Oleh : Richadiana Kadarisman Kartakusuma
Jejak-Jejak Budaya di Kepulauan Riau:Selayang Pandang Tentang Keemasan Malayu Di Nusantara
1. Pendahuluan
Malayu atau Mèlayu hingga lebih diidentikan dengan Kepulauan Riau dan sekitarnya. Mengapa demikian? Di masa lalu, Riau– kini Provinsi Riau – telah ditandai beberapa gelombang migrasi nenek moyang bangsa Indonesia. Gelombang migrasi pertama konon menunjukkan ciri ras Weddoid yang datang sesudah zaman es terakhir, disebut ras pertama yang menghuni Nusantara. Sisa-sisa nenek moyang ras gelombang pertama ini masih ada sampai sekarang yang merupakan golongan tersendiri di Riau mereka disebut Orang Sakai, Orang Hutan dan Orang Kubu adalah orang-orang asli” dengan populasi yang tidak banyak. Orang Sakai mendiami Kecamatan Kuno-Darussalam, Kabupaten Kampar dan di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis jumlahnya terbatas (2160 jiwa); Orang Hutan mendiami Pulau Penyalai di Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Kampar (1494 jiwa).
Gelombang migrasi pertama terjadi pada periode 2500-1500 SM berciri ras Proto Mèlayu merupakan pendukung kebudayaan zaman batu baru menyebar ke Pulau Sumatra melalui Semenanjung Mèlayu. Sisa mereka terdapat di Riau: Orang Talang Mamak dan Orang Laut. Orang Talang Mamak di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat di Kabupaten Indragiri Hulu (3276 jiwa) (1980); Orang Laut di Kecamatan Reteh dan di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir serta di Kecamatan Tambelan Kabupaten Kepulauan Riau (2849 jiwa). Selain ada golongan orang-orang asli lainnya yaitu Orang Akit mendiami Kecamatan Rupat, Bengkalis, Mandau, Tebing Tinggi di Kabupaten Bengkalis (11625 jiwa).
Gelombang migrasi ras Mèlayu kedua datang sesudah tahun 1500 sM yang disebut Deutro Mèlayu yang menyebabkan Proto Mèlayu menyingkir ke pedalaman, sisanya bercampur dengan pendatang baru. Di dalam proses selanjutnya orang-orang Deutro Mèlayu bercampur lagi dengan pendatang-pendatang dan berbagai golongan berasal dari berbagai penjuru Nusantara. Percampuran itu menghadirkan suku-suku bangsa Melayu.
Riau, mereka inilah penduduk mayoritas mendiami kawasan Propinsi Riau meliputi luas 94.568 km². Suku-suku bangsa Mèlayu Riau menghadirkan sub-sub suku bangsa Mèlayu Siak, Mèlayu Bintan, Mèlayu Rokan, Mèlayu Kampar, Mèlayu Kuantan dan Mèlayu Indragiri dengan alat komunikasi utama (lingua franca) bahasa Mèlayu tersebar ke seluruh pelosok Nusantara. Meski bahasa Mèlayu Riau dibedakan sebagai dialek bahasa Mèlayu Riau ke-pulauan dan pesisir (pertama); dialek Mèlayu-Riau-daratan (kedua)
Dialek pertama adalah sub-dialek Tambelan Tarempa Bunguran, Singkep, Penyengat dan lain-lain; dialek kedua adalah sub-dialek Kampar, Rokan, Kuantan, Batu Rijai, Peranap dan lain-lain; disamping itu masih terdapat bahasa-bahasa orang asli seperti bahasa Sakai, bahasa Orang Laut, bahasa Akit dan bahasa Talang Mamak.
Mèlayu mencakup dasar pengertian Mèlayu sebagai ras; Mèlayu sebagai etnis (suku bangsa) dengan adat istiadatnya dan perubahan politik menyebabkannya terberai menjadi negara-negara dengan bentuk pemerintahan dan kebudayaan Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Filipina; Mèlayu sebagai suku atau bagian dari suku itu sendiri. Dalam kekinian Melayu berkehidupan dengan adat istiadat dan bahasa Mèlayu terutama di sepanjang pantai timur Pulau Sumatra hingga Kalimantan Barat berpusat di Riau (kepulauan dan daratan) hingga ke Semenanjung Malaka. Mèlayu dapat dipilah berdasarkan kategori:
1) Mèlayu yang tidak totok (tidak murni) merupakan kelompok orang–orang laut/ orang Sampan yang semula hidup di laut kemudian menetap di daratan di pulau-pulau kecil sekitar Riau sebagai komunitas-komunitas kecil dengan adat- istiadat Mèlayu dan berbicara dengan dialek khas seperti orang Galang di Pulau Karas dan Pulau Galang, orang Barok di Pulau Penuba, orang Kuala di Pulau Kundur dan Pulau Rempang; orang Tambus, Mantang dan Posek adalah komunitas tetap di laut terdiri dari 7-8 sampan yang berukuran 3-4 meter hidup berkeluarga dan beranak cucu sambil ber-kelana dari satu tempat ke tempat lain sesuai keadaan musim.
2) Mèlayu murni atau Mèlayu totok merupakan orang-orang Mèlayu yang lahir berasal dari Mèlayu itu sendiri berbahasa dan adat-istiadat Mèlayu, artinya semula Mèlayu tidak totok tetapi memiliki jabatan dan kedudukan, tinggal di lingkungan Riau yang dahulu menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mèlayu Riau-Lingga di Daik, dan Pulau Penyengat.
2. Eksistensi Malayu di Riau (Masa Kerajaan)
Tahun 400 M merupakan batas antara periode protosejarah dan periode klasik, periode yang ditandai oleh hadirnya pertukaran budaya (akulturasi) terjadi pada dan di hampir seluruh Asia Tenggara (Daratan dan Kepulauan). Akulturasi kebudayaan itu adalah dari Cina dan India, tetapi terutama dari India yang kala itu menduduki “pamor internasional di kawasan Asia”. Peristiwa pertukaran antar budaya menyebabkan perpaduan dengan menghasilkan corak-corak khas kebudayaan, ditengarai bentuk-bentuk kekuatan politik kerajaan lama (busana lama) dengan berbusana baru yakni Hindu-Budha.
Penelitian Obdeyn yang didukung dan dibuktikan penelitian paleogeografi oleh Prof. Dr. S. Sartono berhasil merekonstruksi bahwa dahulu pantai timur Sumatra pernah ada teluk yang sangat besar dan menjorok sangat jauh ke daerah pedalaman yakni Teluk Wen. Teluk ini memanjang dari DAS Batanghari hingga ke pantai timur Sumatra, membelah bagian Sumatra tengah dan Sumatra Utara. Tentang adanya Teluk Wen ini juga disebutkan oleh Nan-chou-i-wu-chih dalam kitab (Berita) Cina T’ai-P’ing-Yu-lan bahwa Teluk Wen ini terbentang di sebelah selatan KoYing dimana terletak Chou-Po dengan nama P’uLei.
Menurut palaeogeografi-Sartono, pada sekitar abad ke-3 M di Teluk Wen berkembang kerajaan TchuPo, KoYing dan Sanfoshih tetapi karena peristiwa alam dahsyat yakni terjadinya pengendapan lumpur sehingga Teluk Wen bertambah maju ke timur dan sekaligus menyebabkan kemunduran dan kejatuhan kerajaan-kerajaan purba tersebut. Setelah kerajaan KoYing lenyap, muncul kerajaan baru yakni Kant’oli pada abad ke-5 dan ke-6 M dan Moloyu (Mèlayu) pada abad ke-7 M.
Meskipun letak pastinya belum dapat diketahui namun anjuan Wolters dan Sartono sama-sama berpendapat bahwa kerajaan TchuPo terletak di Muara Tebo dan Sanfoshih di Muara Tembesi yang kemudian digantikan oleh kerajaan KoYing dan Moloyu. Kerajaan-kerajaan yang tergolong Malayu Purba itu berada di sekitar peisir timur pantai Sumatra, tidak jauh dari ujung bagian utara lajur gunung api Sorik Marapi (kala itu masih sangat aktif), di utara khatulistiwa meluas ke selatan hingga ke Gunung Dempo (kurang lebih 4° selatan khatulistiwa).
Berita Cina K’ang T’ai dalam Wu-shih-kuo-chuan menceritakan bahwa raja ChiaYing (KoYing) sangat gemar kuda yang diimpor melalui lautan oleh para pedagang dari Yuechih. Disebutkan Nan-chon-i-wa-chih bahwa tempat pelabuhan pengekspor kuda adalah Ku-nu (Kanadvipa-baratlaut India) berjarak sekitar 8000 li dari KoYing. TchuPo dan KoYing yang merupakan kerajaan makmur dan sangat kaya, berlimpah perak, emas, kapur barus dan lada.
Selain itu Berita Cina menyebut pusat-pusat kekuatan politik di Mèlayu Kuno purba itu mengalami pasang surut hingga muncul kekuatan politik paling berpengaruh yakni kerajaan Mèlayu dan kerajaan Sri Vijaya, kedua-duanya silih-berganti mengisi sejarah peradaban Sumatra masa lalu. Kejayaannya melegenda di kawasan Asia. Seiring perjalanan zaman, Mèlayu dan Sri Vijaya adalah pokok cikal-bakal peradaban Mèlayu Nusantara (Indonesia).
Sejak pujangga Prapanca di dalam Kakawin Nagarakretagama menggunakan istilah Bhumi Malayu maka istilah inilah seterusnya hidup dipakai untuk menyebut kerajaan-kerajaan di Sumatra dan pulau-pulau (kepulauan) sekitarnya. Mèlayu identik dengan julukan Sumatra-Andalas-Bhumimalayu-Suwarnadwipa merupakan ciri yang sulit dilerai dengan ras, etnis dan peradaban wilayah Nusantara khusus-nya bagi belahan barat Indonesia.
Hakekatnya mempelajari kebudayaan Mèlayu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi Sri Vijaya. Ironisnya, di kalangan masyarakat luas Mèlayu jauh lebih dikenal dibanding dengan Sri Vijaya. Apabila Sri Vijaya kemudian “tenggelam” maka Mèlayu tetap dikenang sepanjang masa sejak zaman purba hingga sekarang. Dalam kaitan ini Pieter J.M. Nas (l986) mengutara kan bahwa Sri Vijaya merupakan salah satu City-State paling awal dan paling penting yang eksistensinya didasarkan kepada fungsinya sebagai emporium dan mercantilis yang selalu berusaha keras memonopoli perdagangan dengan menguasai pusat-pusat komoditi (Jambi, Lampung Semenanjung Malaka dan Semenanjung Kra).
Dengan ancang-ancang ekspansi politik Sri Vijaya senarai berita prasasti Kota Kapur (Bangka) 686 M menyiratkan bahwa “mangsa” Sri Vijaya selanjutnya adalah kerajaan Mèlayu; prasasti Karang Brahi 686 M (N.J.Krom1931) adalah bukti penaklukan Sri Vijaya atas Mèlayu. Kedudukan ibu kota kerajaan Sri Vijaya adalah City-State yang berlandaskan maritim dan menguasai perdagangan internasional sehingga pendapatan negri (pajak-pajak dan upeti-upeti) ditarik dari hasil perdagangan internasional dan masyarakat setempat yang mayoritas menggiati mata pencaharian kelautan.
Lokasi kerajaan legendaris Sri Vijaya dan Mèlayu menimbulkan polemik ketat di kalangan sarjana. Namun telah sejak awal N.J. Krom (l926) mengajukan pertanyaan “Waar heeft dit Oude Malayu nu eigenlijk gebleven?” tetapi Krom pun menjawabnya:
“Dat de plaats van Malayu op het oogenblik zoo vast staat als in dergelijke gevallen mogelijk is, hebben in hoofdzaak te danken aan de studie van Rouffaer, die oude argementen ophalend en nieweu zeer krachtige aan toevoegend, met groote waarschijnlijkheid heeft aangetoond, dat Malayu het oude Djambi is”
Asumsi Krom itulah yang dianut kebanyakan sarjana seperti G.P.Rouffaer (l921); J.L. Moens (1924) ; O.W.Wolters (l970;1979) menyebut “dat Malayu het oude Djambi is” menegaskan Sri Vijaya dan Mèlayu adalah Jambi Kuno. Berbagai pendapat diajukan bahwa kerajaan Sri Vijaya pernah menaklukan Mèlayu antara tahun 671, dan tahun 685 M saat Mèlayu kehilangan kemerdekaanya. Kemudian Sri Vijaya berhenti mengirim utusan ke Cina tahun 742 M; tahun 853 dan 871 M, tetapi kemudian Cina memberitakan bahwa ia menerima utusan lagi dari Chan-Pei (Jambi).
Tidak dipungkiri bahwa keberadaan kerajaan Sri Vijaya dan Mèlayu banyak diberitakan dari Berita Cina. Antara lain pendeta I-T’sing di dalam Nan-Chai-ch’i-Kuei-Nai-Fa-Chuan (catatan ajaran Buddha dari laut selatan); Ta-Tang-Hsi-Yu-Ku-Fa-Kao-Seng-Chuan (catatan pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India) ia menyebutkan kerajaan-kerajaan di Nusantara dari barat ke timur: P’olushin, Moloyu (menjadi bagian Shihlifoshih), Mohosin, Holing, Tantan, Penpen, Chuehlun, Foshihpolo, Oshan dan Mochiaman. Diantara nama-nama kerajaan itu ada disebut Moloyu (Mèlayu) yang waktu itu ber- pusat di Jambi sedangkan Shihlifoshih atau Sri Vijaya berpusat di Palembang.
Menurut de Casparis, di kawasan ini sebenarnya ada tiga kerajaan maritim yang pengaruhnya paling menonjol dan disegani di Asia Tenggara yaitu Mèlayu, Sri Vijaya, dan Malaka. Hubungan diantara mereka bukanlah saling memusuhi atau saling mendesak kekuasan dan kekuatan politik (seperti diasumsi para sarjana sebelumnya), melainkan terjalin berdampingan saling menunjang secara damai-sinambung dan lancar. Sri Vijaya dan Mèlayu adalah 2(dua) kerajaan yang sama “were two different names of the same kingdom.” namun di dalam tingkat perjalanan sejarah yang berbeda “or rather different stages of its history”.
De Casparis mengkategorikan kerajaan Mèlayu sebagai kerajaan Mèlayu I dan kerajaan Mèlayu II yang dipisahkan oleh masa beberapa abad lamanya. Kondisi keberlangsungan dua kerajaan ini di dalam khasanah sejarah dapat dibandingkan dengan keberadaan dan peristiwa continuity pada kerajaan Mataram Islam yang juga merupakan lanjutan Bhumi Mataram (Jawa Kuno) yaitu Mataram I (Hindu) dan Mataram II (Islam). De Casparis mengemukakan:
“if another pilgrims like I-T’sing had visited Jambi in the 12th century he might have described the political situation there as “Srivijaya which was now Malayu”. The very impressive ruins at Muara Jambi, fully explored during the SPAFA Consultative Workshop on Srivijaya of the 1982, are clear testimony to the greatness of the Sumatra-nese empire after the end of the 11th century. For this reason we can no longer accept the current view of the re-emergence of Malayu as a consequence of the decline of Srivijaya. The material of our disposal clearly suggest that the view of the history of Southern Sumatra as primarily a struggle between Jambi/Malayu and Palembang/ Srivijaya is unsatifactory. It now seems likely that Srivijaya and Malayu were two different names of the same kingdom or rather different stages of its history. Malayu before c.680, Srivijaya from that time to the middle or the end of the 11th century and again Malayu from the end of the 11th century till c. 1400, when its role as the predominant maritime power of Western Indonesia and Malaysia is assumed by Malacca. In my view there was far more continuity than rivalry between Malayu I – Srivijaya –Malayu II and Malacca. As to the second Malayu, separated from the first by many centuries from the Bhumi Mataram of Ancient Java, it was cours by no means identical with the first Malayu, but there was a certain degree of continuity”
Pandangan de Casparis disetujui oleh Uka Tjandrasasmita yang menambah kan bahwa istilah “penaklukan” tidak harus diartikan dengan penguasaan penuh, melainkan sebagai overload di dalam upaya untuk saling mengisi hubungan antar kemaharajaan dan antar si pemberi upeti (tributary kingdom). Maka keberadaan kerajaan-kerajaan di tanah Mèlayu (Sri Vijaya dan Mèlayu) bukan penguasaan melainkan kesinambungan dengan derajat dan kapasitas tertentu. Dalam artikel-nya yang lain De Casparis lebih menegaskan pendapatnya:
“The present paper confirm this view, but also assigns an important place to Malayu as a link between Srivijaya and Malacca. We would consider Malayu as the first and final stage in the history of Srivijaya, but, as the name of Malayu has been alive from the 7th century to the present time, I prefer a different formulation: Srivijaya, an important stage in the history of Malayu”
Kerajaan Mèlayu I dan Mèlayu II berlangsung terus bahkan ketika inovasi Islam berkembang di Sumatra dan istilah kerajaan berbusana (berganti kulit) sebagai Kesultanan Mèlayu III.
Kerajaan Melayu I (Dharmasraya). Sejarah dinasti Liang mencatat: tahun 430-475 M beberapa kali utusan Holotan, Kant’oli dan Tolang-P’ohwang datang ke Cina. Kant’oli terletak pada salah satu pulau di laut selatan, adat kebiasaannya sangat serupa dengan Kamboja dan Campa. Hasil negrinya yang terutama adalah pinang, kapas dan kain-kain berwarna. Sejarah dinasti Ming juga mencatat bahwa Sanfosai dahulu disebut Kant’oli.
Menurut G.Ferrand Kant’oli (Berita Cina) adalah Kandari (Berita Arab: Ibn Majid 1462 Masehi) yang diidentifikasi Sri Vijaya terletak di Sumatra berpusat di Palembang. Tetapi J.L.Moens mengidentifikasi Singkil-Kandari (berita Ibn Majid) sebagai Kant’oli (Berita Cina: dinasti Liang dan Ming) sedangkan Sanfotsi adalah Mèlayu. Berbeda dengan J.J. Boeles yang menyebutkan bahwa Kan-t’o-li terletak di Muangthai selatan, dibuktikan dengan masih adanya desa kuno Khantuli di pantai timur Muangthai selatan. Namun dengan tegas OW.Wolters menolaknya karena tidak ada satu pun bukti yang mengarah kepada asumsi itu, menurutnya Kant’oli adalah Sanfotsi (Palembang) yang selalu dihubungkan dengan Sri Vijaya. Asumsi inilah yang kemudian diikuti oleh Obdeyn yang juga menyatakan bahwa Kant’oli = Sanfotsi di Palembang (Sumatra selatan).
Polemik tata letak Kant’oli itu kemudian terjawab tuntas oleh rekonstruksi palaeogeographie Prof. Dr. S. Sartono selanjutnya menjadi landasan pemikiran arkeolog senior Prof.Dr.R. Soekmono yang menegaskan bahwa Kant’oli adalah salah satu kerajaan purba yang dahulu pernah berada di Teluk Wen itu (di Kuala Tungkal dan Muara Tembesi) sebagai embrio kerajaan Mèlayu. Ketegasan ini sesuai dengan keterangan Berita Cina lebih tua (dinasti T’ang) bahwa datangnya Moloyeu ke Cina tahun 644 dan 645 M.
I-T’sing yang cukup lama menetap di Sri Vijaya menceritakan ketika tahun 671/672 berlayar dari Kanton (Cina) ke Nagapattnam (India), ia singgah belajar bahasa Sanskerta di Shelifoshih selama 6 bulan, setelah itu menuju Moloyeu selama 2 bulan lalu ke Chiehca (Kedah) sebelum melanjutkan berlayar ke India. Tahun 685 (14 tahun kemudian) di dalam perjalanan menuju pulang ia singgah lagi selama 6 bulan di Moloyeu tetapi dikala itu Moloyeu telah menjadi Shelifoshih. I-T’sing juga menyebutkan berlayar dari Sri Vijaya ke Mèlayu dan dari Mèlayu ke Kedah memakan waktu 15 hari, dari Mèlayu ke Kedah harus berganti arah.
Kerajaan Mèlayu II - berkembang pada akhir abad XI M sampai tahun 1400 M. Pada waktu itu kerajaan ini telah melakukan kontak dengan Jawa, dibuktikan peritiwa sejarah ekspedisi Pamalayu (1275 M) yakni pengiriman arca Amoghapasa-Lokeswara ke Bhumi Malayu Sri Krtanagara (Singhasari) ke Mèlayu. Arca ini ditemukan kembali oleh kontrolir Belanda bernama van den Bosch di Rambahan (hulu Batanghari). Pada bagian lapik arca tertera prasasti:
“Bahagia! Tahun Saka 1208 bulan Badrapada, hari pertama tatkala bulan naik, Wuluku Wage, Kamis, wuku Madangkungan, posisi bintang di baratdaya...saat arca Amoghapasa Lokeswara dengan empatbelas pengikutnya dan tujuh ratna permata dibawa dari Bhumi Jawa ke Suwarnnabhumi untuk ditegakkan di (Malayu)-Dharmmasraya sebagai hadiah dari Sri Wiswarupa-kumara. Maka sang raja Sri Krtanagara Wikramottungga dewa memerintah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugata Brahma, Dang Payangan Hyang Dipangkarasa, Rakryan Dmung Wira menghantarkan Amoghapasa (dengan harapan) Semoga hadiah ini membuat gembira segenap penduduk negri Malayu termasuk Brahmana, Ksatrya, Waisya, Sudra dan terutama pusat dengan segenap para Aryya Sri Maharaja Srimat Tribuwanaraja Mauliwarmmadewa...”
Dengan pengiriman arca tersebut (1347 M) seluruh rakyat Mèlayu merasa gembira terutama sang raja Srimat Tribhuwana Mauliwarmmadewa; disebutkannya (Malayu) Dharmmasraya pada prasasti ini memberi kemungkinan besar bahwa pusat kerajaan Mèlayu berada di Muara Jambi atau di daerah pedalaman Muara Jambi (hulu DAS Batanghari) dekat Sijunjung (Sei Langsat) dibuktikan oleh adanya temuan Arca Prajnaparamita tanpa kepala di Candi Gumpung. Selain prasasti pada bagian lapik arca Amoghapasa juga dituliskan pada bagian punggung arcanya dari masa yang lebih kemudian yakni pemerintahan raja Adityawarmman (sesudah periode Srimat Tribhuwana).
Prasasti pada punggung arca itu berangka tahun 1347 M menerangkan bahwa ia adalah raja yang telah berusaha sekuat tenaga memperbaiki bangunan Jinalaya yang hampir runtuh. Bangunan tersebut sampai kini masih terdapat situs Padangroco-Sei Langsat (Sawahlunto Sijunjung) berupa pagar keliling dari bata berbentuk U ujung alirannya bermuara ke sungai Batanghari, di dalam pagar keliling terdapat bangunan induk dan dua candi perwara.
Dalam Pertemuan Tamadun-Melayu Kedua (1989) Kuala Lumpur- Malaysia, De Casparis mengemukakan bahwa masa pemerintahan Adityawarman mewakili puncak kejayaan Mèlayu sekaligus masa yang sangat sulit dan penuh tantangan kompleks. Karena masa pemerintahannya seiring dengan gencarnya inovasi Islam menyebarkan pengaruh di bagian barat Sumatra serta mendapat dukungan dari raja-raja daerah yang berada di bawah kekuasaan Mèlayu II.
Kerajaan Mèlayu yang berpedoman agama Budha yang selalu bersifat damai dan sabar itu, berubah menjadi agresif. Berbagai temuan arkeologi dari masanya (perwujudan arca-arcanya) tampil bersikap berang seakan hendak memusnahkan lawan. Prasasti-prasasti dari masanya juga menerangkan bahwa pendahulu Adityawarman adalah Akarendrawarman, Adityawarman putra Adwayawarman. Sesuai adat Mèlayu yang berprinsip kepada konsep matrilineal, hak atas waris (Yang dipertuan Basa) turun kepada keponakan, yakni Adityawarman. Maka Adityawarman bertahta di Kerajaan Mèlayu adalah menggantikan ninikmamaknya raja Akarendrawarman (1316 M), peristiwa serupa terjadi tatkala pendahulunya raja Akarendrawarman memperoleh tahta bibinya, Srimat Tribhuwana (kerajaan Mèlayu I 1286 M).
Dari keterangan prasasti Surawasa, Akarendrawarman inilah sebenarnya yang memindahkan ibukota kerajaan Mèlayu ke pedalaman di Surawasa (Suroaso-Batusangkar). Alasan pemindahan pusat kerajaan didasari beberapa hal.
Pertama, meskipun ia masih berkerabat dekat dengan keluarga kerajaan Jawa (Singhasari-Majapahit) ia tetap waspada mencurigai siasat “sumpah palapa” cita-cita dari Patih “pongah dan congkak” Gajah Mada yang ber kehendak menyatukan negeri-negeri di Nusantara ke dalam satu panji kedaulatan adhikuasa Kerajaan Majapahit; alasan kedua adalah menjaga hubungan dengan negeri Cina; ketiga, menyadari inovasi Islam yang mencapai puncaknya dan pusatnya tidak jauh dari Mèlayu. Karena inovasi Islam bersifat keagamaan maka penguasa Mèlayu pun menyadarinya dan menjawabnya dengan cara beragama juga sesuai landasan keyakinannya. Itulah sebabnya, dari sejumlah besar prasasti yang dikeluarkan pada masanya berubah total, sikap yang semula penuh damai, namun karena kondisi dan situasi politik waktu itu telah menuntut sikap pemimpin lebih tegas dan lebih preventif.
Salah satu sikap tegas tersebut antara lain ditunjukan melalui perwujudan Bhairawa-demonis arca terbesar di Indonesia setinggi 4.41 m, arca itu berdiri diatas setumpuk mayat-mayat. Pada bagian dasar arcanya dihiasi oleh tengkorak-tengkorak, sedangkan pada tangan kanannya memegang pisau dengan posisi yang siap menikam para pengganggu.
Menurut De Casparis, arca Bhairawa maha besar dan megah dahulu tegak didirikan pada pintu gerbang pusat kerajaan Mèlayu di Malayupuram semata-mata tonggak pertahanan secara frontal guna mengatasi dan mencegah segala ancaman yang datang dari pantai timur Sumatra menuju ke pusat kerajaan Mèlayu yang telah berpindah ke pedalaman. Kekhawatiran penguasa Mèlayu sangat beralasan karena pada masa akhir pemerintahan Adityawarman abad ke 17 M, kekuasaan kerajaan Mèlayu mulai surut.
Bagi suatu kerajaan seperti Mèlayu dengan berlandaskan Agraris Maritim yang mengandalkan perairan (sungai dan pantai) adalah hal mutlak untuk tetap menjalin hubungan dan kerjasama serasi dengan wilayah yang berorientasi ke laut. Kepindahan ibu kota ke pedalaman tidaklah berdampak lebih baik karena kontrol terhadap wilayah pesisir menjadi kian longgar, seiring gencarnya arus inovasi Islam atas kerajaan-kerajaan atau negeri-negeri bawahan Kerajaan Malayu. Sejak saat itu kerajaan-kerajaan kecil dikelilingnya yang semula berada dibawah penuasaan kerajaan Mèlayu berganti busana Kesultanan yang bercorak Islam dan memerdekakan diri dengan sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam.
Kebudayaan orang Mèlayu adalah kebudayaan pantai bercorak perkotaan, pusat kegiatannya pada perdagangan kelautan. Kebudayaan Mèlayu terdapat pada hampir seluruh wilayah kepulauan (Nusantara) sebenarnya lebih merupakan hasil dari perpaduan kebudayaan setempat (Mèlayu), Islam, Hindu, Makasar, Bugis, Jawa dan unsur-unsur lokal yang secara keseluruhan diselimuti dan dipedomani oleh Agama Islam. Karena dalam tradisi terwujudnya kebudayaan Mèlayu telah sangat terbiasa dengan kontak-kontak hubungan luar, dengan proses pembauran dan akulturasi kebudayaan, maka corak kebudayaan Mèlayu memiliki struktur-struktur bersifat longgar dan terbuka (open mind).
Keterbukaan struktur-struktur kebudayaan Mèlayu ini yang memungkinkan mampu mengakomodasi perubahan-perubahan dan penyerapan unsur-unsur kebudayaan berbeda-beda, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip adat dan sopan-santun Mèlayu. Runtuhnya kerajaan Mèlayu Kuno sebagai pusat kekuasaan dan sekaligus pusat kebudayaan, nampaknya orang-orang Mèlayu yang terbiasa hidup di dalam kelompok-kelompok setempat dipersatukan peranan-peranan kerajaan kemudian seolah-olah kehilangan keterkaitan satu sama lain sebagai pendukung kebudayaan Mèlayu yang pernah jaya di masa lampau.
3. Penutup: Peradaban Melayu dalam Kekinian Perannya di Nusantara
Kroeber dan Kluckhohn (1963) di dalam bukunya yang berjudul Culture telah mengumpulkan 164 definisi tentang kebudayaan yang berbeda menurut cara merumuskannya. Namun jelas dari keseluruhan aspek-aspek kebudayaan berada di dalam lingkaran konsentris mecakupi tiga komponen utama yang antara satu dan yang lainnya memiliki hubungan timbal balik di alam lingkungan pengalamannya. Lingkungan pengalaman tersebut meliputi individu, masyarakat dan alam atau alam pemikiran dan perasaan hubungan antar manusia dan hubungan manusia degan biofisika.
Lingkaran konsentris merupakan model yang memperlihatkan bahwa dalam lingkungan kebudayaan terdapat aspek bahasa yang menghubungkan erat dengan proses pemikiran, perasan dan yang terpenting adalah fungsinya sebagai wahana komunikasi antar manusia.
Di antara semua cercah eksistensinya, jasa terbesar peradaban Malayu di nusantara adalah sangat nyata di dalam aspek alat komunikasi yakni bahasa Mèlayu termasuk kerabat besar dari berbagai bahasa di dunia, terutama dalam hubunganannya dengan bahasa-bahasa di Madagaskar. Dibuktikan pertama kali oleh F. de Houtman (1603) tatkala ia menerbitkan buku yang isinya menampilkan bahasa Malayu Nusantara dan bahasa Madagaskar dan hubungannya dengan bahasa-bahasa Polinesia. Terry Crowley (l987) telah mencontohkan adanya hubungan erat kosakata bahasa Malayu dengan tiga kerabat bahasa Polinesia.
Bernd Nothofer (1966) menguraikan bahwa bagian barat Kalimantan merupakan asal bahasa Malayu yang bergerak dengan sangat cepat menjangkau jarak luas dan menetapkan pusat-pusat penutur bahasa Melayu di Nusantara di masa lampau. Persebaran teknologis sebanding dengan sepupunya “pengarung samudra Polinesia” yang awalnya menguasai perairan maha luas samudra Pasifik.
Bahasa Malayu Purba yang kini telah berkembang dengan berbagai varian tersebut telah berkembang pada sekitar dua juta tahun yang lalu oleh para pemangku budaya, khususnya menghuni dan memilih lahan tanah basah seperti rawa-rawa, delta dan pantai dengan sistem sungai (contoh Kalimantan barat). Jenis lahan yang memberi peluang mempertahankan hidup berlandaskan sistem budaya dengan pola persebaran perairan alam yang sekaligus memiliki potensi melangsungkan hidup, maka hunian pun dilandasi sistem hunian perairan.
Pertanyaan yang kerap menggelitik sehubungan dengan berbagai asumsi atas asal usul atau puak-puak Malayu di Nusantara (kepulauan) adalah bukan tidak mungkin mereka inilah asal mula orang laut (KALBAR) yang menyebar ke seluruh Nusantara “Orang Laut Asli” dan Pasifik. Mungkinkah Sri Vijaya dengan sejumlah prasasti-prasastinya yang hampir selalu mengumandangkan “mangalap siddhayatra subhiksa” Sri Vijaya (mencari kesejahteraan dan kejayaan kehidupan), semula adalah hasil persebaran “Orang Laut” ini? Termasuk sisa-sisa suku yang menyebut dirinya Bajau (Bajo) tersebar di perairan Kalimantan utara, Sangir Talaud dan ada juga tinggal menetap di pedalaman Sulawesi (sebagian kecil), Tetapi jelas bukan dari Sulawesi seperti diasumsikan BH. Bhurhanuddin.
Lebih menarik lagi abad pertama Masehi seiring puncak dan maraknya perdagangan di Asia Tenggara, masyarakat Nusantara mengenal "Lingua-Franca” yang disebut dengan istilah bahasa K’wun-Lun atau Kun-Lun. Menurut Boechari (SNI II: Jaman Kuna l984), bahasa tersebut merupakan jenis bahasa “Malayu pasar” yakni bahasa malayu yang telah bercampur (interferensi) bahasa Cina dan bahasa Sanskerta? mungkin ada istilah yang lebih baik lagi “Malayu Pergaulan atau Bahasa Pergaulan”, tentu saja berkembang sebagai alat komunikasi antar bangsa di dunia perdagangan laut internasional yang memang paling berperan di kepulauan. K’wun-Lun atau Kun-Lun itu sendiri jelas istilah bahasa salah satu suku di daratan Cina yang bermigrasi ke Nusantara mencari kehidupan ke negeri bawah angin.
Masuk akal jikalau kosakata bahasa Cina (di samping India) banyak ditemui dalam perbendaharaan kosakata Malayu sebagai proses “interferensiasi” dan berkembang menjadi difusi budaya setempat. Secara literasi, ciri-ciri masyarakat penutur Malayu “kuno” berlangsung hingga batas abad ke-15 Masehi, secara luas abad ke-16 Masehi seiring kian memuncaknya pelabuhan-pelabuhan dan dunia perdagangan di sepanjang pantai di Nusantara dan Asia daratan, meliputi pulau-pulau di samudra Pasifik seperti Ternate, pulau Bacan sampai perairan samudra Hindia dan Sumatra utara.
Bahasa Mèlayu merupakan kerabat terpenting dari bahasa Austronesia dan memiliki tataran sangat luas itu sebenarnya diluncurkan oleh peradaban Asia Timur sejak 10.000 yang lalu. Bahasa “paling purba” yang diperkirakan terbentuk di pulau asalnya, Taiwan. Disebarkan oleh pengarung samudra ketika bermigrasi ke selatan (negara-negara bawah angin) menuju dan melalui Filipina, beberapa diantaranya ke timur dan membangun kebudayaan di pulau-pulau di kepulauan Pasifik. Sebagian ke arah selatan dan ke arah barat bertemu dengan manusia purba lainnya yang mendiami sepuluhribu pulau di Asia Tenggara.
Di Asia Tenggara kondisi geografis kepulauan dan letak huniannya yang sebagian besar di perairan telah memberi peluang pendukung budaya dan penutur Malayu mayoritas hidup dari perdagangan, banyak diantaranya yang membentuk masyarakat minoritas tersendiri (Thailand, Burma dan Vietnam), sebagian lagi berlayar ke utara (Manila, Taiwan dan Ryukyu) menuju ke timur dari Tidore hingga ke Papua Nugini.
Barangkali inilah dampak mencolok keluwesan dan keleluasaan peradaban Mèlayu Nusantara khususnya dalam khasanah struktur bahasa. Bahasa yang pada dasarnya tumbuh-berkembang dari kegunaanya dalam pasar komuniti itu telah menyebabkan bahasa Mèlayu digolongkan sebagai lingua franca. Tidak ketatnya struktur bahasa Mèlayu menyebabkan bahasa ini secara luas telah digunakan hampir di seluruh wilayah Musantara sebagai bahasa perantara di dalam segala kegiatan, terutama dalam upaya mengakomodasi hambatan-hambatan komunikasi karena perbedaan sistem makna dan bahasa sejak masa lampau. Nyata bahwa kehadiran berbagai macam dialek Mèlayu berkembang dan tumbuh sebagaimana adanya di wilayah Nusantara adalah semata perpaduan dari unsur-unsur bahasa lokal dan fungsionalisasi kegunaannya dalam kegiatan-kegiatan lokal. Implikasi nya dikenal agam bahasa Mèlayu: bahasa Mèlayu Riau, bahasa Mèlayu Banjar, bahasa Mèlayu Menado, dll.
Perkembangan lokal bahasa Mèlayu tidak sekedar terwujud sebagai bentuk kegunaannya dalam pergaulan setempat, lebih dari itu bahasa Mèlayu merupakan bahasa yang berlaku di dalam kehidupan resmi kerajaan-kerajaan setempat pada masa lalu. Bahasa resmi kerajaan merupakan bahasa budaya berstruktur, penuh retorik dan ungkapan-ungkapan bermakna sangat dalam dan majemuk. Jenis bahasa yang biasa digunakan oleh para satrawan istana dan ditemukan untuk menuliskan hikayat-hikayat atau babad-babad kerajaan.
Juga tersebar di dalam naskah-naskah kuno di seluruh Nusantara dimana bahasa Mèlayu tampil dengan aksara Arab ataupun Arab- Mèlayu.
Perkembangan bahasa Mèlayu dengan aksara Arab-Mèlayu sebenarnya terjadi setelah runtuhnya Kerajaan Mèlayu Riau-Lingga seiring hadirnya tokoh-tokoh pemikir, budayawan dan pioneer sastrawan Mèlayu pada zaman itu terutama tokoh Raja Ali Haji secara nyata menghasilkan berbagai karya tulis terutama pembakuan tata bahasa Mèlayu dan standardisasi bahasa dan aksara Mèlayu yang kemudian berkembang dan dipergunakan oleh berbagai kepentingan di dunia pendidikan sebagai bahasa pengajaran dan bahasa utama sekolah-sekolah resmi negara di Nusantara (Indonesia) dan Semenanjung Mèlayu. Bahasa baku (standar) digolongkan sebagai bahasa Mèlayu Tinggi tersebut tentu dibedakan dari bahasa Mèlayu setempat di dalam pergaulan sosial sehari-hari.
Persebaran bahasa Mèlayu standard sebagai bahasa ilmu pengetahuan telah memungkinkan adanya percetakan karya-karya tulis di Kerajaan Mèlayu Riau di Penyengat. Penggunaan aksara Latin bagi bahasa Mèlayu baku diteruskan hingga awal abad ke-20 di Jakarta oleh para penulis dan pengarang pribumi serta penulis-penulis keturunan (Cina-Indo). Terbitnya tulisan dengan bahasa Mèlayu baku dalam karya sastra dan esai di surat-surat kabar waktu itu telah mempopulerkan penggunaan bahasa Mèlayu baku. Semula sebagai bahasa ilmu pengetahuan Riau kemudian tersebar luas diantara para cerdik-cendekiawan Nusantara pada masa lampau telah memperkuat terpilihnya fungsi-peran dan kedudukan bahasa Mèlayu menjadi bahasa landasan pengembangan bahasa nasional Indonesia.
Apa yang tertinggal adalah warisan kebudayaan Mèlayu yang terwujud sebagai tradisi-tradisi dan sistem-sistem makna yang ada dalam berbagai istiadat dan upacara yang sekarang masih hidup dalam kehidupan bermasyarakat orang Mèlayu dalam berbagai naskah kuno yang berisi berbagai ajaran pedoman hidup sebagai orang Mèlayu dalam menghadapi lingkungan hidup yang beragam dalam usaha menghadapi perubahan zaman.
Acuan Kepustakaan:
Annabel The-Gallop and Bernard Arpe (1991)Golden Letters Writing Tradition of Indonesia (Surat Emas Budaya Tulis di Indonesia), London-Jakarta: The British Library –Yayasan Lontar.
Bernd Nothofer (1966) “Migrasi Orang Melayu Purba: Kajian Awal”. Makalah disajikan dalam Fourth Biennial Conference of Borneo Research Council. Bandar Sri Begawan-Brunei Darussalam, 10-15 Juni 1966.
BH. Bhurhanuddin (1975)Sejarah Sriwijaya Bermula di Sulawesi, Kendari: Yayasan Karya Teknika.
J.G. de Casparis (l985) “Srivijaya and Malayu”, SPAFA WORKSHOP OF Srivijaya. 1985:252.
Chavannes (1894) Memoire Compose a l’epoque de la Grande Dynastie T’ang sure les Religieux Eminents qui Allerent Chercher la loi dans le Pays d’Occident.
David S. Moyer (1988), “South Sumatra in the Indonesian-Field of Anthropological Study”, commented by C.W.Watson. Edited by P.E.de Josselin de Jong, Unity in Diversity: Indonesian as a Field of Anthropological Study, Second Impression. Dordrecht -Holland/Providence-USA: Foris Publication. Chapter V: 88-100.
James Legge M.A.L.L.D (l971) A Record of Buddhist Kingdoms (being an Account by The Chinese Monk Fa-Hien of his Travels in India and Ceylon A.D.339- in search of the Buddhist Books of Discipline), Translated and Annotated Edition with a Corean Recension of the Chinese Text (by James Legge M.A.LL.D: the Professor of the Languge and Literature. Delhi-6: Oriental Publishes.
James T.Collins (l996) Malay, Word Language: A Short History. Published by Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur-Malaysia
N.J.Krom (l931)Hindoe-Javaansche Geschiedenis, 2e druk, The Hague Martinus Nijhoff s’Gravenhage
J.L.Moens (l924) “Het Boedhisme op Java en Sumatra in Zijn Laaste Bloeiperiode” Tijdschrift Bataviasch Genootschaap. 64.
Dr.Mochtar Naim (1984) Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, Gadjah Mada University Press. Cetakan kedua.
NurZubir Husin et.al (l985) Struktur Bahasa Melayu Jambi, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Othman Mohd. Yatim dan Abdul Halim Nasir (1990)Epigrafi Islam Terawal di Nusantara, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
J.J.Ras (l990) Hikayat Banjar (Terjemahan Melayu oleh Siti Hawa Salleh), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Peter Bellwood (2000) Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta:Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Pieter J.M.Nas (l986)“The Early Indonesia Town, Rise and Decline of the City-State and Its Capital”, dalam Pieter J.M.Nas (Editor), The Indonesin City Studies in Urban Developtment and Planning, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-Land en Volkenkunde. Foris Publications Doodrecht-Holland/ Onnansen USA.
Robert Blust (1988) “Indonesia as a Field of Lingustic Study”, Edited by P.E.De Josselin de Jong, Unity in Diversity (Indonesia as a Field of an Anthropological Study), Verhandelingen van Het Koninklijk Instituut Voortaal-Land-En Volk en kunde. 103. Dordrecht-Holland/Providence- U.S.A: Foris Publication. University Press. Ithaca-New York.
Saidat Dahlan et.al (l985) Pemetaan Bahasa Daerah Riau dan Jambi, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Terry Crowley (l987)An Introduction to Historical Linguistics. Port Moresby: University of Papua New Guinea Press; Suava University of The South Pasific.
Takakusu (l986)Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago.
O.W.Wolters (l967) Early Indonesian Commerce: A Study of Srivijaya. Cornell ; (1970 ) The Fall of Srivijaya in Malay History, London; (1979), “Studying Srivijaya”, JMBRAS. 52 (2)
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/99/466/malayu:selayang-pandang
Jejak-Jejak Budaya di Kepulauan Riau:Selayang Pandang Tentang Keemasan Malayu Di Nusantara
1. Pendahuluan
Malayu atau Mèlayu hingga lebih diidentikan dengan Kepulauan Riau dan sekitarnya. Mengapa demikian? Di masa lalu, Riau– kini Provinsi Riau – telah ditandai beberapa gelombang migrasi nenek moyang bangsa Indonesia. Gelombang migrasi pertama konon menunjukkan ciri ras Weddoid yang datang sesudah zaman es terakhir, disebut ras pertama yang menghuni Nusantara. Sisa-sisa nenek moyang ras gelombang pertama ini masih ada sampai sekarang yang merupakan golongan tersendiri di Riau mereka disebut Orang Sakai, Orang Hutan dan Orang Kubu adalah orang-orang asli” dengan populasi yang tidak banyak. Orang Sakai mendiami Kecamatan Kuno-Darussalam, Kabupaten Kampar dan di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis jumlahnya terbatas (2160 jiwa); Orang Hutan mendiami Pulau Penyalai di Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Kampar (1494 jiwa).
Gelombang migrasi pertama terjadi pada periode 2500-1500 SM berciri ras Proto Mèlayu merupakan pendukung kebudayaan zaman batu baru menyebar ke Pulau Sumatra melalui Semenanjung Mèlayu. Sisa mereka terdapat di Riau: Orang Talang Mamak dan Orang Laut. Orang Talang Mamak di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat di Kabupaten Indragiri Hulu (3276 jiwa) (1980); Orang Laut di Kecamatan Reteh dan di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir serta di Kecamatan Tambelan Kabupaten Kepulauan Riau (2849 jiwa). Selain ada golongan orang-orang asli lainnya yaitu Orang Akit mendiami Kecamatan Rupat, Bengkalis, Mandau, Tebing Tinggi di Kabupaten Bengkalis (11625 jiwa).
Gelombang migrasi ras Mèlayu kedua datang sesudah tahun 1500 sM yang disebut Deutro Mèlayu yang menyebabkan Proto Mèlayu menyingkir ke pedalaman, sisanya bercampur dengan pendatang baru. Di dalam proses selanjutnya orang-orang Deutro Mèlayu bercampur lagi dengan pendatang-pendatang dan berbagai golongan berasal dari berbagai penjuru Nusantara. Percampuran itu menghadirkan suku-suku bangsa Melayu.
Riau, mereka inilah penduduk mayoritas mendiami kawasan Propinsi Riau meliputi luas 94.568 km². Suku-suku bangsa Mèlayu Riau menghadirkan sub-sub suku bangsa Mèlayu Siak, Mèlayu Bintan, Mèlayu Rokan, Mèlayu Kampar, Mèlayu Kuantan dan Mèlayu Indragiri dengan alat komunikasi utama (lingua franca) bahasa Mèlayu tersebar ke seluruh pelosok Nusantara. Meski bahasa Mèlayu Riau dibedakan sebagai dialek bahasa Mèlayu Riau ke-pulauan dan pesisir (pertama); dialek Mèlayu-Riau-daratan (kedua)
Dialek pertama adalah sub-dialek Tambelan Tarempa Bunguran, Singkep, Penyengat dan lain-lain; dialek kedua adalah sub-dialek Kampar, Rokan, Kuantan, Batu Rijai, Peranap dan lain-lain; disamping itu masih terdapat bahasa-bahasa orang asli seperti bahasa Sakai, bahasa Orang Laut, bahasa Akit dan bahasa Talang Mamak.
Mèlayu mencakup dasar pengertian Mèlayu sebagai ras; Mèlayu sebagai etnis (suku bangsa) dengan adat istiadatnya dan perubahan politik menyebabkannya terberai menjadi negara-negara dengan bentuk pemerintahan dan kebudayaan Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Filipina; Mèlayu sebagai suku atau bagian dari suku itu sendiri. Dalam kekinian Melayu berkehidupan dengan adat istiadat dan bahasa Mèlayu terutama di sepanjang pantai timur Pulau Sumatra hingga Kalimantan Barat berpusat di Riau (kepulauan dan daratan) hingga ke Semenanjung Malaka. Mèlayu dapat dipilah berdasarkan kategori:
1) Mèlayu yang tidak totok (tidak murni) merupakan kelompok orang–orang laut/ orang Sampan yang semula hidup di laut kemudian menetap di daratan di pulau-pulau kecil sekitar Riau sebagai komunitas-komunitas kecil dengan adat- istiadat Mèlayu dan berbicara dengan dialek khas seperti orang Galang di Pulau Karas dan Pulau Galang, orang Barok di Pulau Penuba, orang Kuala di Pulau Kundur dan Pulau Rempang; orang Tambus, Mantang dan Posek adalah komunitas tetap di laut terdiri dari 7-8 sampan yang berukuran 3-4 meter hidup berkeluarga dan beranak cucu sambil ber-kelana dari satu tempat ke tempat lain sesuai keadaan musim.
2) Mèlayu murni atau Mèlayu totok merupakan orang-orang Mèlayu yang lahir berasal dari Mèlayu itu sendiri berbahasa dan adat-istiadat Mèlayu, artinya semula Mèlayu tidak totok tetapi memiliki jabatan dan kedudukan, tinggal di lingkungan Riau yang dahulu menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mèlayu Riau-Lingga di Daik, dan Pulau Penyengat.
2. Eksistensi Malayu di Riau (Masa Kerajaan)
Tahun 400 M merupakan batas antara periode protosejarah dan periode klasik, periode yang ditandai oleh hadirnya pertukaran budaya (akulturasi) terjadi pada dan di hampir seluruh Asia Tenggara (Daratan dan Kepulauan). Akulturasi kebudayaan itu adalah dari Cina dan India, tetapi terutama dari India yang kala itu menduduki “pamor internasional di kawasan Asia”. Peristiwa pertukaran antar budaya menyebabkan perpaduan dengan menghasilkan corak-corak khas kebudayaan, ditengarai bentuk-bentuk kekuatan politik kerajaan lama (busana lama) dengan berbusana baru yakni Hindu-Budha.
Penelitian Obdeyn yang didukung dan dibuktikan penelitian paleogeografi oleh Prof. Dr. S. Sartono berhasil merekonstruksi bahwa dahulu pantai timur Sumatra pernah ada teluk yang sangat besar dan menjorok sangat jauh ke daerah pedalaman yakni Teluk Wen. Teluk ini memanjang dari DAS Batanghari hingga ke pantai timur Sumatra, membelah bagian Sumatra tengah dan Sumatra Utara. Tentang adanya Teluk Wen ini juga disebutkan oleh Nan-chou-i-wu-chih dalam kitab (Berita) Cina T’ai-P’ing-Yu-lan bahwa Teluk Wen ini terbentang di sebelah selatan KoYing dimana terletak Chou-Po dengan nama P’uLei.
Menurut palaeogeografi-Sartono, pada sekitar abad ke-3 M di Teluk Wen berkembang kerajaan TchuPo, KoYing dan Sanfoshih tetapi karena peristiwa alam dahsyat yakni terjadinya pengendapan lumpur sehingga Teluk Wen bertambah maju ke timur dan sekaligus menyebabkan kemunduran dan kejatuhan kerajaan-kerajaan purba tersebut. Setelah kerajaan KoYing lenyap, muncul kerajaan baru yakni Kant’oli pada abad ke-5 dan ke-6 M dan Moloyu (Mèlayu) pada abad ke-7 M.
Meskipun letak pastinya belum dapat diketahui namun anjuan Wolters dan Sartono sama-sama berpendapat bahwa kerajaan TchuPo terletak di Muara Tebo dan Sanfoshih di Muara Tembesi yang kemudian digantikan oleh kerajaan KoYing dan Moloyu. Kerajaan-kerajaan yang tergolong Malayu Purba itu berada di sekitar peisir timur pantai Sumatra, tidak jauh dari ujung bagian utara lajur gunung api Sorik Marapi (kala itu masih sangat aktif), di utara khatulistiwa meluas ke selatan hingga ke Gunung Dempo (kurang lebih 4° selatan khatulistiwa).
Berita Cina K’ang T’ai dalam Wu-shih-kuo-chuan menceritakan bahwa raja ChiaYing (KoYing) sangat gemar kuda yang diimpor melalui lautan oleh para pedagang dari Yuechih. Disebutkan Nan-chon-i-wa-chih bahwa tempat pelabuhan pengekspor kuda adalah Ku-nu (Kanadvipa-baratlaut India) berjarak sekitar 8000 li dari KoYing. TchuPo dan KoYing yang merupakan kerajaan makmur dan sangat kaya, berlimpah perak, emas, kapur barus dan lada.
Selain itu Berita Cina menyebut pusat-pusat kekuatan politik di Mèlayu Kuno purba itu mengalami pasang surut hingga muncul kekuatan politik paling berpengaruh yakni kerajaan Mèlayu dan kerajaan Sri Vijaya, kedua-duanya silih-berganti mengisi sejarah peradaban Sumatra masa lalu. Kejayaannya melegenda di kawasan Asia. Seiring perjalanan zaman, Mèlayu dan Sri Vijaya adalah pokok cikal-bakal peradaban Mèlayu Nusantara (Indonesia).
Sejak pujangga Prapanca di dalam Kakawin Nagarakretagama menggunakan istilah Bhumi Malayu maka istilah inilah seterusnya hidup dipakai untuk menyebut kerajaan-kerajaan di Sumatra dan pulau-pulau (kepulauan) sekitarnya. Mèlayu identik dengan julukan Sumatra-Andalas-Bhumimalayu-Suwarnadwipa merupakan ciri yang sulit dilerai dengan ras, etnis dan peradaban wilayah Nusantara khusus-nya bagi belahan barat Indonesia.
Hakekatnya mempelajari kebudayaan Mèlayu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi Sri Vijaya. Ironisnya, di kalangan masyarakat luas Mèlayu jauh lebih dikenal dibanding dengan Sri Vijaya. Apabila Sri Vijaya kemudian “tenggelam” maka Mèlayu tetap dikenang sepanjang masa sejak zaman purba hingga sekarang. Dalam kaitan ini Pieter J.M. Nas (l986) mengutara kan bahwa Sri Vijaya merupakan salah satu City-State paling awal dan paling penting yang eksistensinya didasarkan kepada fungsinya sebagai emporium dan mercantilis yang selalu berusaha keras memonopoli perdagangan dengan menguasai pusat-pusat komoditi (Jambi, Lampung Semenanjung Malaka dan Semenanjung Kra).
Dengan ancang-ancang ekspansi politik Sri Vijaya senarai berita prasasti Kota Kapur (Bangka) 686 M menyiratkan bahwa “mangsa” Sri Vijaya selanjutnya adalah kerajaan Mèlayu; prasasti Karang Brahi 686 M (N.J.Krom1931) adalah bukti penaklukan Sri Vijaya atas Mèlayu. Kedudukan ibu kota kerajaan Sri Vijaya adalah City-State yang berlandaskan maritim dan menguasai perdagangan internasional sehingga pendapatan negri (pajak-pajak dan upeti-upeti) ditarik dari hasil perdagangan internasional dan masyarakat setempat yang mayoritas menggiati mata pencaharian kelautan.
Lokasi kerajaan legendaris Sri Vijaya dan Mèlayu menimbulkan polemik ketat di kalangan sarjana. Namun telah sejak awal N.J. Krom (l926) mengajukan pertanyaan “Waar heeft dit Oude Malayu nu eigenlijk gebleven?” tetapi Krom pun menjawabnya:
“Dat de plaats van Malayu op het oogenblik zoo vast staat als in dergelijke gevallen mogelijk is, hebben in hoofdzaak te danken aan de studie van Rouffaer, die oude argementen ophalend en nieweu zeer krachtige aan toevoegend, met groote waarschijnlijkheid heeft aangetoond, dat Malayu het oude Djambi is”
Asumsi Krom itulah yang dianut kebanyakan sarjana seperti G.P.Rouffaer (l921); J.L. Moens (1924) ; O.W.Wolters (l970;1979) menyebut “dat Malayu het oude Djambi is” menegaskan Sri Vijaya dan Mèlayu adalah Jambi Kuno. Berbagai pendapat diajukan bahwa kerajaan Sri Vijaya pernah menaklukan Mèlayu antara tahun 671, dan tahun 685 M saat Mèlayu kehilangan kemerdekaanya. Kemudian Sri Vijaya berhenti mengirim utusan ke Cina tahun 742 M; tahun 853 dan 871 M, tetapi kemudian Cina memberitakan bahwa ia menerima utusan lagi dari Chan-Pei (Jambi).
Tidak dipungkiri bahwa keberadaan kerajaan Sri Vijaya dan Mèlayu banyak diberitakan dari Berita Cina. Antara lain pendeta I-T’sing di dalam Nan-Chai-ch’i-Kuei-Nai-Fa-Chuan (catatan ajaran Buddha dari laut selatan); Ta-Tang-Hsi-Yu-Ku-Fa-Kao-Seng-Chuan (catatan pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India) ia menyebutkan kerajaan-kerajaan di Nusantara dari barat ke timur: P’olushin, Moloyu (menjadi bagian Shihlifoshih), Mohosin, Holing, Tantan, Penpen, Chuehlun, Foshihpolo, Oshan dan Mochiaman. Diantara nama-nama kerajaan itu ada disebut Moloyu (Mèlayu) yang waktu itu ber- pusat di Jambi sedangkan Shihlifoshih atau Sri Vijaya berpusat di Palembang.
Menurut de Casparis, di kawasan ini sebenarnya ada tiga kerajaan maritim yang pengaruhnya paling menonjol dan disegani di Asia Tenggara yaitu Mèlayu, Sri Vijaya, dan Malaka. Hubungan diantara mereka bukanlah saling memusuhi atau saling mendesak kekuasan dan kekuatan politik (seperti diasumsi para sarjana sebelumnya), melainkan terjalin berdampingan saling menunjang secara damai-sinambung dan lancar. Sri Vijaya dan Mèlayu adalah 2(dua) kerajaan yang sama “were two different names of the same kingdom.” namun di dalam tingkat perjalanan sejarah yang berbeda “or rather different stages of its history”.
De Casparis mengkategorikan kerajaan Mèlayu sebagai kerajaan Mèlayu I dan kerajaan Mèlayu II yang dipisahkan oleh masa beberapa abad lamanya. Kondisi keberlangsungan dua kerajaan ini di dalam khasanah sejarah dapat dibandingkan dengan keberadaan dan peristiwa continuity pada kerajaan Mataram Islam yang juga merupakan lanjutan Bhumi Mataram (Jawa Kuno) yaitu Mataram I (Hindu) dan Mataram II (Islam). De Casparis mengemukakan:
“if another pilgrims like I-T’sing had visited Jambi in the 12th century he might have described the political situation there as “Srivijaya which was now Malayu”. The very impressive ruins at Muara Jambi, fully explored during the SPAFA Consultative Workshop on Srivijaya of the 1982, are clear testimony to the greatness of the Sumatra-nese empire after the end of the 11th century. For this reason we can no longer accept the current view of the re-emergence of Malayu as a consequence of the decline of Srivijaya. The material of our disposal clearly suggest that the view of the history of Southern Sumatra as primarily a struggle between Jambi/Malayu and Palembang/ Srivijaya is unsatifactory. It now seems likely that Srivijaya and Malayu were two different names of the same kingdom or rather different stages of its history. Malayu before c.680, Srivijaya from that time to the middle or the end of the 11th century and again Malayu from the end of the 11th century till c. 1400, when its role as the predominant maritime power of Western Indonesia and Malaysia is assumed by Malacca. In my view there was far more continuity than rivalry between Malayu I – Srivijaya –Malayu II and Malacca. As to the second Malayu, separated from the first by many centuries from the Bhumi Mataram of Ancient Java, it was cours by no means identical with the first Malayu, but there was a certain degree of continuity”
Pandangan de Casparis disetujui oleh Uka Tjandrasasmita yang menambah kan bahwa istilah “penaklukan” tidak harus diartikan dengan penguasaan penuh, melainkan sebagai overload di dalam upaya untuk saling mengisi hubungan antar kemaharajaan dan antar si pemberi upeti (tributary kingdom). Maka keberadaan kerajaan-kerajaan di tanah Mèlayu (Sri Vijaya dan Mèlayu) bukan penguasaan melainkan kesinambungan dengan derajat dan kapasitas tertentu. Dalam artikel-nya yang lain De Casparis lebih menegaskan pendapatnya:
“The present paper confirm this view, but also assigns an important place to Malayu as a link between Srivijaya and Malacca. We would consider Malayu as the first and final stage in the history of Srivijaya, but, as the name of Malayu has been alive from the 7th century to the present time, I prefer a different formulation: Srivijaya, an important stage in the history of Malayu”
Kerajaan Mèlayu I dan Mèlayu II berlangsung terus bahkan ketika inovasi Islam berkembang di Sumatra dan istilah kerajaan berbusana (berganti kulit) sebagai Kesultanan Mèlayu III.
Kerajaan Melayu I (Dharmasraya). Sejarah dinasti Liang mencatat: tahun 430-475 M beberapa kali utusan Holotan, Kant’oli dan Tolang-P’ohwang datang ke Cina. Kant’oli terletak pada salah satu pulau di laut selatan, adat kebiasaannya sangat serupa dengan Kamboja dan Campa. Hasil negrinya yang terutama adalah pinang, kapas dan kain-kain berwarna. Sejarah dinasti Ming juga mencatat bahwa Sanfosai dahulu disebut Kant’oli.
Menurut G.Ferrand Kant’oli (Berita Cina) adalah Kandari (Berita Arab: Ibn Majid 1462 Masehi) yang diidentifikasi Sri Vijaya terletak di Sumatra berpusat di Palembang. Tetapi J.L.Moens mengidentifikasi Singkil-Kandari (berita Ibn Majid) sebagai Kant’oli (Berita Cina: dinasti Liang dan Ming) sedangkan Sanfotsi adalah Mèlayu. Berbeda dengan J.J. Boeles yang menyebutkan bahwa Kan-t’o-li terletak di Muangthai selatan, dibuktikan dengan masih adanya desa kuno Khantuli di pantai timur Muangthai selatan. Namun dengan tegas OW.Wolters menolaknya karena tidak ada satu pun bukti yang mengarah kepada asumsi itu, menurutnya Kant’oli adalah Sanfotsi (Palembang) yang selalu dihubungkan dengan Sri Vijaya. Asumsi inilah yang kemudian diikuti oleh Obdeyn yang juga menyatakan bahwa Kant’oli = Sanfotsi di Palembang (Sumatra selatan).
Polemik tata letak Kant’oli itu kemudian terjawab tuntas oleh rekonstruksi palaeogeographie Prof. Dr. S. Sartono selanjutnya menjadi landasan pemikiran arkeolog senior Prof.Dr.R. Soekmono yang menegaskan bahwa Kant’oli adalah salah satu kerajaan purba yang dahulu pernah berada di Teluk Wen itu (di Kuala Tungkal dan Muara Tembesi) sebagai embrio kerajaan Mèlayu. Ketegasan ini sesuai dengan keterangan Berita Cina lebih tua (dinasti T’ang) bahwa datangnya Moloyeu ke Cina tahun 644 dan 645 M.
I-T’sing yang cukup lama menetap di Sri Vijaya menceritakan ketika tahun 671/672 berlayar dari Kanton (Cina) ke Nagapattnam (India), ia singgah belajar bahasa Sanskerta di Shelifoshih selama 6 bulan, setelah itu menuju Moloyeu selama 2 bulan lalu ke Chiehca (Kedah) sebelum melanjutkan berlayar ke India. Tahun 685 (14 tahun kemudian) di dalam perjalanan menuju pulang ia singgah lagi selama 6 bulan di Moloyeu tetapi dikala itu Moloyeu telah menjadi Shelifoshih. I-T’sing juga menyebutkan berlayar dari Sri Vijaya ke Mèlayu dan dari Mèlayu ke Kedah memakan waktu 15 hari, dari Mèlayu ke Kedah harus berganti arah.
Kerajaan Mèlayu II - berkembang pada akhir abad XI M sampai tahun 1400 M. Pada waktu itu kerajaan ini telah melakukan kontak dengan Jawa, dibuktikan peritiwa sejarah ekspedisi Pamalayu (1275 M) yakni pengiriman arca Amoghapasa-Lokeswara ke Bhumi Malayu Sri Krtanagara (Singhasari) ke Mèlayu. Arca ini ditemukan kembali oleh kontrolir Belanda bernama van den Bosch di Rambahan (hulu Batanghari). Pada bagian lapik arca tertera prasasti:
“Bahagia! Tahun Saka 1208 bulan Badrapada, hari pertama tatkala bulan naik, Wuluku Wage, Kamis, wuku Madangkungan, posisi bintang di baratdaya...saat arca Amoghapasa Lokeswara dengan empatbelas pengikutnya dan tujuh ratna permata dibawa dari Bhumi Jawa ke Suwarnnabhumi untuk ditegakkan di (Malayu)-Dharmmasraya sebagai hadiah dari Sri Wiswarupa-kumara. Maka sang raja Sri Krtanagara Wikramottungga dewa memerintah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugata Brahma, Dang Payangan Hyang Dipangkarasa, Rakryan Dmung Wira menghantarkan Amoghapasa (dengan harapan) Semoga hadiah ini membuat gembira segenap penduduk negri Malayu termasuk Brahmana, Ksatrya, Waisya, Sudra dan terutama pusat dengan segenap para Aryya Sri Maharaja Srimat Tribuwanaraja Mauliwarmmadewa...”
Dengan pengiriman arca tersebut (1347 M) seluruh rakyat Mèlayu merasa gembira terutama sang raja Srimat Tribhuwana Mauliwarmmadewa; disebutkannya (Malayu) Dharmmasraya pada prasasti ini memberi kemungkinan besar bahwa pusat kerajaan Mèlayu berada di Muara Jambi atau di daerah pedalaman Muara Jambi (hulu DAS Batanghari) dekat Sijunjung (Sei Langsat) dibuktikan oleh adanya temuan Arca Prajnaparamita tanpa kepala di Candi Gumpung. Selain prasasti pada bagian lapik arca Amoghapasa juga dituliskan pada bagian punggung arcanya dari masa yang lebih kemudian yakni pemerintahan raja Adityawarmman (sesudah periode Srimat Tribhuwana).
Prasasti pada punggung arca itu berangka tahun 1347 M menerangkan bahwa ia adalah raja yang telah berusaha sekuat tenaga memperbaiki bangunan Jinalaya yang hampir runtuh. Bangunan tersebut sampai kini masih terdapat situs Padangroco-Sei Langsat (Sawahlunto Sijunjung) berupa pagar keliling dari bata berbentuk U ujung alirannya bermuara ke sungai Batanghari, di dalam pagar keliling terdapat bangunan induk dan dua candi perwara.
Dalam Pertemuan Tamadun-Melayu Kedua (1989) Kuala Lumpur- Malaysia, De Casparis mengemukakan bahwa masa pemerintahan Adityawarman mewakili puncak kejayaan Mèlayu sekaligus masa yang sangat sulit dan penuh tantangan kompleks. Karena masa pemerintahannya seiring dengan gencarnya inovasi Islam menyebarkan pengaruh di bagian barat Sumatra serta mendapat dukungan dari raja-raja daerah yang berada di bawah kekuasaan Mèlayu II.
Kerajaan Mèlayu yang berpedoman agama Budha yang selalu bersifat damai dan sabar itu, berubah menjadi agresif. Berbagai temuan arkeologi dari masanya (perwujudan arca-arcanya) tampil bersikap berang seakan hendak memusnahkan lawan. Prasasti-prasasti dari masanya juga menerangkan bahwa pendahulu Adityawarman adalah Akarendrawarman, Adityawarman putra Adwayawarman. Sesuai adat Mèlayu yang berprinsip kepada konsep matrilineal, hak atas waris (Yang dipertuan Basa) turun kepada keponakan, yakni Adityawarman. Maka Adityawarman bertahta di Kerajaan Mèlayu adalah menggantikan ninikmamaknya raja Akarendrawarman (1316 M), peristiwa serupa terjadi tatkala pendahulunya raja Akarendrawarman memperoleh tahta bibinya, Srimat Tribhuwana (kerajaan Mèlayu I 1286 M).
Dari keterangan prasasti Surawasa, Akarendrawarman inilah sebenarnya yang memindahkan ibukota kerajaan Mèlayu ke pedalaman di Surawasa (Suroaso-Batusangkar). Alasan pemindahan pusat kerajaan didasari beberapa hal.
Pertama, meskipun ia masih berkerabat dekat dengan keluarga kerajaan Jawa (Singhasari-Majapahit) ia tetap waspada mencurigai siasat “sumpah palapa” cita-cita dari Patih “pongah dan congkak” Gajah Mada yang ber kehendak menyatukan negeri-negeri di Nusantara ke dalam satu panji kedaulatan adhikuasa Kerajaan Majapahit; alasan kedua adalah menjaga hubungan dengan negeri Cina; ketiga, menyadari inovasi Islam yang mencapai puncaknya dan pusatnya tidak jauh dari Mèlayu. Karena inovasi Islam bersifat keagamaan maka penguasa Mèlayu pun menyadarinya dan menjawabnya dengan cara beragama juga sesuai landasan keyakinannya. Itulah sebabnya, dari sejumlah besar prasasti yang dikeluarkan pada masanya berubah total, sikap yang semula penuh damai, namun karena kondisi dan situasi politik waktu itu telah menuntut sikap pemimpin lebih tegas dan lebih preventif.
Salah satu sikap tegas tersebut antara lain ditunjukan melalui perwujudan Bhairawa-demonis arca terbesar di Indonesia setinggi 4.41 m, arca itu berdiri diatas setumpuk mayat-mayat. Pada bagian dasar arcanya dihiasi oleh tengkorak-tengkorak, sedangkan pada tangan kanannya memegang pisau dengan posisi yang siap menikam para pengganggu.
Menurut De Casparis, arca Bhairawa maha besar dan megah dahulu tegak didirikan pada pintu gerbang pusat kerajaan Mèlayu di Malayupuram semata-mata tonggak pertahanan secara frontal guna mengatasi dan mencegah segala ancaman yang datang dari pantai timur Sumatra menuju ke pusat kerajaan Mèlayu yang telah berpindah ke pedalaman. Kekhawatiran penguasa Mèlayu sangat beralasan karena pada masa akhir pemerintahan Adityawarman abad ke 17 M, kekuasaan kerajaan Mèlayu mulai surut.
Bagi suatu kerajaan seperti Mèlayu dengan berlandaskan Agraris Maritim yang mengandalkan perairan (sungai dan pantai) adalah hal mutlak untuk tetap menjalin hubungan dan kerjasama serasi dengan wilayah yang berorientasi ke laut. Kepindahan ibu kota ke pedalaman tidaklah berdampak lebih baik karena kontrol terhadap wilayah pesisir menjadi kian longgar, seiring gencarnya arus inovasi Islam atas kerajaan-kerajaan atau negeri-negeri bawahan Kerajaan Malayu. Sejak saat itu kerajaan-kerajaan kecil dikelilingnya yang semula berada dibawah penuasaan kerajaan Mèlayu berganti busana Kesultanan yang bercorak Islam dan memerdekakan diri dengan sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam.
Kebudayaan orang Mèlayu adalah kebudayaan pantai bercorak perkotaan, pusat kegiatannya pada perdagangan kelautan. Kebudayaan Mèlayu terdapat pada hampir seluruh wilayah kepulauan (Nusantara) sebenarnya lebih merupakan hasil dari perpaduan kebudayaan setempat (Mèlayu), Islam, Hindu, Makasar, Bugis, Jawa dan unsur-unsur lokal yang secara keseluruhan diselimuti dan dipedomani oleh Agama Islam. Karena dalam tradisi terwujudnya kebudayaan Mèlayu telah sangat terbiasa dengan kontak-kontak hubungan luar, dengan proses pembauran dan akulturasi kebudayaan, maka corak kebudayaan Mèlayu memiliki struktur-struktur bersifat longgar dan terbuka (open mind).
Keterbukaan struktur-struktur kebudayaan Mèlayu ini yang memungkinkan mampu mengakomodasi perubahan-perubahan dan penyerapan unsur-unsur kebudayaan berbeda-beda, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip adat dan sopan-santun Mèlayu. Runtuhnya kerajaan Mèlayu Kuno sebagai pusat kekuasaan dan sekaligus pusat kebudayaan, nampaknya orang-orang Mèlayu yang terbiasa hidup di dalam kelompok-kelompok setempat dipersatukan peranan-peranan kerajaan kemudian seolah-olah kehilangan keterkaitan satu sama lain sebagai pendukung kebudayaan Mèlayu yang pernah jaya di masa lampau.
3. Penutup: Peradaban Melayu dalam Kekinian Perannya di Nusantara
Kroeber dan Kluckhohn (1963) di dalam bukunya yang berjudul Culture telah mengumpulkan 164 definisi tentang kebudayaan yang berbeda menurut cara merumuskannya. Namun jelas dari keseluruhan aspek-aspek kebudayaan berada di dalam lingkaran konsentris mecakupi tiga komponen utama yang antara satu dan yang lainnya memiliki hubungan timbal balik di alam lingkungan pengalamannya. Lingkungan pengalaman tersebut meliputi individu, masyarakat dan alam atau alam pemikiran dan perasaan hubungan antar manusia dan hubungan manusia degan biofisika.
Lingkaran konsentris merupakan model yang memperlihatkan bahwa dalam lingkungan kebudayaan terdapat aspek bahasa yang menghubungkan erat dengan proses pemikiran, perasan dan yang terpenting adalah fungsinya sebagai wahana komunikasi antar manusia.
Di antara semua cercah eksistensinya, jasa terbesar peradaban Malayu di nusantara adalah sangat nyata di dalam aspek alat komunikasi yakni bahasa Mèlayu termasuk kerabat besar dari berbagai bahasa di dunia, terutama dalam hubunganannya dengan bahasa-bahasa di Madagaskar. Dibuktikan pertama kali oleh F. de Houtman (1603) tatkala ia menerbitkan buku yang isinya menampilkan bahasa Malayu Nusantara dan bahasa Madagaskar dan hubungannya dengan bahasa-bahasa Polinesia. Terry Crowley (l987) telah mencontohkan adanya hubungan erat kosakata bahasa Malayu dengan tiga kerabat bahasa Polinesia.
Bernd Nothofer (1966) menguraikan bahwa bagian barat Kalimantan merupakan asal bahasa Malayu yang bergerak dengan sangat cepat menjangkau jarak luas dan menetapkan pusat-pusat penutur bahasa Melayu di Nusantara di masa lampau. Persebaran teknologis sebanding dengan sepupunya “pengarung samudra Polinesia” yang awalnya menguasai perairan maha luas samudra Pasifik.
Bahasa Malayu Purba yang kini telah berkembang dengan berbagai varian tersebut telah berkembang pada sekitar dua juta tahun yang lalu oleh para pemangku budaya, khususnya menghuni dan memilih lahan tanah basah seperti rawa-rawa, delta dan pantai dengan sistem sungai (contoh Kalimantan barat). Jenis lahan yang memberi peluang mempertahankan hidup berlandaskan sistem budaya dengan pola persebaran perairan alam yang sekaligus memiliki potensi melangsungkan hidup, maka hunian pun dilandasi sistem hunian perairan.
Pertanyaan yang kerap menggelitik sehubungan dengan berbagai asumsi atas asal usul atau puak-puak Malayu di Nusantara (kepulauan) adalah bukan tidak mungkin mereka inilah asal mula orang laut (KALBAR) yang menyebar ke seluruh Nusantara “Orang Laut Asli” dan Pasifik. Mungkinkah Sri Vijaya dengan sejumlah prasasti-prasastinya yang hampir selalu mengumandangkan “mangalap siddhayatra subhiksa” Sri Vijaya (mencari kesejahteraan dan kejayaan kehidupan), semula adalah hasil persebaran “Orang Laut” ini? Termasuk sisa-sisa suku yang menyebut dirinya Bajau (Bajo) tersebar di perairan Kalimantan utara, Sangir Talaud dan ada juga tinggal menetap di pedalaman Sulawesi (sebagian kecil), Tetapi jelas bukan dari Sulawesi seperti diasumsikan BH. Bhurhanuddin.
Lebih menarik lagi abad pertama Masehi seiring puncak dan maraknya perdagangan di Asia Tenggara, masyarakat Nusantara mengenal "Lingua-Franca” yang disebut dengan istilah bahasa K’wun-Lun atau Kun-Lun. Menurut Boechari (SNI II: Jaman Kuna l984), bahasa tersebut merupakan jenis bahasa “Malayu pasar” yakni bahasa malayu yang telah bercampur (interferensi) bahasa Cina dan bahasa Sanskerta? mungkin ada istilah yang lebih baik lagi “Malayu Pergaulan atau Bahasa Pergaulan”, tentu saja berkembang sebagai alat komunikasi antar bangsa di dunia perdagangan laut internasional yang memang paling berperan di kepulauan. K’wun-Lun atau Kun-Lun itu sendiri jelas istilah bahasa salah satu suku di daratan Cina yang bermigrasi ke Nusantara mencari kehidupan ke negeri bawah angin.
Masuk akal jikalau kosakata bahasa Cina (di samping India) banyak ditemui dalam perbendaharaan kosakata Malayu sebagai proses “interferensiasi” dan berkembang menjadi difusi budaya setempat. Secara literasi, ciri-ciri masyarakat penutur Malayu “kuno” berlangsung hingga batas abad ke-15 Masehi, secara luas abad ke-16 Masehi seiring kian memuncaknya pelabuhan-pelabuhan dan dunia perdagangan di sepanjang pantai di Nusantara dan Asia daratan, meliputi pulau-pulau di samudra Pasifik seperti Ternate, pulau Bacan sampai perairan samudra Hindia dan Sumatra utara.
Bahasa Mèlayu merupakan kerabat terpenting dari bahasa Austronesia dan memiliki tataran sangat luas itu sebenarnya diluncurkan oleh peradaban Asia Timur sejak 10.000 yang lalu. Bahasa “paling purba” yang diperkirakan terbentuk di pulau asalnya, Taiwan. Disebarkan oleh pengarung samudra ketika bermigrasi ke selatan (negara-negara bawah angin) menuju dan melalui Filipina, beberapa diantaranya ke timur dan membangun kebudayaan di pulau-pulau di kepulauan Pasifik. Sebagian ke arah selatan dan ke arah barat bertemu dengan manusia purba lainnya yang mendiami sepuluhribu pulau di Asia Tenggara.
Di Asia Tenggara kondisi geografis kepulauan dan letak huniannya yang sebagian besar di perairan telah memberi peluang pendukung budaya dan penutur Malayu mayoritas hidup dari perdagangan, banyak diantaranya yang membentuk masyarakat minoritas tersendiri (Thailand, Burma dan Vietnam), sebagian lagi berlayar ke utara (Manila, Taiwan dan Ryukyu) menuju ke timur dari Tidore hingga ke Papua Nugini.
Barangkali inilah dampak mencolok keluwesan dan keleluasaan peradaban Mèlayu Nusantara khususnya dalam khasanah struktur bahasa. Bahasa yang pada dasarnya tumbuh-berkembang dari kegunaanya dalam pasar komuniti itu telah menyebabkan bahasa Mèlayu digolongkan sebagai lingua franca. Tidak ketatnya struktur bahasa Mèlayu menyebabkan bahasa ini secara luas telah digunakan hampir di seluruh wilayah Musantara sebagai bahasa perantara di dalam segala kegiatan, terutama dalam upaya mengakomodasi hambatan-hambatan komunikasi karena perbedaan sistem makna dan bahasa sejak masa lampau. Nyata bahwa kehadiran berbagai macam dialek Mèlayu berkembang dan tumbuh sebagaimana adanya di wilayah Nusantara adalah semata perpaduan dari unsur-unsur bahasa lokal dan fungsionalisasi kegunaannya dalam kegiatan-kegiatan lokal. Implikasi nya dikenal agam bahasa Mèlayu: bahasa Mèlayu Riau, bahasa Mèlayu Banjar, bahasa Mèlayu Menado, dll.
Perkembangan lokal bahasa Mèlayu tidak sekedar terwujud sebagai bentuk kegunaannya dalam pergaulan setempat, lebih dari itu bahasa Mèlayu merupakan bahasa yang berlaku di dalam kehidupan resmi kerajaan-kerajaan setempat pada masa lalu. Bahasa resmi kerajaan merupakan bahasa budaya berstruktur, penuh retorik dan ungkapan-ungkapan bermakna sangat dalam dan majemuk. Jenis bahasa yang biasa digunakan oleh para satrawan istana dan ditemukan untuk menuliskan hikayat-hikayat atau babad-babad kerajaan.
Juga tersebar di dalam naskah-naskah kuno di seluruh Nusantara dimana bahasa Mèlayu tampil dengan aksara Arab ataupun Arab- Mèlayu.
Perkembangan bahasa Mèlayu dengan aksara Arab-Mèlayu sebenarnya terjadi setelah runtuhnya Kerajaan Mèlayu Riau-Lingga seiring hadirnya tokoh-tokoh pemikir, budayawan dan pioneer sastrawan Mèlayu pada zaman itu terutama tokoh Raja Ali Haji secara nyata menghasilkan berbagai karya tulis terutama pembakuan tata bahasa Mèlayu dan standardisasi bahasa dan aksara Mèlayu yang kemudian berkembang dan dipergunakan oleh berbagai kepentingan di dunia pendidikan sebagai bahasa pengajaran dan bahasa utama sekolah-sekolah resmi negara di Nusantara (Indonesia) dan Semenanjung Mèlayu. Bahasa baku (standar) digolongkan sebagai bahasa Mèlayu Tinggi tersebut tentu dibedakan dari bahasa Mèlayu setempat di dalam pergaulan sosial sehari-hari.
Persebaran bahasa Mèlayu standard sebagai bahasa ilmu pengetahuan telah memungkinkan adanya percetakan karya-karya tulis di Kerajaan Mèlayu Riau di Penyengat. Penggunaan aksara Latin bagi bahasa Mèlayu baku diteruskan hingga awal abad ke-20 di Jakarta oleh para penulis dan pengarang pribumi serta penulis-penulis keturunan (Cina-Indo). Terbitnya tulisan dengan bahasa Mèlayu baku dalam karya sastra dan esai di surat-surat kabar waktu itu telah mempopulerkan penggunaan bahasa Mèlayu baku. Semula sebagai bahasa ilmu pengetahuan Riau kemudian tersebar luas diantara para cerdik-cendekiawan Nusantara pada masa lampau telah memperkuat terpilihnya fungsi-peran dan kedudukan bahasa Mèlayu menjadi bahasa landasan pengembangan bahasa nasional Indonesia.
Apa yang tertinggal adalah warisan kebudayaan Mèlayu yang terwujud sebagai tradisi-tradisi dan sistem-sistem makna yang ada dalam berbagai istiadat dan upacara yang sekarang masih hidup dalam kehidupan bermasyarakat orang Mèlayu dalam berbagai naskah kuno yang berisi berbagai ajaran pedoman hidup sebagai orang Mèlayu dalam menghadapi lingkungan hidup yang beragam dalam usaha menghadapi perubahan zaman.
Acuan Kepustakaan:
Annabel The-Gallop and Bernard Arpe (1991)Golden Letters Writing Tradition of Indonesia (Surat Emas Budaya Tulis di Indonesia), London-Jakarta: The British Library –Yayasan Lontar.
Bernd Nothofer (1966) “Migrasi Orang Melayu Purba: Kajian Awal”. Makalah disajikan dalam Fourth Biennial Conference of Borneo Research Council. Bandar Sri Begawan-Brunei Darussalam, 10-15 Juni 1966.
BH. Bhurhanuddin (1975)Sejarah Sriwijaya Bermula di Sulawesi, Kendari: Yayasan Karya Teknika.
J.G. de Casparis (l985) “Srivijaya and Malayu”, SPAFA WORKSHOP OF Srivijaya. 1985:252.
Chavannes (1894) Memoire Compose a l’epoque de la Grande Dynastie T’ang sure les Religieux Eminents qui Allerent Chercher la loi dans le Pays d’Occident.
David S. Moyer (1988), “South Sumatra in the Indonesian-Field of Anthropological Study”, commented by C.W.Watson. Edited by P.E.de Josselin de Jong, Unity in Diversity: Indonesian as a Field of Anthropological Study, Second Impression. Dordrecht -Holland/Providence-USA: Foris Publication. Chapter V: 88-100.
James Legge M.A.L.L.D (l971) A Record of Buddhist Kingdoms (being an Account by The Chinese Monk Fa-Hien of his Travels in India and Ceylon A.D.339- in search of the Buddhist Books of Discipline), Translated and Annotated Edition with a Corean Recension of the Chinese Text (by James Legge M.A.LL.D: the Professor of the Languge and Literature. Delhi-6: Oriental Publishes.
James T.Collins (l996) Malay, Word Language: A Short History. Published by Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur-Malaysia
N.J.Krom (l931)Hindoe-Javaansche Geschiedenis, 2e druk, The Hague Martinus Nijhoff s’Gravenhage
J.L.Moens (l924) “Het Boedhisme op Java en Sumatra in Zijn Laaste Bloeiperiode” Tijdschrift Bataviasch Genootschaap. 64.
Dr.Mochtar Naim (1984) Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, Gadjah Mada University Press. Cetakan kedua.
NurZubir Husin et.al (l985) Struktur Bahasa Melayu Jambi, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Othman Mohd. Yatim dan Abdul Halim Nasir (1990)Epigrafi Islam Terawal di Nusantara, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
J.J.Ras (l990) Hikayat Banjar (Terjemahan Melayu oleh Siti Hawa Salleh), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Peter Bellwood (2000) Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta:Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Pieter J.M.Nas (l986)“The Early Indonesia Town, Rise and Decline of the City-State and Its Capital”, dalam Pieter J.M.Nas (Editor), The Indonesin City Studies in Urban Developtment and Planning, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-Land en Volkenkunde. Foris Publications Doodrecht-Holland/ Onnansen USA.
Robert Blust (1988) “Indonesia as a Field of Lingustic Study”, Edited by P.E.De Josselin de Jong, Unity in Diversity (Indonesia as a Field of an Anthropological Study), Verhandelingen van Het Koninklijk Instituut Voortaal-Land-En Volk en kunde. 103. Dordrecht-Holland/Providence- U.S.A: Foris Publication. University Press. Ithaca-New York.
Saidat Dahlan et.al (l985) Pemetaan Bahasa Daerah Riau dan Jambi, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Terry Crowley (l987)An Introduction to Historical Linguistics. Port Moresby: University of Papua New Guinea Press; Suava University of The South Pasific.
Takakusu (l986)Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago.
O.W.Wolters (l967) Early Indonesian Commerce: A Study of Srivijaya. Cornell ; (1970 ) The Fall of Srivijaya in Malay History, London; (1979), “Studying Srivijaya”, JMBRAS. 52 (2)
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/99/466/malayu:selayang-pandang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar