Raja pertama Galuh adalah Wretikandayun (ada yang menulisnya Wertikandayun). Galuh sendiri terletak di wilayah Ciamis sekarang. Kendati hingga kini belum ada bukti otentik (sejarahan primer) di mana letaknya yang pasti, namun hingga sekarang ada sebuah desa bernama Bojong Galuh, yang disebut juga Desa Karangkamuliaan. Oleh Babad Galuh, desa ini dianggap sebagai bekas pusat Kerajaan Galuh. Dan bila dilihat dari segi keagamaan Hindu, tempat itu sangat strategis dijadikan pusat pemerintahan karena letaknya berada di muara, tempat pertemuan dua aliran sungai, yakni Sungai Citanduy dan Cimuntur.
Wretikandayun memerintah Galuh selama 90 tahun, dari tahun 612 hingga 702. Ia menikah dengan putri Resi Makandria, Nay Manawati atau disebut juga Dewi Candrarasmi. Dari pernikahan ini, Wretikandayun memiliki tiga orang anak, yakni Sempakwaja, Wanayasa (Jantaka), dan Mandiminyak (Amara). Karena Sempakwaja dan Jantaka memiliki kekurangan fisik, yang menjadi raja Galuh menggantikan Wretikandayun adalah Mandiminyak, putra bungsu. Sempakwaja yang bergigi ompong (Sempakwaja berarti “bergigi ompong”) menjadi pendeta di Galunggung dan bergelar Batara Dangiang Guru. Sedangkan Wanayasa atau Rahyang Kidul memilih jadi pendeta di Denuh karena dirinya menderita kemir (hernia).
Mandiminyak memerintah di Galuh selama tujuh tahun, dari 702-709. Permaisurinya bernama Dewi Parwati, putri pasangan Kartikeyasingha-Ratu Sima dari Kerajaan Keling (Kalingga). Namun, ternyata Mandiminyak menjalin hubungan gelap dengan kakak iparnya sendiri, Nay Pwahaci Rababu, istri Sempakwaja. Dari Parwati, Mandiminyak memiliki putri bernama Sannaha, sedangkan dari Pwahaci Rababu dihasilkan anak lelaki bernama Sena (Bratasenawa). Kemudian, Sannaha dinikahkan dengan Sena (saudara sebapak, lain ibu) yang menghasilkan seorang anak lelaki yang kelak menurunkan raja-raja di Jawa Tengah, yakni Sanjaya. Pada Prasasti Stirengga atau Prasasti Canggal (dibuat tahun 732 M), disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sannaha. Sedangkan dalam Carita Parahyangan, disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sena.
Dewi Parwati sendiri memiliki adik lelaki bernama Narayana. Narayana menikah dengan putri dari Jayasinghanagara dan memiliki anak bernama Dewasingha. Salah seorang anak Dewasingha adalah Limwa atau Gajayana, yang ketika berkuasa memindahkan ibukota kerajaan ke Linggapura di Jawa bagian timur yang asalnya berlokasi di Jawa Tengah bagian selatan.
Kudeta Pertama
Raja Galuh ketiga, Sena (709-716 M), memiliki nama nobat Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabhumi. Ia menjalin hubungan persahabatan dengan Tarusbawa yang memerintah Kerajaan Sunda selama 54 tahun (669-723). Maka dari itu, Sanjaya dinikahkan dengan cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana Hayu Purnawangi atau Nay Sekarkancana. Putra mahkota yang rencananya akan menggantikan Tarusbawa, yakni Rakeyan Sunda Sembawa, mati dalam usia muda. Maka dari itu, cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana (anak dari Sunda Sembawa) dijadikan ahli waris Kerajaan. Setelah menikah dengan Tejakancana, Sanjaya lalu dinobatkan menjadi raja Sunda. Ia memerintah Sunda dan juga Galuh selama sembilan tahun (723-732).
Sena digulingkan dari takhta Galuh oleh Purbasora Jayasakti, yang tak lain keponakannya sendiri, pada 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Sempakwaja. Sena sendiri adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Jadi, Purbasora merasa lebih berhak atas singgasana Galuh karena ayahnya adalah anak pertama Wretikandayun. Ayah Purbasora, Sempakwaja tak diangkat menjadi raja karena dinilai tak layak menjadi pemimpin karena giginya ompong.
Hubungan Purbasora dan Sena tak hanya keduanya sama-sama cucu Wretikandayun. Mereka berdua sebenarnya saudara satu ibu. Ayah Sena, Mandiminyak, dulunya pernah berhubungan gelap dengan kakak iparnya, istri Sempakwaja, Pwahaci Rababu. Dari Pwahaci, Sempakwaja berputrakan Purbasora dan Demunawan (Carita Parahyangan menyebutnya Seuweukarma yang menganut Buddha).
Dengan dibantu pasukan dari Kerajaan Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon, Purbasora melancarkan kudeta merebut Galuh. Sena melarikan diri ke daerah timur di sekitar Gunung Marapi yang termasuk wilayah Kalingga, kerajaan nenek istrinya, Maharani Sima. Purbasora menjadi raja di Galuh selama tujuh tahun (716-723). Ia menikah dengan putri Raja Indraprahasta Sang Resi Padmahariwangsa yang bernama Dewi Citrakirana.
Sanjaya alias Rakeyan Jambri, anak Sena, pun tak tinggal diam; berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Segera Sanjaya, yang penganut Hindu-Siwaisme, meminta bantuan Tarusbawa, sahabat ayahnya yang juga kakek istrinya. Sebelum penyerangan dilancarkan, Sanjaya telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, sahabat baik Sena juga. Pasukan khusus ini dipimpin Sanjaya langsung, sementara pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan pada malam hari secara diam-diam dan sangat mendadak. Seluruh keluarga Purbasora tewas. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, Bimaraksa yang menjabat Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.
Bimaraksa dikenal juga dengan nama Ki Balangantrang karena ia pun merupakan senapati kerajaan. Bimaraksa juga merupakan cucu Wretikandayun dari putra kedua, Resi Guru Jantaka atau Rahiyang Kidul. Dalam pelariannya, Bimaraksa bersembunyi di kampung Geger Sunten dan diam-diam menghimpun kekuatan untuk melawan Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, kerajaan yang sebelumnya telah ditaklukkan oleh Sanjaya karena dahulu membantu Purbasora dalam usaha menjatuhkan Sena.
Sena sempat menasehati Sanjaya bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri memang tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia menyerang Galuh hanya dalam rangka balas dendam. Setelah mengalahkan Purbasora, Sanjaya segera mendatangi ayah Purbasora, yakni Sempakwaja, di Galunggung. Ia meminta agar uwaknya itu menobatkan Demunawan, adik Purbasora, menjadi raja Galuh. Namun, Sempakwaja menolak permohonan itu karena curiga kalau hal tersebut merupakan tipu-muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.
Sementara itu, Sanjaya pun tidak bisa menghubungi Balangantrang karena tak mengetahui keberadaannya. Melihat situasi ini, terpaksa Sanjaya mengangkat dirinya menjadi Raja Galuh. Dengan demikian, Sanjaya merupakan raja pertama yang memerintah di dua kerajaan sekaligus, Sunda dan Galuh.
Selama menjadi raja Galuh, Sanjaya menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang begitu disenangi. Sebabnya: karena ia bukan asli Galuh melainkan orang Pakuan (Sunda). Maka dari itu, ia menobatkan Premana Dikusuma, cucu Purbasora, menjadi penguasa Galuh. Sebelumnya, Premana Dikusuma merupakan raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir 683 M), ia telah dikenal sebagai rajaresi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Karena itu, ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.
Selain karena Premana cucu Purbasora, alasan lain Sanjaya mengangkatnya karena istri Premana, yakni Naganingrum, adalah cucu Ki Balangantrang. Dengan demikian, suami-istri itu cocok untuk mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, anak pertama dan kedua Wretikandayun.
Premana Dikusumah dan Naganingrum kemudian memiliki anak lelaki bernama Surotama alias Manarah. Surotama lahir pada 718 M. Saat Sanjaya menyerang Galuh ia masih kecil, berusia 5 tahun. Dalam sastra (literatur) Sunda klasik, Surotama dikenal sebagai Ciung Wanara. Di hari kemudian, kelak Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, akan mengurai kisah tragis yang menimpa keluarga leluhurnya, sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan balas dendam.
Untuk mengikat kesetiaan Premana terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkannya dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Sanjaya pun menunjuk putranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh, yang menganut Buddha. Penunjukan Tamperan bukannya tak beralasan; melaluinya Sanjaya bisa mengontrol dan mengawasi sepak-terjang pemerintahan Galuh.
Di lain pihak, Premana pun terpaksa menerima kedudukan Raja Galuh. Ia segan menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia namun tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Posisi Premana dalam keadaan serba sulit. Sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda, ia harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya sendiri. Sebagai solusinya, Premana memilih meninggalkan istana. Telah bulat tekadnya: ia akan bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Sungai Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya. Pemerintahan ia serahkan kepada Tamperan, Patih Galuh yang menjadi “telik” sekaligus anak Sanjaya.
Ternyata, Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat hubungan terlarang. Dengan Pangrenyep, istri Premana, Tamperan terlibat hubungan gelap. Hubungan rahasia mereka membuahkan seorang anak lelaki bernama Kamarasa alias Aria Banga (723 M). Hubungan terlarang ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, ketika ditinggal suaminya pergi bertapa, Pangrenyep merupakan pengantin baru yang berusia 19 tahun. Kedua, baik Tamperan maupun Pangreyep umurnya sebaya dan telah mengenal satu sama lain ketika masih di Keraton Pakuan. Ketiga, keduanya sama-sama cicit Tarusbawa. Selain itu, mereka sama-sama merasakan penderitaan jiwa karena kehadiran mereka sebagai orang Pakuan yang kurang diterima di Galuh.
Agar hubungan gelapnya tak tercium oleh orang lain, Tamperan menyuruh seseorang untuk membunuh Premana. Dan setelah si pembunuh bayaran tersebut berhasil menghabisi Premana, sungguh malang ia pun dibunuh pula oleh orang-orang suruhan Tamperan. Langkah ini diambil Tamperan agar rahasianya tertutup rapat-rapat. Namun, sepandai-pandainya menyembunyikan kejadian ini akhirnya tercium oleh Ki Balangantrang.
Pada 732 M Sanjaya mewarisi takhta Kerajaan Medang Kamulan (Bhumi Mataram) dari ibunya, Sannaha. Sebelum meninggalkan Pakuan, ia mengatur pembagian kekuasaan kepada Tamperan dan Resiguru Demunawan (lahir pada 646 M). Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan wilayah Saunggalah (Kuningan) dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan, putra bungsu Sempakwaja. Demunawan inilah yang kemudian mendirikan istana di Saunggalah, yang kelak sempat dijadikan istana raja-raja Sunda-Galuh selama beberapa kali.
Keturunan Manarah dan Banga
Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh dari tahun 732-739 M. Di pihak lain, Manarah (Ciung Wanara) diam-diam tengah menyiapkan rencana perebutan takhta Galuh dengan bantuan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Tamperan sendiri tak menaruh curiga sedikit pun terhadap Manarah karena telah menganggapnya seperti anak sendiri.
Nama Ciung Wanara terdapat pada naskah Babad Galuh dan Babad Pajajaran. Selain Ciung Wanara, ada pula tokoh-tokoh lain, misalnya Nyai Purbasari dan Lutung Kasarung. Padahal, selama ini Ciung Wanara dan Lutung Kasarung dianggap tokoh fiktif, bukan pelaku sejarah. Mungkin saja, cerita yang terdapat dalam babad-babad tersebut adalah peristiwa sejarah yang berkaitan dengan Kerajaan Galuh-Sunda yang disamarkan sehingga terkesan sebagai legenda atau foklor—padahal merupakan peristiwa sejarah.
Penyerbuan ke Galuh dilancarkan pada siang hari bertepatan saat pesta sabung ayam. Sebagaimana acara kebesaran lainnya, acara sabung ayam ini dihadiri semua pembesar Galuh, termasuk Banga. Manarah bersama pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai peserta sabung ayam. Balangantrang sendiri bertugas memimpin pasukan Geger Sunten menyerang Keraton Galuh.
Penyerangan mendadak tersebut berhasil dalam tempo satu malam (sama seperti peristiwa ketika Sanjaya menguasai Galuh). Tamperan dan Pangrenyep termasuk Banga berhasil ditawan di gelanggang sabung ayam. Karena dianggap tak bersalah, Banga kemudian dibebaskan. Pada malam harinya Banga berhasil membebaskan orang tuanya, Tamperan dan Pangrenyep, dari tahanan.
Namun, tindakan Banga tercium oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukan hal tersebut kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Manarah dengan Banga yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu, Tamperan dan Pangrenyep yang melarikan diri terbunuh oleh panah-panahnya yang ditembakkan oleh pasukan Manarah.
Sanjaya yang memerintah di Medang i Bhumi Mataram marah mendengar Tamperan tewas. Tak menunggu lama, Sanjaya dengan diiringi pasukan dalam jumlah besar menyerang ibukota Galuh. Di lain pihak, Manarah telah menduga bahwa Sanjaya takkan tinggal diam. Oleh karena itu, ia telah siap-siaga dengan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta (kerajaan ini saat itu telah berubah nama menjadi Wanagiri), dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah ditaklukkan Sanjaya.
Perang saudara sesama keturunan Wretikandayun pun meletus. Untung, perang itu dapat dihentikan atas prakarsa Rajaresi Demunawan (ketika itu sudah sangat tua, berusia 93 tahun). Perundingan gencatan senjata digelar di Keraton Galuh pada 739 M. Kesepakatan pun tercapai. Galuh harus diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Sunda dan Galuh yang selama tahun 723-739 merupakan satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa Banga merupakan raja bawahan, yang terpaksa diterima oleh Banga. Banga merasa, ia bisa tetap hidup karena kebaikan Manarah.
Untuk menjaga agar tak terjadi perseteruan, Manarah dan Banga dinikahkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabhuwana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabhuwana Yasawiguna Hajimulya, berjodoh dengan adik Kancanawangi, Kancanasari.
Sebuah naskah buatan abad ke-13 (atau ke-14) memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit di Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka dari Galuh. Lepasnya Pakuan dari Galuh terjadi setelah 20 tahun Banga menjadi penguasa Pakuan. Daerah yang termasuk kekuasaannya adalah sebelah barat Citarum. Ia memerintah selama 739–766 M.
Manarah memerintah di Galuh hingga 783 M. Lalu ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri dari takhta Kerajaan untuk melakukan tapa hingga akhir hayat. Manarah wafat pada 798 saat berusia 80 tahun.
Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini sering tidak sesuai, alias dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, dimana Banga dianggap lebih tua, juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru yang ditulis pada pertengahan abad ke-18.
Kekeliruan paling menyolok dalam Carita Waruga Guru ialah Banga dianggap sebagai pendiri Majapahit. Padahal, Majapahit didirikan Wijaya pada 1293 M, 527 tahun setelah Banga wafat. Kekacauan ini dapat dilihat pula pada kisah pertemuan Pangeran Cirebon Walangsungsang dengan Sayidina Ali bin Abi Thalib yang masa hidupnya berselisih sekitar 8 abad lebih.
Keturunan Manarah yang bernama Sang Mansiri atau Prabu Dharmasakti Wijaleswara kemudian menjadi penguasa Galuh (783-799). Berturut-turut setelah Dharmasakti, yang menjadi raja Galuh adalah Sang Tariwulan atau Prabu Kertayasa Dewakusaleswara (799-806), Sang Welengan atau Prabu Brajanagara Jayabhuwana (806-813), dan Prabu Linggabhumi (813-852). Takhta Galuh diserahkan kepada suami adiknya, yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon atau Gajah Kulwan (819-891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8. Rakeyan Wuwus beristrikan putri keturunan Galuh. Sementara itu, adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putra Galuh yang kemudian menggantikan kedudukannya sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Darmaraksa Bhuwana (Arya Kedatwan). Sejak 852 M, Kerajaan Sunda-Pakuan dan Galuh diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan antara para kerabat keraton Pakuan, Galuh, dan Saunggalah.
Antara Galuh, Saunggalah, dan Pakuan
Telah disebutkan, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan saat itu belum dapat diterima; sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh pada masa sebelumnya. Karena perbedaan daerah asal inilah, Prabu Darmaraksa (891-895) akhirnya tewas mengenaskan. Nyawanya berakhir di tangan seorang menteri Sunda yang fanatik.
Semenjak peristiwa itu, setiap raja Sunda yang baru dinobatkan selalu memperhitungkan tempat kediaman yang akan dipilihnya menjadi ibukota. Maka dari itu, pusat pemerintahan sering berpindah-pindah dari timur ke barat dan sebaliknya (antara 895 hingga 1482 M). Sebagai contoh: ayah Sri Jayabhupati berkedudukan di Galuh, namun Jayabhupati sendiri memilih tinggal di Pakuan; tetapi putra Jayabhupati berkedudukan di Galuh lagi. Begitu pula dengan Prabu Guru Dharmasiksa (1175-1187) yang menurut Kropak 406, mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Putranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah. Jadi, ada kalanya Galuh menjadi kerajaan utuh terlepas dari Kerajaan Sunda, ada kalanya berperan sebagai “kerajaan kembar” bersama Sunda.
Carita Parahyangan menceritakan bahwa Prabu Dharmasiksa mendirikan panti pendidikan dan sejumlah kabuyutan (tempat suci-keramat). Pembuatan tempat suci ini ternyata merata bagi setiap golongan, baik untuk para sesepuh (sang rama), para pendeta (sang resi), para dukun (sang disri), para biksu (sang wiku), pawang rakit (sang tarahan), dan para leluhur (parahiyangan). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi semacam sinkretisasi (pembauran) dalam hal kepercayaan-kemagisan-keagamaan, sebagaimana yang telah terjadi di Jawa Timur. Kebijaksanaan Dharmasiksa ini diperoleh dari arahan para wiku yang mengamalkan keaslian Sunda, berpegang teguh kepada ajaran dharma, dan menjalankan aturan agama (ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuhan Sanghyang Dharma, ngawakan Sanghyang Siksa).
Gejala pemerintahan yang condong ke timur Jawa Barat ini sesungguhnya telah ada sejak masa Prabu Ragasuci (1297-1303). Tatkala naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu Guru Darmasiksa), Prabu Ragasuci tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan karena sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja daerah di wilayah timur (Galuh). Namun, pada masa pemerintahan putranya, Prabu Citraganda, Pakuan untuk kesekian kalinya menjadi ibukota dan pusat pemerintahan Sunda.
Yang sebenarnya berhak menggantikan Dharmasiksa adalah Rakeyan Jayadarma, kakak Ragasuci. Menurut Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka dari Kerajaan Singasari di Jawa Timur karena ia menikah dengan Dyah Singamurti atau Dyah Lembu Tal. Mereka berputrakan Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya yang lahir di Pakuan, yang kelak pendiri kerajaan besar di Jawa Timur, Majapahit. Akan tetapi, karena Jayadarma wafat dalam usia muda, takhta pun berpindah ke Ragasuci.
Setelah Jayadarma mangkat, Lembu Tal enggan tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, ia bersama putranya, Wijaya, pulang ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran. Kematian Jayadarma mengakibatkan kekosongan takhta karena putra mahkota, Wijaya, memilih tinggal di Jawa Timur. Prabu Dharmasiksa kemudian menunjuk cucunya, yakni putra kedua Prabu Ragasuci, bernama Citraganda, sebagai ahli waris Kerajaan. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa, putri Kerajaan Melayu, adik Dara Kencana istri Kertanegara Raja Singasari. Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya.
Mengenai Ragasuci ini, yang oleh Kropak 632 disebut sebagai Sang Lumah ing Taman (Yang dikebumikan di Taman, tak jauh dari Winduraja), ada kemungkinan ia memiliki saudara lain, tepatnya kakak perempuan. Hal ini dapat dilacak melalui Prasasti Gegerhanjuang yang terletak di Singaparna, Tasikmalaya, yang diperkirakan dibuat pada tahun 1033 Saka (1111 M). Disebutkan pada prasasti tersebut adanya kegiatan panyusukan atau penyaluran air sehubungan dengan pembuatan Kabuyutan Linggawangi yang merupakan lokasi ditemukannya prasasti bersangkutan. Panyusukan ini dilakukan atas perintah Batari Hyang, yang merujuk kepada seorang wanita (batari, bukan batara) yang setidaknya memiliki kedudukan istimewa dalam masyarakat. Tokoh Batari Hyang ini kemungkinan besar yang ditunjuk untuk mengurusi Kabuyutan Linggawangi, yang memang terdapat dalam wilayah Gunung Galunggung. Dengan begitu, sangat mungkin bahwa Batari Hyang ini adalah kakak perempuan Sang Lumah ing Taman (Rajasuci), dan ia melakukan upacara sakral dalam merestui/menyambut penobatan adiknya menjadi raja di Saunggalah.
Setelah Prabu Darmasiksa mangkat, untuk sementara Citraganda menjadi raja daerah selama enam tahun di Pakuan. Ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya, Ragasuci, di Saunggalah. Dari 1303 sampai 1311 M, Citraganda lalu menjadi Raja Sunda di Pakuan. Setelah wafat ia dipusarakan di Tanjung.
Kawali, Ibukota Galuh yang Baru
Setelah Citraganda tiada, takhta Galuh berpindah ke anaknya, Lingga Dewata. Sejak pemerintahan Prabu Lingga Dewata ini, pusat Kerajaan berpindah ke tempat yang baru, bernama Kawali. Belum ada keterangan pasti siapa sebenarnya yang pertama memerintah di Kawali. Yang jelas, menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340), sudah berkedudukan di Kawali. Dengan begitu, sejak pertengahan abad ke-14 ini, pusat pemerintahan tak lagi berada Galuh atau Saunggalah atau pun Pakuan.
Kawali sendiri berarti “kuali” atau “belanga”. Lokasi Kawali cukup strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung-Saunggalah-Galuh. Sejak abad ke-14, Galuh selalu dikaitkan dengan Kawali karena ada dua orang raja Sunda-Galuh yang dipusarakan di Winduraja, dekat Kawali. Nama Kawali kini masih digunakan sebagai nama desa, yakni Desa Kawali di Kampung Indrayasa, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis. Nama Kawali terabadikan dalam Prasasti Kawali, berupa batu peninggalan Prabu Raja Wastu (Niskala Wastukancana) di Astana Gede, Kecamatan Kawali.
Ajiguna Linggawisesa adalah menantu Lingga Dewata karena menikah dengan Dewi Uma Lestari alias Ratu Santika, putri Linggadewata. Dari perkawinan ini lahir Ragamulya (yang kelak menggantikan ayahnya) dan Suryadewata yang kemudian menurunkan raja-raja Talaga. Adik perempuan Ajiguna Linggawisesa yang bernama Pujasari diperistri oleh Patih Srenggana dan menjadi leluhur raja-raja Tanjung Barat yang terletak di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Prabu Ajiguna Linggawisesa memerintah dari tahun 1333 hingga 1340 M. Ia sezaman dengan Tribuwonotunggadewi Jayawisnuwardani (1328-1350). Setelah wafat, Ajiguna Linggawisesa dipusarakan di Kiding. Maka dari itu, gelar anumertanya Sang Mokteng Kiding. Yang menggantikannya adalah putra sulungnya, yaitu Ragamulya Luhur Prabawa atau Sang Aki Kolot (1340-1350 M). Ia berputera dua orang yaitu Lingga Bhuwana dan Bunisora yang kedua-duanya kemudian menjadi penguasa di Kawali.
Pasunda Bubat
Prabu Lingga Bhuwana Wisesa memerintah di Kawali hanya 7 tahun, 1350-1357. Raja inilah yang meninggal pada tragedi Pasunda Bubat; karena itu digelari Sang Mokteng Bubat. Peristiwa Pasunda Bubat atau Perang Bubat ini terjadi pada 1357 M, yakni peperangan antara Sunda-Galuh dengan Majapahit. Kisah ini diuraikan cukup komplit dalam Kidung Sundayana dan Pararaton.
Mengenai Pasunda Bubat ini, Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara mengungkapkan:
Di medan perang Bubat ia (Lingga Bhuwana) banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda terjadi di Desa Bubat. Nagarakretagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca menyebutkan bahwa Bubat merupakan bandar tempat kapal atau perahu berlabuh karena terletak di tepi sebatang sungai besar. Di Bubat ini terdapat sebuah lapangan upacara yang luas tempat upacara kenegaraan dan keagamaan. Jika ingin menghadiri upacara tersebut, Raja Hayam Wuruk datang ke Bubat dengan mengendarai kereta yang ditarik empat ekor kuda. Meski demikian, Nagarakretagama tak menyinggung Perang Bubat sama sekali; dan ini mungkin Prapanca tak ingin menyinggung-nyinggung masalah yang dapat membuat hati rajanya bersedih.
Perang Bubat sendiri meletus karena dipicu oleh ambisi Mahapatih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Carita Parahyangan mengisahkan bahwa putri Prabu Maharaja bernama Dyah Pitaloka Citraresmi sangat banyak keinginannya (manja). Ia ingin dipinang oleh seorang raja Jawa yang begitu berkuasa dan enggan bersuamikan pria berdarah Sunda. Dan konon Hayam Wuruk tertarik hatinya kepada Pitaloka Citraresmi setelah melihat sendiri lukisan Sang Putri Citraresmi di Majapahit yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman Jawa bernama Sungging Prabangkara.
Pararaton (Pararatwan) mengisahkan tragedi ini dengan cukup detail, yakni:
Kemudian terjadi peristiwa orang Sunda di Bubat. Sri Prabu (Hayam Wuruk) ingin memperistri putri dari Sunda. Patih Madu diutus mengundang orang Sunda. Maksudnya, mengharap agar orang Sunda menikahkan putrinya. Lalu Raja Sunda datang di Majapahit. Sang Ratu Maharaja (Sunda) tidak bersedia mempersembahkan putrinya. Orang Sunda harus meniadakan selamatan (jangan mengharapkan adanya upacara pesta perkawinan) kata sang utusan. Sang Mahapatih Majapahit tidak menghendaki pernikahan (resmi), sebab ia menganggap rajaputri sebagai upeti.
Sebenarnya, pihak Sunda sendiri agak keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ia menilai, tidak lazim pihak perempuan datang kepada pihak pengantin pria; suatu hal yang dianggap tabu menurut adat yang berlaku di Sunda maupun Nusantara umumya. Akan tetapi, Sang Maharaja menilai bahwa pernikahan Pitaloka-Hayam Wuruk bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan, karena bukankah lelulur Hayam Wuruk adalah Raden Wijaya yang memiliki darah Sunda. Hayam Wuruk sendiri kemungkinan besar mengetahui bahwa dirinya masih keturunan raja Sunda. Di lain pihak pun, berdasarkan Kidung Sundayana, “Sumpah Palapa” Gajah Mada rupanya belum dikatakan berhasil karena Pajajaran belum juga mengakui kekuasaan Majapahit, walau sudah dua kali diserang.
Akhirnya, alih-alih Raja Hayam Wuruk yang lajang ingin menyunting putri Sunda yang kesohor cantik jelita, maka diutuslah Tuan Anepaken (Patih Sunda) untuk melamar Dyah Pitaloka Citraresmi. Maka ketika tiba saatnya, ratusan rakyat mengantar keberangkatannya yang disertai raja dan para bangsawan Sunda ke Majapahit dengan menggunakan perahu. Namun tiba-tiba, laut yang semula biru, secara mendadak dilihatnya berubah menjadi hamparan air yang bewarna merah. Tanda-tanda buruk iturupanya tidak dihiraukan, sehingga setelah sepuluh hari berlayar, rombongan tiba di Bubat.
Namun, Gajah Mada merasa keberatan menyambutnya karena menganggap putri Dyah Pitaloka Citraresmi merupakan “upeti yang akan dihadiahkan” kepada Raja Hayam Wuruk. Sebaliknya, Raja Sunda dan rombongan tetap bersikukuh bahwa putri Sunda yang cantik jelita itu akan “dipinang” oleh Hayam Wuruk. Perbedaan pendapat yang kemudian menimbulkan ketegangan itu, akhirnya mencapai puncaknya setelah utusan Sunda Patih Anakepan mencela keras sikap Gajah Mada. Anakepan mengingatkan, bahwa bantuan Sunda kepada Majapahit tidaklah sedikit ketika masa penaklukan Bali.
Sebelum ada keputusan sidang istana Majapahit, Gajah Mada telah mendahului menyerang rombongan Sunda yang tengah rehat di sebelah utara Majapahit. Peperangan pun tak terhindarkan. Para ksatria terkemuka dari pihak Sunda yang bersemangat berperang di antaranya: Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gampong, Panji Melong, orang-orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuan Usus, Pangulu, Rangga Kaweni, orang Siring, Satrajali, Jagadsaya. Namun, karena tak seimbang dalam jumlah tentara dan peralatan, ditambah ketaksiapan pasukan Sunda yang memang semula tak berniat berperang, semua rombongan Sunda tewas. Dalam membela kehormatan martabatnya dan Kerajaan Sunda, Prabu Maharaja Lingga Bhuwana gugur lebih dulu, tersungkur bersama Tuan Usus. Namun meski demikian, peperangan masih ters berkobar. Para ksatria Sunda lainnya akhirnya mengikuti jejak Prabu Maharaja, gugur sebagai satria yang membela kehormatan negaranya.
Putri Dyah Pitaloka pun diberitakan memilih bunuh diri, mengikuti jejak para kesatria Sunda. Namun, ada pula yang yakin bahwa sang Putri Sunda itu tak bunuh diri, melainkan ikut bertempur dan berhasil melukai Gajah Mada. Walau akhirnya gugur, Sang Putri berhasil melukai tubuh Gajah Mada dengan konon keris Singa Barong berlekuk 13, keris leluhur peninggalan pendiri Tarumanagara, Prabu Jayasinghawarman. Diceritakan, darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang Sunda, tak ada yang ketinggalan. Hari naas tersebut terjadi pada Selasa-Wage sebelum tengah hari, tanggal 13 bagian terang, bulan Badra tahun 1279 Saka.
Begitu mengetahui tragedi Bubat, Hayam Wuruk begitu menyesalkan tindakan Gajah Mada. Ia lalu mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali (yang saat itu masuk ke dalam kekuasaan Majapahit) untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati, pejabat sementara Raja Sunda. Pun, Hayam Wuruk berjajnji bahwa peristiwa tragis itu akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar bisa diambil hikmahnya.
Akibat tragedi Bubat ini, hubungan antara Gajah Mada dengan Hayam Wuruk kemudian merenggang. Hubungan antara Sunda-Majapahit pun tak bisa dikatakan harmonis kembali karena “nasihat dan pepatah” Sang Prabu Dharmasiksa kepada Raden Wijaya telah dikhianati oleh Gajah Mada yang memang bukan termasuk trah (keturunan) Wijaya. Dan hingga akhir hayatnya, Hayam Wuruk (yang bila ditelisik dari silsilah R. Wijaya, masih memiliki darah Sunda) tetap menepati janjinya: tak pernah melakukan penaklukan terhadap Sunda-Pajajaran. Hingga Majapahit runtuh, Pajajaran tetap negara merdeka.
Nasib Gajah Mada sendiri berakhir dengan tragis pula. Akibat luka yang digoreskan Dyah Pitaloka, ia menderita sakit yang tak bisa diobati, sehingga akhirnya meninggal. Tetapi, dalam versi lain disebutkan bahwa Gajah Mada tidak meninggal melainkan kecewa mendalam dan masgul atas kejadian tersebut. Ia akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Sang Maha Patih dan memilih menyepi di suatu tempat hinnga akhirnya moksa karena merasa tugasnya di dunia telah selesai.
Dikisahkan, Sri Maharaja Lingga Bhuwana senantiasa memperhatikan kemakmuran hidup rakyatnya. Kemahsyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara (Nusantara). Kehebatan Prabu Maharaja membangkitkan rasa bangga kepada keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang, dan rakyat Priangan.
Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja jadi mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi, dan keturunannya lalu disebut Prabu Siliwangi. Merujuk kepada Carita Parahyangan, Amir Sutaarga dan juga Atja beranggapan bahwa Prabu Wangi ini identik dengan Niskala Wastukancana, anak Lingga Bhuwana. Dengan begitu, Niskala Wastukancana-lah yang disebut Siliwangi, meski ada pula yang menyebutkan bahwa Sri Baduga-lah (cucu Wastukancana) yang disebut Prabu Siliwangi.
Niskala Wastukancana, Pembuat Parit di Kawali
Dikarenakan putra mahkota, anak lelaki Lingga Bhuwana Wisesa, masih kecil, Kerajaan diperintah sementara oleh adik Lingga Bhuwana Wisesa, yakni Patih Mangkubhumi Suradipati. Setelah dinobatkan menjadi raja, Suradipati bergelar Sang Prabu Bunisora (disebut juga Prabu Kuda Lalean atau Prabu Borosngora). Raja ini memerintah selama 14 tahun (1357-1371) dan berkedudukan di Kawali. Bunisora pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung. Setelah wafat, ia dikenal dengan nama Sang Mokteng Geger Omas (Yang Dikebumikan di Geger Omas).
Bunisora memiliki dua anak lelaki bernama Giridewata (lahir tahun 1347) dan Bratalegawa (lahir 1350), dan beberapa anak gadis di antaranya Banawati dan Mayangsari. Giridewata, yang memang kurang berhak meneruskan Kerajaan Sunda, kemudian menjadi penguasa Cirebon Girang. Sementara itu, Bratalegawa memilih hidup menjadi saudagar; dan ia berhasil dalam menjalankan bisnisnya dan memiliki banyak kapal dagang serta sejumlah peristirahatan baik di lereng gunung maupun di pantai. Sebagai pedagang, Bratalegawa banyak bepergian ke manca negara, seperti Sumatera, Semenanjung Melayu, Campa, Cina, Srilangka, India, Persia, bahkan hingga ke Arab. Di negara-negara yang dikunjunginya, Bratalegawa banyak berkenalan dan bersahabat dengan para pedagang di negera bersangkutan. Bahkan ketika berada di Gujarat, India, ia memiliki rekan bisnis bernama Muhammad. Muhammad ini kemudian menikahkan Bratalegawa dengan anak gadisnya, Farhana. Bratalegawa pun masuk Islam dengan nama baru Haji Badaruddin al-Jawi. Dapat dikatakan, dialah orang Sunda yang pertama menjadi Muslim; sekitar satu abad sebelum Wali Sanga menyebarkan Islam di Tanah Jawa.
Ada pun setelah Bunisora mangkat, yang memegang tampuk pemerintahan selanjutnya adalah putra mahkota anak Lingga Bhuwana Wisesa, yaitu Niskala Wastukancana. Ketika tragedi Pasunda Bubat, usia Wastukancana baru 9 tahun dan merupakan satu-satunya ahli waris Kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal di Bubat. Setelah cukup usia, Wastukancana dinobatkan menjadi raja pada 1371 ketika berusia 23 tahun. Prabu Wastukancana-lah yang membuat Prasasti Kawali yang berjumlah 6 buah. Berikut adalah bunyi Prasasti Kawali I, II, III, IV, dan V.
“Inilah tanda bekas beliau yang mulia Prabu Raja Wastu (yang) berkuasa di kota Kawali, yang memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit (di) sekeliling ibukota, yang memakmurkan seluruh desa. Semoga ada penerus yang melaksanakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia.
Janganlah dirintangi, janganlah diganggu, yang memotong akan hancur, yang menginjak akan roboh.
Semoga ada yang menghuni di Kawali ini yang melaksanakan kemakmuran dan keadilan agar unggul dalam perang.
Sang Hyang Lingga Bingba.
Demikianlah.”
Prasasti Kawali ini dengan jelas menegaskan bahwa pusat pemerintahan berada di Kota Kawali (mangadeg di Kuta Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa. Raja inilah yang memperindah keraton Surawisesa di Kawali dan membuat parit (buat pertahanan) di Kawali. Oleh naskah Carita Ratu Pakuan yang ditulis oleh Ki Raga dari Srimanganti-Cikuray, Surawisesa disebut sebagai keraton yang memberikan ketenangan hidup (dalem sipawindu hurip). Oleh naskah Pustaka Nusantara, keterangan tentang Kawali dan Surawisesa ini diperkuat, malah ada tambahan bahwa ayahnya pun (berarti Lingga Bhuwana yang gugur di Bubat) bertakhta di Kawali.
“Persemayaman Sang Prabu Wastu Kancana adalah keraton Surawisesa. Ibukota kerajaannya bernama Kawali. Pada masa sebelumnya, ayahnya pun bertahta sebagai maharaja di situ juga.”
Membuat parit di sekeliling kota (marigi sakuriling dayeuh) adalah ide Wastukancana guna membuat pertahanan kota, untuk kepentingan militer, karena raja-raja Sunda sebelumnya seperti Banga dan Dharmasiksa pernah membuat hal serupa di kota Pakuan. Wastukancana takut bila sewaktu-waktu negaranya diserang oleh bangsa atau kerajaan lain, mungkin oleh Majapahit yang pernah menghancurkan ayahandanya. Demikian pentingnya pembuatan parit itu, maka Raja Wastukancana merasa perlu mengabadikannya dalam prasasti. Karena penting “agar unggul dalam perang” dan juga mengerahkan rakyat-tentara yang jumlahnya pasti banyak, Wastukancana mengingatkan bahwa barang siapa yang mengganggu maka akan “hancur dan roboh”.
Perihal membuat parit ini, ternyata ditenggarai bahwa di sepanjang wilayah selatan dan timur-laut Kabupaten Bandung banyak terdapat bekas parit pertahanan. Bukan itu saja, naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630) banyak menyebutkan hal-hal yang menyangkut bidang kemiliteran atau peperangan. Simaklah sebagian bunyinya.
“Bila ingin tahu tentang perilaku perang, seperti: makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci
muka, braja panjara, asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak
maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngalingga manik, lemah mrewasa, adipati, prebu sakti, pake prajurit, tapak sawetrik, tanyailah panglima perang.”
Walau hingga kini belum diketahui sebagian arti dari kata-kata dalam naskah tersebut, akan tetapi naskah tersebut memberitaku kita bahwa masyarakat Sunda kuno telah mengenal taktik dan senjata militer yang cukup memadai. Sanghyang Siksakandang Karesian pun memperingatkan bahwa apabila rakyat diperintah untuk: bekerja ke ladang, ke sawah, ke serang besar, mengukuhkan tepian sungai, menggali saluran (marigi), mengandangkan ternak, memasang ranjau tajam, membendung sebagian alur sungai untuk menangkap ikan, menjala, menarik jaring, memasang jaring, menangguk ikan, merentang jaring; segala pekerjaan untuk kepentingan raja, hendaknya ia:
“jangan marah-marah, jangan munafik, jangan resah dan uring-uringan, kerjakanlah dengan senang hati semuanya."
Juga, Kropak 632 atau Amanat Galunggung memuat hal-hal yang berkaitan dengan parit dan perang.
“Tetaplah mengikuti orangtua, melaksanakan ajaran yang membuat parit (nyusuk) di Galunggung, agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya. Sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi (almarhum).”
Niskala Wastukancana memerintah dalam waktu yang panjang sekali dan hampir tak mungkin, yaitu selama 104 tahun, dari tahun 1371 hingga 1475. Pada masanya, kehidupannya sosial pun menjadi perhatian. Ia memperingatkan kepada rakyatnya yang gemar berjudi agar meninggalkan kebiasaan buruknya. Ini sesuai dengan bunyi Prasasti Kawali VI, yaitu:
“Ini peninggalan dari (yang) kokoh (dari) rasa yang ada, yang menghuni kota ini jangan berjudi (karena) bisa sengsara.”
Wastukancana menikah dua kali, yaitu dengan Nay Ratna Lara Sarkati, anak dari Resi Susuklampung, sebagai permaisuri pertama. Setelah itu, ia pun menikah dengan sepupunya (putri sulung Bunisora), Nay Ratna Mayangsari. Dari Lara Sarkati lahirlah Sang Haliwungan (Susuktunggal). Dari Mayangsari lahir Ningratkancana (Dewa Niskala).
Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Prabu Wastukancana disebut juga Prabu Wangisutah. Wastukancana setelah meninggal bergelar Sang Mokteng Nusalarang ring Giri Wanakusumah karena dikebumikan di Nusalarang di Gunung Wanakusumah.
Dewa Niskala, Ayah Sri Baduga
Setelah Niskala Wastukancana wafat, kerajaan dibagi dua. Susuktunggal diberi kuasaan atas wilayah sebelah barat, Kerajaan Sunda-Pakuan; sedangkan Ningratkancana diberi kekuasaan atas wilayah timur Citarum, yakni Galuh. Dengan demikian, “negara kembar” ini terbagi kembali. Sementara Susuktunggal memerintah di Pakuan, Dewa Niskala (Ningratkancana) memerintah Galuh selama 7 tahun (1475-1482). Hubungan kakak-adik ini kemudian diperkuat oleh perkawinan kedua anak mereka. Putri Susuktunggal bernama Kentring Manik Mayangsunda dinikahkan dengan Sri Baduga, anak Dewa Niskala.
Syahdan, ketika Majapahit pada masa Kertabhumi atau Bhre Wijaya (Brawijaya V) mengalami keruntuhan karena serangan Demak tahun 1478, banyak rombongan-pelarian dari Majapahit yang mengungsi ke Priangan. Salah satunya ada yang sampai di Kawali, yaitu Raden Baribin, saudara seayah Kertabhumi. Kehadiran Baribin diterima baik oleh Prabu Dewa Niskala (Ningratkancana). Baribin bahkan dijodohkan dengan puteri bungsu Dewa Niskala yang bernama Ratna Ayu Kirana (adik raden Banyak Catra atau Kamandaka, yang jadi raja-daerah di Pasir Luhur). Tak hanya itu, Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang wanita pengungsi dari Jawa Timur itu yang kebetulan telah bertunangan. (Carita Parahyangan menyebutnya “estri larangan ti kaluaran”). Memang, sejak peristiwa Pasunda Bubat, bagi kerabat keraton Galuh-Kawali (Sunda) merupakan hal tabu bila beristrikan kerabat keraton Majapahit. Pun, menurut aturan waktu itu, wanita yang telah bertunangan dilarang menikah dengan laki-laki lain dengan pengecualian bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan. Maka dalam hal ini, Dewa Niskala melanggar dua “peraturan” sekaligus; dan sebagai raja hal tersebut dianggap dosa besar.
Melihat perbuatan saudaranya yang dinilai memalukan dinasti-keluarga, Susuktunggal di Pakuan mengancam hendak memisahkan kekerabatan dengan Galuh di Kawali. Namun, ketegangan tersebut cair melalui keputusan bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri sebagai raja. Dewa Niskala menyerahkan takhta Galuh kepada puteranya, Jayadewata (Sri Baduga), Susuktunggal menyerahkan takhta Sunda juga kepada Jayadewata, menantu sekaligus keponakan. Kerajaan warisan Wastukencana pun berada dalam satu tangan kembali, di tangan cucunya sendiri yang kelak menjadi raja besar di seluruh Tatar Sunda, Sri Baduga Maharaja. Dewa Niskala sendiri setelah wafat dikebumikan di daerah Gunatiga dan bergelar Sang Mokteng Gunatiga.
Galuh Setelah Pakuan Pajajaran Runtuh
Selama Sri Baduga memerintah di Pakuan, di Galuh pun tetap ada penguasa yang statusnya raja-bawahan Pajajaran. Dan hingga Pakuan Pajajaran runtuh tahun 1579, di Galuh masih terdapat beberapa raja yang memerintah. Mereka di antaranya: Prabu Haur Kuning, Prabu Cipta Sanghiang, Prabu Galuh Cipta Permana atau Ujang Ngekel (yang pertama masuk Islam).
Eksistensi politik Galuh goyah ketika tahun 1595, Mataram menyerang Galuh. Dan selanjutnya, pada masa Sultan Agung invasi militer Mataram terhadap Galuh makin gencar. Oleh penguasa Mataram, penguasa Galuh, Adipati Panaekan, diangkat menjadi Wedana Mataram dengan jumlah pendududk (cacah) sebanyak 960 orang. Ketika Mataram hendak melancarkan serangan terhadap benteng VOC di Batavia tahun 1628, pengikut Mataram di Tanah Sunda berbeda pendapat. Misalnya, Rangga Gempol I dari Sumedang Larang menginginkan pertahanan militer diperkuat dahulu, sementara Dipati Ukur dari Tatar Ukur menginginkan serangan segera saja dilakukan. Pertentangan pun terjadi di Galuh, yakni antara Adipati Panaekan dengan adik iparnya, Dipati Kertabhumi, Bupati Bojonglopang, putra Prabu Dimuntur, keturunan Prabu Geusan Ulun. Perselisihan ini memuncak dan akhirnya pecahlah perkelahian. Adipati Panaekan terbunuh pada tahun 1625. Ia lalu diganti puteranya, Mas Dipati Imbanagara, yang berkedudukan di Garatengah (sekarang Cineam).
Daftar Raja-raja di Galuh (dan Kawali, Saunggalah, dan Pakuan)
1. Wretikandayun atau Wertikandayun (612-702).
2. Mandiminyak (702-709).
3. Sena atau Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabhumi (709-716 M).
4. Purbasora (716-723).
5. Sanjaya Sang Harisdarma atau Rakeyan Jambri (723-732 M), Pakuan-Galuh.
6. Premana Dikusuma atau Bagawat Sajalajaya (732)
7. Rahyang Tamperan atau Rakeyan Panaraban (732-739 M), Pakuan-Galuh.
8. Surotama alias Manarah alias Ciung Wanara atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara
Sakalabhuwana (739-783).
9. Sang Mansiri atau Prabu Dharmasakti Wijaleswara (783-799).
10. Sang Tariwulan atau Prabu Kertayasa Dewakusaleswara (799-806).
11. Sang Welengan atau Prabu Brajanagara Jayabhuwana (806-813).
12. Prabu Linggabhumi (813-842).
13. Rakeyan Wuwus atau Prabu Gajah Kulon (842-891 M), Pakuan-Galuh.
14. Arya Kedaton atau Prabu Darmaraksa Bhuwana (891-895 M). Catatan: sejak tahun 895 hingga
1311 M, pusat pemerintahan sering berpindah-pindah dari timur (Galuh atau Saunggalah) ke barat
(Pakuan) dan sebaliknya.
15. Rakeyan Windusakti atau Prabu Dewagong Jayengbhuwana (895-913 M).
16. Rakeyan Kemuning Gading atau Prabu Pucukwesi atau Sang Mokteng Hujungcariang
(913-916 M).
17. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wanayasa, adik Pucukwesi (916-942 M).
18. Rakeyan Watwagong atau Prabu Resi Atmajadarma Hariwangsa (942-954 M), menantu Jayagiri.
19. Limburkancana atau Sang Mokteng Galuh Pakwan, putra Pucukwesi (954-964 M).
20. Rakeyan Sunda Sembawa atau Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala Jayasatru
(964-973 M).
21. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wulung Gadung atau Sang Mokteng Jayagiri (973-989 M).
22. Rakeyan Gendang atau Prabu Jayawisesa (989-1012 M).
23. Sanghyang Ageung atau Prabu Dewa Sanghyang atau Sang Mokteng Patapan
(1012-1019M), Galuh.
24. Sri Jayabhupati atau Prabu Satya Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Bhuwanamanadala Leswaranindita Harogowardhana Wikramattunggadewa
(1019-1042), Pakuan.
25. Prabu Dharmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabhuwana (1042-1064), Galuh.
26. Prabu Langlangbhumi atau Sang Mokteng Kreta (1064-1154), Pakuan.
27. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur Langlangbhumisutah (1154-1156), Pakuan.
28. Prabu Dharmakusumah atau Sang Mokteng Winduraja (1156-1175), Galuh.
29. Prabu Guru Dharmasiksa Paramartha Mahapurusa atau Guru Dharmakusumah atau Prabu
Sanghyang Wisnu (1175-1297); di Saunggalah tahun 1175-1187, di Pakuan tahun 1187-1297.
30. Prabu Ragasuci atau Rakeyan Saunggalah (1297-1303), Saunggalah
31. Prabu Citragandha (1303-1311), Pakuan.
32. Prabu Lingga Dewata (1311-1333), Kawali.
33. Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340), Kawali.
34. Prabu Ragamulya Luhurprabhawa atau Sang Aki Kolot (1340-1350), Kawali.
35. Prabu Lingga Bhuwana Wisesa atau Prabu Maharaja atau Sang Mokteng Bubat
(1350-1357 M), Kawali.
36. Prabu Bunisora (1357-1371), Kawali.
37. Niskala Wastukancana atau Prabu Raja Wastu atau Sang Mokteng Nusalarang
(1371-1475), Kawali.
38. Ningratkancana atau Prabu Dewa Niskala atau Sang Mokteng Gunatiga (1475-1482), Kawali.
39. Sri Baduga Maharaja (1482-1521), Galuh dan Pakuan.
Mitos Buaya dan Harimau
Proses kepindahan ibukota pada masa Sunda-Galuh memiliki pengaruh secara sosial-budaya. Dalam hal tradisi, antara Galuh dengan Sunda memang terdapat perbedaan. Disebutkan, bahwa orang Galuh itu adalah “orang air”, sedangkan orang Sunda itu adalah “orang gunung". Yang satu (Galuh) memiliki “mitos buaya”, yang lainnya (Sunda) memiliki “mitos harimau”.
Di sekitar Ciamis dan Tasikmalaya masih ada sejumlah tempat yang bernama Panereban. Pada masa silam, tempat tersebut konon merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus dihanyutkan (dilarung) di sungai. Sebaliknya, orang Kanekes (Banten) yang masih menyimpan banyak sekali peninggalan tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah (ngurebkeun). Tradisi nerebkeun di sebelah timur dan tradisi ngurebkeun di sebelah barat, membekas dalam istilah panereban dan pasarean.
Perjalanan sejarah lambat-laun telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini, Galuh dan Sunda (Orang Air dengan Orang Gunung) menjadi akrab. Perbauran ini, contohnya, dilambangkan oleh dongeng Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet (Seekor Kura-kura dan Seekor Monyet). Dongeng fabel khas Sunda ini sangat dikenal oleh segala lapisan masyarakat. Padahal dalam kenyataannya, monyet (wakil dari budaya gunung) dan kuya (wakil dari budaya air) itu bertemu saja mungkin tidak pernah.
Kerajaan-kerajaan Lain di Sekitar Galuh
Berdasarkan naskah-naskah kuno, baik sekunder maupun primer, di wilayah Galuh terdapat beberapa kerajaan kecil. Sayang memang, bahwa kerajaan-kerajaan ini tak meninggalkan bukti otentik seperti prasasti atau bangunan fisik lainnya.
Dalam laporan yang disusun Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972), terdapat sejumlah nama kerajaan sebagai berikut:
1. Kerajaan Galuh Sindula (menurut sumber lain, Kerajaan Bojong Galuh) yang berlokasi di Lakbok
dan beribukota Medang Gili (tahun 78 Masehi?);
2. Kerajaan Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan;
3. Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan;
4. Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan;
5. Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman;
6. Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan;
7. Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo;
8. Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan;
9. Galuh Pataka berlokasi di Nanggalacah beribukota Pataka;
10. Kabupaten Galuh Nagara Tengah berlokasi di Cineam beribukota Bojonglopang kemudian
Gunungtanjung;
11. Kabupaten Galuh Imbanagara berlokasi di Barunay (Pabuaran) beribukota di Imbanagara
12. Kabupaten Galuh berlokasi di Cibatu beribukota di Ciamis sejak tahun 1812.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/6/18/galuh
Wretikandayun memerintah Galuh selama 90 tahun, dari tahun 612 hingga 702. Ia menikah dengan putri Resi Makandria, Nay Manawati atau disebut juga Dewi Candrarasmi. Dari pernikahan ini, Wretikandayun memiliki tiga orang anak, yakni Sempakwaja, Wanayasa (Jantaka), dan Mandiminyak (Amara). Karena Sempakwaja dan Jantaka memiliki kekurangan fisik, yang menjadi raja Galuh menggantikan Wretikandayun adalah Mandiminyak, putra bungsu. Sempakwaja yang bergigi ompong (Sempakwaja berarti “bergigi ompong”) menjadi pendeta di Galunggung dan bergelar Batara Dangiang Guru. Sedangkan Wanayasa atau Rahyang Kidul memilih jadi pendeta di Denuh karena dirinya menderita kemir (hernia).
Mandiminyak memerintah di Galuh selama tujuh tahun, dari 702-709. Permaisurinya bernama Dewi Parwati, putri pasangan Kartikeyasingha-Ratu Sima dari Kerajaan Keling (Kalingga). Namun, ternyata Mandiminyak menjalin hubungan gelap dengan kakak iparnya sendiri, Nay Pwahaci Rababu, istri Sempakwaja. Dari Parwati, Mandiminyak memiliki putri bernama Sannaha, sedangkan dari Pwahaci Rababu dihasilkan anak lelaki bernama Sena (Bratasenawa). Kemudian, Sannaha dinikahkan dengan Sena (saudara sebapak, lain ibu) yang menghasilkan seorang anak lelaki yang kelak menurunkan raja-raja di Jawa Tengah, yakni Sanjaya. Pada Prasasti Stirengga atau Prasasti Canggal (dibuat tahun 732 M), disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sannaha. Sedangkan dalam Carita Parahyangan, disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sena.
Dewi Parwati sendiri memiliki adik lelaki bernama Narayana. Narayana menikah dengan putri dari Jayasinghanagara dan memiliki anak bernama Dewasingha. Salah seorang anak Dewasingha adalah Limwa atau Gajayana, yang ketika berkuasa memindahkan ibukota kerajaan ke Linggapura di Jawa bagian timur yang asalnya berlokasi di Jawa Tengah bagian selatan.
Kudeta Pertama
Raja Galuh ketiga, Sena (709-716 M), memiliki nama nobat Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabhumi. Ia menjalin hubungan persahabatan dengan Tarusbawa yang memerintah Kerajaan Sunda selama 54 tahun (669-723). Maka dari itu, Sanjaya dinikahkan dengan cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana Hayu Purnawangi atau Nay Sekarkancana. Putra mahkota yang rencananya akan menggantikan Tarusbawa, yakni Rakeyan Sunda Sembawa, mati dalam usia muda. Maka dari itu, cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana (anak dari Sunda Sembawa) dijadikan ahli waris Kerajaan. Setelah menikah dengan Tejakancana, Sanjaya lalu dinobatkan menjadi raja Sunda. Ia memerintah Sunda dan juga Galuh selama sembilan tahun (723-732).
Sena digulingkan dari takhta Galuh oleh Purbasora Jayasakti, yang tak lain keponakannya sendiri, pada 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Sempakwaja. Sena sendiri adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Jadi, Purbasora merasa lebih berhak atas singgasana Galuh karena ayahnya adalah anak pertama Wretikandayun. Ayah Purbasora, Sempakwaja tak diangkat menjadi raja karena dinilai tak layak menjadi pemimpin karena giginya ompong.
Hubungan Purbasora dan Sena tak hanya keduanya sama-sama cucu Wretikandayun. Mereka berdua sebenarnya saudara satu ibu. Ayah Sena, Mandiminyak, dulunya pernah berhubungan gelap dengan kakak iparnya, istri Sempakwaja, Pwahaci Rababu. Dari Pwahaci, Sempakwaja berputrakan Purbasora dan Demunawan (Carita Parahyangan menyebutnya Seuweukarma yang menganut Buddha).
Dengan dibantu pasukan dari Kerajaan Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon, Purbasora melancarkan kudeta merebut Galuh. Sena melarikan diri ke daerah timur di sekitar Gunung Marapi yang termasuk wilayah Kalingga, kerajaan nenek istrinya, Maharani Sima. Purbasora menjadi raja di Galuh selama tujuh tahun (716-723). Ia menikah dengan putri Raja Indraprahasta Sang Resi Padmahariwangsa yang bernama Dewi Citrakirana.
Sanjaya alias Rakeyan Jambri, anak Sena, pun tak tinggal diam; berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Segera Sanjaya, yang penganut Hindu-Siwaisme, meminta bantuan Tarusbawa, sahabat ayahnya yang juga kakek istrinya. Sebelum penyerangan dilancarkan, Sanjaya telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, sahabat baik Sena juga. Pasukan khusus ini dipimpin Sanjaya langsung, sementara pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan pada malam hari secara diam-diam dan sangat mendadak. Seluruh keluarga Purbasora tewas. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, Bimaraksa yang menjabat Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.
Bimaraksa dikenal juga dengan nama Ki Balangantrang karena ia pun merupakan senapati kerajaan. Bimaraksa juga merupakan cucu Wretikandayun dari putra kedua, Resi Guru Jantaka atau Rahiyang Kidul. Dalam pelariannya, Bimaraksa bersembunyi di kampung Geger Sunten dan diam-diam menghimpun kekuatan untuk melawan Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, kerajaan yang sebelumnya telah ditaklukkan oleh Sanjaya karena dahulu membantu Purbasora dalam usaha menjatuhkan Sena.
Sena sempat menasehati Sanjaya bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri memang tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia menyerang Galuh hanya dalam rangka balas dendam. Setelah mengalahkan Purbasora, Sanjaya segera mendatangi ayah Purbasora, yakni Sempakwaja, di Galunggung. Ia meminta agar uwaknya itu menobatkan Demunawan, adik Purbasora, menjadi raja Galuh. Namun, Sempakwaja menolak permohonan itu karena curiga kalau hal tersebut merupakan tipu-muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.
Sementara itu, Sanjaya pun tidak bisa menghubungi Balangantrang karena tak mengetahui keberadaannya. Melihat situasi ini, terpaksa Sanjaya mengangkat dirinya menjadi Raja Galuh. Dengan demikian, Sanjaya merupakan raja pertama yang memerintah di dua kerajaan sekaligus, Sunda dan Galuh.
Selama menjadi raja Galuh, Sanjaya menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang begitu disenangi. Sebabnya: karena ia bukan asli Galuh melainkan orang Pakuan (Sunda). Maka dari itu, ia menobatkan Premana Dikusuma, cucu Purbasora, menjadi penguasa Galuh. Sebelumnya, Premana Dikusuma merupakan raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir 683 M), ia telah dikenal sebagai rajaresi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Karena itu, ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.
Selain karena Premana cucu Purbasora, alasan lain Sanjaya mengangkatnya karena istri Premana, yakni Naganingrum, adalah cucu Ki Balangantrang. Dengan demikian, suami-istri itu cocok untuk mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, anak pertama dan kedua Wretikandayun.
Premana Dikusumah dan Naganingrum kemudian memiliki anak lelaki bernama Surotama alias Manarah. Surotama lahir pada 718 M. Saat Sanjaya menyerang Galuh ia masih kecil, berusia 5 tahun. Dalam sastra (literatur) Sunda klasik, Surotama dikenal sebagai Ciung Wanara. Di hari kemudian, kelak Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, akan mengurai kisah tragis yang menimpa keluarga leluhurnya, sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan balas dendam.
Untuk mengikat kesetiaan Premana terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkannya dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Sanjaya pun menunjuk putranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh, yang menganut Buddha. Penunjukan Tamperan bukannya tak beralasan; melaluinya Sanjaya bisa mengontrol dan mengawasi sepak-terjang pemerintahan Galuh.
Di lain pihak, Premana pun terpaksa menerima kedudukan Raja Galuh. Ia segan menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia namun tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Posisi Premana dalam keadaan serba sulit. Sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda, ia harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya sendiri. Sebagai solusinya, Premana memilih meninggalkan istana. Telah bulat tekadnya: ia akan bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Sungai Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya. Pemerintahan ia serahkan kepada Tamperan, Patih Galuh yang menjadi “telik” sekaligus anak Sanjaya.
Ternyata, Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat hubungan terlarang. Dengan Pangrenyep, istri Premana, Tamperan terlibat hubungan gelap. Hubungan rahasia mereka membuahkan seorang anak lelaki bernama Kamarasa alias Aria Banga (723 M). Hubungan terlarang ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, ketika ditinggal suaminya pergi bertapa, Pangrenyep merupakan pengantin baru yang berusia 19 tahun. Kedua, baik Tamperan maupun Pangreyep umurnya sebaya dan telah mengenal satu sama lain ketika masih di Keraton Pakuan. Ketiga, keduanya sama-sama cicit Tarusbawa. Selain itu, mereka sama-sama merasakan penderitaan jiwa karena kehadiran mereka sebagai orang Pakuan yang kurang diterima di Galuh.
Agar hubungan gelapnya tak tercium oleh orang lain, Tamperan menyuruh seseorang untuk membunuh Premana. Dan setelah si pembunuh bayaran tersebut berhasil menghabisi Premana, sungguh malang ia pun dibunuh pula oleh orang-orang suruhan Tamperan. Langkah ini diambil Tamperan agar rahasianya tertutup rapat-rapat. Namun, sepandai-pandainya menyembunyikan kejadian ini akhirnya tercium oleh Ki Balangantrang.
Pada 732 M Sanjaya mewarisi takhta Kerajaan Medang Kamulan (Bhumi Mataram) dari ibunya, Sannaha. Sebelum meninggalkan Pakuan, ia mengatur pembagian kekuasaan kepada Tamperan dan Resiguru Demunawan (lahir pada 646 M). Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan wilayah Saunggalah (Kuningan) dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan, putra bungsu Sempakwaja. Demunawan inilah yang kemudian mendirikan istana di Saunggalah, yang kelak sempat dijadikan istana raja-raja Sunda-Galuh selama beberapa kali.
Keturunan Manarah dan Banga
Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh dari tahun 732-739 M. Di pihak lain, Manarah (Ciung Wanara) diam-diam tengah menyiapkan rencana perebutan takhta Galuh dengan bantuan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Tamperan sendiri tak menaruh curiga sedikit pun terhadap Manarah karena telah menganggapnya seperti anak sendiri.
Nama Ciung Wanara terdapat pada naskah Babad Galuh dan Babad Pajajaran. Selain Ciung Wanara, ada pula tokoh-tokoh lain, misalnya Nyai Purbasari dan Lutung Kasarung. Padahal, selama ini Ciung Wanara dan Lutung Kasarung dianggap tokoh fiktif, bukan pelaku sejarah. Mungkin saja, cerita yang terdapat dalam babad-babad tersebut adalah peristiwa sejarah yang berkaitan dengan Kerajaan Galuh-Sunda yang disamarkan sehingga terkesan sebagai legenda atau foklor—padahal merupakan peristiwa sejarah.
Penyerbuan ke Galuh dilancarkan pada siang hari bertepatan saat pesta sabung ayam. Sebagaimana acara kebesaran lainnya, acara sabung ayam ini dihadiri semua pembesar Galuh, termasuk Banga. Manarah bersama pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai peserta sabung ayam. Balangantrang sendiri bertugas memimpin pasukan Geger Sunten menyerang Keraton Galuh.
Penyerangan mendadak tersebut berhasil dalam tempo satu malam (sama seperti peristiwa ketika Sanjaya menguasai Galuh). Tamperan dan Pangrenyep termasuk Banga berhasil ditawan di gelanggang sabung ayam. Karena dianggap tak bersalah, Banga kemudian dibebaskan. Pada malam harinya Banga berhasil membebaskan orang tuanya, Tamperan dan Pangrenyep, dari tahanan.
Namun, tindakan Banga tercium oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukan hal tersebut kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Manarah dengan Banga yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu, Tamperan dan Pangrenyep yang melarikan diri terbunuh oleh panah-panahnya yang ditembakkan oleh pasukan Manarah.
Sanjaya yang memerintah di Medang i Bhumi Mataram marah mendengar Tamperan tewas. Tak menunggu lama, Sanjaya dengan diiringi pasukan dalam jumlah besar menyerang ibukota Galuh. Di lain pihak, Manarah telah menduga bahwa Sanjaya takkan tinggal diam. Oleh karena itu, ia telah siap-siaga dengan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta (kerajaan ini saat itu telah berubah nama menjadi Wanagiri), dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah ditaklukkan Sanjaya.
Perang saudara sesama keturunan Wretikandayun pun meletus. Untung, perang itu dapat dihentikan atas prakarsa Rajaresi Demunawan (ketika itu sudah sangat tua, berusia 93 tahun). Perundingan gencatan senjata digelar di Keraton Galuh pada 739 M. Kesepakatan pun tercapai. Galuh harus diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Sunda dan Galuh yang selama tahun 723-739 merupakan satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa Banga merupakan raja bawahan, yang terpaksa diterima oleh Banga. Banga merasa, ia bisa tetap hidup karena kebaikan Manarah.
Untuk menjaga agar tak terjadi perseteruan, Manarah dan Banga dinikahkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabhuwana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabhuwana Yasawiguna Hajimulya, berjodoh dengan adik Kancanawangi, Kancanasari.
Sebuah naskah buatan abad ke-13 (atau ke-14) memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit di Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka dari Galuh. Lepasnya Pakuan dari Galuh terjadi setelah 20 tahun Banga menjadi penguasa Pakuan. Daerah yang termasuk kekuasaannya adalah sebelah barat Citarum. Ia memerintah selama 739–766 M.
Manarah memerintah di Galuh hingga 783 M. Lalu ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri dari takhta Kerajaan untuk melakukan tapa hingga akhir hayat. Manarah wafat pada 798 saat berusia 80 tahun.
Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini sering tidak sesuai, alias dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, dimana Banga dianggap lebih tua, juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru yang ditulis pada pertengahan abad ke-18.
Kekeliruan paling menyolok dalam Carita Waruga Guru ialah Banga dianggap sebagai pendiri Majapahit. Padahal, Majapahit didirikan Wijaya pada 1293 M, 527 tahun setelah Banga wafat. Kekacauan ini dapat dilihat pula pada kisah pertemuan Pangeran Cirebon Walangsungsang dengan Sayidina Ali bin Abi Thalib yang masa hidupnya berselisih sekitar 8 abad lebih.
Keturunan Manarah yang bernama Sang Mansiri atau Prabu Dharmasakti Wijaleswara kemudian menjadi penguasa Galuh (783-799). Berturut-turut setelah Dharmasakti, yang menjadi raja Galuh adalah Sang Tariwulan atau Prabu Kertayasa Dewakusaleswara (799-806), Sang Welengan atau Prabu Brajanagara Jayabhuwana (806-813), dan Prabu Linggabhumi (813-852). Takhta Galuh diserahkan kepada suami adiknya, yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon atau Gajah Kulwan (819-891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8. Rakeyan Wuwus beristrikan putri keturunan Galuh. Sementara itu, adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putra Galuh yang kemudian menggantikan kedudukannya sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Darmaraksa Bhuwana (Arya Kedatwan). Sejak 852 M, Kerajaan Sunda-Pakuan dan Galuh diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan antara para kerabat keraton Pakuan, Galuh, dan Saunggalah.
Antara Galuh, Saunggalah, dan Pakuan
Telah disebutkan, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan saat itu belum dapat diterima; sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh pada masa sebelumnya. Karena perbedaan daerah asal inilah, Prabu Darmaraksa (891-895) akhirnya tewas mengenaskan. Nyawanya berakhir di tangan seorang menteri Sunda yang fanatik.
Semenjak peristiwa itu, setiap raja Sunda yang baru dinobatkan selalu memperhitungkan tempat kediaman yang akan dipilihnya menjadi ibukota. Maka dari itu, pusat pemerintahan sering berpindah-pindah dari timur ke barat dan sebaliknya (antara 895 hingga 1482 M). Sebagai contoh: ayah Sri Jayabhupati berkedudukan di Galuh, namun Jayabhupati sendiri memilih tinggal di Pakuan; tetapi putra Jayabhupati berkedudukan di Galuh lagi. Begitu pula dengan Prabu Guru Dharmasiksa (1175-1187) yang menurut Kropak 406, mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Putranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah. Jadi, ada kalanya Galuh menjadi kerajaan utuh terlepas dari Kerajaan Sunda, ada kalanya berperan sebagai “kerajaan kembar” bersama Sunda.
Carita Parahyangan menceritakan bahwa Prabu Dharmasiksa mendirikan panti pendidikan dan sejumlah kabuyutan (tempat suci-keramat). Pembuatan tempat suci ini ternyata merata bagi setiap golongan, baik untuk para sesepuh (sang rama), para pendeta (sang resi), para dukun (sang disri), para biksu (sang wiku), pawang rakit (sang tarahan), dan para leluhur (parahiyangan). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi semacam sinkretisasi (pembauran) dalam hal kepercayaan-kemagisan-keagamaan, sebagaimana yang telah terjadi di Jawa Timur. Kebijaksanaan Dharmasiksa ini diperoleh dari arahan para wiku yang mengamalkan keaslian Sunda, berpegang teguh kepada ajaran dharma, dan menjalankan aturan agama (ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuhan Sanghyang Dharma, ngawakan Sanghyang Siksa).
Gejala pemerintahan yang condong ke timur Jawa Barat ini sesungguhnya telah ada sejak masa Prabu Ragasuci (1297-1303). Tatkala naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu Guru Darmasiksa), Prabu Ragasuci tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan karena sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja daerah di wilayah timur (Galuh). Namun, pada masa pemerintahan putranya, Prabu Citraganda, Pakuan untuk kesekian kalinya menjadi ibukota dan pusat pemerintahan Sunda.
Yang sebenarnya berhak menggantikan Dharmasiksa adalah Rakeyan Jayadarma, kakak Ragasuci. Menurut Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka dari Kerajaan Singasari di Jawa Timur karena ia menikah dengan Dyah Singamurti atau Dyah Lembu Tal. Mereka berputrakan Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya yang lahir di Pakuan, yang kelak pendiri kerajaan besar di Jawa Timur, Majapahit. Akan tetapi, karena Jayadarma wafat dalam usia muda, takhta pun berpindah ke Ragasuci.
Setelah Jayadarma mangkat, Lembu Tal enggan tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, ia bersama putranya, Wijaya, pulang ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran. Kematian Jayadarma mengakibatkan kekosongan takhta karena putra mahkota, Wijaya, memilih tinggal di Jawa Timur. Prabu Dharmasiksa kemudian menunjuk cucunya, yakni putra kedua Prabu Ragasuci, bernama Citraganda, sebagai ahli waris Kerajaan. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa, putri Kerajaan Melayu, adik Dara Kencana istri Kertanegara Raja Singasari. Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya.
Mengenai Ragasuci ini, yang oleh Kropak 632 disebut sebagai Sang Lumah ing Taman (Yang dikebumikan di Taman, tak jauh dari Winduraja), ada kemungkinan ia memiliki saudara lain, tepatnya kakak perempuan. Hal ini dapat dilacak melalui Prasasti Gegerhanjuang yang terletak di Singaparna, Tasikmalaya, yang diperkirakan dibuat pada tahun 1033 Saka (1111 M). Disebutkan pada prasasti tersebut adanya kegiatan panyusukan atau penyaluran air sehubungan dengan pembuatan Kabuyutan Linggawangi yang merupakan lokasi ditemukannya prasasti bersangkutan. Panyusukan ini dilakukan atas perintah Batari Hyang, yang merujuk kepada seorang wanita (batari, bukan batara) yang setidaknya memiliki kedudukan istimewa dalam masyarakat. Tokoh Batari Hyang ini kemungkinan besar yang ditunjuk untuk mengurusi Kabuyutan Linggawangi, yang memang terdapat dalam wilayah Gunung Galunggung. Dengan begitu, sangat mungkin bahwa Batari Hyang ini adalah kakak perempuan Sang Lumah ing Taman (Rajasuci), dan ia melakukan upacara sakral dalam merestui/menyambut penobatan adiknya menjadi raja di Saunggalah.
Setelah Prabu Darmasiksa mangkat, untuk sementara Citraganda menjadi raja daerah selama enam tahun di Pakuan. Ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya, Ragasuci, di Saunggalah. Dari 1303 sampai 1311 M, Citraganda lalu menjadi Raja Sunda di Pakuan. Setelah wafat ia dipusarakan di Tanjung.
Kawali, Ibukota Galuh yang Baru
Setelah Citraganda tiada, takhta Galuh berpindah ke anaknya, Lingga Dewata. Sejak pemerintahan Prabu Lingga Dewata ini, pusat Kerajaan berpindah ke tempat yang baru, bernama Kawali. Belum ada keterangan pasti siapa sebenarnya yang pertama memerintah di Kawali. Yang jelas, menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340), sudah berkedudukan di Kawali. Dengan begitu, sejak pertengahan abad ke-14 ini, pusat pemerintahan tak lagi berada Galuh atau Saunggalah atau pun Pakuan.
Kawali sendiri berarti “kuali” atau “belanga”. Lokasi Kawali cukup strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung-Saunggalah-Galuh. Sejak abad ke-14, Galuh selalu dikaitkan dengan Kawali karena ada dua orang raja Sunda-Galuh yang dipusarakan di Winduraja, dekat Kawali. Nama Kawali kini masih digunakan sebagai nama desa, yakni Desa Kawali di Kampung Indrayasa, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis. Nama Kawali terabadikan dalam Prasasti Kawali, berupa batu peninggalan Prabu Raja Wastu (Niskala Wastukancana) di Astana Gede, Kecamatan Kawali.
Ajiguna Linggawisesa adalah menantu Lingga Dewata karena menikah dengan Dewi Uma Lestari alias Ratu Santika, putri Linggadewata. Dari perkawinan ini lahir Ragamulya (yang kelak menggantikan ayahnya) dan Suryadewata yang kemudian menurunkan raja-raja Talaga. Adik perempuan Ajiguna Linggawisesa yang bernama Pujasari diperistri oleh Patih Srenggana dan menjadi leluhur raja-raja Tanjung Barat yang terletak di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Prabu Ajiguna Linggawisesa memerintah dari tahun 1333 hingga 1340 M. Ia sezaman dengan Tribuwonotunggadewi Jayawisnuwardani (1328-1350). Setelah wafat, Ajiguna Linggawisesa dipusarakan di Kiding. Maka dari itu, gelar anumertanya Sang Mokteng Kiding. Yang menggantikannya adalah putra sulungnya, yaitu Ragamulya Luhur Prabawa atau Sang Aki Kolot (1340-1350 M). Ia berputera dua orang yaitu Lingga Bhuwana dan Bunisora yang kedua-duanya kemudian menjadi penguasa di Kawali.
Pasunda Bubat
Prabu Lingga Bhuwana Wisesa memerintah di Kawali hanya 7 tahun, 1350-1357. Raja inilah yang meninggal pada tragedi Pasunda Bubat; karena itu digelari Sang Mokteng Bubat. Peristiwa Pasunda Bubat atau Perang Bubat ini terjadi pada 1357 M, yakni peperangan antara Sunda-Galuh dengan Majapahit. Kisah ini diuraikan cukup komplit dalam Kidung Sundayana dan Pararaton.
Mengenai Pasunda Bubat ini, Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara mengungkapkan:
Di medan perang Bubat ia (Lingga Bhuwana) banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda terjadi di Desa Bubat. Nagarakretagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca menyebutkan bahwa Bubat merupakan bandar tempat kapal atau perahu berlabuh karena terletak di tepi sebatang sungai besar. Di Bubat ini terdapat sebuah lapangan upacara yang luas tempat upacara kenegaraan dan keagamaan. Jika ingin menghadiri upacara tersebut, Raja Hayam Wuruk datang ke Bubat dengan mengendarai kereta yang ditarik empat ekor kuda. Meski demikian, Nagarakretagama tak menyinggung Perang Bubat sama sekali; dan ini mungkin Prapanca tak ingin menyinggung-nyinggung masalah yang dapat membuat hati rajanya bersedih.
Perang Bubat sendiri meletus karena dipicu oleh ambisi Mahapatih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Carita Parahyangan mengisahkan bahwa putri Prabu Maharaja bernama Dyah Pitaloka Citraresmi sangat banyak keinginannya (manja). Ia ingin dipinang oleh seorang raja Jawa yang begitu berkuasa dan enggan bersuamikan pria berdarah Sunda. Dan konon Hayam Wuruk tertarik hatinya kepada Pitaloka Citraresmi setelah melihat sendiri lukisan Sang Putri Citraresmi di Majapahit yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman Jawa bernama Sungging Prabangkara.
Pararaton (Pararatwan) mengisahkan tragedi ini dengan cukup detail, yakni:
Kemudian terjadi peristiwa orang Sunda di Bubat. Sri Prabu (Hayam Wuruk) ingin memperistri putri dari Sunda. Patih Madu diutus mengundang orang Sunda. Maksudnya, mengharap agar orang Sunda menikahkan putrinya. Lalu Raja Sunda datang di Majapahit. Sang Ratu Maharaja (Sunda) tidak bersedia mempersembahkan putrinya. Orang Sunda harus meniadakan selamatan (jangan mengharapkan adanya upacara pesta perkawinan) kata sang utusan. Sang Mahapatih Majapahit tidak menghendaki pernikahan (resmi), sebab ia menganggap rajaputri sebagai upeti.
Sebenarnya, pihak Sunda sendiri agak keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ia menilai, tidak lazim pihak perempuan datang kepada pihak pengantin pria; suatu hal yang dianggap tabu menurut adat yang berlaku di Sunda maupun Nusantara umumya. Akan tetapi, Sang Maharaja menilai bahwa pernikahan Pitaloka-Hayam Wuruk bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan, karena bukankah lelulur Hayam Wuruk adalah Raden Wijaya yang memiliki darah Sunda. Hayam Wuruk sendiri kemungkinan besar mengetahui bahwa dirinya masih keturunan raja Sunda. Di lain pihak pun, berdasarkan Kidung Sundayana, “Sumpah Palapa” Gajah Mada rupanya belum dikatakan berhasil karena Pajajaran belum juga mengakui kekuasaan Majapahit, walau sudah dua kali diserang.
Akhirnya, alih-alih Raja Hayam Wuruk yang lajang ingin menyunting putri Sunda yang kesohor cantik jelita, maka diutuslah Tuan Anepaken (Patih Sunda) untuk melamar Dyah Pitaloka Citraresmi. Maka ketika tiba saatnya, ratusan rakyat mengantar keberangkatannya yang disertai raja dan para bangsawan Sunda ke Majapahit dengan menggunakan perahu. Namun tiba-tiba, laut yang semula biru, secara mendadak dilihatnya berubah menjadi hamparan air yang bewarna merah. Tanda-tanda buruk iturupanya tidak dihiraukan, sehingga setelah sepuluh hari berlayar, rombongan tiba di Bubat.
Namun, Gajah Mada merasa keberatan menyambutnya karena menganggap putri Dyah Pitaloka Citraresmi merupakan “upeti yang akan dihadiahkan” kepada Raja Hayam Wuruk. Sebaliknya, Raja Sunda dan rombongan tetap bersikukuh bahwa putri Sunda yang cantik jelita itu akan “dipinang” oleh Hayam Wuruk. Perbedaan pendapat yang kemudian menimbulkan ketegangan itu, akhirnya mencapai puncaknya setelah utusan Sunda Patih Anakepan mencela keras sikap Gajah Mada. Anakepan mengingatkan, bahwa bantuan Sunda kepada Majapahit tidaklah sedikit ketika masa penaklukan Bali.
Sebelum ada keputusan sidang istana Majapahit, Gajah Mada telah mendahului menyerang rombongan Sunda yang tengah rehat di sebelah utara Majapahit. Peperangan pun tak terhindarkan. Para ksatria terkemuka dari pihak Sunda yang bersemangat berperang di antaranya: Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gampong, Panji Melong, orang-orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuan Usus, Pangulu, Rangga Kaweni, orang Siring, Satrajali, Jagadsaya. Namun, karena tak seimbang dalam jumlah tentara dan peralatan, ditambah ketaksiapan pasukan Sunda yang memang semula tak berniat berperang, semua rombongan Sunda tewas. Dalam membela kehormatan martabatnya dan Kerajaan Sunda, Prabu Maharaja Lingga Bhuwana gugur lebih dulu, tersungkur bersama Tuan Usus. Namun meski demikian, peperangan masih ters berkobar. Para ksatria Sunda lainnya akhirnya mengikuti jejak Prabu Maharaja, gugur sebagai satria yang membela kehormatan negaranya.
Putri Dyah Pitaloka pun diberitakan memilih bunuh diri, mengikuti jejak para kesatria Sunda. Namun, ada pula yang yakin bahwa sang Putri Sunda itu tak bunuh diri, melainkan ikut bertempur dan berhasil melukai Gajah Mada. Walau akhirnya gugur, Sang Putri berhasil melukai tubuh Gajah Mada dengan konon keris Singa Barong berlekuk 13, keris leluhur peninggalan pendiri Tarumanagara, Prabu Jayasinghawarman. Diceritakan, darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang Sunda, tak ada yang ketinggalan. Hari naas tersebut terjadi pada Selasa-Wage sebelum tengah hari, tanggal 13 bagian terang, bulan Badra tahun 1279 Saka.
Begitu mengetahui tragedi Bubat, Hayam Wuruk begitu menyesalkan tindakan Gajah Mada. Ia lalu mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali (yang saat itu masuk ke dalam kekuasaan Majapahit) untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati, pejabat sementara Raja Sunda. Pun, Hayam Wuruk berjajnji bahwa peristiwa tragis itu akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar bisa diambil hikmahnya.
Akibat tragedi Bubat ini, hubungan antara Gajah Mada dengan Hayam Wuruk kemudian merenggang. Hubungan antara Sunda-Majapahit pun tak bisa dikatakan harmonis kembali karena “nasihat dan pepatah” Sang Prabu Dharmasiksa kepada Raden Wijaya telah dikhianati oleh Gajah Mada yang memang bukan termasuk trah (keturunan) Wijaya. Dan hingga akhir hayatnya, Hayam Wuruk (yang bila ditelisik dari silsilah R. Wijaya, masih memiliki darah Sunda) tetap menepati janjinya: tak pernah melakukan penaklukan terhadap Sunda-Pajajaran. Hingga Majapahit runtuh, Pajajaran tetap negara merdeka.
Nasib Gajah Mada sendiri berakhir dengan tragis pula. Akibat luka yang digoreskan Dyah Pitaloka, ia menderita sakit yang tak bisa diobati, sehingga akhirnya meninggal. Tetapi, dalam versi lain disebutkan bahwa Gajah Mada tidak meninggal melainkan kecewa mendalam dan masgul atas kejadian tersebut. Ia akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Sang Maha Patih dan memilih menyepi di suatu tempat hinnga akhirnya moksa karena merasa tugasnya di dunia telah selesai.
Dikisahkan, Sri Maharaja Lingga Bhuwana senantiasa memperhatikan kemakmuran hidup rakyatnya. Kemahsyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara (Nusantara). Kehebatan Prabu Maharaja membangkitkan rasa bangga kepada keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang, dan rakyat Priangan.
Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja jadi mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi, dan keturunannya lalu disebut Prabu Siliwangi. Merujuk kepada Carita Parahyangan, Amir Sutaarga dan juga Atja beranggapan bahwa Prabu Wangi ini identik dengan Niskala Wastukancana, anak Lingga Bhuwana. Dengan begitu, Niskala Wastukancana-lah yang disebut Siliwangi, meski ada pula yang menyebutkan bahwa Sri Baduga-lah (cucu Wastukancana) yang disebut Prabu Siliwangi.
Niskala Wastukancana, Pembuat Parit di Kawali
Dikarenakan putra mahkota, anak lelaki Lingga Bhuwana Wisesa, masih kecil, Kerajaan diperintah sementara oleh adik Lingga Bhuwana Wisesa, yakni Patih Mangkubhumi Suradipati. Setelah dinobatkan menjadi raja, Suradipati bergelar Sang Prabu Bunisora (disebut juga Prabu Kuda Lalean atau Prabu Borosngora). Raja ini memerintah selama 14 tahun (1357-1371) dan berkedudukan di Kawali. Bunisora pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung. Setelah wafat, ia dikenal dengan nama Sang Mokteng Geger Omas (Yang Dikebumikan di Geger Omas).
Bunisora memiliki dua anak lelaki bernama Giridewata (lahir tahun 1347) dan Bratalegawa (lahir 1350), dan beberapa anak gadis di antaranya Banawati dan Mayangsari. Giridewata, yang memang kurang berhak meneruskan Kerajaan Sunda, kemudian menjadi penguasa Cirebon Girang. Sementara itu, Bratalegawa memilih hidup menjadi saudagar; dan ia berhasil dalam menjalankan bisnisnya dan memiliki banyak kapal dagang serta sejumlah peristirahatan baik di lereng gunung maupun di pantai. Sebagai pedagang, Bratalegawa banyak bepergian ke manca negara, seperti Sumatera, Semenanjung Melayu, Campa, Cina, Srilangka, India, Persia, bahkan hingga ke Arab. Di negara-negara yang dikunjunginya, Bratalegawa banyak berkenalan dan bersahabat dengan para pedagang di negera bersangkutan. Bahkan ketika berada di Gujarat, India, ia memiliki rekan bisnis bernama Muhammad. Muhammad ini kemudian menikahkan Bratalegawa dengan anak gadisnya, Farhana. Bratalegawa pun masuk Islam dengan nama baru Haji Badaruddin al-Jawi. Dapat dikatakan, dialah orang Sunda yang pertama menjadi Muslim; sekitar satu abad sebelum Wali Sanga menyebarkan Islam di Tanah Jawa.
Ada pun setelah Bunisora mangkat, yang memegang tampuk pemerintahan selanjutnya adalah putra mahkota anak Lingga Bhuwana Wisesa, yaitu Niskala Wastukancana. Ketika tragedi Pasunda Bubat, usia Wastukancana baru 9 tahun dan merupakan satu-satunya ahli waris Kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal di Bubat. Setelah cukup usia, Wastukancana dinobatkan menjadi raja pada 1371 ketika berusia 23 tahun. Prabu Wastukancana-lah yang membuat Prasasti Kawali yang berjumlah 6 buah. Berikut adalah bunyi Prasasti Kawali I, II, III, IV, dan V.
“Inilah tanda bekas beliau yang mulia Prabu Raja Wastu (yang) berkuasa di kota Kawali, yang memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit (di) sekeliling ibukota, yang memakmurkan seluruh desa. Semoga ada penerus yang melaksanakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia.
Janganlah dirintangi, janganlah diganggu, yang memotong akan hancur, yang menginjak akan roboh.
Semoga ada yang menghuni di Kawali ini yang melaksanakan kemakmuran dan keadilan agar unggul dalam perang.
Sang Hyang Lingga Bingba.
Demikianlah.”
Prasasti Kawali ini dengan jelas menegaskan bahwa pusat pemerintahan berada di Kota Kawali (mangadeg di Kuta Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa. Raja inilah yang memperindah keraton Surawisesa di Kawali dan membuat parit (buat pertahanan) di Kawali. Oleh naskah Carita Ratu Pakuan yang ditulis oleh Ki Raga dari Srimanganti-Cikuray, Surawisesa disebut sebagai keraton yang memberikan ketenangan hidup (dalem sipawindu hurip). Oleh naskah Pustaka Nusantara, keterangan tentang Kawali dan Surawisesa ini diperkuat, malah ada tambahan bahwa ayahnya pun (berarti Lingga Bhuwana yang gugur di Bubat) bertakhta di Kawali.
“Persemayaman Sang Prabu Wastu Kancana adalah keraton Surawisesa. Ibukota kerajaannya bernama Kawali. Pada masa sebelumnya, ayahnya pun bertahta sebagai maharaja di situ juga.”
Membuat parit di sekeliling kota (marigi sakuriling dayeuh) adalah ide Wastukancana guna membuat pertahanan kota, untuk kepentingan militer, karena raja-raja Sunda sebelumnya seperti Banga dan Dharmasiksa pernah membuat hal serupa di kota Pakuan. Wastukancana takut bila sewaktu-waktu negaranya diserang oleh bangsa atau kerajaan lain, mungkin oleh Majapahit yang pernah menghancurkan ayahandanya. Demikian pentingnya pembuatan parit itu, maka Raja Wastukancana merasa perlu mengabadikannya dalam prasasti. Karena penting “agar unggul dalam perang” dan juga mengerahkan rakyat-tentara yang jumlahnya pasti banyak, Wastukancana mengingatkan bahwa barang siapa yang mengganggu maka akan “hancur dan roboh”.
Perihal membuat parit ini, ternyata ditenggarai bahwa di sepanjang wilayah selatan dan timur-laut Kabupaten Bandung banyak terdapat bekas parit pertahanan. Bukan itu saja, naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630) banyak menyebutkan hal-hal yang menyangkut bidang kemiliteran atau peperangan. Simaklah sebagian bunyinya.
“Bila ingin tahu tentang perilaku perang, seperti: makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci
muka, braja panjara, asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak
maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngalingga manik, lemah mrewasa, adipati, prebu sakti, pake prajurit, tapak sawetrik, tanyailah panglima perang.”
Walau hingga kini belum diketahui sebagian arti dari kata-kata dalam naskah tersebut, akan tetapi naskah tersebut memberitaku kita bahwa masyarakat Sunda kuno telah mengenal taktik dan senjata militer yang cukup memadai. Sanghyang Siksakandang Karesian pun memperingatkan bahwa apabila rakyat diperintah untuk: bekerja ke ladang, ke sawah, ke serang besar, mengukuhkan tepian sungai, menggali saluran (marigi), mengandangkan ternak, memasang ranjau tajam, membendung sebagian alur sungai untuk menangkap ikan, menjala, menarik jaring, memasang jaring, menangguk ikan, merentang jaring; segala pekerjaan untuk kepentingan raja, hendaknya ia:
“jangan marah-marah, jangan munafik, jangan resah dan uring-uringan, kerjakanlah dengan senang hati semuanya."
Juga, Kropak 632 atau Amanat Galunggung memuat hal-hal yang berkaitan dengan parit dan perang.
“Tetaplah mengikuti orangtua, melaksanakan ajaran yang membuat parit (nyusuk) di Galunggung, agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya. Sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi (almarhum).”
Niskala Wastukancana memerintah dalam waktu yang panjang sekali dan hampir tak mungkin, yaitu selama 104 tahun, dari tahun 1371 hingga 1475. Pada masanya, kehidupannya sosial pun menjadi perhatian. Ia memperingatkan kepada rakyatnya yang gemar berjudi agar meninggalkan kebiasaan buruknya. Ini sesuai dengan bunyi Prasasti Kawali VI, yaitu:
“Ini peninggalan dari (yang) kokoh (dari) rasa yang ada, yang menghuni kota ini jangan berjudi (karena) bisa sengsara.”
Wastukancana menikah dua kali, yaitu dengan Nay Ratna Lara Sarkati, anak dari Resi Susuklampung, sebagai permaisuri pertama. Setelah itu, ia pun menikah dengan sepupunya (putri sulung Bunisora), Nay Ratna Mayangsari. Dari Lara Sarkati lahirlah Sang Haliwungan (Susuktunggal). Dari Mayangsari lahir Ningratkancana (Dewa Niskala).
Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Prabu Wastukancana disebut juga Prabu Wangisutah. Wastukancana setelah meninggal bergelar Sang Mokteng Nusalarang ring Giri Wanakusumah karena dikebumikan di Nusalarang di Gunung Wanakusumah.
Dewa Niskala, Ayah Sri Baduga
Setelah Niskala Wastukancana wafat, kerajaan dibagi dua. Susuktunggal diberi kuasaan atas wilayah sebelah barat, Kerajaan Sunda-Pakuan; sedangkan Ningratkancana diberi kekuasaan atas wilayah timur Citarum, yakni Galuh. Dengan demikian, “negara kembar” ini terbagi kembali. Sementara Susuktunggal memerintah di Pakuan, Dewa Niskala (Ningratkancana) memerintah Galuh selama 7 tahun (1475-1482). Hubungan kakak-adik ini kemudian diperkuat oleh perkawinan kedua anak mereka. Putri Susuktunggal bernama Kentring Manik Mayangsunda dinikahkan dengan Sri Baduga, anak Dewa Niskala.
Syahdan, ketika Majapahit pada masa Kertabhumi atau Bhre Wijaya (Brawijaya V) mengalami keruntuhan karena serangan Demak tahun 1478, banyak rombongan-pelarian dari Majapahit yang mengungsi ke Priangan. Salah satunya ada yang sampai di Kawali, yaitu Raden Baribin, saudara seayah Kertabhumi. Kehadiran Baribin diterima baik oleh Prabu Dewa Niskala (Ningratkancana). Baribin bahkan dijodohkan dengan puteri bungsu Dewa Niskala yang bernama Ratna Ayu Kirana (adik raden Banyak Catra atau Kamandaka, yang jadi raja-daerah di Pasir Luhur). Tak hanya itu, Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang wanita pengungsi dari Jawa Timur itu yang kebetulan telah bertunangan. (Carita Parahyangan menyebutnya “estri larangan ti kaluaran”). Memang, sejak peristiwa Pasunda Bubat, bagi kerabat keraton Galuh-Kawali (Sunda) merupakan hal tabu bila beristrikan kerabat keraton Majapahit. Pun, menurut aturan waktu itu, wanita yang telah bertunangan dilarang menikah dengan laki-laki lain dengan pengecualian bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan. Maka dalam hal ini, Dewa Niskala melanggar dua “peraturan” sekaligus; dan sebagai raja hal tersebut dianggap dosa besar.
Melihat perbuatan saudaranya yang dinilai memalukan dinasti-keluarga, Susuktunggal di Pakuan mengancam hendak memisahkan kekerabatan dengan Galuh di Kawali. Namun, ketegangan tersebut cair melalui keputusan bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri sebagai raja. Dewa Niskala menyerahkan takhta Galuh kepada puteranya, Jayadewata (Sri Baduga), Susuktunggal menyerahkan takhta Sunda juga kepada Jayadewata, menantu sekaligus keponakan. Kerajaan warisan Wastukencana pun berada dalam satu tangan kembali, di tangan cucunya sendiri yang kelak menjadi raja besar di seluruh Tatar Sunda, Sri Baduga Maharaja. Dewa Niskala sendiri setelah wafat dikebumikan di daerah Gunatiga dan bergelar Sang Mokteng Gunatiga.
Galuh Setelah Pakuan Pajajaran Runtuh
Selama Sri Baduga memerintah di Pakuan, di Galuh pun tetap ada penguasa yang statusnya raja-bawahan Pajajaran. Dan hingga Pakuan Pajajaran runtuh tahun 1579, di Galuh masih terdapat beberapa raja yang memerintah. Mereka di antaranya: Prabu Haur Kuning, Prabu Cipta Sanghiang, Prabu Galuh Cipta Permana atau Ujang Ngekel (yang pertama masuk Islam).
Eksistensi politik Galuh goyah ketika tahun 1595, Mataram menyerang Galuh. Dan selanjutnya, pada masa Sultan Agung invasi militer Mataram terhadap Galuh makin gencar. Oleh penguasa Mataram, penguasa Galuh, Adipati Panaekan, diangkat menjadi Wedana Mataram dengan jumlah pendududk (cacah) sebanyak 960 orang. Ketika Mataram hendak melancarkan serangan terhadap benteng VOC di Batavia tahun 1628, pengikut Mataram di Tanah Sunda berbeda pendapat. Misalnya, Rangga Gempol I dari Sumedang Larang menginginkan pertahanan militer diperkuat dahulu, sementara Dipati Ukur dari Tatar Ukur menginginkan serangan segera saja dilakukan. Pertentangan pun terjadi di Galuh, yakni antara Adipati Panaekan dengan adik iparnya, Dipati Kertabhumi, Bupati Bojonglopang, putra Prabu Dimuntur, keturunan Prabu Geusan Ulun. Perselisihan ini memuncak dan akhirnya pecahlah perkelahian. Adipati Panaekan terbunuh pada tahun 1625. Ia lalu diganti puteranya, Mas Dipati Imbanagara, yang berkedudukan di Garatengah (sekarang Cineam).
Daftar Raja-raja di Galuh (dan Kawali, Saunggalah, dan Pakuan)
1. Wretikandayun atau Wertikandayun (612-702).
2. Mandiminyak (702-709).
3. Sena atau Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabhumi (709-716 M).
4. Purbasora (716-723).
5. Sanjaya Sang Harisdarma atau Rakeyan Jambri (723-732 M), Pakuan-Galuh.
6. Premana Dikusuma atau Bagawat Sajalajaya (732)
7. Rahyang Tamperan atau Rakeyan Panaraban (732-739 M), Pakuan-Galuh.
8. Surotama alias Manarah alias Ciung Wanara atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara
Sakalabhuwana (739-783).
9. Sang Mansiri atau Prabu Dharmasakti Wijaleswara (783-799).
10. Sang Tariwulan atau Prabu Kertayasa Dewakusaleswara (799-806).
11. Sang Welengan atau Prabu Brajanagara Jayabhuwana (806-813).
12. Prabu Linggabhumi (813-842).
13. Rakeyan Wuwus atau Prabu Gajah Kulon (842-891 M), Pakuan-Galuh.
14. Arya Kedaton atau Prabu Darmaraksa Bhuwana (891-895 M). Catatan: sejak tahun 895 hingga
1311 M, pusat pemerintahan sering berpindah-pindah dari timur (Galuh atau Saunggalah) ke barat
(Pakuan) dan sebaliknya.
15. Rakeyan Windusakti atau Prabu Dewagong Jayengbhuwana (895-913 M).
16. Rakeyan Kemuning Gading atau Prabu Pucukwesi atau Sang Mokteng Hujungcariang
(913-916 M).
17. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wanayasa, adik Pucukwesi (916-942 M).
18. Rakeyan Watwagong atau Prabu Resi Atmajadarma Hariwangsa (942-954 M), menantu Jayagiri.
19. Limburkancana atau Sang Mokteng Galuh Pakwan, putra Pucukwesi (954-964 M).
20. Rakeyan Sunda Sembawa atau Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala Jayasatru
(964-973 M).
21. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wulung Gadung atau Sang Mokteng Jayagiri (973-989 M).
22. Rakeyan Gendang atau Prabu Jayawisesa (989-1012 M).
23. Sanghyang Ageung atau Prabu Dewa Sanghyang atau Sang Mokteng Patapan
(1012-1019M), Galuh.
24. Sri Jayabhupati atau Prabu Satya Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Bhuwanamanadala Leswaranindita Harogowardhana Wikramattunggadewa
(1019-1042), Pakuan.
25. Prabu Dharmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabhuwana (1042-1064), Galuh.
26. Prabu Langlangbhumi atau Sang Mokteng Kreta (1064-1154), Pakuan.
27. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur Langlangbhumisutah (1154-1156), Pakuan.
28. Prabu Dharmakusumah atau Sang Mokteng Winduraja (1156-1175), Galuh.
29. Prabu Guru Dharmasiksa Paramartha Mahapurusa atau Guru Dharmakusumah atau Prabu
Sanghyang Wisnu (1175-1297); di Saunggalah tahun 1175-1187, di Pakuan tahun 1187-1297.
30. Prabu Ragasuci atau Rakeyan Saunggalah (1297-1303), Saunggalah
31. Prabu Citragandha (1303-1311), Pakuan.
32. Prabu Lingga Dewata (1311-1333), Kawali.
33. Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340), Kawali.
34. Prabu Ragamulya Luhurprabhawa atau Sang Aki Kolot (1340-1350), Kawali.
35. Prabu Lingga Bhuwana Wisesa atau Prabu Maharaja atau Sang Mokteng Bubat
(1350-1357 M), Kawali.
36. Prabu Bunisora (1357-1371), Kawali.
37. Niskala Wastukancana atau Prabu Raja Wastu atau Sang Mokteng Nusalarang
(1371-1475), Kawali.
38. Ningratkancana atau Prabu Dewa Niskala atau Sang Mokteng Gunatiga (1475-1482), Kawali.
39. Sri Baduga Maharaja (1482-1521), Galuh dan Pakuan.
Mitos Buaya dan Harimau
Proses kepindahan ibukota pada masa Sunda-Galuh memiliki pengaruh secara sosial-budaya. Dalam hal tradisi, antara Galuh dengan Sunda memang terdapat perbedaan. Disebutkan, bahwa orang Galuh itu adalah “orang air”, sedangkan orang Sunda itu adalah “orang gunung". Yang satu (Galuh) memiliki “mitos buaya”, yang lainnya (Sunda) memiliki “mitos harimau”.
Di sekitar Ciamis dan Tasikmalaya masih ada sejumlah tempat yang bernama Panereban. Pada masa silam, tempat tersebut konon merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus dihanyutkan (dilarung) di sungai. Sebaliknya, orang Kanekes (Banten) yang masih menyimpan banyak sekali peninggalan tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah (ngurebkeun). Tradisi nerebkeun di sebelah timur dan tradisi ngurebkeun di sebelah barat, membekas dalam istilah panereban dan pasarean.
Perjalanan sejarah lambat-laun telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini, Galuh dan Sunda (Orang Air dengan Orang Gunung) menjadi akrab. Perbauran ini, contohnya, dilambangkan oleh dongeng Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet (Seekor Kura-kura dan Seekor Monyet). Dongeng fabel khas Sunda ini sangat dikenal oleh segala lapisan masyarakat. Padahal dalam kenyataannya, monyet (wakil dari budaya gunung) dan kuya (wakil dari budaya air) itu bertemu saja mungkin tidak pernah.
Kerajaan-kerajaan Lain di Sekitar Galuh
Berdasarkan naskah-naskah kuno, baik sekunder maupun primer, di wilayah Galuh terdapat beberapa kerajaan kecil. Sayang memang, bahwa kerajaan-kerajaan ini tak meninggalkan bukti otentik seperti prasasti atau bangunan fisik lainnya.
Dalam laporan yang disusun Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972), terdapat sejumlah nama kerajaan sebagai berikut:
1. Kerajaan Galuh Sindula (menurut sumber lain, Kerajaan Bojong Galuh) yang berlokasi di Lakbok
dan beribukota Medang Gili (tahun 78 Masehi?);
2. Kerajaan Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan;
3. Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan;
4. Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan;
5. Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman;
6. Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan;
7. Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo;
8. Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan;
9. Galuh Pataka berlokasi di Nanggalacah beribukota Pataka;
10. Kabupaten Galuh Nagara Tengah berlokasi di Cineam beribukota Bojonglopang kemudian
Gunungtanjung;
11. Kabupaten Galuh Imbanagara berlokasi di Barunay (Pabuaran) beribukota di Imbanagara
12. Kabupaten Galuh berlokasi di Cibatu beribukota di Ciamis sejak tahun 1812.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/6/18/galuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar