Minggu, 28 Maret 2010

Deret Kempyung dari Bandung

Oleh : Putut Tri Husodo

Priadi dwi hardjito, dosen asti bandung, menemukan kunci untuk membuka bermacam nada dari berbagai sistem musik. teori jaap kunst, gugur. berwujud sebuah rumus dalam sebuah formula deret.

GENDING Sendhon Tlutur mengalun terpatah-patah, dalam nada laras barang miring. Suara itu bukan muncul dari siter atau gambang, melainkan lewat pengeras suara sebuah komputer. Nada-nada yang muncul dari mesin pintar itu persis denting Kyai Kancil Belik gamelan tua yang tersimpan di Keraton Yogyakarta.

Sejurus kemudian, beberapa perintah baru dimasukkan. Lalu tuts komputer dimainkan. Maka, mengalunlah tembang Bubuy Bulan dalam laras pelog. Frekuensi nada yang tampil kali ini menirukan suara si Bloem, gamelan Sunda yang tersimpan di Cianjur.

"Ketepatan frekuensi nada-nadanya hampir 100 persen," kata Ir. Priadi Dwi Hardjito, yang memainkan keyboard komputer itu. Dosen Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung itu memang punya "kunci" untuk membuka bermacam nada dari berbagai sistem musik.

Kunci yang dimiliki Priadi, 36 tahun, berwujud sebuah rumus matematik dalam suatu formula deret. Formula matematik ini mampu mempolakan interval nada berbagai sistem musik tersebut. Rumus seri nada itu, oleh Priadi, dinamakan Deret Interval Kempyung Bedantara (DIKB). "Ini karya fisika tentang bunyi," ujar alumnus Teknik Mesin ITB 1979 ini.

Formula deret Priadi itu kini sedang diuji di Laboratorium Akustik Puslitbang KIM (Pusat Penelitian dan Pengembangan alibrasi-Instrumentasi-dan Metrologi) LIPI, Serpong, Tangerang. "Sedang dimintaan pengakuan keabsahan ilmiah dan orisinalitasnya," ujarnya. Pekan lalu, DIKB itu dibawa Priadi ke forum seminar KIM di Balai Sidang, Senayan, dan mendapat perhatian besar.

Rumus deret itu memang rumit. Priadi merekrut empat parameter musik sebagai eubah (variabel) bebas untuk formula deretnya. Dengan memberikan bilangan tertentu pada formula tadi, satu oktaf nada siap dimainkan pada tuts-tuts komputer.

Pri menetapkan frekuensi nada tonika nada dasar pada sebuah oktaf, sebagai peubah bebas pertama. Nomor oktaf yang dikehendaki diangkat sebagai variabel kedua. Oktaf pertama sebuah peubah bebas untuk membangun formula deret. Lalu, nilai segmen laras slendro dan segmen Kodhok Ngorek dipasang sebagai peubah ketiga dan keempat.

Dua parameter terakhir ini memang tak akan ditemukan dalam buku musikologi mana pun. Istilah itu memang buatan Priadi sendiri. Nilai kedua peubah bebas ini diturunkan dari perhitungan jumlah interval nada pada setiap oktaf. Sistem musik pada umumnya, kata Priadi, memiliki dua segmen interval. "Ini sifat yang universal," tuturnya.

Gamelan Jawa atau musik barat, umpamanya, menurut Pri, mematuhi aturan ini. Gamelan Jawa punya lima segmen interval slendro dan dua interval pelog. Jadi, untuk memindahkan suara Kyai Kancil Belik oktaf pertama, misalnya, angka-angka yang menjadi sifat sang Kyai dimasukkan dalam perintah.

Oktaf pertama berarti nilai peubah pertama adalah satu. Peubah ketiga dan keempat, seperti lazimnya gamelan Jawa, punya nilai lima dan dua. Lalu nada tonika Kancil yang 295 Hertz disertakan. Beberapa detik setelah dimasukkan, komputer siap menirukan suara Kyai Kancil Belik dengan tujuh nada dalam satu oktafnya. Kelebihan komputer ketimbang gamelan aslinya ialah dalam jumlah oktaf. Mesin canggih ini bisa memainkan beroktaf-oktaf nada.

Pengujian tahap pertama atas formula deret itu telah dilakukan sekitar Juli-Agustus silam. Dalam uji coba itu, nada-nada produksi deret Priadi disetarakan dengan dua buah alat musik baku: sintesaiser dan gitar Ermack 17, yang memiliki 17 ruas.

"Hasilnya cukup memuaskan," kata Ir. Margana Koesoemadinata, Kepala Lab Akustik KIM. Derajat akurasi deret terhadap nada-nada sintesaiser Yamaha, yang memiliki jangkauan empat oktaf itu, mencapai 99%.

Tapi, "Untuk memperoleh keabsahan yang lebih tinggi, deret itu perlu diuji dengan musik-musik lainnya," tambah Margana. Pengujian matematis memang telah dilakukan Priadi terhadap musik Muangthai dan Burma, tapi hanya dengan data sekunder yang dihimpun pendahulunya Jaap Kunst, musikolog Belanda yang ahli dalam ilmu perbandingan musik antarbangsa.

Priadi memang berharap bahwa penemuannya itu memperoleh pengesahan ilmiah secara luas. "Saya juga menginginkan hak paten atas penemuan ini," ujarnya. Sebab, tak mustahil, deret itu bisa digunakan untuk merancang sebuah instrumen musik elektronik yang bisa merepresentasikan ratusan, bahkan ribuan sistem musik dari berbagai penjuru dunia.

Pengkajian deret yang dilakukan lebih dari 10 tahun ini rupanya memberikan hasil ikutan. Priadi menolak teori Jaap Kunst, yang meninggal 28 tahun silam. Musikolog Belanda ini, dalam teorinya, mengatakan bahwa musik Asia Tenggara -- termasuk musik Jawa, Sunda, dan Bali tak lain adalah turunan musik Cina, yang memiliki 23 nada per oktaf.

Jaap Kunst pada 1930-an membangun teori tadi dengan membandingkan nada-nada Cina terhadap 48 set gamelan slendro dan 19 set pelog, dari Sunda, Jawa, dan Bali.

Nada pertama, laras pelog Kyai Munggang gamelan koleksi Pakualaman Yogya, misalnya, memiliki frekuensi 399 Hertz. Dekat dengan nada kedua musik Cina yang 400,5 Hertz. Tapi, "Jaap Kunst mengabaikan interval antarnada," ujar Priadi. Maka, dia membuat koreksi dengan pengujian statistik baru. Ternyata, hanya 14% sampel nada dari 67 gamelan itu yang bisa digolongkan dekat dengan musik Tiongkok.

Bahkan kini Priadi yakin bahwa justru laras slendro sistem musik Sunda-Jawa-Bali merupakan induk sistematika akustik berbagai tata musik. Buktinya? Tata musik Barat, Cina, Muangthai, dan Burma bisa terangkum dalam deret yang bersandar pada laras slendro itu, "Dengan ketepatan 99%," ujar Pri.


Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar