Indonesia kaya akan seni arsitektur, itu semua merupakan warisan dari nenek moyang. Pembahasan mengenai arsitektur selalu menjadi bahan yang menarik untuk di kaji lebih mendalam. Penelitian mengenai arsitektur Nusantara telah banyak dilakukan baik oleh peneliti lokal maupun oleh peneliti asing. Ketertarikan untuk melakukan penelitian karena pada hakekatnya rumah tinggal merupakan wadah yang penuh misteri dan paling ekspresif dalam menampung kegiatan manusia sehari-hari, bukan hanya yang bersifat fisik, tetapi juga bersifat psikis, serta memunyai dimensi budaya.
Manusia, rumah, dan gagasan atau pemikiran adalah satu kesatuan, mempunyai hubungan yang sangat erat sebab rumah merupakan “kulit kedua” manusia yang berfungsi sebagai tempat berlindung dari karakter alam, dan mencari privasi, sekaligus sangat memungkinkan untuk menampilkan secara utuh ekspresi mental dan spritual penghuninya. Rumah selalu dinapasi oleh kehidupan manusia, oleh watak dan kecenderungan-kecenderungan, oleh nafsu, dan cita-cita penghuninya, sehingga rumah dikatakan mampu membahasakan jati diri penghuninya.
Pengertian tradisional pada arsitektur tradisional secara konsepsional dapat mengundang banyak interpretasi. Secara mendasar pengertian tradisi dapat dibedakan menjadi dua konsepsi:
1. Sebagai sesuatu yang terbatas (bounded object) seperti yang diungkapkan oleh Shils (1981): “It is to last over at least three generations-however long or short- to be a tradition". Jadi, tradisi adalah sesuatu yang dilakukan oleh suatu masyarakat secara terus menerus setelah mengalami seleksi secara alami, minimal tiga generasi;
2. Tidak mempersoalkan masalah waktu, tetapi lebih menekankan kepada proses yang terjadi, apa yang tetap dan apa yang berubah (meaningfull processes) seperti yang diungkapkan oleh Handler dan Linnekin (1988).
Untuk menelusuri bahwa suatu tradisi yang dijalankan suatu masyarakat masih “asli” atau “palsu” sangatlah sulit. Apalagi di Indonesia pada masa lalu berlaku tradisi tutur (oral tradition). Pada proses penurunan cerita, setiap generasi melakukan penyimpangan informasi, baik berupa penambahan maupun pengurangan informasi. Selain itu, dokumentasi tertulis seperti lontar juga memungkinkan timbulnya banyak persepsi. Jadi, agar terjadi kesamaan persepsi dalam tulisan ini, maka konsep tradisional yang dipakai mengacu pada konsepsi Handler dan Linnekin (1988): sesuatu yang telah dilakukan secara terus menerus oleh suatu masyarakat pada masa lalu hingga kini tanpa melihat dimensi waktunya serta melihat apa yang bernilai dan masih dilakukan serta apa yang sudah tidak dilakukan lagi.
Berbicara mengenai arsitektur rumah tinggal tradisional di Indonesia tentunya berbeda dengan arsitektur rumah tinggal di “Barat”. Bentuk yang hadir pada arsitektur rumah tinggal tradisional di Indonesia selalu dipertalikan dengan makna “yang lebih dalam”, yang berada dibalik bentukan yang terjadi, tidak berhenti hanya pada yang tersurat atau kasat mata. Penggunaan ruang yang terjadi tidak hanya untuk menampung aktivitas fisik sehari-hari, tetapi juga spritual untuk memperoleh ketenangan batin atau jiwa. Apalagi kalau kita memahami makna tersebut dengan pendekatan “Emik” yaitu melihat suatu gejala dari sudut pandang para pelaku sosialnya, bukan dari para penelitinya. Akan banyak aspek yang dapat diungkap dibalik bentukan arsitektur yang terjadi. Konsep arsitektur rumah tinggal tradisional di Indonesia tidak lepas dari perikehidupan masyarakatnya, sementara dalam tatanan kehidupan mereka masih mengikuti tatanan hidup yang rumit, segala sesuatu serba tersirat, penuh dengan pemaknaan.
Dalam buku Kawruh Kalang (Kridosasono, 1976) disebutkan bahwa orang memasuki sebuah rumah diibaratkan sebagai orang yang berteduh di bawah pohon karena:
Orang tanpa rumah ibarat pohon tanpa bunga;
Rumah tanpa pendopo ibarat pohon tanpa batang;
Rumah tanpa dapur ibarat pohon tanpa buah;
Rumah tanpa kandang binatang ibarat pohon tanpa daun;
Rumah tanpa gapura atau masjid ibarat pohon tanpa akar. Menurut Darmanto Jatman, rumah memiliki makna sebagai tempat pertemuan laki-laki yang dilambangkan langit dan perempuan yang dilambangkan bumi (Mangunwijaya, 1988) seperti petikan berikut:
“…. Rumah itu Omah, Omah itu dari Om dan Mah, Om artinya O, maknanya langit, maksudnya ruang, bersifat jantan. Mah artinya menghadap ke atas, maknanya bumi, maksudnya betina. Jadi rumah adalah ruang pertemuan laki dan rabinya. Karenanya kupanggil kau Semah, kerna kita serumah. Sepuluh pelataran rumah kita bersih cemerlang supaya bocah-bocah dolan pada krasan…”
Dalam konteks perwujudan arsitektural, maka bentukan rumah tinggal tradisional diupayakan tampil sebagai ekspresi budaya masyarakat setempat, bukan saja yang menyangkut fisik bangunannya, tetapi juga semangat dan jiwa yang terkandung di dalamnya. Hal ini memperjelas bahwa betapa pentingnya rumah bagi manusia, dan mereka masih mengikuti aturan-aturan yang berlaku serta pola-pola yang telah diikuti sejak jaman dulu. Patokan tersebut karena dipakai berulang-ulang, akhirnya menjadi sesuatu yang baku, seperti patokan terhadap tata ruang, patokan terhadap pola massa, atau patokan terhadap bentuk, struktur bangunan, maupun ornamennya.
Apa yang dikemukanan di atas merupakan sebuah bentuk kebudayaan yang sangat tinggi dimana masyarakat Indonesia pada zaman dulu selalu memperhatikan baik dan buruknya sebuah bangunan rumah yang di dalamnya penuh akan makna. Dalam setiap pembangunan rumah selalu tersebunyi makna yang dalam, semua itu mereka jaga dari generasi-kegenerasi melalui tradisi secara turun temurun. Kebesaran tradisi rumah nenek moyang kita seperti itu ternyata pada saat sekarang ini mulai di tinggalkan, masyarakat mulai menyukai rumah-rumah gaya Barat. Mulai ditinggalkannya model-model rumah tradisional, tidak terlepas dari kebutuhan yang berkembang pada masa sekarang dan semakin kompleknya kebutuhan akan tempat tinggal manusia.
Kepustakaan
Gelebet, I Nyoman, dkk. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Kartono, J. Loekito. 1998. "Pengaruh Kosmologi, Mitologi, dan Genealogi pada Wujud Arsitektur Rumah Tinggal Arsitektur Tradisional di Indonesia", dalam Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Volume 25 Agustus 1998. Surabaya: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya.
Ni Ketut Agusinta Dewi. Wantah Geometri, Simetri, dan Religiusitas pada Rumah Tinggal Tradisional di Indonesia. Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur Universitas Udayana
Kridosasono. 1976. Kawruh Kalang. Surakarta: Jawatan Gedung-gedung Negara Daerah Surakarta.
Mangunwijaya, Y.B. 1988. Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi dan Filsafat Beserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta: PT. Gramedia.
Mangunwijaya, Y.B. 1999. Manusia Pasca-modern, Semesta, dan Tuhan, Renungan Filsafat Hidup Manusia Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Widayati, Naniek. 1999. "Tinjauan Kajian Konsep Bangunan Jawa (Sebuah Kajian Literatur)", dalam Jurnal Kajian Teknologi Volume 1 Nomor 1 Nopember 1999. Jakarta: Universitas Tarumanegara Jakarta.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/99/503/rumah-tinggal:-bentuk-ekspresi-diri
Manusia, rumah, dan gagasan atau pemikiran adalah satu kesatuan, mempunyai hubungan yang sangat erat sebab rumah merupakan “kulit kedua” manusia yang berfungsi sebagai tempat berlindung dari karakter alam, dan mencari privasi, sekaligus sangat memungkinkan untuk menampilkan secara utuh ekspresi mental dan spritual penghuninya. Rumah selalu dinapasi oleh kehidupan manusia, oleh watak dan kecenderungan-kecenderungan, oleh nafsu, dan cita-cita penghuninya, sehingga rumah dikatakan mampu membahasakan jati diri penghuninya.
Pengertian tradisional pada arsitektur tradisional secara konsepsional dapat mengundang banyak interpretasi. Secara mendasar pengertian tradisi dapat dibedakan menjadi dua konsepsi:
1. Sebagai sesuatu yang terbatas (bounded object) seperti yang diungkapkan oleh Shils (1981): “It is to last over at least three generations-however long or short- to be a tradition". Jadi, tradisi adalah sesuatu yang dilakukan oleh suatu masyarakat secara terus menerus setelah mengalami seleksi secara alami, minimal tiga generasi;
2. Tidak mempersoalkan masalah waktu, tetapi lebih menekankan kepada proses yang terjadi, apa yang tetap dan apa yang berubah (meaningfull processes) seperti yang diungkapkan oleh Handler dan Linnekin (1988).
Untuk menelusuri bahwa suatu tradisi yang dijalankan suatu masyarakat masih “asli” atau “palsu” sangatlah sulit. Apalagi di Indonesia pada masa lalu berlaku tradisi tutur (oral tradition). Pada proses penurunan cerita, setiap generasi melakukan penyimpangan informasi, baik berupa penambahan maupun pengurangan informasi. Selain itu, dokumentasi tertulis seperti lontar juga memungkinkan timbulnya banyak persepsi. Jadi, agar terjadi kesamaan persepsi dalam tulisan ini, maka konsep tradisional yang dipakai mengacu pada konsepsi Handler dan Linnekin (1988): sesuatu yang telah dilakukan secara terus menerus oleh suatu masyarakat pada masa lalu hingga kini tanpa melihat dimensi waktunya serta melihat apa yang bernilai dan masih dilakukan serta apa yang sudah tidak dilakukan lagi.
Berbicara mengenai arsitektur rumah tinggal tradisional di Indonesia tentunya berbeda dengan arsitektur rumah tinggal di “Barat”. Bentuk yang hadir pada arsitektur rumah tinggal tradisional di Indonesia selalu dipertalikan dengan makna “yang lebih dalam”, yang berada dibalik bentukan yang terjadi, tidak berhenti hanya pada yang tersurat atau kasat mata. Penggunaan ruang yang terjadi tidak hanya untuk menampung aktivitas fisik sehari-hari, tetapi juga spritual untuk memperoleh ketenangan batin atau jiwa. Apalagi kalau kita memahami makna tersebut dengan pendekatan “Emik” yaitu melihat suatu gejala dari sudut pandang para pelaku sosialnya, bukan dari para penelitinya. Akan banyak aspek yang dapat diungkap dibalik bentukan arsitektur yang terjadi. Konsep arsitektur rumah tinggal tradisional di Indonesia tidak lepas dari perikehidupan masyarakatnya, sementara dalam tatanan kehidupan mereka masih mengikuti tatanan hidup yang rumit, segala sesuatu serba tersirat, penuh dengan pemaknaan.
Dalam buku Kawruh Kalang (Kridosasono, 1976) disebutkan bahwa orang memasuki sebuah rumah diibaratkan sebagai orang yang berteduh di bawah pohon karena:
Orang tanpa rumah ibarat pohon tanpa bunga;
Rumah tanpa pendopo ibarat pohon tanpa batang;
Rumah tanpa dapur ibarat pohon tanpa buah;
Rumah tanpa kandang binatang ibarat pohon tanpa daun;
Rumah tanpa gapura atau masjid ibarat pohon tanpa akar. Menurut Darmanto Jatman, rumah memiliki makna sebagai tempat pertemuan laki-laki yang dilambangkan langit dan perempuan yang dilambangkan bumi (Mangunwijaya, 1988) seperti petikan berikut:
“…. Rumah itu Omah, Omah itu dari Om dan Mah, Om artinya O, maknanya langit, maksudnya ruang, bersifat jantan. Mah artinya menghadap ke atas, maknanya bumi, maksudnya betina. Jadi rumah adalah ruang pertemuan laki dan rabinya. Karenanya kupanggil kau Semah, kerna kita serumah. Sepuluh pelataran rumah kita bersih cemerlang supaya bocah-bocah dolan pada krasan…”
Dalam konteks perwujudan arsitektural, maka bentukan rumah tinggal tradisional diupayakan tampil sebagai ekspresi budaya masyarakat setempat, bukan saja yang menyangkut fisik bangunannya, tetapi juga semangat dan jiwa yang terkandung di dalamnya. Hal ini memperjelas bahwa betapa pentingnya rumah bagi manusia, dan mereka masih mengikuti aturan-aturan yang berlaku serta pola-pola yang telah diikuti sejak jaman dulu. Patokan tersebut karena dipakai berulang-ulang, akhirnya menjadi sesuatu yang baku, seperti patokan terhadap tata ruang, patokan terhadap pola massa, atau patokan terhadap bentuk, struktur bangunan, maupun ornamennya.
Apa yang dikemukanan di atas merupakan sebuah bentuk kebudayaan yang sangat tinggi dimana masyarakat Indonesia pada zaman dulu selalu memperhatikan baik dan buruknya sebuah bangunan rumah yang di dalamnya penuh akan makna. Dalam setiap pembangunan rumah selalu tersebunyi makna yang dalam, semua itu mereka jaga dari generasi-kegenerasi melalui tradisi secara turun temurun. Kebesaran tradisi rumah nenek moyang kita seperti itu ternyata pada saat sekarang ini mulai di tinggalkan, masyarakat mulai menyukai rumah-rumah gaya Barat. Mulai ditinggalkannya model-model rumah tradisional, tidak terlepas dari kebutuhan yang berkembang pada masa sekarang dan semakin kompleknya kebutuhan akan tempat tinggal manusia.
Kepustakaan
Gelebet, I Nyoman, dkk. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Kartono, J. Loekito. 1998. "Pengaruh Kosmologi, Mitologi, dan Genealogi pada Wujud Arsitektur Rumah Tinggal Arsitektur Tradisional di Indonesia", dalam Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Volume 25 Agustus 1998. Surabaya: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya.
Ni Ketut Agusinta Dewi. Wantah Geometri, Simetri, dan Religiusitas pada Rumah Tinggal Tradisional di Indonesia. Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur Universitas Udayana
Kridosasono. 1976. Kawruh Kalang. Surakarta: Jawatan Gedung-gedung Negara Daerah Surakarta.
Mangunwijaya, Y.B. 1988. Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi dan Filsafat Beserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta: PT. Gramedia.
Mangunwijaya, Y.B. 1999. Manusia Pasca-modern, Semesta, dan Tuhan, Renungan Filsafat Hidup Manusia Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Widayati, Naniek. 1999. "Tinjauan Kajian Konsep Bangunan Jawa (Sebuah Kajian Literatur)", dalam Jurnal Kajian Teknologi Volume 1 Nomor 1 Nopember 1999. Jakarta: Universitas Tarumanegara Jakarta.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/99/503/rumah-tinggal:-bentuk-ekspresi-diri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar