Oleh : Jatmiko
Lokasi dan Lingkungan Situs
Gilimanuk adalah nama suatu tempat pelabuhan penyeberangan kapal ferry dari Pulau Jawa ke Bali. Lokasi ini juga merupakan pintu gerbangnya Pulau Bali dari arah barat (apabila melalui jalan darat). Mungkin tidak banyak masyarakat awam yang tahu kalau di wilayah ini dahulu (masa pra-Hindu) mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan sejarah di Bali. Di wilayah ini telah ditemukan suatu situs kompleks kubur dari masa prasejarah yang lokasinya terletak di tepi pantai (teluk), tepatnya berada di Desa Gilimanuk, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana dan berjarak sekitar 1 km arah tenggara dari pelabuhan penyeberangan. Berdasarkan lokasi astronomis situs ini terletak pada koordinat antara 809’36’’ – 8012’59’’ Lintang Selatan dan 114029’57’’ – 114029’10’’ Bujur Timur (Tim Peneliti 1979; 1990).
Secara geomorfologis, Situs Gilimanuk yang mempunyai luas sekitar 53 hektar dan berada pada ketinggian sekitar 4-5 meter dari permukaan laut (dpl) ini dibatasi oleh Gunung Prapat Agung yang terletak di sebelah barat daya, sedangkan di sebelah selatannya terdapat rumah penduduk Desa Banjararum. Di sebelah timur situs ini terdapat areal hutan bakau dan di sebelah baratnya dibatasi oleh Selat (Teluk) Bali. Wilayah ini termasuk dalam satuan pedataran aluvium dan berombak yang tersebar di bagian selatan dan utara. Dataran yang landai tersebut merupakan hasil endapan aluvium dari sungai dan laut dengan ketinggian rata-rata 0-5 meter di atas permukaan laut ke arah pelabuhan. Situs ini dikelilingi oleh paparan dangkalan (< style="font-weight: bold;">
Riwayat dan Latar Belakang
Riwayat dan latar belakang penemuan Situs Gilimanuk tidak dapat dilepaskan dari peran dan sekaligus pelopor penelitian situs ini, yaitu Prof. Dr. R.P. Soejono yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Cabang Dinas Purbakala di Bedaulu, Bali. Informasi awal tentang keberadaan situs ini bermula dari hasil laporan para pekerja DPU pada 1961 yang sedang melakukan pembuatan jalan raya antara Gilimanuk – Singaraja (di Dukuh Cekik, sekitar 6 km dari Gilimanuk) di mana mereka menemukan sejumlah besar pecahan periuk (kereweng) dan beberapa beliung persegi. Atas dasar laporan tersebut, kemudian pada 1962 dilakukan penelitian penjajagan di sekitar Dukuh Cekik namun hasilnya dinilai kurang memuaskan, sehingga pada 1963 kemudian penelitian diperluas dan dialihkan ke daerah pinggiran pantai (teluk) Gilimanuk. Dari hasil penelitian tersebut telah ditemukan sejumlah fragmen tulang-tulang manusia dan hewan, berbagai macam kereweng berhias dan polos, serta benda-benda logam dan manik-manik yang didapatkan secara berserakan pada salah satu tebing pinggiran pantai yang sedang mengalami pengikisan (Soejono 1977).
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, kemudian pada 1964 dilakukan suatu penelitian (melalui ekskavasi arkeologi) secara besar-besaran yang melibatkan beberapa tenaga ahli dan gabungan mahasiswa dari 3 universitas: Universitas Udayana, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Indonesia. Penelitian kemudian dilanjutkan pada tahun 1973, 1977, 1979, 1984, 1985, 1986, 1990 dan sampai sekarang penelitian di situs ini masih terus berlanjut serta ditangani oleh Balai Arkeologi Denpasar. Secara umum, Situs Gilimanuk yang merupakan kompleks kubur (nekropolis) dari masa prasejarah ini telah ditemukan lebih dari 300 individu rangka manusia beserta benda-benda bekal kuburnya yang antara lain berupa: gelang dan perhiasan dari kerang, tanah liat bakar (cawan, periuk, mangkuk, pedupaan, kendi), manik-manik (kaca, kerang, terakota, batu kalsedon dan emas), benda-benda perunggu dan besi (gelang, anting, cincin, mata tajak, mata tombak, mata pisau, mata pancing), sisa-sisa hewan (unggas, anjing, dan babi) (Soejono 1977;1984).
Kompleks Kubur
Sejumlah temuan rangka manusia yang ditemukan di Situs Gilimanuk ini secara nyata telah memperlihatkan suatu sistem atau pola penguburan yang jelas sangat berbeda dengan tradisi penguburan pada masyarakat Bali sekarang dimana umumnya dilakukan dengan cara ngaben (dibakar), sehingga tidak meninggalkan bekas-bekas atau jasadnya. Hal ini sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Bali sekarang yang mayoritas memeluk agama Hindu. Keberadaan kompleks kubur di Situs Gilimanuk yang sangat unik tersebut secara nyata telah menimbulkan suatu tanda tanya besar dan teka-teki misterius yang masih belum terjawab secara tuntas sampai sekarang. Mungkinkah sistem penguburan yang berlangsung di situs ini berasal dari masa prasejarah; lalu sejak kapan terjadinya; kenapa rangka-rangka tersebut dibekali dengan benda-benda kubur, kenapa ada rangka-rangka binatang atau manusia yang terpotong tulangnya dan mungkin masih banyak lagi berbagai pertanyaan menarik yang memerlukan jawaban dari keunikan situs ini? (Jatmiko, 2000).
Berdasarkan pengamatan terhadap sistem penguburan yang berlangsung di Situs Gilimanuk (menurut Soejono) secara garis besar dibagi menjadi empat kategori menurut polanya: yaitu Pola-1 adalah kubur pertama (primary burial), Pola-2 adalah kubur kedua (secondary burial), Pola-3 adalah kubur campuran atau gabungan antara Pola-1 dan 2 dengan berbagai variasi, dan Pola-4 adalah penguburan dengan tempayan yang sifatnya khusus, karena menggunakan tempayan sepasang untuk mengubur tulang-tulangkubur kedua (double jars burial). Berbagai sikap mayat yang berhasil diketahui (terutama yang banyak terdapat pada beberapa kubur Pola-1) memperlihatkan beberapa variasi atau posisi yang sangat menyolok, di antaranya sikap membujur (extended), setengah terlipat (semi flexed), melipat (flexed), dan dorsal dengan kedua paha terbuka, dorsal dengan bagian tungkai di bawah lutut ditarik ke belakang dan tertelungkup atau tersungkur (prostrate position) (Soejono 1977).
Data demografi dan hasil identifikasi anatomis terhadap sejumlah 227 individu rangka manusia yang ditemukan dalam kegiatan ekskavasi di Gilimanuk dari tahun 1964-1985, telah memperlihatkan hasil bahwa sekitar 177 individu dapat diketahui umurnya dan 115 individu dapat diketahui jenis kelaminnya. Berdasarkan umur, sebagian besar rangka manusia yang ditemukan terdiri dari usia 1 - 55 tahun (dalam usia produktif dan nonproduktif) dengan populasi angka kematian terbanyak antara usia 1 – 10 tahun (82 individu). Sedangkan dari jenis kelamin diketahui bahwa 68 individu terdiri dari laki-laki, 47 individu terdiri dari jenis perempuan, dan selebihnya sebanyak 111 individu sukar ditentukan karena kondisi tulang (rangka) yang sudah rapuh, fragmenter dan tidak lengkap. Populasi penduduk di situs kubur Gilimanuk diperkirakan mencapai sekitar 300 orang (pada waktu itu) yang menempati areal seluas 53 km2 (Arifin Azis, 1993).
Bekal Kubur dan Konsepsi Kepercayaan
Salah satu konsepsi kepercayaan yang sangat menonjol dalam masyarakat prasejarah di Indonesia adalah sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati. Kepercayaan yang berlatar belakang animisme dan dinamisme tersebut memunyai anggapan bahwa roh seseorang dianggap memunyai kehidupan di alamnya tersendiri sesudah meninggal, sehingga perlu diadakan upacara-upacara keagamaan sebelum dikuburkan. Konsepsi kepercayaan yang paling menyolok dalam kaitannya dengan upacara kematian adalah sistem penguburan, terutama bagi mereka yang dianggap terkemuka oleh masyarakat.
Sistem penguburan tersebut biasanya dilakukan secara langsung (primer) maupun tidak langsung (sekunder) dengan penyertaan bekal kubur (funeral gift) berbentuk benda-benda pusaka, senjata, perhiasan dan mungkin juga makanan yang diletakkan dalam periuk-periuk sekitar mayat. Bekal kubur tersebut kadang-kadang juga berupa binatang (anjing, babi) dan manusia yang khusus dikorbankan dengan maksud agar arwahnya dapat ikut serta dengan roh si mati ke alam baka. Kehidupan di alam arwah dipandang sama keadaannya dengan dunia orang hidup, oleh karena itu kesejahteraan arwah harus tetap terjamin untuk menjaga kelangsungan hubungan dengan orang-orang yang ditinggalkan agar dapat terus berlangsung dengan baik (Soejono, 1984).
Berbagai bentuk pola kubur dan penyertaan benda-benda kubur yang ditemukan di Gilimanuk secara nyata hal tersebut jelas memperlihatkan suatu bentuk atau sistem penguburan yang sangat erat hubungannya dengan status sosial orang yang dikuburkan (si mati). Beberapa contoh sistem penguburan menarik yang mungkin memunyai kaitan dengan stastus sosial di situs ini antara lain adalah temuan kubur tempayan sepasang yang disertai dengan bekal kubur manusia yang dibunuh dengan sengaja dan diletakkan dibawahnya, serta temuan tulang leher manusia yang terpotong (dipenggal?) dalam sebuah cawan, kemudian ada lagi rangka manusia yang disertai dengan rangka anjing, atau beberapa rangka manusia yang disertai dengan rangka anjing atau beberapa rangka manusia yang diberi bekal kubur berupa tutup mulut dan tutup mata dari suasa, perhiasan dari emas, kapak-kapak perunggu, mata tombak, manik-manik, gigi taring (seri) anjing yang dilubangi (sebagai kalung), dan sebagainya. Semua ini memperlihatkan suatu bentuk penghormatan terhadap orang-orang tertentu, seperti misalnya terhadap golongan pemimpin atau orang-orang yang memunyai pengaruh besar. Khusus mengenai penyertaan korban manusia yang dibunuh secara paksa atau penyertaan binatang anjing, kemungkinan hal itu dihubungkan sebagai symbol untuk mengiring perjalanan si mati (tuannya) ke dunia arwah. Karena seperti kita ketahui anjing adalah salah satu hewan yang sangat penurut, di mana tuannya pergi dia akan selalu mengikuti, sedangkan korban manusia di sini diidentikkan dengan pelayan atau budak yang sangat setia kepada tuannya (Soejono, 1977).
Manusia Pendukung dan Pertanggalan (Kronologi)
Berdasarkan hasil analisis anatomi terhadap beberapa temuan rangka manusia dari situs kubur Gilimanuk yang dilakukan oleh Bio-Paleoantropologi (UGM), maka berhasil diketahui bahwa manusia pendukung situs ini adalah termasuk jenis manusia modern (spesies Homo Sapiens). Sedangkan ciri ras yang paling dominan ditemukan adalah Mongoloid walaupun kecenderungan cirri-ciri ras Australomelanesoid masih terlihat. Dari hasil analisis pertanggalan absolut karbon 14 (14C) yang dilakukan di laboratorium Groningen (Belanda) menunjukkan bahwa okupasi Situs Gilimanuk berlangsung selama 200 tahun, yaitu kira-kira pada abad kedua hingga keempat Masehi atau pada akhir masa prasejarah (masa perundagian – paleometalik). Pertanggalan absolut tersebut berkisar antara 1650±55 BP - 2020±165 BP (Arifin Azis, 1993; 1998).
Sisa-sisa Fauna
Pemberdayaan sumber daya fauna (baik hewan darat mau pun air) ternyata sudah dilakukan oleh masyarakat pendukung Situs Gilimanuk sejak dulu. Bukti-bukti tersebut diperoleh melalui sejumlah temuan tulang-tulang hewan dari hasil penggalian (masih dalam konteks kubur) yang sangat melimpah. Pemanfaatan hewan darat ini, antara lain, terdiri dari jenis babi, anjing, unggas (ayam), tikus, dan kelelawar; sedangkan dari jenis hewan air umumnya berasal dari biota marin jenis kerang-kerangan dan ikan. Binatang-binatang tersebut kemungkinan dimanfaatkan sebagai konsumsi atau makanan sehari-hari di samping untuk keperluan upacara-upacara tertentu dalam penguburan (misalnya sebagai bekal kubur). Sisa-sisa tulang binatang tersebut seringkali juga dimanfaatkan untuk peralatan dan perhiasan. Jenis kulit kerang-kerang besar seperti Strombidae, Pleurotomaiidae, dan Tridacna dimanfaatkan sebagai gelang atau anting, sedangkan jenis kerang setakup Bivalvia dipakai sebagai alat serut, lancipan, atau pisau, dan jenis kerang Cowry besar dipergunakan sebagai sendok dan cawan kecil (Tim Peneliti, 1979; 1990).
Penutup
Situs Gilimanuk merupakan salah satu situs kompleks penguburan (necropolis) di tepi pantai (pesisir) yang berasal dari masa akhir prasejarah sebelum masuknya pengaruh Hindu (pra-Hindu) di Bali. Dari beberapa data temuan yang dihasilkan melalui penelitian (ekskavasi), setidaknya hal tersebut telah memberikan suatu bukti dan petunjuk tentang adanya corak budaya atau tradisi asli (lokal) yang berkembang pada waktu itu sebelum terkena pengaruh unsur-unsur dari luar (budaya asing). Temuan rangka-rangka manusia yang dikuburkan baik secara langsung (tanpa wadah) maupun memakai wadah tempayan (bersusun) beserta benda-benda bekal kuburnya telah memperlihatkan suatu gambaran tentang adanya sistem penguburan yang berlatar belakang pemujaan arwah leluhur dan pengkultusan individu (status sosial masyarakat). Dan dari hasil identifikasi temuan rangka-rangka tersebut telah diketahui bahwa yang dikuburkan adalah jenis laki-laki dan perempuan yang terdiri dari golongan orang dewasa, remaja, dan anak-anak. Golongan anak-anak yang memunyai umur antara 1-10 tahun ternyata memunyai tingkat kematian yang sangat tinggi. Sementara itu, pada waktu (masa) yang bersamaan di daerah bali (terutama di wilayah pedalaman) juga berlangsung suatu sistem penguburan yang memakai wadah “sarkofagus”.
Sistem penguburan pada masa akhir masa prasejarah (perundagian) di daerah tepi pantai (pesisir) atau sekitar tepi sungai ternyata tidak hanya terdapat di Situs Gilimanuk, dan ternyata di wilayah-wilayah lainnya di Indonesia juga ditemukan, di antaranya adalah Situs Muara Betung (Sumatra Selatan), Anyer (Jawa Barat), Plawangan (Jawa Tengah), Melolo dan Lambanapu (Sumba Timur), dan Lewoleba (Flores).
Daftar Pustaka
Arifin Azis, Fadhila. 1993. “Studi Arkeologi Demografi pada Situs Kubur Gilimanuk (Bali) dari Masa Perundagian”, dalam PIA VI. Jakarta: Puslit Arkenas.
Arifin Azis, Fadhila, 1998. “Karakteristik dan Sebaran Situs Kubur Tempayan di Asia Daratan dan Kepulauan, Kawasan Asia Tenggara”. Berkala Arkeologi, Edisi No. 2 Th XVIII.
Jatmiko. 2000. “Sistem Penguburan dengan Kalamba di Lembah Besoa: Bentuk Gambaran Komunal dalam Tata Masyarakat Prasejarah di Indonesia”, Makalah dalam EHPA Bedugul (Bali). Jakarta: Puslit Arkenas.
Soejono, RP. 1977. “Sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali”, Disertasi (Teks). Jakarta: Universitas Indonesia.
Soejono, RP. 1984. Sejarah Nasional Indonesia I. Editor. Jakarta: Depdikbud, Balai Pustaka.
Tim Peneliti. 1977. 1979. 1990. “Ekskavasi Situs Gilimanuk”. Jakarta: LPA Bidang Prasejarah, Puslit Arkenas.
Sumber tulisan
http://indoarchaeology.com
http://www.wacananusantara.org/99/600/situs-gilimanuk
Lokasi dan Lingkungan Situs
Gilimanuk adalah nama suatu tempat pelabuhan penyeberangan kapal ferry dari Pulau Jawa ke Bali. Lokasi ini juga merupakan pintu gerbangnya Pulau Bali dari arah barat (apabila melalui jalan darat). Mungkin tidak banyak masyarakat awam yang tahu kalau di wilayah ini dahulu (masa pra-Hindu) mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan sejarah di Bali. Di wilayah ini telah ditemukan suatu situs kompleks kubur dari masa prasejarah yang lokasinya terletak di tepi pantai (teluk), tepatnya berada di Desa Gilimanuk, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana dan berjarak sekitar 1 km arah tenggara dari pelabuhan penyeberangan. Berdasarkan lokasi astronomis situs ini terletak pada koordinat antara 809’36’’ – 8012’59’’ Lintang Selatan dan 114029’57’’ – 114029’10’’ Bujur Timur (Tim Peneliti 1979; 1990).
Secara geomorfologis, Situs Gilimanuk yang mempunyai luas sekitar 53 hektar dan berada pada ketinggian sekitar 4-5 meter dari permukaan laut (dpl) ini dibatasi oleh Gunung Prapat Agung yang terletak di sebelah barat daya, sedangkan di sebelah selatannya terdapat rumah penduduk Desa Banjararum. Di sebelah timur situs ini terdapat areal hutan bakau dan di sebelah baratnya dibatasi oleh Selat (Teluk) Bali. Wilayah ini termasuk dalam satuan pedataran aluvium dan berombak yang tersebar di bagian selatan dan utara. Dataran yang landai tersebut merupakan hasil endapan aluvium dari sungai dan laut dengan ketinggian rata-rata 0-5 meter di atas permukaan laut ke arah pelabuhan. Situs ini dikelilingi oleh paparan dangkalan (< style="font-weight: bold;">
Riwayat dan Latar Belakang
Riwayat dan latar belakang penemuan Situs Gilimanuk tidak dapat dilepaskan dari peran dan sekaligus pelopor penelitian situs ini, yaitu Prof. Dr. R.P. Soejono yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Cabang Dinas Purbakala di Bedaulu, Bali. Informasi awal tentang keberadaan situs ini bermula dari hasil laporan para pekerja DPU pada 1961 yang sedang melakukan pembuatan jalan raya antara Gilimanuk – Singaraja (di Dukuh Cekik, sekitar 6 km dari Gilimanuk) di mana mereka menemukan sejumlah besar pecahan periuk (kereweng) dan beberapa beliung persegi. Atas dasar laporan tersebut, kemudian pada 1962 dilakukan penelitian penjajagan di sekitar Dukuh Cekik namun hasilnya dinilai kurang memuaskan, sehingga pada 1963 kemudian penelitian diperluas dan dialihkan ke daerah pinggiran pantai (teluk) Gilimanuk. Dari hasil penelitian tersebut telah ditemukan sejumlah fragmen tulang-tulang manusia dan hewan, berbagai macam kereweng berhias dan polos, serta benda-benda logam dan manik-manik yang didapatkan secara berserakan pada salah satu tebing pinggiran pantai yang sedang mengalami pengikisan (Soejono 1977).
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, kemudian pada 1964 dilakukan suatu penelitian (melalui ekskavasi arkeologi) secara besar-besaran yang melibatkan beberapa tenaga ahli dan gabungan mahasiswa dari 3 universitas: Universitas Udayana, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Indonesia. Penelitian kemudian dilanjutkan pada tahun 1973, 1977, 1979, 1984, 1985, 1986, 1990 dan sampai sekarang penelitian di situs ini masih terus berlanjut serta ditangani oleh Balai Arkeologi Denpasar. Secara umum, Situs Gilimanuk yang merupakan kompleks kubur (nekropolis) dari masa prasejarah ini telah ditemukan lebih dari 300 individu rangka manusia beserta benda-benda bekal kuburnya yang antara lain berupa: gelang dan perhiasan dari kerang, tanah liat bakar (cawan, periuk, mangkuk, pedupaan, kendi), manik-manik (kaca, kerang, terakota, batu kalsedon dan emas), benda-benda perunggu dan besi (gelang, anting, cincin, mata tajak, mata tombak, mata pisau, mata pancing), sisa-sisa hewan (unggas, anjing, dan babi) (Soejono 1977;1984).
Kompleks Kubur
Sejumlah temuan rangka manusia yang ditemukan di Situs Gilimanuk ini secara nyata telah memperlihatkan suatu sistem atau pola penguburan yang jelas sangat berbeda dengan tradisi penguburan pada masyarakat Bali sekarang dimana umumnya dilakukan dengan cara ngaben (dibakar), sehingga tidak meninggalkan bekas-bekas atau jasadnya. Hal ini sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Bali sekarang yang mayoritas memeluk agama Hindu. Keberadaan kompleks kubur di Situs Gilimanuk yang sangat unik tersebut secara nyata telah menimbulkan suatu tanda tanya besar dan teka-teki misterius yang masih belum terjawab secara tuntas sampai sekarang. Mungkinkah sistem penguburan yang berlangsung di situs ini berasal dari masa prasejarah; lalu sejak kapan terjadinya; kenapa rangka-rangka tersebut dibekali dengan benda-benda kubur, kenapa ada rangka-rangka binatang atau manusia yang terpotong tulangnya dan mungkin masih banyak lagi berbagai pertanyaan menarik yang memerlukan jawaban dari keunikan situs ini? (Jatmiko, 2000).
Berdasarkan pengamatan terhadap sistem penguburan yang berlangsung di Situs Gilimanuk (menurut Soejono) secara garis besar dibagi menjadi empat kategori menurut polanya: yaitu Pola-1 adalah kubur pertama (primary burial), Pola-2 adalah kubur kedua (secondary burial), Pola-3 adalah kubur campuran atau gabungan antara Pola-1 dan 2 dengan berbagai variasi, dan Pola-4 adalah penguburan dengan tempayan yang sifatnya khusus, karena menggunakan tempayan sepasang untuk mengubur tulang-tulangkubur kedua (double jars burial). Berbagai sikap mayat yang berhasil diketahui (terutama yang banyak terdapat pada beberapa kubur Pola-1) memperlihatkan beberapa variasi atau posisi yang sangat menyolok, di antaranya sikap membujur (extended), setengah terlipat (semi flexed), melipat (flexed), dan dorsal dengan kedua paha terbuka, dorsal dengan bagian tungkai di bawah lutut ditarik ke belakang dan tertelungkup atau tersungkur (prostrate position) (Soejono 1977).
Data demografi dan hasil identifikasi anatomis terhadap sejumlah 227 individu rangka manusia yang ditemukan dalam kegiatan ekskavasi di Gilimanuk dari tahun 1964-1985, telah memperlihatkan hasil bahwa sekitar 177 individu dapat diketahui umurnya dan 115 individu dapat diketahui jenis kelaminnya. Berdasarkan umur, sebagian besar rangka manusia yang ditemukan terdiri dari usia 1 - 55 tahun (dalam usia produktif dan nonproduktif) dengan populasi angka kematian terbanyak antara usia 1 – 10 tahun (82 individu). Sedangkan dari jenis kelamin diketahui bahwa 68 individu terdiri dari laki-laki, 47 individu terdiri dari jenis perempuan, dan selebihnya sebanyak 111 individu sukar ditentukan karena kondisi tulang (rangka) yang sudah rapuh, fragmenter dan tidak lengkap. Populasi penduduk di situs kubur Gilimanuk diperkirakan mencapai sekitar 300 orang (pada waktu itu) yang menempati areal seluas 53 km2 (Arifin Azis, 1993).
Bekal Kubur dan Konsepsi Kepercayaan
Salah satu konsepsi kepercayaan yang sangat menonjol dalam masyarakat prasejarah di Indonesia adalah sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati. Kepercayaan yang berlatar belakang animisme dan dinamisme tersebut memunyai anggapan bahwa roh seseorang dianggap memunyai kehidupan di alamnya tersendiri sesudah meninggal, sehingga perlu diadakan upacara-upacara keagamaan sebelum dikuburkan. Konsepsi kepercayaan yang paling menyolok dalam kaitannya dengan upacara kematian adalah sistem penguburan, terutama bagi mereka yang dianggap terkemuka oleh masyarakat.
Sistem penguburan tersebut biasanya dilakukan secara langsung (primer) maupun tidak langsung (sekunder) dengan penyertaan bekal kubur (funeral gift) berbentuk benda-benda pusaka, senjata, perhiasan dan mungkin juga makanan yang diletakkan dalam periuk-periuk sekitar mayat. Bekal kubur tersebut kadang-kadang juga berupa binatang (anjing, babi) dan manusia yang khusus dikorbankan dengan maksud agar arwahnya dapat ikut serta dengan roh si mati ke alam baka. Kehidupan di alam arwah dipandang sama keadaannya dengan dunia orang hidup, oleh karena itu kesejahteraan arwah harus tetap terjamin untuk menjaga kelangsungan hubungan dengan orang-orang yang ditinggalkan agar dapat terus berlangsung dengan baik (Soejono, 1984).
Berbagai bentuk pola kubur dan penyertaan benda-benda kubur yang ditemukan di Gilimanuk secara nyata hal tersebut jelas memperlihatkan suatu bentuk atau sistem penguburan yang sangat erat hubungannya dengan status sosial orang yang dikuburkan (si mati). Beberapa contoh sistem penguburan menarik yang mungkin memunyai kaitan dengan stastus sosial di situs ini antara lain adalah temuan kubur tempayan sepasang yang disertai dengan bekal kubur manusia yang dibunuh dengan sengaja dan diletakkan dibawahnya, serta temuan tulang leher manusia yang terpotong (dipenggal?) dalam sebuah cawan, kemudian ada lagi rangka manusia yang disertai dengan rangka anjing, atau beberapa rangka manusia yang disertai dengan rangka anjing atau beberapa rangka manusia yang diberi bekal kubur berupa tutup mulut dan tutup mata dari suasa, perhiasan dari emas, kapak-kapak perunggu, mata tombak, manik-manik, gigi taring (seri) anjing yang dilubangi (sebagai kalung), dan sebagainya. Semua ini memperlihatkan suatu bentuk penghormatan terhadap orang-orang tertentu, seperti misalnya terhadap golongan pemimpin atau orang-orang yang memunyai pengaruh besar. Khusus mengenai penyertaan korban manusia yang dibunuh secara paksa atau penyertaan binatang anjing, kemungkinan hal itu dihubungkan sebagai symbol untuk mengiring perjalanan si mati (tuannya) ke dunia arwah. Karena seperti kita ketahui anjing adalah salah satu hewan yang sangat penurut, di mana tuannya pergi dia akan selalu mengikuti, sedangkan korban manusia di sini diidentikkan dengan pelayan atau budak yang sangat setia kepada tuannya (Soejono, 1977).
Manusia Pendukung dan Pertanggalan (Kronologi)
Berdasarkan hasil analisis anatomi terhadap beberapa temuan rangka manusia dari situs kubur Gilimanuk yang dilakukan oleh Bio-Paleoantropologi (UGM), maka berhasil diketahui bahwa manusia pendukung situs ini adalah termasuk jenis manusia modern (spesies Homo Sapiens). Sedangkan ciri ras yang paling dominan ditemukan adalah Mongoloid walaupun kecenderungan cirri-ciri ras Australomelanesoid masih terlihat. Dari hasil analisis pertanggalan absolut karbon 14 (14C) yang dilakukan di laboratorium Groningen (Belanda) menunjukkan bahwa okupasi Situs Gilimanuk berlangsung selama 200 tahun, yaitu kira-kira pada abad kedua hingga keempat Masehi atau pada akhir masa prasejarah (masa perundagian – paleometalik). Pertanggalan absolut tersebut berkisar antara 1650±55 BP - 2020±165 BP (Arifin Azis, 1993; 1998).
Sisa-sisa Fauna
Pemberdayaan sumber daya fauna (baik hewan darat mau pun air) ternyata sudah dilakukan oleh masyarakat pendukung Situs Gilimanuk sejak dulu. Bukti-bukti tersebut diperoleh melalui sejumlah temuan tulang-tulang hewan dari hasil penggalian (masih dalam konteks kubur) yang sangat melimpah. Pemanfaatan hewan darat ini, antara lain, terdiri dari jenis babi, anjing, unggas (ayam), tikus, dan kelelawar; sedangkan dari jenis hewan air umumnya berasal dari biota marin jenis kerang-kerangan dan ikan. Binatang-binatang tersebut kemungkinan dimanfaatkan sebagai konsumsi atau makanan sehari-hari di samping untuk keperluan upacara-upacara tertentu dalam penguburan (misalnya sebagai bekal kubur). Sisa-sisa tulang binatang tersebut seringkali juga dimanfaatkan untuk peralatan dan perhiasan. Jenis kulit kerang-kerang besar seperti Strombidae, Pleurotomaiidae, dan Tridacna dimanfaatkan sebagai gelang atau anting, sedangkan jenis kerang setakup Bivalvia dipakai sebagai alat serut, lancipan, atau pisau, dan jenis kerang Cowry besar dipergunakan sebagai sendok dan cawan kecil (Tim Peneliti, 1979; 1990).
Penutup
Situs Gilimanuk merupakan salah satu situs kompleks penguburan (necropolis) di tepi pantai (pesisir) yang berasal dari masa akhir prasejarah sebelum masuknya pengaruh Hindu (pra-Hindu) di Bali. Dari beberapa data temuan yang dihasilkan melalui penelitian (ekskavasi), setidaknya hal tersebut telah memberikan suatu bukti dan petunjuk tentang adanya corak budaya atau tradisi asli (lokal) yang berkembang pada waktu itu sebelum terkena pengaruh unsur-unsur dari luar (budaya asing). Temuan rangka-rangka manusia yang dikuburkan baik secara langsung (tanpa wadah) maupun memakai wadah tempayan (bersusun) beserta benda-benda bekal kuburnya telah memperlihatkan suatu gambaran tentang adanya sistem penguburan yang berlatar belakang pemujaan arwah leluhur dan pengkultusan individu (status sosial masyarakat). Dan dari hasil identifikasi temuan rangka-rangka tersebut telah diketahui bahwa yang dikuburkan adalah jenis laki-laki dan perempuan yang terdiri dari golongan orang dewasa, remaja, dan anak-anak. Golongan anak-anak yang memunyai umur antara 1-10 tahun ternyata memunyai tingkat kematian yang sangat tinggi. Sementara itu, pada waktu (masa) yang bersamaan di daerah bali (terutama di wilayah pedalaman) juga berlangsung suatu sistem penguburan yang memakai wadah “sarkofagus”.
Sistem penguburan pada masa akhir masa prasejarah (perundagian) di daerah tepi pantai (pesisir) atau sekitar tepi sungai ternyata tidak hanya terdapat di Situs Gilimanuk, dan ternyata di wilayah-wilayah lainnya di Indonesia juga ditemukan, di antaranya adalah Situs Muara Betung (Sumatra Selatan), Anyer (Jawa Barat), Plawangan (Jawa Tengah), Melolo dan Lambanapu (Sumba Timur), dan Lewoleba (Flores).
Daftar Pustaka
Arifin Azis, Fadhila. 1993. “Studi Arkeologi Demografi pada Situs Kubur Gilimanuk (Bali) dari Masa Perundagian”, dalam PIA VI. Jakarta: Puslit Arkenas.
Arifin Azis, Fadhila, 1998. “Karakteristik dan Sebaran Situs Kubur Tempayan di Asia Daratan dan Kepulauan, Kawasan Asia Tenggara”. Berkala Arkeologi, Edisi No. 2 Th XVIII.
Jatmiko. 2000. “Sistem Penguburan dengan Kalamba di Lembah Besoa: Bentuk Gambaran Komunal dalam Tata Masyarakat Prasejarah di Indonesia”, Makalah dalam EHPA Bedugul (Bali). Jakarta: Puslit Arkenas.
Soejono, RP. 1977. “Sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali”, Disertasi (Teks). Jakarta: Universitas Indonesia.
Soejono, RP. 1984. Sejarah Nasional Indonesia I. Editor. Jakarta: Depdikbud, Balai Pustaka.
Tim Peneliti. 1977. 1979. 1990. “Ekskavasi Situs Gilimanuk”. Jakarta: LPA Bidang Prasejarah, Puslit Arkenas.
Sumber tulisan
http://indoarchaeology.com
http://www.wacananusantara.org/99/600/situs-gilimanuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar