Oleh : Susanto Zuhdi
Seandainya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI tahun 1945 memutuskan wilayah negara Indonesia merdeka adalah pendapat Muhammad Yamin, bangsa ini akan lebih sulit menjaga kedaulatan teritorialnya daripada yang ada kini.
Terobsesi oleh kejayaan Majapahit, tampaknya Yamin menginginkan wilayah negara Indonesia seluas wilayah kerajaan terbesar di Asia Tenggara, antara abad XIV sampai XV. Memang wilayah itu sampai ke Pattani, Thailand, dan Mindanao, Filipina. Jangankan yang seluas itu, dengan wilayah bekas Pax Nerlandica “saja” sudah begitu besar masalah perbatasan yang harus dihadapi. Ironisnya, bangsa ini tidak menunjukkan kemauan kuat untuk mengatasinya. Dalam kenyataan, 70 persen zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia belum diakui.
Dari sejumlah masalah batas laut, penetapan yang paling cepat terwujud baru dengan Filipina. Selebihnya masalah yang dihadapi Indonesia begitu besar. Namun, tampaknya Indonesia tidak serius untuk menyelesaikan persoalan batas laut dengan negara tetangga. Itu terbukti dengan berlarut-larutnya penyelesaian masalah itu. Menurut Sobar Sutisna, Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal, itu dikarenakan tidak ada pressure dari pihak terkait di pihak Indonesia (Kompas, 3/3/2007).
Tiga Faktor
Mengapa demikian? Ditinjau dari aspek sejarah dan budaya, setidaknya ada tiga faktor.
Pertama, karena lemahnya, kalau tidak mau disebut “hilangnya” karakter dan orientasi kebaharian. Bagaimana sejarah bisa menjelaskan? Mungkin benar karena keunggulan VOC/Belanda setelah menghancurkan Gowa ditandai Perjanjian Bungaya (1669) mengakibatkan ketidakberdayaan nenek moyang bangsa ini di laut.
Bagaimana penjelasan kita tentang penghancuran bandar-bandar (Jepara, Tuban, Gresik) di pesisir utara Jawa pada masa ekspansi Mataram. Bukankah ini mengakibatkan hancurnya pilar- pilar tangguh sebagai penopang kehidupan maritim. Dari sinikah pergeseran orientasi dari laut ke darat itu dimulai? Coba bandingkan dengan saat Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dari Demak dengan ratusan perahu menyerang Portugis setelah menduduki Malaka tahun 1511. Kendati gagal, bisakah dibayangkan teknologi perkapalan beserta navigasinya saat itu?
Kedua, lemahnya kesadaran lingkungan geografis. Prof Sri Edi Swasono mengemukakan, rendahnya kesadaran geografis bisa ditunjukkan minimnya pengetahuan mahasiswa tentang peta Indonesia. Pengetahuan geografi merupakan sarana awal memahami potensi dan daya dukung daerah terhadap pembangunan yang berwawasan lingkungan. Strategi pembangunan yang tepat dengan dukungan anggaran memadai untuk pengembangan provinsi berkarakter bahari (baca: kepulauan), khususnya di wilayah perbatasan, seharusnya menjadi prioritas utama.
Ketiga, telah berjalan lama tidak terintegrasinya pembelajaran sejarah dan geografi dalam sistem pendidikan. Pembelajaran sejarah gagal menjelaskan keterkaitan antara dimensi “waktu” dan “ruang”. Suatu “peristiwa” (tidak hanya politik, tetapi juga sosial dan bencana) yang terjadi di suatu “tempat” tentu bukan suatu kebetulan. Di situlah kaitan kedua disiplin itu harus diberikan.
Benar KTSP 2006, memuat IPS Terpadu untuk SD (dari kelas IV dan di SMP) yang terdiri bukan hanya Sejarah dan Geografi, tetapi juga Ekonomi dan Sosiologi. Namun, strategi pembelajaran dan pelaksanaannya belum jelas dan masih ditunggu. Di Amerika Serikat sudah disadari pentingnya keterpaduan sejarah dan geografi, seperti ungkapan “We can’t teach good history without geography”.
Dengan ancaman terhadap kedaulatan teritorial, menjadi renungan bersama akan pentingnya kesadaran geohistoris. “Tanah-Air” (dengan tanda penghubung) merupakan perspektif dan konsep untuk penyusunan program strategis membangun bangsa dan memperkuat negara.
Penulis merupakan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB-UI)
Sumber :
http://64.203.71.11/kompas-cetak
Seandainya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI tahun 1945 memutuskan wilayah negara Indonesia merdeka adalah pendapat Muhammad Yamin, bangsa ini akan lebih sulit menjaga kedaulatan teritorialnya daripada yang ada kini.
Terobsesi oleh kejayaan Majapahit, tampaknya Yamin menginginkan wilayah negara Indonesia seluas wilayah kerajaan terbesar di Asia Tenggara, antara abad XIV sampai XV. Memang wilayah itu sampai ke Pattani, Thailand, dan Mindanao, Filipina. Jangankan yang seluas itu, dengan wilayah bekas Pax Nerlandica “saja” sudah begitu besar masalah perbatasan yang harus dihadapi. Ironisnya, bangsa ini tidak menunjukkan kemauan kuat untuk mengatasinya. Dalam kenyataan, 70 persen zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia belum diakui.
Dari sejumlah masalah batas laut, penetapan yang paling cepat terwujud baru dengan Filipina. Selebihnya masalah yang dihadapi Indonesia begitu besar. Namun, tampaknya Indonesia tidak serius untuk menyelesaikan persoalan batas laut dengan negara tetangga. Itu terbukti dengan berlarut-larutnya penyelesaian masalah itu. Menurut Sobar Sutisna, Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal, itu dikarenakan tidak ada pressure dari pihak terkait di pihak Indonesia (Kompas, 3/3/2007).
Tiga Faktor
Mengapa demikian? Ditinjau dari aspek sejarah dan budaya, setidaknya ada tiga faktor.
Pertama, karena lemahnya, kalau tidak mau disebut “hilangnya” karakter dan orientasi kebaharian. Bagaimana sejarah bisa menjelaskan? Mungkin benar karena keunggulan VOC/Belanda setelah menghancurkan Gowa ditandai Perjanjian Bungaya (1669) mengakibatkan ketidakberdayaan nenek moyang bangsa ini di laut.
Bagaimana penjelasan kita tentang penghancuran bandar-bandar (Jepara, Tuban, Gresik) di pesisir utara Jawa pada masa ekspansi Mataram. Bukankah ini mengakibatkan hancurnya pilar- pilar tangguh sebagai penopang kehidupan maritim. Dari sinikah pergeseran orientasi dari laut ke darat itu dimulai? Coba bandingkan dengan saat Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dari Demak dengan ratusan perahu menyerang Portugis setelah menduduki Malaka tahun 1511. Kendati gagal, bisakah dibayangkan teknologi perkapalan beserta navigasinya saat itu?
Kedua, lemahnya kesadaran lingkungan geografis. Prof Sri Edi Swasono mengemukakan, rendahnya kesadaran geografis bisa ditunjukkan minimnya pengetahuan mahasiswa tentang peta Indonesia. Pengetahuan geografi merupakan sarana awal memahami potensi dan daya dukung daerah terhadap pembangunan yang berwawasan lingkungan. Strategi pembangunan yang tepat dengan dukungan anggaran memadai untuk pengembangan provinsi berkarakter bahari (baca: kepulauan), khususnya di wilayah perbatasan, seharusnya menjadi prioritas utama.
Ketiga, telah berjalan lama tidak terintegrasinya pembelajaran sejarah dan geografi dalam sistem pendidikan. Pembelajaran sejarah gagal menjelaskan keterkaitan antara dimensi “waktu” dan “ruang”. Suatu “peristiwa” (tidak hanya politik, tetapi juga sosial dan bencana) yang terjadi di suatu “tempat” tentu bukan suatu kebetulan. Di situlah kaitan kedua disiplin itu harus diberikan.
Benar KTSP 2006, memuat IPS Terpadu untuk SD (dari kelas IV dan di SMP) yang terdiri bukan hanya Sejarah dan Geografi, tetapi juga Ekonomi dan Sosiologi. Namun, strategi pembelajaran dan pelaksanaannya belum jelas dan masih ditunggu. Di Amerika Serikat sudah disadari pentingnya keterpaduan sejarah dan geografi, seperti ungkapan “We can’t teach good history without geography”.
Dengan ancaman terhadap kedaulatan teritorial, menjadi renungan bersama akan pentingnya kesadaran geohistoris. “Tanah-Air” (dengan tanda penghubung) merupakan perspektif dan konsep untuk penyusunan program strategis membangun bangsa dan memperkuat negara.
Penulis merupakan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB-UI)
Sumber :
http://64.203.71.11/kompas-cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar