Selasa, 30 Maret 2010

Kapak Lonjong: Sebuah Kebudayaan Masyarakat Neolitikum


Paleolitikum, hal ini bisa dikatakan lebih baik karena hasil peralatan yang ditemukan pada zaman ini lebih maju. Zaman Neolitikum menghasilkan beberapa kebudayaan yang salah satunya adalah kebudayaan kapak lonjong. Kapak lonjong ini dikatakan jauh lebih maju apabila dibandingkan dengan kebudayaan zaman Paleolitikum, yaitu kebudayaan kapak genggam dan kapak perimbas.

Tradisi kapak lonjong dapat diduga lebih tua daripada tradisi beliung persegi. Bukti-bukti stratigrafis telah ditunjukkan oleh T. Harrison dalam ekskavasi yang dilakukan di Gua Niah, Serawak, dan menurut pertanggalan C-I4 yang diperolehnya, kapak lonjong ditemukan dalam lapisan tanah yang berumur ± 8.000 SM.

Kapak ini bentuk umumnya lonjong dengan pangkal agak runcing dan melebar pada bagian tajaman. Bagian tajaman diasah dari dua arah dan menghasilkan bentuk tajaman yang simetris. Di sinilah bedanya dengan beliung persegi yang tidak pernah memiliki tajaman simetris (setangkup). Bentuk penampang lintangnya seperti lensa, lonjong, atau kebulat-bulatan.

Bahan dan Pembuatannya
Perkembanga pembuatan alat-alat terus mengalami perubahan dari satu zaman ke zaman berikutnya, tidak terkeculai bahan baku yang digunakan untuk menggunakan alat-alat tersebut. Pada zaman prasejarah bahan-bahan yang dipakai untuk membuat kapak lonjong pada umumnya batu kali yang berwarna kehitaman, seperti kapak-kapak batu yang sampai sekarang masih digunakan di Papua. Bahan yang terdapat di kali atau dari batu kali ini cukup memudahkan mereka untuk mengembangkan peralatan kapak lonjong, sebab bahan-bahannya sudah ada di lingkungan tempat mereka tinggal dan tidak perlu terlalu kerja keras untuk mendapatkan bahan tersebut. Kapak juga dibuat dari jenis nefrit berwarna hijau tua. Calon kapak atau bahan baku yang diperoleh melalui penyerpihan segumpal batu atau langsung dari kerakal yang sudah sesuai bentuknya, diupam halus setelah permukaan batu diratakan dengan teknik pukulan beruntun. Selain menghasilkan kapak lonjong yang berukuran besar atau kapak lonjong untuk pekakas, mereka juga ternyata menghasilkan kapak lonjong kecil berukuran kecil yang diperkirakan berguna sebagai benda wasiat atau benda pusaka yang mengandung unsur magis. Kapak yang berukuran kecil ini tidak digunakan sebagai pekakas atau senjata.

Pemasangan Tangkai
Apabila pada zaman Paleolitikum penggunaan kapak dari batu ini langsung dipenggang dengan menggunakan tangan, tampa menggunakan alat bantu lain, lain halnya dengan zaman Neolitikum. Mereka pada masa itu sudah mengenal tangkai sebagai bahan yang digunakan untuk mengikat kapak dan digunakan sebagai pegangan. Cara memasangkan mata kapak pada tangkai ialah dengan memasukkan bendanya langsung dalam lubang yang khusus dibuat pada ujung tangkai atau memasangkan mata kapak pada gagang tambahan yang kemudian diikatkan menyiku pada gagang pokoknya. Pada kedua cara ini, mata kapak dipasangkan vertikal.

Penambahan alat dalam menggunakan kapak dari batu ini merupakan sebuah inovasi yang mampu dikembangkan oleh manusia pada zaman prasejarah. Mereka terus berinovasi untuk menghasilkan yang lebih baik dan efisien, termasuk kenyamanan dalam menggunakannya. Tangkai kapak atau gagang kemungkinan berbahan dasar dari kayu dan sejenisnya. Kayu-kayu tersebut mereka bentuk sedemikian rupa sehingga mudah untuk memasang mata kapak atau kapak lonjong dan mudah dalam memegangnya.

Persebaran di Indonesia
Daerah penemuan kapak lonjong di Indonesia, hanya terbatas di daerah bagian timur, yaitu Sulawesi, Sangihe Talaud, Flores, Maluku, Leh, Tanimbar, dan Papua. Di Serawak, yaitu di Gua Niah, kapak lonjong juga ditemukan. Dari tempat-tempat yang disebutkan itu, hanya sedikit yang diperoleh dari penggalian arkeologi, kecuali dari Serawak dan Kalumpang di Sulawesi Tengah. Suatu hal yang agak menyulitkan tentang penelitian kepurbakalaan kapak lonjong ini adalah karena alat semacam ini masih dibuat di pedalaman Pulau Papua. Tidaklah mustahil temuan-temuan lepas di beberapa tempat di bagian timur Indonesia itu adalah hasil pengaruh dari Papua yang mencapai tempat-tempat tersebut pada waktu yang tidak begitu tua.

Harus pula kita ingat bahwa dugaan-dugaan mengenai kapak lonjong itu dapat bermacam-macam serta berbeda sebelum pembuktian ekskavasi arkeologis di beberapa tempat seperti di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua ditingkatkan.

Persebaran di luar Indonesia
Di luar Indonesia, kapak lonjong ditemukan tersebar luas meliputi Myanmar, Cina, Manchuria, Taiwan, Jepang, Filipina, dan juga di India. Di India unsur kapak lonjong ini sering dihubungkan dengan orang-orang Dravida sebagai pendukungnya. Di Kepulauan Mikronesia dan Melanesia kapak bulat juga ditemukan. Atas dasar tempat-tempat penemuan tersebut, agaknya jalan persebaran kapak lonjong itu dapat diikuti dan ternyata pernah melintasi bagian utara dan timur Kepulauan Indonesia dan seterusnya bertahan dengan kuat dalam waktu yang lama di Pulau Irian atau Papua.

Di Cina dan Jepang tradisi kapak lonjong berkembang pada masa bercocok tanam awal, sedangkan data pertanggalan dari Kafiavana (pedalaman Papua New Guinea) memberi petunjuk waktu sepuluh ribu tahun. Sampai saat ini Indonesia belum mendapatkan pertanggalan yang pasti tentang perkembangan tradisi kapak lonjong. Dari Gua Niah (Serawak) kita mendapatkan umur ± 3.000 tahun. Di bawah lapisan yang mengandung kapak lonjong di Niah, ditemukan lapisan yang diperkirakan mengandung alat-alat yang menunjukkan bentuk peralihan antara bentuk kapak Sumatra (Sumatralith) dan tradisi kapak lonjong.

Kehidupan
Penelitian arkeologi dan paleoantropologi sampai saat ini belum berbasil mengungkapkan kembali pendukung-pendukung tradisi kapak lonjong. Para pendukung kapak lonjong yang belum jelas ini juga mengenal cara pembuatan gerabah dengan teknik pilin serta hidup dari umbi-umbian, terutama keladi. Mereka sudah menjinakkan hewan-hewan, misalnya, babi, anjing, dan unggas. Jenis-jenis hewan ini dikirakan berasal dari Asia Tenggara. Jenis-jenis padi belum mereka kenal. Selain keladi, mungkin pula telah dikenal pohon rumbia atau Metroxilon yang menghasilkan sagu.

Kepustakaan
Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Harsrinuksmo, Bambang . 2004. Ensiklopedi Keris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia I (Zaman Prasejarah di Indonesia). Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono. 1990. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta: Kanisius.
Soejono, R.P. (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumber :
http://www.wacananusantara.org/content/view/category/2/id/566

Tidak ada komentar:

Posting Komentar