di kanan kiri tangga menuju selasar terdapat makara. Makara juga terdapat pada kanan dan kiri tangga serta badan candi. Badan candi dihiasi pintu dan relung-relung yang diatasnya terdapat kala. Dalam bilik candi ditemukan yoni dan dilangit-langitnya terdapat sebuah relief yang menggambarkan lingkaran bersinar dengan gambar seorang naik kuda ditengahnya.
Bagian tengah candi dan sudut-sudutnya dihiasi antefix. Atap candi tersusun makin keatas makin mengecil dan akhirnya sampai pada puncak atap berupa dagobha Budha/stupa. Dihalaman candi pernah ditemukan arca-arca yang bersifat siwaistis seperti arca Siwa Guru, Durga, Ganeca, Adhanari, Mahakala, Nandiswara serta Aksobya (Joko Dolog). Dari bentuk dagobha/stupa pada puncak atap candid an arca-arca yang pernah ditemukan di halaman candi yang bersifat siwaistis, diketahui bahwa candi Jawi merupakan candi perpaduan Siwa Budha seperti yang disebutkan dalam Nagarakertagama.
Candi Jawi dalam Sejarah
Sejarah mencatat melalui kitab Nagarakertagama yang menyebutkan candi Jawi sebagai Jajawa tempat pendharmaan raja Kertanagara yang wafat pada tahun 1292 masehi, diperkirakan candi Jawi dibangun pada tahun 1304.
Yang menarik dari kompleks candi Jawi adalah perpaduan gaya arsitektur dari sisi bahan antara masa Singosari dan Majapahit. Gaya Singosari jelas terlihat dari struktur batu andesit pembentuk candi utama, sementara gaya majapahit terlihat jelas dari reruntuhan gerbang menuju candi utama dan parit yang mengelilingi candi utama yang mengingatkan kita pada struktur kolam Segaran.
Candi Jawi yang dibangun sekitar abad ke-13 ini adalah tempat penyimpanan sebagian abu jenazah Raja Kertanegara (Raja terakhir Singosari) yang meninggal tahun 1292 M. Sebagian abu lainnya disimpan pada Candi Singosari. Pada zaman Majapahit, Candi Jawi pernah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) pada waktu mengadakan perjalanan ke daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun ketiga masa pemerintahannya (1275 C/1353 M). Perjalanan raja Hayam Wuruk ini disertai oleh seluruh keluarga raja (Bhatara sapta Prabhu), para menteri, pemimpin agama dan wakil golongan masyarakat. Nagarakertagama menyebut bahwa perjalanan raja Hayam Wuruk beserta rombongannya bertujuan terutama untuk menghayati keadaan masyarakat yang dipimpinnya, tak ubahnya semacam “sidak” (inspeksi mendadak) yang biasa dilakukan oleh para pejabat masa kini. Selain sebagai inspeksi mendadak dan peziarahan, ada pula yang mengatakan bahwa perjalanan Hayam Wuruk itu merupakan salah satu dharma yang harus dijalaninya, yang mengandung arti magis, yakni untuk penyatuan dan kesatuan (unity) wilayah kerajaannya.
Perjalanan rombongan raja Hayam Wuruk menyinggahi beberapa tempat di daerah kekuasaannya, seperti Lasem (tahun 1354 M), Lodaya (1357 M), Palah (1361 M), Lwang, Balitar, Jime dan Simping. Dalam perjalanan itu, Hayam Wuruk juga sempat mengerahkan rakyat untuk memperbaiki beberapa tempat penyeberangan di Sungai Solo dan Brantas, memperbaiki bendungan Kali Konto, memperbaiki Candi Sumberjati dan sekaligus nyekar atau ziarah ke makam kakeknya (Raden Wijaya), memugar Candi Jabung (1353 M), memperindah candi pemujaan Tribhuwanattunggadewi di Panggih, menambah candi perwara di Palah (Panataran-Blitar, 1369 M) serta sebuah pendapa untuk kepentingan persajian (1375 M), menyelesaikan dua buah candi di Kediri (Candi Surawana dan Tigawangi), dan akhirnya pada tahun 1371 mendirikan Candi Pari di dekat Porong-Jawa Timur, yang bentuknya menyerupai percandian di Champa.
Menurut Nagarakrtagama, candi yang sarat akan nilai-nilai budaya ini pada candrasengkala atau tahun Api Memanah Hari (1253 C/1331 M) pernah rusak karena disambar petir. Selain bangunan candi, ada salah satu arcanya yang ikut rusak yaitu arca Maha Aksobaya. Hal ini membuat Raja Hayam Wuruk sangat sedih, sehingga satu tahun kemudian (1332 M) ia mengerahkan rakyat untuk memperbaikinya kembali. Namun, sama seperti candi-candi lain yang ada di Jawa, Candi Jawi baru mulai diperhatikan lagi pada awal abad ke-20, setelah bangunannya menjadi porak-poranda dan begitu banyak unsur yang hilang.
