Minggu, 21 Maret 2010

Bejana Perunggu: Sebuah Peninggalan Kebudayaan Masyarakat Perundagian

Dalam masa perundagian kemahiran membuat alat-alat semakin berkembang sebagai akibat dari terjadinya golongan-golongan dalam masyarakat yang bertugas khusus untuk membuat alat-alat. Kontak cultural antara satu suku atau kelompok dengan kelompok lain baik di wilayah nusantara maupun dengan bangsa-bangsa lain telah menjadikan perkembangan kebudayaan dari yang semula menggunakan peralatan dari batu mejadi menggunakan peralatan dari perunggu, seprti bejana yang terbuat dari perunggu.

Pada masa itu teknologi peningkatan pembuatan benda-benda semakin meningkat, terutaman setelah ditemukan campuran antara timah dan tembaga yang menghasilkan logam perunggu. Di Asia tenggara logam mulai dikenal kira-kira 3000-200 sebelum Masehi. Dalam penggalian di Vietnam ditemukan berbagai macam alat perunggu antara lain nekara, bejana, ujung tombak, kapak dan gelang. Benda-benda yang ditemukan ini memiliki kesamaan dengan benda yang pernah ditemukan di Cina dari masa dinasti Han, kira-kira pada awal Masehi. Di Thailand ditemukan benda-benda perunggu yang diperkirakan berumur 3000 tahun sebelum Masehi.

Di Indonesia, penggunaan logam perunggu diperkirakan bersamaan dengan perkembangan perunggu di Asia Tenggara. Berdasarkan temuan arkeologi, Indonesia mengenal peralatan dari perunggu, besi dan untuk perhiasan juga mengenal yang namanya emas. Perjalanan prasejarah di Indonesia berlangsung secara bertahap atau tidak menyeluruh. Sementara itu peralatan dari zaman sebelumnya masih ada yang diergunakan, dan berangsur-angsur ditinggalkan setelah pengetahuan tentang logam ini tersebar secara luas.

Benda perunggu yang ditemukan di Indonesia memiliki kesamaan dengan yang ditemukan di Dongson (Vietnam), baik bentuk maupun pola hiasnya. Hal ini diperkirakan adanya hubungan budaya antara yang ada di Dongson dan yang ada di Indonesia.

Cara pembuatan
Perkembangan teknologi dan kebudayaan terus berkembang, begitu juga pada zaman prasejarah. Pada zaman prasejarah terjadi beberapa kali perkembangan peradaban, dari mulai yang sederhana sampai dengan pernggunaan peralatan dari logam atau sering disebut zaman perundagian. Suatu kemahiran baru pada masa perundagian adalah kemampuan menuang peralatan dari logam. Teknik melebur logam merupakan teknik yang tinggi, karena pengetahuan semacam itu belum dikenal dalam masa sebelumnya. Logam harus dipanaskan hingga mencapai titik lebur, kemudian baru dicetak menjadi bermacam-macam jenis perkakas atau benda lain yang diperlukan. Teknik pembuatan benda perunggu ada dua macam yaitu dengan cetak setangkup (bivalve) dan cetak lilin (a cire perdue).

1. Cetakan setangkup
Cetakan Setangkup, yaitu cara menuangkan dengan kita membuat, cetakan dari batu misalnya, yang terdiri dari dua bagian yang dapat di tangkupkan (dikatupkan) seperti kulit tiram. Teknik ini dilakukan untuk benda-benda yang tidak memiliki bagian-bagian yang menonjol. Tuangan untuk semacam ini dapat dipergunakan untuk beberapa kali.

2. Teknik a cire perdue
Teknik a cire perdue dipergunakan untuk benda-benda yang berbentuk dengan ada bagian yang menonjol, misalnya arca, kapak perunggu. Caranya yaitu sebagai berikut:
a. Mula-mula dibuat model benda dari lilin yang diinginkan
b. Seluruh model dari lilin itu kemudian dilapisi dengan tanah liat yang tahan api
c. Lapisan tanah liat di bagian atas dibuat semacam corong dan dibagian bawah diberi lubang
d. Seluruh model yang berlapis tanah liat itu dibakar sampai lilin meleleh dan mengalir melalui saluran yang telah dibuat
e. Dari corong tadi dituangkan cairan perunggu
f. Setelah cairan perunggu membeku dan dingin, maka lapisan tanah liat itu padat dan pecah, sehingga kita memperoleh benda cetakan dari perunggu.

Kapak perunggu memiliki macam-macam bentuk dan ukuran. Dilihat dari penggunaannya, maka kapak perunggu dapat berfungsi dua macam yaitu:
1. Sebagai alat upacara atau benda pusaka
2. Sebagai perkakas atau alat untuk bekerja

Secara tipologi, kapak perunggu dapat digolongkan dalam dua golongan, yaitu kapak corong dan kapak upaca. Umumnya kapak perunggu yang terdapat di Indonesia mempunyai semacam corong untuk memasukan kayu tangkai. Oleh karena bentunya menyerupai kaki yang bersepatu, maka dinamakan “kapak sepatu”. Namun lebih tepatnya disebut kapak corong.

Berdasarkan hasil temuan, kapak perunggu ternyata ada yang memiliki hiasan dan ada yang tidak memiliki hiasan. Adapun daerah penemuan dari kapak perunggu adalah Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, Flores, Pulau Roti, dan Papua dekat danau Sentani.

Untuk membuat peralatan logam, ternyata tidak semudah yang kita pikirkan, karena mereka harus membuat berbagai campuran seperti Tembaga, Timah Hitam dan Timah Putih. Dalam membuat bejana perunggu seorang ahli harus mencampurkan, ketiga bahan tersebuat dengan kadar ketentuan tertentu; sebagai contoh untuk membuat bejana perunggu Asemjaran (Madura) memerlukan 63,40% Tembaga, 2,83 % Timah Hitam, dan 15,20 % Timah Putih. Ketiga benda ini dilebut menjadi satu sehingga menghasilkan cairan logam yang siap dibentuk sesuai dengan tujuannya.

Penemuan Bejana Perunggu
Bejana Perunggu, ditemukan di Indonesia hanya dua buah , yaitu di Sumatra dan Madura. Bejana perunggu berbentuk bulat panjang seperti kepisi atau keranjang untuk tempat ikan yang diikatkan di pinggang ketika orang sedang mencari ikan. Bejana ini dibuat dari dua lempengan perunggu yang cembung, yang diletakan dengan pacuk besi pada sisi-sisinya. Pola hias pada bejana ini tidak tidak sama susunannya. Bejana yang ditemukan di Kerinci (Sumatra) berukuran panjang 50,8 cm dengan lebar 37 cm. Sebagian lehernya sudah hilang. Bagian leher ini dihias dengan huruf J dan pola anyaman. Pola huruf S terdapat di bagian tengah badan. Di bagian leher tampak logam berlekuk yang mungkin dipergunakan untuk menggantungkan bejana pada tali.


Bejana perunggu dari Asemjaran, Madura Jawa Timur

Bejana yang ditemukan di Asemjarang, Sampang (Madura) mempunyai ukuran tinggi 90 cm dan lebar 54 cm. Hiasan pada bagian leher terbagi atas tiga ruangan, yaitu ruang pertama berisi lima buah tumpal berderet dan di dalam pola ini terdapat gambar burung merak; ruang kedua berisi huruf J yang disusun berselang-seling tegak dan terbalik; dan ruang ketiga juga berisi pola tumpal sederet sebanyak empat buah. Di dalam pola tumpal terdapat gambar seekor kijang. Bagian badan bejana dihias dengan pola hias spiral yang utuh dan terpotong, dan sepajang tepinya dihias dengan tumpal. Sepasang pegangan dihias dengan pola tali. Latar belakang hiasan dan pola tumpal ialah dengan titik-titik dan di dalam ruang-ruang dengan pola spiral diisi dengan pola anyaman halus. Bejana ini mirip dengan bejana yang ditemukan di Phnom Penh (Khamer).


Bejana Perunggu dari Kerinci (Sumatera)

Kapak Makassar yang sangat besar dapat juga dianggap sebagai bejana. Bidang lehernya dihias dengan pola geometris berupa garis-garis spiral yang mengapit pola hias topeng dan pola hias tumpal. Bidang lainnya dileher memperlihatkan pola sepasang mata yang bersusun sebagai pola hias utama. Bagian badannya dihias, hanya bagian tepinya terdapat hiasan pola duri ikan. Bagian bawah menonjol, yang sebenarnya merupakan sisa (lidah) tuangan, sebagai penyangga kalau benda ini diletakan berdiri. Panjang benda ini 70,5 cm lebar badan 45 cm dan lebar leher 28,8 cm. tempat penemuannya adalah Ujung Pandang (Makassar) di Sulawesi Selatan.

Pada tahun 1987, Mujiono dari desa Sri Monosari, kabupaten Lampung Tengah, menemukan sebuah bejana perunggu di samping rumahnya. Menurut cerita seorang pegawai Museum Negeri Lampung yang pernah melihatnya, bejana ini baik bentuk, ukuran, maupun pola hiasnya sama dengan pola dari Phnom Penh. Sayang benda ini diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab, atau tidak diketahui keberadaannya untuk sekarang ini.

Tahun berikutnya Mujiono menemukan lagi sebuah bejana yang ukurannya lebih kecil. Bejana ini sekarang disimpan di Museum Negeri Lampung. Bejana ini berukuran panjang 63 cm dan lebar bagian mulut 16,5 cm. Pola hiasan berupa pola tumpal dan pola huruf J, pilin, dan jaring.

Kepustakaan
Moehhadi. (1986). Sejarah Indonesia. Jakarta: Karunia Jakarta Universitas Terbuka
Poesponegoro, M.D. dkk. (2008). Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono. (1990). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 1. Kanisius

Sumber :
http://www.wacananusantara.org/2/624/bejana-perunggu:-sebuah-peninggalan-kebudayaan-masyarakat-perundagian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar