Candi Jago (Jajaghu)
Candi Jago (dalam Nagarakretagama disebut Jajaghu) terletak di Desa Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, dengan keseluruhan bangunannya tersusun atas bahan batu andesit.
Struktur Candi Jago
Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya memiliki panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago nampak sudah tidak utuh lagi; yang tertinggal pada Candi Jago hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. Badan candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan badan candi terletak di bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi telah terbuka. Secara pasti bentuk atap belum diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru atau Pagoda.
Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma, serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita berjalan mengelilingi candi searah putaran jarum jam (pradaksiana).
Relief pada teras pertama (undak terbawah ) sebagai berikut:
Pada sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri. Cerita ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat fabel, yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.
Pada sudut timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha.
Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha, akhirnya keinginan raksasa terkabul.
Pada teras kedua terpahat cerita Parthayajna, berasal dari kitab Mahabharata. Isinya mengisahkan Arjuna dan saudaranya, Pandawa, yang mengalami kekalahan main dadu, sehingga Arjuna harus bertapa di Gunung Indrakila
Pada teras ketiga terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca.
Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan cerita Kresnayana. Relief ini berkisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna. Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk, sekarang sudah tidak ada bekasnya.
Candi Jago dalam Sejarah
Seperti telah banyak diketahui, raja pertama Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Amurwabhumi. Riwayat dan cerita tentang raja ini banyak dimuat dalam Pararaton dan Negarakretagama, yang aslinya berbahasa Jawa Kuno namun sudah ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan tidak terlalu sulit dipelajari. Sejak awal, keberadan kerajaan ini banyak tercatat dalam sejarah dan peninggalannya banyak tersebar di bumi Jawa Timur. Raja Rajasa yang memerintah selama 1222-1227, memunyai beberapa putra, di antaranya Mahisa Wong Ateleng dan Tohjaya, sedangkan putra tirinya Anusapati kemudian hari adalah yang membunuhnya.
Sepeninggal Raja Rajasa, Singasari diperintah oleh Anusapati yang berkuasa selama 1227-1246. Dalam pemerintahan Raja Anusapati, Kerajaan cukup aman. Setelah wafat ia digantikan oleh saudaranya, Tohjaya yang tidak seberapa lama memerintah karena meninggal dunia.
Pengganti Tohjaya adalah Ranggawuni, putra Anusapati. Ia bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana, berkuasa selama 1248-1268. Selama memerintah di Singasari, Ranggawuni bekerjasama dengan saudaranya, Mahisa Campaka. Dalam pemerintahannya, Ranggawuni memerhatikan hamba sahayanya dan membalas jasa kepada mereka yang telah banyak membantu. Waktu masih memerintah, Ranggawuni mengangkat pula putranya, Kertanegara, menjadi raja muda. Bersama putranya Ranggawuni memimpin Kerajaan. Saat Raja Wisnuwardhana wafat pada 1268, Kertanegara mendirikan beberapa bangunan suci berupa candi sebagai darma baktinya kepada sang ayah. Satu di antara bangunan itu adalah Candi Jago yang terwujud sebagai bangunan Buddha-Siwa.
Pemugaran
Candi Jago belum pernah mengalami pemugaran. Bagaimana pun pelestarian pada bangunan kuno seperti halnya Candi Jago tidak perlu dilakukan, mengingat begitu tinggi nilai sejarahnya.
Kepustakaan
Abas, H.M.S, dkk. 2001. Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan di Jawa Timur. Jawa Timur: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Agus Sunyoto. 2000. Petunjuk Wisata Sejarah Kabupaten Malang. Malang: Lingkaran Studi Kebudayaan Malang.
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Narasumber
Masyarakat sekitar Candi Jago
Sumber Foto
Koleksi Foto Tim Wacana Nusantara
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/2/523/candi-jago
Candi Jago (dalam Nagarakretagama disebut Jajaghu) terletak di Desa Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, dengan keseluruhan bangunannya tersusun atas bahan batu andesit.
Struktur Candi Jago
Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya memiliki panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago nampak sudah tidak utuh lagi; yang tertinggal pada Candi Jago hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. Badan candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan badan candi terletak di bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi telah terbuka. Secara pasti bentuk atap belum diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru atau Pagoda.
Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma, serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita berjalan mengelilingi candi searah putaran jarum jam (pradaksiana).
Relief pada teras pertama (undak terbawah ) sebagai berikut:
Pada sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri. Cerita ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat fabel, yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.
Pada sudut timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha.
Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha, akhirnya keinginan raksasa terkabul.
Pada teras kedua terpahat cerita Parthayajna, berasal dari kitab Mahabharata. Isinya mengisahkan Arjuna dan saudaranya, Pandawa, yang mengalami kekalahan main dadu, sehingga Arjuna harus bertapa di Gunung Indrakila
Pada teras ketiga terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca.
Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan cerita Kresnayana. Relief ini berkisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna. Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk, sekarang sudah tidak ada bekasnya.
Candi Jago dalam Sejarah
Seperti telah banyak diketahui, raja pertama Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Amurwabhumi. Riwayat dan cerita tentang raja ini banyak dimuat dalam Pararaton dan Negarakretagama, yang aslinya berbahasa Jawa Kuno namun sudah ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan tidak terlalu sulit dipelajari. Sejak awal, keberadan kerajaan ini banyak tercatat dalam sejarah dan peninggalannya banyak tersebar di bumi Jawa Timur. Raja Rajasa yang memerintah selama 1222-1227, memunyai beberapa putra, di antaranya Mahisa Wong Ateleng dan Tohjaya, sedangkan putra tirinya Anusapati kemudian hari adalah yang membunuhnya.
Sepeninggal Raja Rajasa, Singasari diperintah oleh Anusapati yang berkuasa selama 1227-1246. Dalam pemerintahan Raja Anusapati, Kerajaan cukup aman. Setelah wafat ia digantikan oleh saudaranya, Tohjaya yang tidak seberapa lama memerintah karena meninggal dunia.
Pengganti Tohjaya adalah Ranggawuni, putra Anusapati. Ia bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana, berkuasa selama 1248-1268. Selama memerintah di Singasari, Ranggawuni bekerjasama dengan saudaranya, Mahisa Campaka. Dalam pemerintahannya, Ranggawuni memerhatikan hamba sahayanya dan membalas jasa kepada mereka yang telah banyak membantu. Waktu masih memerintah, Ranggawuni mengangkat pula putranya, Kertanegara, menjadi raja muda. Bersama putranya Ranggawuni memimpin Kerajaan. Saat Raja Wisnuwardhana wafat pada 1268, Kertanegara mendirikan beberapa bangunan suci berupa candi sebagai darma baktinya kepada sang ayah. Satu di antara bangunan itu adalah Candi Jago yang terwujud sebagai bangunan Buddha-Siwa.
Pemugaran
Candi Jago belum pernah mengalami pemugaran. Bagaimana pun pelestarian pada bangunan kuno seperti halnya Candi Jago tidak perlu dilakukan, mengingat begitu tinggi nilai sejarahnya.
Kepustakaan
Abas, H.M.S, dkk. 2001. Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan di Jawa Timur. Jawa Timur: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Agus Sunyoto. 2000. Petunjuk Wisata Sejarah Kabupaten Malang. Malang: Lingkaran Studi Kebudayaan Malang.
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Narasumber
Masyarakat sekitar Candi Jago
Sumber Foto
Koleksi Foto Tim Wacana Nusantara
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/2/523/candi-jago
Tidak ada komentar:
Posting Komentar