Pemugaran
Candi Jawi baru dipugar kembali pada tahun 1938 karena kondisinya sudah rusak. Pemugaran yang konon telah memenuhi syarat tekno-arkeologis itu dilakukan oleh Oudheidkundige Dienst dengan membangun kembali lagi kaki candi, mengupas halaman candi serta menyusun beberapa bagian candi dalam bentuk susunan percobaan. Akan tetapi, pemugaran dihentikan pada tahun 1941 karena sebagian batunya telah hilang.
Usaha pemugaran baru dimulai lagi pada Pelita II (1975/1976) yang dilakukan oleh Dit. Linbinjarah, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud dengan Drs. Tjokrosudjono (Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur) sebagai pimpinan lapangan. Dalam pemugaran yang ketiga ini, berkat kejelian seorang pekerja yang bernama Mbah Karto Plewek dari Prambanan, batu-batu yang hilang dapat ditemukan lagi sebingga pemugaran dapat dilanjutkan sampai selesai pada tahun 1980. Dua tahun kemudian (1982), Candi Jawi diresmikan oleh pemerintah dan dijadikan sebagai bangunan cagar budaya dan sekaligus objek wisata sejarah.
Kepustakaan:
Abas, H.M.S, Drs, M.Si. Dkk. (2001). PENINGGALAN SEJARAH DAN KEPURBAKALAAN di Jawa Timur. Jawa Timur: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. (1994). Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Narasumber
Masyarakat sekitar Candi Jawi
Sumber Foto,
Koleksi Foto Tim Wacana Nusantara
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/2/498/candi-jawi-(jajawa)
Pasuruan adalah sebuah kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di daerah ini ada sebuah peninggalan sejarah (masa lalu) yang berupa candi, yaitu Candi Jawi. Candi ini tepatnya terletak di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Untuk dapat mencapai lokasi tersebut (dari Kota Surabaya) dapat menggunakan jasa angkutan umum yang berupa bus jurusan Surabaya-Malang, kemudian turun di kilometer 45 (kota Kecamatan Pandaan) dan diteruskan dengan kendaraan lain (jurusan Tretes) dengan jarak kurang lebih 1 kilometer melewati Taman Candra Wilwatikta. Tidak seperti candi lain yang umumnya sudah berubah nama menurut tempat, keadaan, atau selera yang memberi nama (misal: Prambanan, Burbrah, Bima dan lain-lain), Candi Jawi termasuk salah satu diantara sedikit candi yang namanya boleh dikata tidak berubah, walau ada pula perubahan ucapan. Dalam Negarakertagama candi ini disebut Jawa-jawa atau Jajawi.
Paparan bahan serta struktur bangunan menyatakan bahwa candi ini dibangun pada 2 masa pemerintahan dan kerajaan, yaitu masa pemerintahan krtanagara, kerajaan Singasari (singosari), serta masa Kerajaan Majapahit, namun tidak jelas dalam kepemimpinan siapa candi ini di bangun/dipercantik. candi Jawi yang diperkirakan dibangun untuk tujuan penghormatan dan pengagungan Krtanagara sedikit lebih beruntung di bandingkan dengan candi lain sesama candi-candi peninggalan Majapahit. Candi Jawi mendapatkan limpahan pemugaran yang lumayan besar dari pemerintah Indonesa sehingga saat ini dapat berdiri megah dan anggun, meskipun ada kejanggalan disana-sini pada struktur candi hasil rekonstruksi tersebut.
Krtanagara dikenal sebagai seorang tokoh yang memiliki visi jauh kedepan dalam jajaran raja-raja wangsa Rajasa, wangsa yang dibangun oleh Ken Arok. Dalam bidang pemerintahan beliaulah yang memperkenalkan pertama kali sistem otonomi luas terhadap daerah bawahannya, dimana putra-putra daerah yang bersangkutan yang diangkat menjadi penguasa daerah dan didampingi oleh seorang pejabat pusat yang ditempatkan sebagai penghubung didaerah tersebut, sementara dalam bidang kepemimpinan, ambisi krtanagara tidak dapat dibatasi oleh lautan, Ekspedisi Pamalayu membuktikan hal tersebut. Armada-armada laut dibangun dan dikirim ke luar nusantara, menggalang kekuatan kerajaan-kerajaan bawahan dan kerajaan tetangga untuk bersama-sama menolak hegemoni mongol terhadap nusantara yang berkeinginan menguasai jalur perdagangan di Nusantara yang terkenal dengan jalur rempah-rempahnya. Yang paling menarik dari kiprah seorang krtanagara dan sekaligus menjadi tolak ukur kualitas dari seorang pemimpin adalah kemampuan menciptakan kehidupan yang damai dalam bidang keagamaan pada masa pemerintahannya. Candi jawi dapat dijadikan bukti dalam hal ini. Perpaduan antara syiwa dan budha tercermin dalam bentuk megah dan anggun candi ini, sakti-sakti sang syiwa berdampingan dengan guru-guru bodhi dalam sebuah keselarasan dan harmoni yang membangun sebuah cerita utuh, setidaknya dalam struktur arsitektur candi.
Struktur Candi
Candi jawi dipercaya pertama kali dibangun pada masa kerajaan Singosari sebagai bentuk pencitraan krtanagara sebagai dewa, kemudian dilanjutkan pada masa kerajaan Majapahit dengan menambahkan struktur benteng serta kolam/parit yang mengelilingi areal candi.
Candi jawi merupakan satu dari dua candi yang letak dan posisinya agak diluar kebiasaan candi-candi peninggalan Majapahit yang tersebar di daerah Jawa Timur. Candi ini tidak menghadap kearah barat, melainkan kearah sebaliknya, yaitu kearah timur.
Dalam perspektif keyakinan Hindu saat ini di Indonesia, arah yang “diperbolehkan” memang hanya 2 arah matahari terbit dan tenggelam yaitu timur dan barat dalam konteks pembangunan candi sebagai tempat pemujaan. Matahari terbit sebagai perlambang kehidupan, dan matahari tenggelam sebagai pemberi makna sekaligus tempat kembali semua kehidupan.
Dengan tinggi kurang lebih 24,50 m, lebar 9,55 m, candi Jawi dibangun diatas teras tinggi yang dikelilingi oleh parit selebar 2,50 meter. Pintu masuk candi menghadap ke timur sedangkan bangunan lainnya yang ada dikompleks ini menghadap ke barat.
Bangunan candi terdiri atas batur, kaki, badan dan atap candi dalam keadaan utuh sebagai hasil dari pemugaran yang pernah dilakukan. Batur dihias oleh relief-relief yang agak “nyeleneh”, diluar keumuman candi-candi pada umumnya, kalau biasanya relief-relief pada candi menggambarkan kisah mengenai salah satu ajaran atau epik dalam kitab/keyakinan tertentu maka pada candi Jawi relief-reliefnya malah menceritakan keadaan disekitar candi jawi. Diatas batur terdapat selasar yang mengelilingi candi, di kanan kiri tangga menuju selasar terdapat makara. Makara juga terdapat pada kanan dan kiri tangga serta badan candi. Badan candi dihiasi pintu dan relung-relung yang diatasnya terdapat kala. Dalam bilik candi ditemukan yoni dan dilangit-langitnya terdapat sebuah relief yang menggambarkan lingkaran bersinar dengan gambar seorang naik kuda ditengahnya.
Bagian tengah candi dan sudut-sudutnya dihiasi antefix. Atap candi tersusun makin keatas makin mengecil dan akhirnya sampai pada puncak atap berupa dagobha Budha/stupa. Dihalaman candi pernah ditemukan arca-arca yang bersifat siwaistis seperti arca Siwa Guru, Durga, Ganeca, Adhanari, Mahakala, Nandiswara serta Aksobya (Joko Dolog). Dari bentuk dagobha/stupa pada puncak atap candid an arca-arca yang pernah ditemukan di halaman candi yang bersifat siwaistis, diketahui bahwa candi Jawi merupakan candi perpaduan Siwa Budha seperti yang disebutkan dalam Nagarakertagama.
Candi Jawi dalam Sejarah
Sejarah mencatat melalui kitab Nagarakertagama yang menyebutkan candi Jawi sebagai Jajawa tempat pendharmaan raja Kertanagara yang wafat pada tahun 1292 masehi, diperkirakan candi Jawi dibangun pada tahun 1304.
Yang menarik dari kompleks candi Jawi adalah perpaduan gaya arsitektur dari sisi bahan antara masa Singosari dan Majapahit. Gaya Singosari jelas terlihat dari struktur batu andesit pembentuk candi utama, sementara gaya majapahit terlihat jelas dari reruntuhan gerbang menuju candi utama dan parit yang mengelilingi candi utama yang mengingatkan kita pada struktur kolam Segaran.
Candi Jawi yang dibangun sekitar abad ke-13 ini adalah tempat penyimpanan sebagian abu jenazah Raja Kertanegara (Raja terakhir Singosari) yang meninggal tahun 1292 M. Sebagian abu lainnya disimpan pada Candi Singosari. Pada zaman Majapahit, Candi Jawi pernah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) pada waktu mengadakan perjalanan ke daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun ketiga masa pemerintahannya (1275 C/1353 M). Perjalanan raja Hayam Wuruk ini disertai oleh seluruh keluarga raja (Bhatara sapta Prabhu), para menteri, pemimpin agama dan wakil golongan masyarakat. Nagarakertagama menyebut bahwa perjalanan raja Hayam Wuruk beserta rombongannya bertujuan terutama untuk menghayati keadaan masyarakat yang dipimpinnya, tak ubahnya semacam “sidak” (inspeksi mendadak) yang biasa dilakukan oleh para pejabat masa kini. Selain sebagai inspeksi mendadak dan peziarahan, ada pula yang mengatakan bahwa perjalanan Hayam Wuruk itu merupakan salah satu dharma yang harus dijalaninya, yang mengandung arti magis, yakni untuk penyatuan dan kesatuan (unity) wilayah kerajaannya.
Perjalanan rombongan raja Hayam Wuruk menyinggahi beberapa tempat di daerah kekuasaannya, seperti Lasem (tahun 1354 M), Lodaya (1357 M), Palah (1361 M), Lwang, Balitar, Jime dan Simping. Dalam perjalanan itu, Hayam Wuruk juga sempat mengerahkan rakyat untuk memperbaiki beberapa tempat penyeberangan di Sungai Solo dan Brantas, memperbaiki bendungan Kali Konto, memperbaiki Candi Sumberjati dan sekaligus nyekar atau ziarah ke makam kakeknya (Raden Wijaya), memugar Candi Jabung (1353 M), memperindah candi pemujaan Tribhuwanattunggadewi di Panggih, menambah candi perwara di Palah (Panataran-Blitar, 1369 M) serta sebuah pendapa untuk kepentingan persajian (1375 M), menyelesaikan dua buah candi di Kediri (Candi Surawana dan Tigawangi), dan akhirnya pada tahun 1371 mendirikan Candi Pari di dekat Porong-Jawa Timur, yang bentuknya menyerupai percandian di Champa.
Menurut Nagarakrtagama, candi yang sarat akan nilai-nilai budaya ini pada candrasengkala atau tahun Api Memanah Hari (1253 C/1331 M) pernah rusak karena disambar petir. Selain bangunan candi, ada salah satu arcanya yang ikut rusak yaitu arca Maha Aksobaya. Hal ini membuat Raja Hayam Wuruk sangat sedih, sehingga satu tahun kemudian (1332 M) ia mengerahkan rakyat untuk memperbaikinya kembali. Namun, sama seperti candi-candi lain yang ada di Jawa, Candi Jawi baru mulai diperhatikan lagi pada awal abad ke-20, setelah bangunannya menjadi porak-poranda dan begitu banyak unsur yang hilang.
Pemugaran
Candi Jawi baru dipugar kembali pada tahun 1938 karena kondisinya sudah rusak. Pemugaran yang konon telah memenuhi syarat tekno-arkeologis itu dilakukan oleh Oudheidkundige Dienst dengan membangun kembali lagi kaki candi, mengupas halaman candi serta menyusun beberapa bagian candi dalam bentuk susunan percobaan. Akan tetapi, pemugaran dihentikan pada tahun 1941 karena sebagian batunya telah hilang.
Usaha pemugaran baru dimulai lagi pada Pelita II (1975/1976) yang dilakukan oleh Dit. Linbinjarah, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud dengan Drs. Tjokrosudjono (Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur) sebagai pimpinan lapangan. Dalam pemugaran yang ketiga ini, berkat kejelian seorang pekerja yang bernama Mbah Karto Plewek dari Prambanan, batu-batu yang hilang dapat ditemukan lagi sebingga pemugaran dapat dilanjutkan sampai selesai pada tahun 1980. Dua tahun kemudian (1982), Candi Jawi diresmikan oleh pemerintah dan dijadikan sebagai bangunan cagar budaya dan sekaligus objek wisata sejarah.
Kepustakaan:
Abas, H.M.S, Drs, M.Si. Dkk. (2001). PENINGGALAN SEJARAH DAN KEPURBAKALAAN di Jawa Timur. Jawa Timur: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. (1994). Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Narasumber
Masyarakat sekitar Candi Jawi
Sumber Foto,
Koleksi Foto Tim Wacana Nusantara
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/2/498/candi-jawi-(jajawa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar